Ethan berdiri di tengah lokasi proyek Imera Sky Tower, memeriksa kemajuan pembangunan menara tertinggi dengan serius.Lokasi proyek Imera Sky Tower dipenuhi dengan aktivitas sibuk dan suara bising.Mesin-mesin berat seperti crane dan bulldozer bekerja tanpa henti, mengeluarkan deru yang menggelegar. Debu dan pasir terbang di udara, memberikan nuansa kesibukan yang konstan.Pekerja berpakaian pelindung berwarna cerah, seperti helm dan rompi reflektif, bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut bahan bangunan dan peralatan.Tali-temali dan alat berat menempel pada struktur yang sedang dibangun, sementara beberapa bagian menara sudah menjulang tinggi ke langit.Suara perbincangan singkat dan perintah dari supervisor bersaing dengan keributan mesin, menciptakan suasana kerja yang intens dan bersemangat.Di tengah-tengah hiruk-pikuk ini, Ethan berdiri dengan penuh perhatian, memastikan bahwa setiap detail proyek sesuai dengan rencana dan standar yang ditetapkan.Suara mesin
Elara terkesiap. Ia terbelalak kaget, matanya melebar ketika melihat sosok yang baru saja membekapnya.Tangannya refleks meraih tangan yang membekapnya, tapi genggaman itu begitu kuat.Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya tegang.Sosok itu mendekatkan wajahnya ke telinga Elara, berbisik pelan namun tegas."Apa kabar Sayang..."Suara berat dan serak yang begitu dikenalnya membuat degup jantung Elara melambat sejenak, lalu kembali berdebar cepat—kali ini bukan karena kaget, tapi rasa senang.Arion.Ketika tubuhnya diputar oleh tangan kokoh Arion, punggungnya kini menghadap pria itu, dan mereka berdiri berhadapan dengan cermin besar di dalam fitting room.Kilauan gaun haute couture yang dikenakan Elara memantulkan sinar lembut dari lampu gantung, namun semua itu tak lagi menarik perhatiannya.Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu -Arion, yang kini berada begitu dekat, terlalu dekat.Satu ketegangan tebal menggantung di udara.Arion perlahan melepaskan tangannya dari mulut Elara, nam
Ethan Wayne melangkah keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, hampir lupa untuk menutup pintu di belakangnya.Wajahnya tampak gelisah, pikirannya terfokus hanya pada satu hal: Elara.Dia tidak peduli pada sapaan ramah para pegawai butik Rêveuse yang berdiri menyambut di pintu masuk.Mengabaikan tatapan bingung mereka, Ethan langsung berjalan ke area butik yang lebih dalam, menuju ke satu ruangan yang ia yakini tempat Elara berada.Dari dalam ruang kerjanya yang memiliki dinding kaca besar, Edo, manajer butik, melihat seorang pria yang tampak mendekati ruang khusus tersebut dengan cepat.Sesuatu tentang cara pria itu berjalan membuat Edo waspada.Tak butuh waktu lama untuk mengenali bahwa pria ini sepertinya tidak bermaksud berbelanja dan bahkan berjalan menuju ruang khusus yang hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.Tanpa pikir panjang, Edo keluar dari ruangannya dan berlari menghampiri pria itu sebelum ia sempat mencapai pintu ruangan yang dijaga dua pengawal.“Tuan, permisi!”
Pagi yang tenang di kamar mereka.Arion terbangun perlahan, matanya membuka lebar, dan pandangannya jatuh pada sosok Elara yang masih terlelap di sampingnya.Wajah istrinya tampak damai, rambut panjangnya berserakan di atas bantal. Tubuhnya sebagian tertutupi oleh selimut yang melorot hingga menampakkan pundak telanjangnya.Tanpa pikir panjang, Arion mencondongkan tubuh dan menanamkan kecupan lembut di pundak Elara, sebuah gestur penuh cinta yang membuatnya tersenyum samar.Ia turun dari ranjang. Tubuhnya yang telanjang dada, bergerak anggun saat ia mengenakan celana piyama panjang yang tergeletak di lantai.Otot-otot punggungnya bergerak sempurna, kulitnya memantulkan sinar pagi yang menyelinap melalui tirai, membuatnya tampak seperti sosok yang tak terjangkau—gagah, sempurna, dan mendominasi.Arion berjalan ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya, lalu melangkah menuju balkon.Di sana, ia berdiri tegap, mata kelabunya serius menatap layar ponsel.Cahaya matahari pagi me
Elara duduk di balkon luas yang menghadap ke taman megah mansion Arthur Ellworth di Grand Haven.Angin sore bertiup lembut, menyejukkan udara hangat di Sacramento, dan sinar matahari yang mulai redup menciptakan bayang-bayang panjang di atas rerumputan yang terawat sempurna.Di sebelahnya, Lenora Ellworth, ibu mertua yang selalu tampak sempurna dengan penampilannya yang anggun, duduk dengan tenang sambil mengangkat cangkir teh porselen ke bibirnya.Elara menyesap teh di cangkirnya perlahan, berusaha mempertahankan ketenangannya di hadapan Lenora yang terkenal dingin dan sulit ditebak.Awalnya, dia mengira undangan ini hanyalah sebuah ajakan ramah untuk menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga. Namun, semakin lama mereka duduk di sana, Elara merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap sopan Lenora.Matanya yang tajam seolah menilai setiap gerakan Elara, dan suasana di antara mereka terasa semakin tegang."Elara," Lenora akhirnya memecah keheningan dengan suaranya yang rendah
Elara mengambil tas itu dengan sedikit kebingungan, menatap pelayan itu sejenak.Ia bertanya-tanya, mengapa tasnya perlu diamankan?Ini mansion Grand Haven, salah satu tempat paling aman dengan sistem keamanan canggih dan penjagaan ketat.Rasanya tidak ada satu pun orang asing yang bisa masuk tanpa sepengetahuan Lenora atau keluarganya.Namun, Elara memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia tersenyum tipis pada pelayan tersebut, menahan rasa herannya.“Terima kasih,” jawab Elara sambil mengangguk, menerima tasnya.Lenora hanya memandang dengan senyum tipis di sudut bibirnya, matanya masih menatap Elara dengan tajam.Seolah menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari yang tampak.Namun, Elara tak ingin memperpanjang waktu di sana. Dia sudah merasa cukup canggung dengan percakapan mereka sebelumnya, dan kini tasnya yang “diamankan” hanya membuat suasana semakin aneh.“Terima kasih untuk tehnya, Mrs. Ellworth,” kata Elara dengan nada sopan, meski hatinya terasa berat. “Aku pergi
Di sana di sebuah meja kecil, satu sosok pria yang sangat mirip dengan Arion duduk berhadapan dengan wanita cantik itu.Fitur wajahnya—alis tebal rapi, hidung mancung sempurna, rahang tegas, dan mata tajam—mengingatkannya pada Arion, tetapi dengan perbedaan mencolok.Pria itu memiliki jambang lebat yang membuat tampangnya terlihat lebih garang dan seram.Dia mengenakan pakaian kasual yang jauh lebih santai daripada yang biasanya dipakai Arion—sebuah kaos berwarna abu-abu gelap dan celana jeans yang juga berwarna gelap.Wanita yang duduk berseberangan dengan sosok mirip Arion itu tampak serius, seolah terlibat dalam pembicaraan penting.Elara merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.Apakah ini mungkin ada seseorang yang begitu mirip dengan suaminya? Apakah itu saudara atau seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan suaminya?Perasaan curiga dan kekhawatiran mulai menyelimuti pikirannya saat ia terus memandang dari kejauhan.Elara berusaha menenangkan diri, mencoba fokus samb
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu temaram yang memantul dari layar monitor di sudut ruangan.Sosok misterius duduk di balik meja besar, wajahnya sebagian tertutup bayang-bayang, hanya matanya yang bersinar tajam menatap ke arah bawahannya yang berdiri dengan kaku di depan meja.Suasana di ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jam di dinding."Bersiaplah," suara sosok misterius itu memecah keheningan, suaranya dingin dan terkontrol. "Kita akan segera memulainya."Bawahannya, seorang pria dengan wajah penuh tekad, hanya mengangguk dengan hormat, menunggu perintah lebih lanjut.Dia tahu, tidak ada ruang untuk kesalahan dalam misi ini."Rencana yang telah kususun selama bertahun-tahun akhirnya akan terwujud," lanjut sosok misterius itu sambil menyilangkan tangannya di dada."Semua elemen sudah siap. Pengalihan perhatian, manipulasi informasi, dan infiltrasi di berbagai jaringan. Saatnya untuk mulai melancarkan serangan terakhir."Bawahannya tidak berani