Semalaman Elara tidak mampu memejamkan mata --apalagi terlelap.Ia terjebak di ranjang yang sama dengan Arion.Pria itu tertidur saat masih berada di atas tubuh Elara.Setelah mengerahkan semua otot-ototnya untuk menggeser tubuh kokoh Arion, Elara kehabisan tenaga dan kembali terjebak, ketika Arion yang sudah terbaring di sisinya, malah memutar tubuh menyamping dan menaikkan sebelah tangan untuk memeluk pinggang Elara dengan sangat erat.Gadis itu lalu hanya berdiam dengan kaku, seperti sebatang besi yang tergeletak di atas ranjang.Bukan hanya itu, ia juga mengalami mood swing yang sangat cepat berganti.Dadanya yang semula sempat berdebar dan menggelitik, berganti rasa panas yang membuatnya ingin marah. Namun hanya beberapa detik kemudian, ia berdebar lagi.Semua itu terjadi akibat gumaman terakhir Arion sebelum pria itu jatuh tertidur.“Apa nama yang ia sebut, adalah aku?” Elara mendesah. “Ya itu mungkin saja. Ella… Elara… Ya. Itu pasti aku.”Elara melipat bibirnya ke dalam. “Dia me
“Aaggh!!”Elara melonjak kaget. Ia langsung ikut terduduk begitu melihat Arion yang tiba-tiba terbangun dan terduduk dengan napas tersengal hebat.“Rion… ada apa?” Kening Elara mengernyit dalam.Arion mematung.Dadanya naik turun dengan napas pendek-pendek. Ia nyaris tidak berani menoleh setelah mendengar suara Elara.“Rion…?”Arion segera berpaling menghindari tatapan kaget Elara. “Hentikan.” Dadanya bergemuruh hebat.“Apa kau mimpi buruk? Ada apa?” Elara menaikkan tangan untuk menyentuh lengan kokoh pria itu, namun ia tersentak.Arion menepisnya dengan agak kasar.“Keluar.”“Mister Arion--”“Aku bilang, keluar!”Elara mematung dengan kekagetan, seakan terguyur air dingin membekukan. Arion berteriak padanya.Ini baru pertama terjadi.Dengan tersendat, Elara mereguk saliva yang terasa begitu sesak dan sulit ditelan. Tubuhnya sedikit gemetar, saat ia menurunkan kaki dan bergerak pelan me
Remang-remang lampu memenuhi ruang luas suatu bar di San Francisco. Lampu yang menyorot cukup terang hanya terdapat di beberapa sudut di area meja bar.Deretan stool bar itu kosong, hanya terisi satu oleh sosok tinggi dan proporsional yang terlihat duduk dengan kepala menunduk.Ia mengenakan jaket hitam dan kemeja putih di baliknya terlihat kusut.“Here,” (Ini) Satu gelas brandy di dorong ke depan sosok itu oleh bartender wanita sambil menatap lekat ke arahnya.“Kau kembali lagi ke sini setelah baru saja keluar dari sini. Sesuatu benar-benar terjadi rupanya.” Bartender wanita itu berkata sambil mengelap beberapa gelas.Namun sosok yang diajak bicara hanya diam dan terus menunduk.“Setidaknya bicara satu atau dua kata. Aku menutup tempat ini untukmu,” Bartender itu berdecak.“Nanti kubayar.”“Kau tahu bukan itu maksudku.” Kepala sang Bartender menggeleng pelan. “Apa kau butuh everclear*?”Sosok itu tidak menjawab, hanya t
“Apa yang terjadi?” Isabelle bergerak gusar. “Mengapa Arion tidak menjawab telepon ku? Ada apa?” “Bukankah ia bilang ia akan kemari?” Isabelle berjalan ke dekat pintu, lalu kembali ke tengah sambil beberapa kali ia mengecek ponsel di tangannya. “Apa yang terjadi? Apa dia sudah pergi?” Isabelle mengempas tubuhnya di sofa. Namun sebelah kakinya mengetuk-ketuk lantai yang dilapisi karpet tebal itu dengan cukup keras --hampir mengentak. Ia kembali menekan nomor Arion dan melakukan panggilan. Namun setelah menunggu lama, panggilan itu tidak kunjung terhubung. Entah Arion meninggalkan ponselnya, tidak mendengar panggilan masuk darinya, atau mengabaikannya. Mengabaikan? Dirinya? Isabelle mendengkus dan menggeleng cepat. “Jelas tidak mungkin,” ujarnya yakin. “Ia mengaktifkan mode silent. Pasti.” Diliriknya deretan angka di ujung layar. Itu menunjukkan jam dua dini hari. Setelah meniupkan napas dari mulut dan menenangkan diri dengan berbagai pemikiran yang meyakini bahwa Arion akan t
“Hey bangun!” Lelaki berbadan kekar membangunkan rekannya di samping.Ia bersama rekannya tersebut berada di dalam mobil double cabin berwarna hitam.“Huh?” Sang rekan terbangun dan menoleh.“Nona keluar.”“Apa?”“Cepat jalankan mobilnya!”Lelaki yang baru dibangunkan itu mengusap wajah lalu menegakkan tubuh. Dengan sigap ia menyalakan mesin mobil dan melajukannya perlahan.“Nona menggunakan taksi online. Tapi mau kemana?” Lelaki yang berada di belakang kemudi bertanya-tanya.“Sudah ikuti saja,” Rekannya yang duduk di samping, sedikit menyentak. “Kalau terjadi apa-apa pada Nona itu, kita berdua akan digantung Bos.”“Ya, kau benar.” Ia bergidik ngeri membayangkan konsekuensi yang akan mereka berdua hadapi, jika mereka gagal dalam tugas khusus yang diberikan pada mereka oleh Bos Besar mereka.Keduanya jatuh dalam keheningan yang lahir dari ekspresi serius mereka --terpancang ke depan, tepat pada sebuah mobil yang membawa pergi Elara Willow.Sekitar beberapa puluh menit berikutnya, Elara
“Arion besar di sini? Di San Francisco?” Elara mengernyit. Ini adalah informasi baru baginya.“Tidak juga. Karena suatu hal. Ah ya, jadi apakah kau sudah lama menjadi kekasih Arion?” Zhenzhen terlihat tidak ingin membahas itu lebih lanjut dan langsung beralih topik.“Tidak. Belum lama. Hanya beberapa bulan,” jawab Elara.Pikirannya masih tertarik pada kalimat tentang ‘suatu hal’ yang tadi sempat disebutkan Zhenzhen. Namun ia merasa tidak pantas untuk memaksa bertanya lebih jauh.Ia beralih pada Arion, sebelum matanya kembali bersitatap dengan manik hitam Zhenzhen. “Maaf nona Zhen. Aku salah paham tadi.”“It’s ok. Not a big deal,” (Tidak apa. Bukan masalah besar) tukas Zhenzhen masih tersenyum.Wanita itu tampak memang murah senyum. Elara menyukai keramahan Zhenzhen dan suaminya --mungkin itu karakteristik orang Asia, Elara tidak begitu paham, dan hanya merasakan nyaman saat berinteraksi dengan pasangan ini.“Ah, bagaimana aku harus membawanya? Tubuhnya sangat berat…” gumam Elara setel
Kedua langkah Isabelle terhenti.Kepalanya berputar sekeliling, mencari.Sekitar lima menit lalu Isabelle telah tiba di basement --tempat parkirnya mobil-mobil tamu hotel itu.Ia menggunakan akses khusus lift dari suite langsung ke basement, tidak perlu berpindah lift dan tidak bercampur atau berpapasan dengan tamu-tamu hotel lainnya yang tinggal di kamar standar.Isabelle merasa bersyukur telah memesan dua suite yang ada di lantai tempat ia berada. Salah satunya karena alasan kenyamanan dan privasi.Ia tidak ingin satu lantai dengan tamu lain.Suatu pemborosan, namun itu bukanlah masalah bagi seorang Goldwin.Isabelle meneruskan langkahnya dengan mata menyusuri deretan mobil yang terparkir rapi.Pada tiga langkah berikutnya, tiba-tiba satu tangan menarik lengan Isabelle dari belakang.“Akh!!”Tangan lain membekap mulut perempuan itu.Isabelle terengah dengan mata membelalak --kaget, meskipun bisa memperkirakan siapa pelakunya.Benar saja.Sosok yang membekap Isabelle itu menurunkan ke
“Mengakhiri…?”“Ya. Mengakhiri pernikahan aneh kita,” ulang Arion. Kini ia mengarahkan tatapannya pada raut wajah gadis itu.Bibir Elara bergerak, hendak berkata lebih banyak.Namun entah mengapa, ia serasa kehilangan kata.Seharusnya ia bahagia, senang dan lega karena Arion menanyakan tentang ini padanya.Bukankah ini yang diinginkan Elara?Namun, lagi-lagi entah mengapa, Elara tidak lagi terlalu menginginkan pembahasan soal mengakhiri pernikahan mereka.Mungkin ia hanya merasa terlalu sayang pada uang yang seharusnya menjadi miliknya itu. Uang lima ratus ribu dolar kompensasi, lalu uang empat juta sekian --peninggalan mendiang sang ibu.Jika ia setuju mengakhiri pernikahan mereka, bukankah ia harus membayar Arion dan memberikan semua uang itu?Tapi, rasanya itu tidak terlalu seperti itu.“Aku--” Elara meneguk saliva.Tidak ada kata yang keluar dari mulut gadis itu. Dan Arion bisa melihat kebingungan dari