Arion duduk termenung, pandangannya kosong menatap ke arah meja kayu mahoni di depannya.
Di ruangan remang-remang itu, hanya ada bunyi jam dinding yang berdetak pelan, menghitung waktu yang seolah berjalan begitu lambat.
Itu baru selang satu jam sejak pertengkarannya dengan Elara, Arion telah merasa berhari-hari tersiksa.
Pikirannya terus dipenuhi dengan Elara. Ia tak pernah membayangkan bahwa Elara akan tahu siapa dia sebenarnya —pimpinan kelompok dalam dunia hitam yang selalu ingin ia sembunyikan dari Elara.
Entah dari mana Elara mengetahui ini.
"Apakah itu benar? Apa kau… seorang mafia?" kata-kata Elara itu masih terngiang jelas di telinganya. Manik zamrud indahnya yang biasa menatapnya lembut dan hangat, tadi memandangnya dengan tatapan yang berbeda.
Ketakutan, ketidakpercayaan dan amarah bercampur menjadi satu.
Lalu wajah Elara yang penuh airmata dengan sorot amarah dan kekecewaan, membuat Arion semakin tersiksa dan
Elara berdiri di dekat jendela kamar utama suite, matanya memandang kosong ke arah kota yang berkilauan di bawah.Namun pikirannya jauh dari gemerlap cahaya itu.Dia harus menemui Arion, apapun yang terjadi.Dengan langkah tegas, dia berbalik dan menuju ke pintu, namun dua orang pria bersenjata yang berjaga segera menghalangi jalannya."Maaf, Nyonya. Kami diperintahkan untuk menjaga Anda di sini," kata salah satu dari mereka, suaranya tegas namun penuh hormat.Elara menatap mereka dengan dingin. "Aku harus menemui Arion sekarang juga. Singkirkan dirimu dari jalanku."Pria itu menggeleng. "Tuan Arion memerintahkan agar Anda tetap di sini, demi keselamatan Anda."Elara mengerutkan kening, amarah dan ketakutan bergulat dalam dirinya. "Keselamatan? Apa kau pikir aku akan aman di sini sementara sahabatku dan ayahnya dalam bahaya? Kalian tidak mengerti!"Dia melangkah mundur, menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan pisau lipat d
Elara menghirup udara yang terasa amat menyesakkan dan sulit untuk dicerna paru-parunya.Melihat sekeliling bangunan besar namun penuh aura mencekam dan semua orang-orang bersenjata yang berlalu lalang ini, menyadarkan dirinya bahwa ia benar-benar bersuamikan seorang pimpinan kelompok menakutkan di California.Bagaimana selama ini ia tidak mengetahui apa-apa tentang dunia Arion yang ini?Pria itu memang pertama kali dikenal sebagai pria brengsek dan bajingan tampan olehnya, namun seiring kebersamaan mereka, Elara merasakan sesungguhnya Arion adalah pria berhati lembut.Maka kenyataan ini, membuat Elara bagaikan masih berada di alam mimpi dan bukan tengah menghadapi pria yang sama dengan pria yang telah memenjarakan hatinya.Satu anak buah Arion yang membawa Elara hingga ke markas San Jose, membukakan pintu satu ruangan.Berdasarkan perintah Max di telepon sebelumnya, ia diminta membawa Elara ke ruang milik Arion, masih di lantai yang sama dengan ruang komando markas itu.Pintu terbuka,
“Ayah Jeanne telah di eksekusi.” Bagai mendengar petir di siang bolong, Elara membeku dengan wajah sempurna pias. “A-apa?!” Arion tidak langsung menjawab, ia hanya mematung dengan tatapan iris kelabunya yang lurus pada Elara. Itu bergetar, namun Arion terlihat berusaha tetap tenang. Bibir Elara bergetar. “A-apa.. yang kau lakukan?!” “Elara..” “Apa yang sudah kau lakukan?!” Kaki Elara tersurut mundur masuk ke dalam kamar yang memang pintunya telah terbuka. “Ara--” “For God’s sake, Arion!! Kau pembunuh!! Kau membunuh seseorang! Kau pembunuh!!” jerit Elara. Napas wanita bermanik zamrud itu tersengal hebat. “Kau pembunuh! Dan orang itu adalah ayah dari sahabatku!!” Teriakan kalap Elara membuat Arion urung mendekat. Tatapan pria itu begitu kompleks saat ia berujar dingin, “Itu pekerjaannya. Itu resiko yang dia ambil karena bekerja seperti ini. Dia punya pilihan untuk meninggalkan pekerjaan ini, namun dia tidak melakukannya.” “Kalau begitu, mengapa kau juga tidak meninggalkan peke
Ethan terbangun dari tidurnya.Pria tampan bermata biru itu mengusap wajah dengan kasar. Melihat sekilas ke arah jendela, itu masih gelap.Pertanda matahari di hari berikutnya belum menampakkan diri.“Ada apa ini… perasaanku tidak enak lagi.”Ia meraih ponsel di atas nakas dan melihat jam di sana menunjukkan angka tiga. Berikutnya Ethan melihat aplikasi pesan instan-nyaTidak ia temukan pesan baru yang bersifat penting, pun demikian saat ia mengecek kolom pesannya dengan Elara.Pesan yang ia kirimkan sejak siang, masih belum dibaca wanita cantik tersebut.Ethan hanya menanyakan apakah Elara kembali dengan selamat. Sejak Elara keluar dan pergi dari hotel tempat Ethan menginap, wanita itu belum memberikan kabar apa pun dan itu sedikit membuat Ethan merasa khawatir.Ia juga melakukan pengecekan terhadap pembaharuan status, tidak ada yang aneh. Pria tampan bermata biru itu hanya mengernyitkan kening, saat melihat status Dianne yang tampaknya sedang berada di klub malam.Pria itu mengembus
Suasana di Fuggan’s Serra Funeral Home, sebuah rumah duka di California, terasa sunyi dan penuh kemuraman.Aroma bunga yang menyengat memenuhi ruangan. Di tengah ruangan, peti mati yang menampung jasad Phil Stewart dikelilingi oleh rangkaian bunga putih.Beberapa tamu duduk hening, menundukkan kepala mereka dalam penghormatan terakhir.Namun, suasana sedikit canggung dan tegang terjadi di dalam sebuah ruangan tertutup, tempat Elara dan Jeanne berbicara empat mata.Jeanne duduk di ujung sofa, wajahnya pucat dan matanya sembab. Dia menatap Elara dengan tatapan yang penuh rasa bersalah.Elara berdiri, menatap keluar jendela, berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak."Aku tidak tahu harus mulai dari mana, El," suara Jeanne bergetar, hampir tak terdengar.Elara menarik napas dalam, lalu berbalik menatap Jeanne. "Mulailah dari awal, J. Aku ingin tahu semuanya."Jeanne menundukkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku... aku minta maaf, El. Selama ini aku telah membohongimu. Ak
Sementara sosok bertubuh tinggi dan kekar itu berjalan lurus menuju Nyonya Stewart, tiga orang di belakangnya terlihat mengambil tempat di kursi yang kosong dengan tatapan waspada.“Mrs Stewart,” sapa pria tinggi kekar bersetelan formal itu sambil mengangguk sopan. Ia terlihat melirik sekilas pada Elara, lalu kembali pada Nyonya Stewart.“Aku diutus pimpinan tempat Mr. Stewart bekerja untuk menyampaikan belasungkawa kami.”“Pimpinan?” Nyonya Stewart terlihat linglung.Sosok itu mengeluarkan satu amplop dari saku di dalam jas dan memberikannya pada Nyonya Stewart.“Aku menyampaikan titipan dari pimpinan kami. Mr. Stewart bekerja dengan baik selama ini, kami kehilangan salah satu pegawai yang loyal dan berdedikasi seperti Mr. Stewart,” ujar sosok itu lagi.Nyonya Stewart tidak mampu berkata-kata dan menerima amplop dari tangan sosok tersebut.“Sekali lagi, turut berduka atas kehilang
Pintu besar di ujung ruangan terdengar membuka. Suara langkah pelan tapi tegas terdengar mendekat. Itu adalah seorang pria.Cahaya dari lampu di luar ruangan menyinari siluetnya yang tinggi dan berwibawa.Wajahnya tampan, namun begitu dingin, seolah-olah seluruh perasaan telah terhapus dari jiwanya. Iris matanya yang berwarna kelabu, seperti badai yang mengancam di tengah lautan.Isabelle, yang biasanya begitu arogan dan percaya diri, merasakan keterkejutan. Rasa takutnya berubah penuh harapan saat ia berseru lantang, “Arion! Syukurlah kau datang! Mereka penjahat! Tolong bebaskan aku! Hukum mereka seberat-beratnya!”Arion menatap Isabelle dengan tatapan yang lebih dingin dari es di musim dingin. Hatinya tak lagi mampu merasakan apa-apa selain kebencian yang mendalam pada wanita yang pernah dianggapnya sebagai seseorang yang harus ia lindungi.Melihat tatapan membekukan dan menusuk itu, Isabelle seketika terbungkam. Hatinya diliputi dengan rasa cemas yang menjalar cepat di dalam diriny
Isabelle tetap terbaring di lantai, menangis dengan tubuh yang lemah dengan tatapan nanar mengarah pada pintu di mana Arion menghilang di baliknya.Keadaan yang ia ciptakan sendiri akhirnya menjeratnya dalam keputusasaan yang tak terhindarkan.Di belakangnya, Byron hanya tersenyum tipis, menikmati kekalahan wanita yang pernah menjadi sekutu juga teman bercinta-nya.Isabelle merasakan jantungnya seakan berhenti ketika pintu ruangan terbuka perlahan.Sekelebat harapan tiba-tiba muncul kembali.Arion mungkin berubah pikiran dan memaafkan dirinya. Tentu saja! Bagaimana pun selama dua tahun ini Arion selalu lemah dan bersikap lunak padanya, kan?Arion pasti tidak tega, kan?Namun harapan itu hancur berkeping saat ia melihat tiga lelaki muncul dari balik pintu.“Whoa! Byron! Kau mendapatkan wanita cantik ini untuk kita semua?” seru salah satu dari tiga lelaki tersebut.Wajah-wajahnya terlihat lapar dengan tatapan mesum memindai Isabelle dari atas hingga ke bawah.Isabelle membeku di tempat,
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e