Fahmi namanya, lelaki yang sangat sederhana dengan tompel di dekat pipi, ditambah kumis tipis, serta kacamata yang bertengger di hidungnya. Apalagi pakaiannya yang bergaya Vintage, sangat jauh sekali dari tipe idaman Anisa.
Abah sudah meninggalkan Masjid dengan diantar Fahmi sampai di gerbang. Sedangkan kedua gadis itu masih bersembunyi hingga Abah benar-benar pergi.Anisa segera menarik Mutia untuk keluar dari persembunyian dan menghampiri Fahmi. Bagaimanapun, ia harus membuat Fahmi menolak pernikahan yang sudah diatur oleh Abah."Hei, kamu !" Teriak Anisa bak pahlawan bertopeng.Pemuda yang akan masuk ke dalam masjid itu segera menoleh dan mendapati dua orang perempuan yang menghampirinya."Abah bilang apa sama kamu ?" Tanya Anisa yang membuat kening Fahmi berkerut bingung."Jangan pura-pura bingung seperti itu, pasti Abah bahas tentang pernikahan kan sama kamu ?" Tanya Anisa dengan raut wajah kesal. Fahmi benar-benar sangat kolot sekali dengan penampilannya. Pasti selama ini tidak ada perempuan yang mau mendekatinya, batin Anisa menilai penampilan Fahmi."Oh ... Iya, Pak Usman memang membicarakan tentang pernikahan," jawab Fahmi dengan sangat tenang, tanpa beban sama sekali."Kamu, Anisa ?" Tanya Fahmi menerka."Kamu setuju ?" Tanya Anisa tanpa menjawab pertanyaan Fahmi."Saya setuju, karena saya tidak mungkin menolak permintaan Pak Usman. Beliau sudah sangat baik sekali pada saya," jawab Fahmi masih dengan begitu tenang. Tidak terusik sama sekali dengan wajah marah Anisa."Kamu dibayar berapa sama Abah ? aku bakal bayar dua kali lipat, asal kamu menolak keinginan Abah !" ucap Anisa memberikan penawaran pada Fahmi.Fahmi tersenyum kecil. Mutia yang menjadi obat nyamuk, hanya bisa melihat dua orang berlainan jenis itu saling beradu pendapat. Tepatnya Anisa saja yang sedang beradu pendapat dan sangat ngotot. Sedangkan Fahmi, tampak sangat tenang sekali."Aku tidak dibayar oleh Pak Usman. Maaf, aku harus segera masuk ke dalam," ucap Fahmi lalu melangkah pergi, meninggalkan Anisa yang terlihat sangat kesal.Akhirnya Anisa mengajak Mutia untuk pulang, tentu saja dengan perasaan gondok. Ia pikir akan mudah membujuk Fahmi. Ternyata Fahmi sama saja seperti Abah terlihat tenang dan juga tegas dalam tiap ucapan."Darimana kalian ?" Tanya Abah begitu melihat Anisa dan Mutia masuk ke dalam rumah."Oh ... itu, Dek Mutia ngajak beli kapas, tapi sayang kapasnya habis" jawab Anisa asal."Cepat masuk kamar, jangan lupa cuci kaki tangan dan ganti bajunya," ucap Abah dengan raut datar.Bukannya masuk kamar, Anisa malah mendekati Ibu yang sedang asyik dengan sulaman di tangannya."Ibu ... Nisa enggak mau nikah sama Fahmi," ucap Anisa dengan wajah dibuat memelas mungkin. Mungkin dengan cara itu, Ibu bisa membujuk Abah untuk tidak meneruskan rencana pernikahannya."Tanya sama Abah, kalau Abah setuju ya dibatalkan," jawab Ibu yang tidak mungkin membatalkan tanpa persetujuan Suaminya.Abah terlihat tengah membaca dengan raut wajah datar. Beliau masih kesal pada sikap Anisa yang tiba-tiba menolak dan membuatnya malu."Abah ...," Panggil Anisa lirih pada Abah yang masih saja fokus pada buku yang tengah dibacanya."Bah ...," Panggil Anisa lagi dengan suara pelan."Hmmm ... kalau mau bahas tentang pernikahan, sebaiknya tidak usah saja. Abah tidak akan merubah keputusan walau kamu menangis darah sekalipun." Jawaban tegas Abah membuat Anisa benar-benar terisak dengan isakan yang pilu. Ibu segera memeluk bungsunya tersebut. Tapi beliau juga tidak ingin merubah apa yang sudah menjadi keputusan Suaminya tersebut. Bu Zainab yakin, jika Suaminya sudah memikirkan secara matang sebelum memutuskan untuk menikahkan putri mereka dengan pemuda yang bernama Fahmi tersebut.Anisa kembali ke kamar dengan mata bengkak. Walau ia kabur, itu akan sia-sia, malah akan menambah kemarahan Abah padanya saat Abah berhasil menemukannya.********Hari yang dinanti tiba, Anisa hanya memakai gamis dan juga Jilbab senanda yang tampak cantik berpadu dengan wajahnya yang memang cantik. Abah yang keturunan Arab dan Ibu yang berasal dari Jawa, membuat wajah Anisa adalah perpaduan sempurna keduanya.Anisa menangis dalam pelukan Ibu dan juga kakak perempuannya. Hatinya benar-benar sangat sedih sekali. Tidak ada pesta yan mewah, karena akad nikah dilaksanakan di masjid dan di saksikan oleh para jamaah. Mahar yang diberikan Fahmi adalah sebuah sajadah, yang mengisyaratkan jika Fahmi akan mengajari Anisa untuk selalu bersujud dan ingat pada Rabb Nya.Anisa masih menangis sesenggukan. Otaknya benar-benar buntu, membayangkan masa depannya yang akan sangat suram sekali bersama pemuda pilihan Abahnya tersebut.Tampak Abah mendekati Anisa sebelum acara sakral dimulai. Abah membelai sayang kepala putri bungsunya yang tertutup jilbab itu penuh rasa sayang.Ia tidak menikahkan Anisa karena kemarahan. Tapi ia menikahkan Anisa dengan Fahmi karena sikap baik dan juga Abah yakin jika Fahmi bisa mendidik putri bungsunya ini dengan baik. "Inshaallah Fahmi adalah pemuda yang baik. Jangan pernah memandang fisik maupun pekerjaannya, tapi lihatlah dia yang bisa menafkahi mu dari rezeki halal yang didapat dari bekerja keras," pesan Abah di sela-sela tangisan Anisa yang tidak bisa berhenti saat detik-detik acara sakral itu akan dilaksanakan."Abah tega ...."Tangis Anisa menyayat hati. Sedangkan Ibu dan juga kakak perempuannya, hanya bisa menenangkan tanpa ingin merubah keputusan Abah. Karena mereka tahu, Abah tidak akan seperti itu jika bukan karena sesuatu hal yang fatal."Awas kamu Fahmi, aku akan buat kamu menyesal karena menyetujui keinginan Abah," monolog Anisa, yang langsung mendapat pelototan dari Ibu."Ndak baik seperti itu, cah Ayu ... kamu enggak dengar kata Abah tadi ? tidak mungkin Abah menikahkan kamu dengan laki-laki yang membawamu pada jalan yang salah. Semua yang Abah lakukan, adalah yang terbaik untuk kehidupanmu dan juga masa depanmu kelak," nasihat Ibu sambil membelai putri bungsunya yang sudah bersimbah air mata.Anisa pingsan saat ijab kabul diucapkan dengan lantang oleh Fahmi, tanpa ada keraguan sedikitpun. Fahmi menikahi Anisa atas keinginan Abah. Karena sesuatu hal yang tidak perlu diketahui oleh Anisa. Anisa digendong keluar dari masjid oleh Fahmi yang telah sah menjadi suaminya. Fahmi tersenyum kecil melihat wajah Ayu Anisa yang saat ini tengah pingsan dan tidak menyadari siapa yang menggendongnya pulang ke rumah.Fahmi merebahkan Anisa di atas ranjang, dan meninggalkannya agar Ibu mertuanya bisa merawat Istrinya itu hingga sadar.Saat sadar, Anisa kembali menangis dengan keras hingga beberapa saat. Setelah Anisa mulai tenang barulah Fahmi masuk ke dalam kamar atas permintaan Abah. Sedangkan Ibu keluar kamar dengan perasaan campur aduk melihat bungsunya yang benar-benar kacau hatinya."Assalamualaikum," sapa Fahmi pada Anisa yang sudah lebih tenang. Bukannya menjawab, Anisa malah membuang muka."Aku tidak sudi jadi Istrimu ! Maka dari itu, kita harus membuat perjanjian," ucap Anisa yang sudah mulai tidak menangis dan kali ini berbalik menatap tajam ke arah Fahmi."Baiklah," jawab Fahmi Singkat, tanpa ingin berdebat."Aku akan buat suratnya besok. Malam ini kau tidur di sofa sebagai aturan pertama dalam pernikahan palsu ini !" Ucap Anisa yang dibalas anggukan Fahmi yang segera melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju.Selesai dari kamar mandi, tidak ada yang berubah dari wajah Fahmi, tetap saja tidak sedap dipandang. Fahmi mengambil bantal lalu tidur di sofa sesuai keinginan Anisa."Tidurlah yang nyenyak. Jangan pikirkan apapun. Aku tidak akan menyentuhmu selama dirimu belum siap untuk itu," ucap Fahmi santu lalu beranjak menuju sofa dan mulai tidur."Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi disentuh olehmu !" Monolog Anisa sambil menatap Fahmi yang saat ini telah tertidur di sofa.Anisa terbangun saat adzan subuh berkumandang. Ia masih mengenakan gamis dan juga jilbab akad tadi malam.Menatap sekeliling ruangan, berharap jika tadi malam hanyalah mimpi buruk. Apalagi suara Adzan yang didengar adalah suara dari marbot masjid yang baru. Siapa lagi kalau bukan Fahmi. Jadi Fahmi masih tinggal di Masjid dan bukan sekamar dengannya, khayalan Anisa menenangkan diri.Anisa segera bangun dari posisi tidurnya. Mengerjapkan kedua netranya. Menatap sekeliling kamar, Sepertinya ia tidak sedang bermimpi, karena pakaian yang dikenakan Fahmi tadi malam, terlihat tergantung di dekat pintu. Ia menghela nafas kasar.Tok ...tok !"Nisa ... ayo ke masjid sama Ibu dan Mutia." Suara Ibu terdengar dari luar kamar. Tumben ibu mengetuk, biasanya juga langsung masuk, batin Anisa lalu segera beranjak dari atas ranjang untuk membuka pintu.Cklek!Anisa melihat senyum Ibu dan Mutia begitu pintu terbuka. Entah apa yang membuat mereka tersenyum demikian merekah."Ke masjid enggak ? kalau ma
Malam kembali menyapa bumi dengan diiringi rintikan kecil gerimis yang membuatnya makin syahdu.Anisa kembali ke rumah sebelum hujan benar-benar menjadi lebih deras. Kali ini, ia pulang sangat terlambat sekali. Biasanya jam lima sore toko sudah tutup dan Anisa langsung pulang. Tapi kali ini, ia malah baru pulang setelah shalat isya'. Saat tiba di rumah, yang ia dapati adalah tatapan tajam Abah yang kesal karena Anis tidak mau mendengarkannya untuk tidak ke toko. Selain itu, Anisa yang pulang terlambat tanpa memberitahu kemana perginya, karena toko sudah tutup semenjak jam lima sore tadi."Abah kenapa menatap Nisa kayak gitu ? apa salah dan dosaku ?" Tanya Anisa lebay tanpa mau mengakui kalau ia salah. Anisa memang sengaja pulang terlambat untuk menghindari Fahmi. Anisa berharap Fahmi sudah tidur saat ia kembali ke rumah, sehingga tidak perlu ada pembicaraan basa-basi diantara mereka. Selain itu, ia pulang terlambat, karena membuat surat perjanjian pernikahan yang pernah dikatakannya p
Seperti biasa, Anisa terbangun disaat Adzan subuh berkumandang. Dengan cepat ia segera menuju kamar mandi. Ia sedikit heran, karena sejak bangun tadi, tidak dilihatnya Fahmi ada di kamar.Berarti Fahmi sudah lebih dulu berangkat ke masjid. Wajarlah, dia kan marbot Masjid, batin Anisa kembali tidak peduli.Tapi yang aneh adalah, suara muadzin bukanlah suara Fahmi seperti biasanya."Ah ...sebodoh amat sih, kok aku jadi mikirin Alien itu,"batin Anisa sambil terus menggosok gigi.Selesai dengan acara bersih-bersih dan juga berwudlu, ia segera mengganti pakaian dan mengenakan mukena, lalu segera keluar kamar untuk berangkat ke Masjid.Keluar dari kamar, tampak Ibu yang juga hendak ke Masjid."Loh, dek Mutia mana ?" Tanya Anisa yang tidak melihat Mutia turut serta."Biasa, tamu bulanannya datang, jadi libur dulu," jawab Ibu membuat Anisa mengangguk paham."Fahmi sama Abah sudah duluan ke Masjid," ucap Ibu tanpa ditanya oleh Anisa."Emang Anisa tanya ya ? si Fahmi itu mau kemana juga, Nisa e
Fahmi menghela nafas panjang, melihat siapa yang sudah membuat tawa Anisa begitu merdu terdengar.Seorang pemuda tampan yang saat ini tengah duduk di depan Anisa, dan tampak menceritakan hal lucu yang membuat Anisa benar-benar bahagia. "Itu sahabat Anisa sekaligus sepupunya. Namanya Faris. Dia baru pulang dari luar daerah, dan langsung kemari untuk mengantar oleh-oleh, karena dari bandara ke rumahnya, melewati rumah ini, jadi sekalian." Tiba-tiba Ibu sudah ada di belakang Fahmi, dan menjelaskan siapa pria yang saat ini duduk bersama Anisa dan juga alasan Anisa bisa tertawa lepas seperti itu."Ayo kenalan sama Faris, dia orangnya ramah kok." Ibu mengajak Fahmi agar mau berkenalan dengan sahabat Anisa. Sebenarnya Ibu mengajak Fahmi untuk berkenalan, karena wanita yang tidak lagi muda itu, merasa tidak enak pada menantunya tersebut. Karena Anisa bersikap layaknya seorang gadis yang belum memiliki pendamping hidup."Tidak usah Ibu, saya harus segera bersiap-siap, mungkin di lain waktu sa
Berdiri disana seorang pria tampan, yang tersenyum tipis padanya. Tapi suaranya hampir mirip dengan suara Fahmi. "Ahh ... Para pria "kan emang suaranya hampir mirip-mirip begitu. apa akunya saja yang lebay," batin Anisa masih meneliti pria di depannya. Berharap, andai wajah Fahmi setampan pria itu."Mbak ...," Panggil si pria yang segera menyadarkan Anisa dari lamunannya."Oh ... Itu ... tidak usah, biar nanti saja, saya kembali lagi kemari," tolak Anisa dengan halus sambil keluar dari barisan pengantri."Mbak, sekalian saja sama punya mbak yang ini ya," ucap si pria pada kasir tanpa mempedulikan penolakan Anisa.Kasir dengan cekatan menghitung total belanjaan lalu memberikannya pada si pria yang segera membayarnya."Maaf, bisa saya minta nomor rekening, nanti setelah tiba di rumah, saya langsung transfer uangnya," ucap Anisa sambil menerima buku dari tangan si pria tampan tersebut sesaat setelah mereka keluar dari toko buku."Tidak usah," jawab si pria, lalu segera berlalu meningga
"Aku tidak sudi menjadi Istrimu !"********Dari kedua putri Abah Usman, hanya si sulung yang mau masuk pesantren dan mendapatkan jodoh seorang pemuda dari pesantren juga. Sedangkan Anisa, si bungsu, kabur dari rumah saat hendak dimasukan ke pesantren. Dia menghilang selama tiga hari. Bersembunyi di penginapan, dengan uang tabungan yang dimilikinya.Ibu yang cemas, terus-terusan menangis, sehingga Abah akhirnya mengalah dan tidak memaksakan kehendaknya agar Anisa mau masuk pondok. Anisa pulang ke rumah setelah kakaknya yang tahu ia bersembunyi dimana mengabari jika Abah sudah luluh.Anisa akhirnya dimasukan ke sekolah yang berciri khas pesantren.Itu adalah kisah kebengalan Anisa di masa sekolah. Tapi saat ini, Abah sangat bahagia. Keluarga dari sahabat masa kecilnya, ingin melamar Anisa. Kebahagiaan Abah berlipat ganda, karena saat bertanya pada Anisa mengenai lamaran itu, Anisa menyetujuinya, karena sedang malas berdebat dengan abah. Toh masih tunangan, belum menikah, pikir Anisa.
Berdiri disana seorang pria tampan, yang tersenyum tipis padanya. Tapi suaranya hampir mirip dengan suara Fahmi. "Ahh ... Para pria "kan emang suaranya hampir mirip-mirip begitu. apa akunya saja yang lebay," batin Anisa masih meneliti pria di depannya. Berharap, andai wajah Fahmi setampan pria itu."Mbak ...," Panggil si pria yang segera menyadarkan Anisa dari lamunannya."Oh ... Itu ... tidak usah, biar nanti saja, saya kembali lagi kemari," tolak Anisa dengan halus sambil keluar dari barisan pengantri."Mbak, sekalian saja sama punya mbak yang ini ya," ucap si pria pada kasir tanpa mempedulikan penolakan Anisa.Kasir dengan cekatan menghitung total belanjaan lalu memberikannya pada si pria yang segera membayarnya."Maaf, bisa saya minta nomor rekening, nanti setelah tiba di rumah, saya langsung transfer uangnya," ucap Anisa sambil menerima buku dari tangan si pria tampan tersebut sesaat setelah mereka keluar dari toko buku."Tidak usah," jawab si pria, lalu segera berlalu meningga
Fahmi menghela nafas panjang, melihat siapa yang sudah membuat tawa Anisa begitu merdu terdengar.Seorang pemuda tampan yang saat ini tengah duduk di depan Anisa, dan tampak menceritakan hal lucu yang membuat Anisa benar-benar bahagia. "Itu sahabat Anisa sekaligus sepupunya. Namanya Faris. Dia baru pulang dari luar daerah, dan langsung kemari untuk mengantar oleh-oleh, karena dari bandara ke rumahnya, melewati rumah ini, jadi sekalian." Tiba-tiba Ibu sudah ada di belakang Fahmi, dan menjelaskan siapa pria yang saat ini duduk bersama Anisa dan juga alasan Anisa bisa tertawa lepas seperti itu."Ayo kenalan sama Faris, dia orangnya ramah kok." Ibu mengajak Fahmi agar mau berkenalan dengan sahabat Anisa. Sebenarnya Ibu mengajak Fahmi untuk berkenalan, karena wanita yang tidak lagi muda itu, merasa tidak enak pada menantunya tersebut. Karena Anisa bersikap layaknya seorang gadis yang belum memiliki pendamping hidup."Tidak usah Ibu, saya harus segera bersiap-siap, mungkin di lain waktu sa
Seperti biasa, Anisa terbangun disaat Adzan subuh berkumandang. Dengan cepat ia segera menuju kamar mandi. Ia sedikit heran, karena sejak bangun tadi, tidak dilihatnya Fahmi ada di kamar.Berarti Fahmi sudah lebih dulu berangkat ke masjid. Wajarlah, dia kan marbot Masjid, batin Anisa kembali tidak peduli.Tapi yang aneh adalah, suara muadzin bukanlah suara Fahmi seperti biasanya."Ah ...sebodoh amat sih, kok aku jadi mikirin Alien itu,"batin Anisa sambil terus menggosok gigi.Selesai dengan acara bersih-bersih dan juga berwudlu, ia segera mengganti pakaian dan mengenakan mukena, lalu segera keluar kamar untuk berangkat ke Masjid.Keluar dari kamar, tampak Ibu yang juga hendak ke Masjid."Loh, dek Mutia mana ?" Tanya Anisa yang tidak melihat Mutia turut serta."Biasa, tamu bulanannya datang, jadi libur dulu," jawab Ibu membuat Anisa mengangguk paham."Fahmi sama Abah sudah duluan ke Masjid," ucap Ibu tanpa ditanya oleh Anisa."Emang Anisa tanya ya ? si Fahmi itu mau kemana juga, Nisa e
Malam kembali menyapa bumi dengan diiringi rintikan kecil gerimis yang membuatnya makin syahdu.Anisa kembali ke rumah sebelum hujan benar-benar menjadi lebih deras. Kali ini, ia pulang sangat terlambat sekali. Biasanya jam lima sore toko sudah tutup dan Anisa langsung pulang. Tapi kali ini, ia malah baru pulang setelah shalat isya'. Saat tiba di rumah, yang ia dapati adalah tatapan tajam Abah yang kesal karena Anis tidak mau mendengarkannya untuk tidak ke toko. Selain itu, Anisa yang pulang terlambat tanpa memberitahu kemana perginya, karena toko sudah tutup semenjak jam lima sore tadi."Abah kenapa menatap Nisa kayak gitu ? apa salah dan dosaku ?" Tanya Anisa lebay tanpa mau mengakui kalau ia salah. Anisa memang sengaja pulang terlambat untuk menghindari Fahmi. Anisa berharap Fahmi sudah tidur saat ia kembali ke rumah, sehingga tidak perlu ada pembicaraan basa-basi diantara mereka. Selain itu, ia pulang terlambat, karena membuat surat perjanjian pernikahan yang pernah dikatakannya p
Anisa terbangun saat adzan subuh berkumandang. Ia masih mengenakan gamis dan juga jilbab akad tadi malam.Menatap sekeliling ruangan, berharap jika tadi malam hanyalah mimpi buruk. Apalagi suara Adzan yang didengar adalah suara dari marbot masjid yang baru. Siapa lagi kalau bukan Fahmi. Jadi Fahmi masih tinggal di Masjid dan bukan sekamar dengannya, khayalan Anisa menenangkan diri.Anisa segera bangun dari posisi tidurnya. Mengerjapkan kedua netranya. Menatap sekeliling kamar, Sepertinya ia tidak sedang bermimpi, karena pakaian yang dikenakan Fahmi tadi malam, terlihat tergantung di dekat pintu. Ia menghela nafas kasar.Tok ...tok !"Nisa ... ayo ke masjid sama Ibu dan Mutia." Suara Ibu terdengar dari luar kamar. Tumben ibu mengetuk, biasanya juga langsung masuk, batin Anisa lalu segera beranjak dari atas ranjang untuk membuka pintu.Cklek!Anisa melihat senyum Ibu dan Mutia begitu pintu terbuka. Entah apa yang membuat mereka tersenyum demikian merekah."Ke masjid enggak ? kalau ma
Fahmi namanya, lelaki yang sangat sederhana dengan tompel di dekat pipi, ditambah kumis tipis, serta kacamata yang bertengger di hidungnya. Apalagi pakaiannya yang bergaya Vintage, sangat jauh sekali dari tipe idaman Anisa.Abah sudah meninggalkan Masjid dengan diantar Fahmi sampai di gerbang. Sedangkan kedua gadis itu masih bersembunyi hingga Abah benar-benar pergi.Anisa segera menarik Mutia untuk keluar dari persembunyian dan menghampiri Fahmi. Bagaimanapun, ia harus membuat Fahmi menolak pernikahan yang sudah diatur oleh Abah."Hei, kamu !" Teriak Anisa bak pahlawan bertopeng.Pemuda yang akan masuk ke dalam masjid itu segera menoleh dan mendapati dua orang perempuan yang menghampirinya."Abah bilang apa sama kamu ?" Tanya Anisa yang membuat kening Fahmi berkerut bingung."Jangan pura-pura bingung seperti itu, pasti Abah bahas tentang pernikahan kan sama kamu ?" Tanya Anisa dengan raut wajah kesal. Fahmi benar-benar sangat kolot sekali dengan penampilannya. Pasti selama ini tida
"Aku tidak sudi menjadi Istrimu !"********Dari kedua putri Abah Usman, hanya si sulung yang mau masuk pesantren dan mendapatkan jodoh seorang pemuda dari pesantren juga. Sedangkan Anisa, si bungsu, kabur dari rumah saat hendak dimasukan ke pesantren. Dia menghilang selama tiga hari. Bersembunyi di penginapan, dengan uang tabungan yang dimilikinya.Ibu yang cemas, terus-terusan menangis, sehingga Abah akhirnya mengalah dan tidak memaksakan kehendaknya agar Anisa mau masuk pondok. Anisa pulang ke rumah setelah kakaknya yang tahu ia bersembunyi dimana mengabari jika Abah sudah luluh.Anisa akhirnya dimasukan ke sekolah yang berciri khas pesantren.Itu adalah kisah kebengalan Anisa di masa sekolah. Tapi saat ini, Abah sangat bahagia. Keluarga dari sahabat masa kecilnya, ingin melamar Anisa. Kebahagiaan Abah berlipat ganda, karena saat bertanya pada Anisa mengenai lamaran itu, Anisa menyetujuinya, karena sedang malas berdebat dengan abah. Toh masih tunangan, belum menikah, pikir Anisa.