Elara terkesiap. Ia terbelalak kaget, matanya melebar ketika melihat sosok yang baru saja membekapnya.Tangannya refleks meraih tangan yang membekapnya, tapi genggaman itu begitu kuat.Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya tegang.Sosok itu mendekatkan wajahnya ke telinga Elara, berbisik pelan namun tegas."Apa kabar Sayang..."Suara berat dan serak yang begitu dikenalnya membuat degup jantung Elara melambat sejenak, lalu kembali berdebar cepat—kali ini bukan karena kaget, tapi rasa senang.Arion.Ketika tubuhnya diputar oleh tangan kokoh Arion, punggungnya kini menghadap pria itu, dan mereka berdiri berhadapan dengan cermin besar di dalam fitting room.Kilauan gaun haute couture yang dikenakan Elara memantulkan sinar lembut dari lampu gantung, namun semua itu tak lagi menarik perhatiannya.Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu -Arion, yang kini berada begitu dekat, terlalu dekat.Satu ketegangan tebal menggantung di udara.Arion perlahan melepaskan tangannya dari mulut Elara, nam
Ethan Wayne melangkah keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, hampir lupa untuk menutup pintu di belakangnya.Wajahnya tampak gelisah, pikirannya terfokus hanya pada satu hal: Elara.Dia tidak peduli pada sapaan ramah para pegawai butik Rêveuse yang berdiri menyambut di pintu masuk.Mengabaikan tatapan bingung mereka, Ethan langsung berjalan ke area butik yang lebih dalam, menuju ke satu ruangan yang ia yakini tempat Elara berada.Dari dalam ruang kerjanya yang memiliki dinding kaca besar, Edo, manajer butik, melihat seorang pria yang tampak mendekati ruang khusus tersebut dengan cepat.Sesuatu tentang cara pria itu berjalan membuat Edo waspada.Tak butuh waktu lama untuk mengenali bahwa pria ini sepertinya tidak bermaksud berbelanja dan bahkan berjalan menuju ruang khusus yang hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.Tanpa pikir panjang, Edo keluar dari ruangannya dan berlari menghampiri pria itu sebelum ia sempat mencapai pintu ruangan yang dijaga dua pengawal.“Tuan, permisi!”
Pagi yang tenang di kamar mereka.Arion terbangun perlahan, matanya membuka lebar, dan pandangannya jatuh pada sosok Elara yang masih terlelap di sampingnya.Wajah istrinya tampak damai, rambut panjangnya berserakan di atas bantal. Tubuhnya sebagian tertutupi oleh selimut yang melorot hingga menampakkan pundak telanjangnya.Tanpa pikir panjang, Arion mencondongkan tubuh dan menanamkan kecupan lembut di pundak Elara, sebuah gestur penuh cinta yang membuatnya tersenyum samar.Ia turun dari ranjang. Tubuhnya yang telanjang dada, bergerak anggun saat ia mengenakan celana piyama panjang yang tergeletak di lantai.Otot-otot punggungnya bergerak sempurna, kulitnya memantulkan sinar pagi yang menyelinap melalui tirai, membuatnya tampak seperti sosok yang tak terjangkau—gagah, sempurna, dan mendominasi.Arion berjalan ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya, lalu melangkah menuju balkon.Di sana, ia berdiri tegap, mata kelabunya serius menatap layar ponsel.Cahaya matahari pagi me
Elara duduk di balkon luas yang menghadap ke taman megah mansion Arthur Ellworth di Grand Haven.Angin sore bertiup lembut, menyejukkan udara hangat di Sacramento, dan sinar matahari yang mulai redup menciptakan bayang-bayang panjang di atas rerumputan yang terawat sempurna.Di sebelahnya, Lenora Ellworth, ibu mertua yang selalu tampak sempurna dengan penampilannya yang anggun, duduk dengan tenang sambil mengangkat cangkir teh porselen ke bibirnya.Elara menyesap teh di cangkirnya perlahan, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan Lenora yang terkenal dingin dan sulit ditebak.Awalnya, dia mengira undangan ini hanyalah sebuah ajakan ramah untuk menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga. Namun, semakin lama mereka duduk di sana, Elara merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap sopan Lenora.Matanya yang tajam seolah menilai setiap gerakan Elara, dan suasana di antara mereka terasa semakin tegang."Elara," Lenora akhirnya memecah keheningan dengan suaranya yang rendah
Elara mengambil tas itu dengan sedikit kebingungan, menatap pelayan itu sejenak.Ia bertanya-tanya, mengapa tasnya perlu diamankan?Ini mansion Grand Haven, salah satu tempat paling aman dengan sistem keamanan canggih dan penjagaan ketat.Rasanya tidak ada satu pun orang asing yang bisa masuk tanpa sepengetahuan Lenora atau keluarganya.Namun, Elara memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia tersenyum tipis pada pelayan tersebut, menahan rasa herannya.“Terima kasih,” jawab Elara sambil mengangguk, menerima tasnya.Lenora hanya memandang dengan senyum tipis di sudut bibirnya, matanya masih menatap Elara dengan tajam.Seolah menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari yang tampak.Namun, Elara tak ingin memperpanjang waktu di sana. Dia sudah merasa cukup canggung dengan percakapan mereka sebelumnya, dan kini tasnya yang “diamankan” hanya membuat suasana semakin aneh.“Terima kasih untuk tehnya, Mrs. Ellworth,” kata Elara dengan nada sopan, meski hatinya terasa berat. “Aku pergi
Di sana di sebuah meja kecil, satu sosok pria yang sangat mirip dengan Arion duduk berhadapan dengan wanita cantik itu.Fitur wajahnya—alis tebal rapi, hidung mancung sempurna, rahang tegas, dan mata tajam—mengingatkannya pada Arion, tetapi dengan perbedaan mencolok.Pria itu memiliki jambang lebat yang membuat tampangnya terlihat lebih garang dan seram.Dia mengenakan pakaian kasual yang jauh lebih santai daripada yang biasanya dipakai Arion—sebuah kaos berwarna abu-abu gelap dan celana jeans yang juga berwarna gelap.Wanita yang duduk berseberangan dengan sosok mirip Arion itu tampak serius, seolah terlibat dalam pembicaraan penting.Elara merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.Apakah ini mungkin ada seseorang yang begitu mirip dengan suaminya? Apakah itu saudara atau seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan suaminya?Perasaan curiga dan kekhawatiran mulai menyelimuti pikirannya saat ia terus memandang dari kejauhan.Elara berusaha menenangkan diri, mencoba fokus samb
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu temaram yang memantul dari layar monitor di sudut ruangan.Sosok misterius duduk di balik meja besar, wajahnya sebagian tertutup bayang-bayang, hanya matanya yang bersinar tajam menatap ke arah bawahannya yang berdiri dengan kaku di depan meja.Suasana di ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jam di dinding."Bersiaplah," suara sosok misterius itu memecah keheningan, suaranya dingin dan terkontrol. "Kita akan segera memulainya."Bawahannya, seorang pria dengan wajah penuh tekad, hanya mengangguk dengan hormat, menunggu perintah lebih lanjut.Dia tahu, tidak ada ruang untuk kesalahan dalam misi ini."Rencana yang telah kususun selama bertahun-tahun akhirnya akan terwujud," lanjut sosok misterius itu sambil menyilangkan tangannya di dada."Semua elemen sudah siap. Pengalihan perhatian, manipulasi informasi, dan infiltrasi di berbagai jaringan. Saatnya untuk mulai melancarkan serangan terakhir."Bawahannya tidak berani
Dengan perasaan kacau, Elara berbalik.Dirinya tak sanggup lagi menyaksikan adegan yang semakin menusuk perasaannya.Dalam diam, Elara berjalan cepat menjauh dari Lusso di Diamante, matanya memanas, perasaan campur aduk antara marah, kecewa, dan bingung bergelora dalam dadanya.Langit Beverly Hills yang cerah dan sore yang seharusnya menyenangkan kini terasa suram baginya.Setelah menyaksikan pemandangan di toko perhiasan tadi, hatinya tak bisa berhenti bertanya-tanya.Apakah Arion sedang menyembunyikan sesuatu?Langkah Elara terhenti dan dengan tangan gemetar, dia mengambil ponselnya dari tas. "Aku harus bertanya langsung," pikirnya, meski sebagian dari dirinya ragu apakah dia benar-benar ingin tahu jawabannya.Setelah beberapa detik menatap nama Arion di layar, Elara menghela napas panjang dan menekan tombol panggilan.Ia berbalik dan melihat ke arah toko Lusso di Diamante kembali.Tangannya yang sedikit bergetar menempelkan ponsel ke telinga. Setiap detik yang berlalu terasa seperti
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e