Kembali dari pertemuan itu, Bang Ucok langsung ke ruangannya. Dia tidak melakukan apa-apa selain menatap layar laptop. Di kepalanya dia masih terus bertanya apa yang baru saja terjadi dan siapa Narendra sesungguhnya.
Sudah lama dia menyimpan kecurigaan terhadap tetangganya. Bukan kecurigaan kalau tetangganya itu jahat atau sebagainya, tetapi Bang Ucok curiga kalau tetangganya itu tidak menceritakan tentang latar belakangnya dengan jujur.
Beberapa kali dia menemukan kejanggalan. Seperti cara berbicara, cara bersikap dan hal lainnya. Pria itu memiliki postuh tubuh sempurna seakan dia dibesarkan dalam lingkungan elegan dan berjelas. Ketidaktauannya mengenai makanan dan beberapa jal umum juga aneh. Mana mungkin ada orang yang tidak tahu bentuk martabak manis?!
Dia sudah pernah bertanya tetapi Narendra selalu memiliki jawaban atau mengalihkan pembicaraan dengan pintar. Bang Ucok juga tidak bisa memaksa karena dia tidak memiliki bukti kuat untuk memaksanya mengaku.
“Bang,” tiba-tiba Amelia sudah berdiri di samping Bang Ucok yang sedang menunggu lift, “Mau pulang?”“Iya. Mau ke mananya lagi aku?” Bang Ucok tertawa untuk menutupi salah tingkahnya.“Temenin aku belanja sebentar, dong,” Amelia memamerkan senyumannya.“HE? Mau belanja apa kau?”Bang Ucok tidak pernah menduga ajakan ini. Dia memang dapat dikatakan dekat dengan Amelia. Gadis itu sering bercerita tentang keluarganya, sesekali mereka juga keluar untuk makan sepulang kerja tetapi tidak pernah hanya berdua.Hari ini benar-benar aneh. Mulai dari panggilan tetapi meeting mendadak dibatalkan kemudian Amelia yang memasakkan makan siang dan sekarang… ini. Ada apa sebenarnya? Dia merasa seseorang sedang mengisenginya. Tentu itu tidak mungkin, bukan?“Belanja barang dapur sama shampoo gitu-gitu. Mau, ya? Nggak lama, kok.”Bang Ucok mengangguk, “Ya udah,
“Bang, tumben malam pulangnya? Aku tunggu dari tadi mau ajak beli sate di depan,” Narendra sedang bersantai di teras kontrakan petaknya bersama Badi yang sibuk berlatih gitar.Sejak beberapa hari yang lalu, Badi seperti tergila-gila pada gitar. Setiap ada waktu luang, dia selalu sibuk berlatih. Tidak peduli walau yang lain merasa terganggu karena kemampuannya yang masih di bawah rata-rata.“Biasanya aku pulang jam segini,” Bang Ucok berbelok ke kontrakan petak Narendra, “Biasanya juga aku pulang jam segini. Lupanya aku sering lembur?”“Benar juga,” Narendra memperbaiki duduk, memberikan ruang bagi Bang Ucok, “Sudah makan malam, Bang?”Bang Ucok mengangguk, “Udah. Tadi sama teman. Sekalian belanja bulanan. Kau lihat ini belanjaanku.”“Borong, Bang?” Badi yang bertanya, “Ada camilan nggak? Laper banget. Dari tadi nungguin Bang Ucok pulang.”“K
Narendra menguap bosan. Hari baru menjelang pukul sepuluh dan dia sudah menyelesaikan pekerjaan yang dikirimkan oleh Abimana. Tangan kanannya itu masih berisik memintanya untuk datang ke kantor tetapi tidak diacuhkan olehnya. Malas, tidak ada yang penting di kantor.Tidak tahu harus melakukan apa, dia membuka YouTube kemudian memilih untuk menonton video-video kucing. Melihat kelakukan lucu hewan kecil itu selalu berhasil membuatnya merasa hangat walau tidak berhasil mengusir rasa bosannya.“Bos, hari ini ada rencana apa?” Tanpa mengetuk, Badi masuk ke kontrakan petak Narendra.“Nggak ada,” Narendra fokus menatap langit-langit, “Aku nggak tahu mau ngapain. Bosan.”“Gimana kalau kita cobain makanan yang belum pernah Bos coba? Atau…hm, ngelakuin apa yang belum pernah Bos lakuin gitu?”“Apa? Ngelakuin apa?” Saat ini Narendra tidak ada bedanya dengan anak kecil yang merengek kebosanan.
“Hai, Agnia,” Narendra menyapa sambil tersenyum konyol, “Baru bangun?”Gadis itu mengangguk. Tanpa berucap sepatah kata pun, dia masuk dan menduduki sofa kosong.“Suntuk banget? Sudah sarapan?”“Belum,” gadis itu menatap ujung jari kakinya.“Mau aku buatin?”Setelah sebulan lebih menghuni kontrakan petak, Narendra akhirnya berhasil membuat roti bakar, telur orak-arik dan tomat yang dipanggang dengan menggunakan wajan anti lengket. Sejak itu dia sering membuat hidangan itu untuk sarapan. Agnia sudah pernah mencicipnya dan dia menyukai masakan pria itu.Agnia menggeleng dengan lesu.“Kamu kenapa, hm?” Narendra mengubah posisi duduk kemudian memperhatikan Agnia yang masih diam sambil menatap ujung jari kakinya.“Aku buatin sarapan. Selesai makan baru cerita, ya? Mau?”Gadis itu bergeming.Narendra tidak menunggu jawaban Agnia. D
“Kosong dia. Tadi aja ngeluh bosan,” Badi tersenyum konyol ketika melihat majikannya merangkul Agnia.“Iya. Tidak ada rencana apa-apa.”“Hm,” Agnia bergumam tidak jelas, “Tapi aku nggak enak nyusahin kamu terus.”“Sejak kapan kamu nyusahin aku?” Narendra mengusap pundak gadis itu dengan lembut, “Kamu nggak pernah nyusahin aku atau Badi atau Bang Ucok.”“Iya?” Gadis itu bertanya ragu.“Kamu yang bilang kalau tetangga harus saling bantu.”“Lebih dari tetangga kalau buat Narendra,” Badi meletakkan gitar di sudut ruangan, “Jadi kamu tenang aja. Mau kamu rusuhin kayak apa juga anaknya ikhlas aja.”Sementara Narendra berusaha terlihat tenang dan tidak terganggu dengan ucapan bodyguard-nya, Agnia menanggapi ucapan itu dengan serius.“Beneran, Ndra? Nggak apa kalau aku gangguin?”“Kap
“Bu,” Agnia berjongkok di samping kuburan ibunya, “Nia kangen. Kangeeen sekali.”Narendra berdiri di samping gadis itu. Dia tidak tahu harus melakukan atau berucap apa. Pria itu juga tidak ingin menganggu momen pribadi Agnia dan ibunya. Rasanya yang terbaik adalah berdiam dan memberi ruang seluas mungkin untuk gadis itu.“Aduh, Neng, kok, duduk di bawah,” seorang ibu-ibu paruh baya yang sepertinya pemilik kios bunga yang ada di dekat makan ibunya Agnia menghampiri mereka dengan membawa dua bangku plastik, “Ini, lho, duduk di sini aja.”“Terima kasih,” Narendra menjawab sambil menerima kursi pemberian penjual itu dan meletakan salah satunya di dekat Agnia agar gadis itu dapat duduk.“Udah lama Ibu nggak lihat Neng nggak jenguk ibunya. Sibuk banget, ya, Neng?”“Iya,” Agnia tersenyum, “Kapan itu saya datang juga Ibu lagi tutup.”“Oalaah. Iya, N
“Lihat laut itu bikin tenang, ya.”***Selesai dari makam, mereka langsung makan siang. Agnia mengajak Narendra untuk menjajal gado-gado di salah satu warung langganannya. Gadis itu terbahak ketika Narendra bersikeras kalau gado-gado adalah salad dengan dressing saus kacang. Dia tidak terima jika salah satu makan kesukaannya disamakan dengan salad yang tidak ada rasanya itu.Mereka tidak langsung kembali ke kontrakan petak. Narendra memenuhi keinginan Agnia untuk berkeliling. Selama beberapa jam pria itu mengendarai motor tanpa tujuan. Dia menyesal membawa motor, seharusnya dia meminjam salah satu mobil operasional kantor agar gadis itu nyaman sepanjang perjalanan. Tetapi khawatiran itu tidak beralasan karena Agnia sama sekali tidak mengeluh atau terlihat tidak nyaman.Entah bagaimana, perjalanan tanpa tujuan membuat mereka berakhir di pantai. Segera setelah Narendra memarkirkan motor, Agnia berlari menuju pantai seperti anak ke
Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Yang Narendra tahu langit yang tadi biru dengan selarik jingga sudah berubah membara dan sebentar lagi gelap. Tetapi Narendra tidak peduli. Seberapa banyak pun waktu yang dibutuhkan Agnia hingga dia puas menghabiskan air matanya, dia akan menunggu dan meminjamkan dadanya. “Maaf, aku nggak tahu kenapa hari iani aku cengeng banget.” “Tidak perlu minta maaf,” Narendra mengusap rambut Agnia, “Kalau kamu memang ingin nangis, ya, nangis sampai puas.” Agnia tertawa kecil di sela tangisannya. Dia melepaskan diri dari pelukan Narendra kemudian mengusap wajahnya dengan tisu yang diambilnya dari tas. Gadis itu membutuhkan waktu beberapa saat hingga tangisnya benar-benar berhenti. “Dari lahir sampai sekarang aku nggak pernah tahu siapa ayahku,” suaranya masih terdengar parau, “Aku nggak pernah tanya juga sama Ibu.” “Maksudku…aku nggak pernah ngerasa hidupku ada yang kurang. Aku juga nggak pernah tahu kenapa dul