Mentari masih bersandar sambil melihat ke arah pintu. Dia tidak habis pikir ada wanita seperti Mami jahat itu."Wanita gila. Tuhan di pihaknya dia bilang? Mana mungkin Tuhan setuju dengan perbuatan laknat yang dia lakukan selama ini. Tuhan saja terlalu sabar. Kita lihat, aku pasti bisa lolos lagi. Entah bagaimana, tapi harus!" kata Mentari dengan rasa hati yang campur aduk. Mentari melihat ke sekeliling ruangan. Lampu di kamar sempit dan kotor itu redup, tidak terang. Memang ruangan sedikit lebih besar dari gudang tempat Mentari tinggal di mal. Tetapi karena ada barang-barang yang tidak ditata rapi, ditaruh sembarangan jadi terkesan ruangan itu penuh. Mentari bangun dan menuju pintu. Dia tahu pintu pasti dikunci dari luar, tapi tetap saja Mentari mencoba membukanya. Dan tidak terbuka. Mentari berbalik melihat lagi seluruh ruangan. Kalau dia harus disekap sampai berhari-hari di situ, bisa runyam. Ruangan kotor dan pengap. Dia harus mengatur bagaimana dia bisa duduk dan berbaring deng
Leon memandang kedua orang tuanya juga adiknya yang merasa heran melihat Leon muncul dengan aura kegelisahan yang besar. "Apa yang terjadi?" Horacio tidak sabar. Dia mengambil tempat dan duduk di samping Leon. Asterita dan Lusia pun mengambil tempat mereka. Berempat mereka duduk bersama. Dan ini sudah jarang terjadi. "Aku minta maaf, Pa. Aku mengalami situasi yang berat." Leon memulai dengan hati tidak nyaman, tapi harus dia ungkapkan. "Soal pekerjaan kamu?" Horacio menatap serius putra sulungnya. "Tidak. Ini masalah pribadi, tapi aku akan terkuras di sana," jawab Leon. "Jangan bilang kamu putus cinta lagi, padahal pacar baru kamu aku belum tahu yang mana," sahut Lusia. Gadis dengan rambut coklat terang itu memang ceplas-ceplos. "Leon, apa adikmu benar?" Asterita seketika menatap tajam putranya. Dia tidak akan lupa, Leon mengatakan dia punya kekasih, tapi belum juga sama sekali dia tunjukkan siapa kekasihnya. Sementara dia dengan tegas menolak Retha. Leon menghela napas. Dia me
"Bagaimana bisa kamu tertangkap lagi? Kamu di mana selama ini?" Irma memandang Mentari, menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Panjang ceritanya. Aku benar-benar sial, Mbak. Aku kerja di laundry. Siapa yang mengira salah satu pelanggan laundry itu kerja di sini. Namanya Jalal." Mentari menjawab dengan wajah kuyu, tapi ada semangat di sana. "Ah, dia belum lama di sini. Tapi emang itu orang resek. Aku juga ga suka sama Pak Jalal. Hm, kebetulan yang tidak seru sama sekali." Irma menggeleng keras. "Mbak, aku harus keluar. Aku ga mau di sini. Mbak Irma bisa bantu aku?" Mentari memegang kedua tangan Irma dan memohon. "Tari, ini ga mudah. Ini berat. Kamu tahu situasi yang kuhadapi seperti apa di sini." Irma memandang dengan cemas mulai muncul di wajahnya. "Mbak, aku ketemu pria baik yang sayang aku. Dia pasti sedang bingung mencariku. Bisakah Mbak Irma menghubungi dia?" Mentari membujuk Irma. "Kamu punya pacar?" Irma lagi-lagi terkejut. "Iya, Mbak. Please, bantu aku," ujar Menta
Tatapan Mentari membuat Irma tersentak. Dia sadar Mentari tersinggung. "Aduh, maaf, aku ga ada maksud ..." "Nanti aku ceritakan kalau waktunya tepat," Mentari menyela. Dia juga tidak seharusnya merasa aneh atau kesal pada Irma. Irma kembali melihat ke ponsel. Dia lihat foto profil Leon. Matanya melebar dan bibirnya melotot. Pemuda tampan berbentuk bule keren yang terpampang di sana. "Ini beneran pacar kamu?" Irma makin tidak percaya saja rasanya. "Mbak Irma kirim pesan saja. Tuliskan, Mbak Irma tahu aku di mana." Mentari mengatakan itu agar segera Irma menghubungi Leon dan juga sebagai bukti Mentari tidak berdusta. "Oke, oke," sahut Irma. Dengan cepat tangannya mengirimkan pesan di nomor Leon. - Halo, Leon. Aku tahu di mana Mentari. Pesan pendek itu terkirim. Mentari memperhatikan Irma. Irma menunjukkan pesan yang dia kirimkan. Benar saja dengan cepat Leon mengirim pesan balasan. - Siapa ini? Buktikan jika benar kamu tahu di mana Mentari. Mata Irma melebar. Mentari tidak berd
"Zaman sekarang, Leon. Gambar di ponsel gini, profil, terlalu banyak yang bukan dirinya dipasang. Lu lugu juga dalam hal ini." Baharudin menggeleng pingin tertawa dengan ucapan Leon. "Ah, kenapa gue lemot sekali? Beruntung gue punya lu, Din. Kita segera jalan aja mencari Mentari di mana sambil gue terus kontak itu cewek." Leon memutuskan. "Boleh gue ketemu Lila bentar?" Baharudin mengalihkan percakapan. "Hei, gue sampai lupa urusan lu ame Lila. Gimana jadinya?" Leon bertanya dengan muka serius lagi. "Sejauh ini aman. Mama seneng banget sama Lila. Gue ga nyangka Lila bisa gitu baik sama Mama. Mama bilang gue udah dapat yang cocok buat gue." Tatapan nanar Baharudin tampak dari sorotan matanya. "Really? Kalau gitu bagus, dong!" Leon menaikkan kedua alisnya cukup kaget mendengar itu. "Jangan aneh-aneh. Lila jelas bukan tipe aku, Leon." Baharudin mengerutkan keningnya. Kaget juga itu respon sahabatnya. "Ga usah idealis. Yang penting bisa bikin kita happy dan punya tujuan jelas dalam
Leon menajamkan pendengaran. Dia mau yakin itu adalah Mentari kekasih hatinya. "Aku di gudang. Tapi aku baik-baik. Sejauh ini Mami ga maksa aku untuk dibawa om-om. Dia kasih aku waktu nurut atau aku akan dicelakai." Mentari langsung mengabarkan situasinya. "Oh, oke. Aku akan cari cara membawa kamu keluar dari sana." Leon menjawab cepat dengan cemas masih jelas terasa. "Mas, hati-hati. Mami ga akan lepaskan aku karena udah merugikan dia banyak. Jadi aku harus menebus kerugian Mami baru dia lepaskan aku." Mentari menambahkan. "Oke. Aku catat. Apalagi?" Leon minta Mentari meneruskan lagi informasi yang harus dia tahu. "Mas, aku mau bantu, ya?" Suara lain yang terdengar. Leon yakin itu wanita yang mengirim pesan padanya. "Mpok, nama lu sapa? Gue mau bilang makasih udah bantu kasih kabar pacarku di mana." Leon tidak melupakan kesempatan itu. "Idih, pacar Mentari ini bule tapi lu guenya kentel. Ajaib!" Suara Irma nyaring keheranan dengan cara Leon bicara. "Mpok, boleh ganti video? Gu
Baharudin yang ada di samping Leon merasa panas dingin. Kira-kira boleh masuk atau tidak? Kalau ya, di dalam apa lagi yang akan terjadi? "Sebentar, Pak, saya hubungi Mami Mirina." Sekuriti itu berbalik dan masuk ke pos. Leon dan Baharudin memperhatikan. Pria tinggi dan gagah dengan badan tegap itu tampak sibuk menelpon. "Gila, Man. Beneran ketat. Ini kayak mau masuk istana negara aja." Baharudin menggeleng-geleng. Beberapa menit baru pria itu kembali. Tatapannya tajam dan tampak tidak seramah sebelumnya. Jangan sampai Leon dan Baharudin ditolak. "Mami Mirina merasa tidak ada janji dengan Bapak-bapak dan tidak mengenal Bapak berdua." Pria itu memandang Leon dan Baharudin. "Pak, bisa aku langsung bicara dengan Mami Mirina?" Leon langsung menyahut. Dia tidak boleh datang dan sia-sia. "Begini, Mami ijinkan kali ini. Tetapi dia tidak senang. Kalau Bapak-bapak tidak bisa membawa berita baik, maaf, lain kali tidak akan diterima." Pesan itu rupanya yang disampaikan Mami kepada sekuriti
Leon dan Baharudin bergidik mendengar yang dikatakan Mami Mirina. Mereka bukan pria muda yang terlalu polos dan lugu. Mereka juga bukan playboy yang gila-gilaan ganti pasangan. Tetapi, mereka terbiasa dengan dunia malam. Tidak jarang mereka pergi ke club menghabiskan waktu dengan teman-teman sejak masa kuliah. Jadi mereka cukup tahu juga soal bisnis urusan bagian vital pria dan wanita. Hanya, yang tidak pernah mereka bayangkan, kali itu mereka menghadapi mucikari kelas kakap, wanita cantik, menarik, dan tampak cerdas, tetapi pekerjaannya memperalat wanita lainnya demi duit dan kemewahan semata. "Tawaran yang menarik, kurasa." Leon merasa dadanya berdetak begitu kencang. Apa mungkin dia minta Mentari yang dibawa keluar? Bagaimana caranya? "Melihat kalian masih belia, aku bisa yakin pertama kali kalian datang ke rumah istimewa seperti ini. Aku bisa memperkirakan wanita seperti apa yang kalian inginkan." Mami Mirina mengerling dan mencermati kedua pria muda di depannya. "Aku percaya,