Di sebuah rumah di kota kecil Winters, tak jauh dari Sacramento, Byron sedang menikmati sore harinya dengan malas.Televisi besar di depannya menampilkan pertandingan tinju yang membuat adrenalinnya terpacu.Kaki kasarnya berselonjor di atas meja yang penuh dengan botol-botol bir kosong, sebagian bahkan tergeletak di lantai bersama remah-remah makanan cepat saji dan pakaian acak-acakan.Bau busuk bir basi menyengat di seluruh ruangan, namun Byron tampak tak peduli.Sisa bekas luka bakar di wajahnya membuat penampilannya lebih mengerikan, apalagi saat ia mengumpat setiap kali salah satu petinju di layar gagal memukul lawannya.“Tendang dia, brengsek! Ayolah!” Byron menggeram, matanya terpaku pada layar, tinjunya mengepal seolah ia sendiri yang bertarung.Tanpa ia sadari, pintu depan rumah itu terbuka perlahan, dan sosok gelap menyelinap masuk tanpa suara.Kakinya yang ringan melangkah mendekat dari belakang sofa tempat Byron duduk.Bayangan itu mendekat, mengintai, sementara Byron tetap
“Menaranya akan dibangun di sini?” Elara menatap takjub ke situs pembangunan menara.Ethan membawanya ke Transbay District, ini adalah salah satu kawasan mahal di San Francisco.Transbay District, terletak di jantung San Francisco, menawarkan suasana yang modern, dinamis, dan futuristik.Kawasan ini dikelilingi gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, termasuk ikon Salesforce Tower dan sejumlah kondominium serta perkantoran mewah.Di sebuah site strategis di distrik ini, berdampingan dengan beberapa gedung perkantoran dan hunian elit, terhampar tanah kosong yang siap menjadi lokasi pembangunan menara tertinggi di San Francisco.Lokasinya yang dikelilingi oleh gedung-gedung mewah memberikan potensi besar bagi menara ini untuk menjadi pusat perhatian dan lambang kemegahan baru di kota.Pemandangan dari atas gedung yang akan dibangun akan mencakup panorama Teluk San Francisco, Jembatan Bay, dan cakrawala kota yang memukau.Suasana d
Di villa megah milik Arion di Pacific Heights, Elara duduk termenung di tepi ranjangnya, memandang jauh ke luar jendela yang terbuka.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin dan rasa ketenangan, namun pikirannya terselimuti oleh gelombang perasaan yang bercampur aduk.Sepulang dari site pembangunan menara, hatinya masih terhanyut dalam kekaguman yang tak terkatakan.Imera Sky Tower.Sebuah mahakarya yang dirancang dengan sempurna oleh suaminya, Arion, untuk menghormati dua wanita paling penting dalam hidupnya—ibunya, Imelda, dan dirinya sendiri, Elara.Nama itu, 'Imera', terasa begitu dalam dan bermakna.Arion tidak hanya membangun menara yang kelak akan menjadi ikon kota San Francisco dan seluruh benua Amerika, tapi juga memasukkan bagian dari dirinya, dari cinta dan penghormatan, ke dalam proyek besar itu.Elara tersentuh hingga ke lubuk hatinya.Betapa sempurna dan penuh perhatian suaminya itu.Meski hubungan mereka sebelumnya diwarnai konflik dan jarak, saat ini, E
Elara menghela napas panjang, ponselnya masih menempel di telinga saat ia mendengarkan suara tenang di ujung telepon."Kami mohon maaf, Miss Elara," suara perwakilan NexTech Ventures terdengar hati-hati. "Ada masalah internal yang mendesak di perusahaan kami. Kami terpaksa menunda pertemuan hari ini hingga minggu depan."Elara melirik ke jalanan yang padat di depannya.Porsche Panamera berwarna midnight blue metalik-nya melaju mulus di tengah keramaian kota.Elara sudah setengah perjalanan menuju kantor NexTech, dan sekarang tiba-tiba agenda pertemuan itu dibatalkan."Tidak masalah," Elara menjawab dengan nada tenang. "Terima kasih atas informasinya."Telepon ditutup, dan Elara menghela napas pelan.Rencananya untuk hari itu mendadak kosong, dan dia tidak suka dengan waktu luang yang tidak direncanakan.Ia segera menghubungi Susie, pengawalnya, yang berada di mobil lain di belakang."Susie," Elara memulai. "NexTech membatalkan pertemuan hari ini."‘Oh, benar? Jadi apa yang akan kita la
Ethan berdiri di tengah lokasi proyek Imera Sky Tower, memeriksa kemajuan pembangunan menara tertinggi dengan serius.Lokasi proyek Imera Sky Tower dipenuhi dengan aktivitas sibuk dan suara bising.Mesin-mesin berat seperti crane dan bulldozer bekerja tanpa henti, mengeluarkan deru yang menggelegar. Debu dan pasir terbang di udara, memberikan nuansa kesibukan yang konstan.Pekerja berpakaian pelindung berwarna cerah, seperti helm dan rompi reflektif, bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut bahan bangunan dan peralatan.Tali-temali dan alat berat menempel pada struktur yang sedang dibangun, sementara beberapa bagian menara sudah menjulang tinggi ke langit.Suara perbincangan singkat dan perintah dari supervisor bersaing dengan keributan mesin, menciptakan suasana kerja yang intens dan bersemangat.Di tengah-tengah hiruk-pikuk ini, Ethan berdiri dengan penuh perhatian, memastikan bahwa setiap detail proyek sesuai dengan rencana dan standar yang ditetapkan.Suara mesin
Elara terkesiap. Ia terbelalak kaget, matanya melebar ketika melihat sosok yang baru saja membekapnya.Tangannya refleks meraih tangan yang membekapnya, tapi genggaman itu begitu kuat.Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya tegang.Sosok itu mendekatkan wajahnya ke telinga Elara, berbisik pelan namun tegas."Apa kabar Sayang..."Suara berat dan serak yang begitu dikenalnya membuat degup jantung Elara melambat sejenak, lalu kembali berdebar cepat—kali ini bukan karena kaget, tapi rasa senang.Arion.Ketika tubuhnya diputar oleh tangan kokoh Arion, punggungnya kini menghadap pria itu, dan mereka berdiri berhadapan dengan cermin besar di dalam fitting room.Kilauan gaun haute couture yang dikenakan Elara memantulkan sinar lembut dari lampu gantung, namun semua itu tak lagi menarik perhatiannya.Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu -Arion, yang kini berada begitu dekat, terlalu dekat.Satu ketegangan tebal menggantung di udara.Arion perlahan melepaskan tangannya dari mulut Elara, nam
Ethan Wayne melangkah keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, hampir lupa untuk menutup pintu di belakangnya.Wajahnya tampak gelisah, pikirannya terfokus hanya pada satu hal: Elara.Dia tidak peduli pada sapaan ramah para pegawai butik Rêveuse yang berdiri menyambut di pintu masuk.Mengabaikan tatapan bingung mereka, Ethan langsung berjalan ke area butik yang lebih dalam, menuju ke satu ruangan yang ia yakini tempat Elara berada.Dari dalam ruang kerjanya yang memiliki dinding kaca besar, Edo, manajer butik, melihat seorang pria yang tampak mendekati ruang khusus tersebut dengan cepat.Sesuatu tentang cara pria itu berjalan membuat Edo waspada.Tak butuh waktu lama untuk mengenali bahwa pria ini sepertinya tidak bermaksud berbelanja dan bahkan berjalan menuju ruang khusus yang hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.Tanpa pikir panjang, Edo keluar dari ruangannya dan berlari menghampiri pria itu sebelum ia sempat mencapai pintu ruangan yang dijaga dua pengawal.“Tuan, permisi!”
Pagi yang tenang di kamar mereka.Arion terbangun perlahan, matanya membuka lebar, dan pandangannya jatuh pada sosok Elara yang masih terlelap di sampingnya.Wajah istrinya tampak damai, rambut panjangnya berserakan di atas bantal. Tubuhnya sebagian tertutupi oleh selimut yang melorot hingga menampakkan pundak telanjangnya.Tanpa pikir panjang, Arion mencondongkan tubuh dan menanamkan kecupan lembut di pundak Elara, sebuah gestur penuh cinta yang membuatnya tersenyum samar.Ia turun dari ranjang. Tubuhnya yang telanjang dada, bergerak anggun saat ia mengenakan celana piyama panjang yang tergeletak di lantai.Otot-otot punggungnya bergerak sempurna, kulitnya memantulkan sinar pagi yang menyelinap melalui tirai, membuatnya tampak seperti sosok yang tak terjangkau—gagah, sempurna, dan mendominasi.Arion berjalan ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya, lalu melangkah menuju balkon.Di sana, ia berdiri tegap, mata kelabunya serius menatap layar ponsel.Cahaya matahari pagi me