“Bang Ucok udah bangun, Dra?” Agnia langsung menyambut Narendra dengan pertanyaan.
Ketika Narendra masuk ke kontrakan petak tetangganya itu, Agnia dan Amelia terlihat sedang berbincang hangat. Jika dia tidak tahu kalau mereka baru berkenalan beberapa saat lalu, Narendra pasti akan menganggap mereka dua orang yang sudah kenal lama. Hangat dan tanpa jarak.
“Udah,” Narendra duduk di samping Agnia, “Kalian lagi ngobrolin apa?”
“Ini, Amelia lagi cerita waktu dia pertama kali jadi bawahan Bang Ucok. Masa dia katanya takut karena Bang Ucok, kan, gede gitu, ya?” Tawa Agnia terdengar renyah.
“Jangankan Amelia, aku waktu pertama kali lihat Bang Ucok juga takut.”
Tanpa berpikir, seakan itu sudah menjadi kebiasaan, pria itu memeluk pinggang Agnia kemudian meletakkan dagunya di bahu Agnia. Begitu intim dan nyaman.
“Iya, kan?!” Amelia ikut tertawa, “Tapi nggak lama aku tahu kala
“Gimana? Kita ikutin?” Agnia bertanya tidak lama setelah Bang Ucok dan Amelia berangkat.Setelah memastikan kalau Amelia tidak keberatan mereka berjalan kaki menuju tempat yang Bang Ucok sewa untuk memarkirkan mobil, kedua orang itu berpamitan. Bang Ucok ingin segera menjauhi gadis yang dicintainya dari tetangga kontrakannya. Dia takut Agnia dan Badi bercerita hal-hal aneh tentang dia.“Biarin ajalah,” Badi menjawab sambil menghabiskan bubur ayam yang dibelikan oleh majikannya, “Lagian kalau kita ikutin memangnya mau diapain?”“Bener juga,” Agnia bersandar nyaman ke Narendra, “Tapi aku penasaraaan! Mereka berdua itu ngegemesin banget, tahu! Dua-duanya kayak saling naksir tapi sama-sama nggak peka!”“Tapi Badi benar. Kalau kita ikuti terus mau apa?” Narendra memainkan rambut wanita dalam pelukannya.“Yaa…ikutin aja! Ngelihatin mereka ngapain,” Agnia tertawa ke
Badi menarik napas panjang sambil berusaha merapikan kaosnya yang sama sekali tidak kusut. Dia melakukan itu hanya untuk menenangkan dirinya. Dia sudah berdiri di depan rumah sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Antari.Rumah itu terlihat asri dengan tanaman yang menghias teras rumah. Ramai dengan kicauan burung dalam sangkar yang tergantung di teras rumah. Seorang pria paruh baya yang mengenakan sarung dan kaos dalam putih terlihat repot memindahkan beberapa tanaman ke pot baru.“Permisi, Pak,” Badi tersenyum sambil menyapa ramah, “Benar ini rumahnya Tari?”“Tari siapa, ya?” Pria paruh baya itu mengibaskan tangan penuh tanah sebelum berjalan mendekati pagar.“Antari,” dia masih memamerkan senyuman, “Saya temannya Antari.”“Oalah, temennya Antari,” pria itu tertawa, “Saya kira Tari siapa, tari-tarian atau apa,”Badi berusaha tertawa walau lelucon itu jauh
“Aku minta maaf,” Antara berujar dengan tulus, “Ayah memang kadang-kadang suka kelewatan. Makanya aku malas kalau ada temen cowok ke rumah.”“Ngga…”“Eh, bukan berarti teman cowok aku banyak, ya!” Kembali dia berucap cepat sebelum terjadi kesalahpahaman antara dia dan Badi.Badi yang sedang menyetir mobil tertawa kecil, “Iya, nggak apa-apa Tari, Aku ngerti.”“Beneran?”“Jangankan ayah kamu, aku ke temen cowok adik aku juga bakalan gitu,” dia menoleh sambil tersenyum lembut, “Lagian ayah kamu juga nggak yang gimana. Aku cukup suka dengan beliau.”“Suka?” Antari terdengar tertarik.“Iya. Ayah kamu lucu. Walau kadang aku nggak paham juga sama joke bapak-bapaknya, sih.”Antari tertawa, “Itu efek join WAG, deh. Emak aja kadang sampai kesel dengar joke garing gitu terus-terusa
Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, akhirnya Badi dan Antari memasuki kawasan Kota Tua. Bangunan modern yang tinggi sudah berganti dengan bangunan dengan arsitektur kolonial yang khas. Pengunjung terlihat berlalu lalang bercampur dengan penduduk setempat. Bagi Badi yang baru pertama kali berkunjung, kawasan ini terlihat menyenangkan.“Kita ambil kiri, terus nanti di ujung jalan restorannya. Tapi kita nggak bisa parkir di situ, cari di ruko sebelumnya aja.”“Oke,” Badi mengikuti arahan Antari dan dengan awas mencari lahan parkir kosong yang dapat mereka gunakan, “Di sini aja, ya?”Antari melihat lahan parkir yang ditunjuk oleh Badi sebelum menganggukkan kepala, “Boleh. Nggak jauh juga nanti kita jalannya.”Setelah mendapatkan persetujuan, Badi langsung memarkirkan kendaraannya dengan rapi dalam waktu singkat. Dia memastikan posisi mobil sebelum akhirnya mematikan mesin dan membuka seal bel
“Kita kecepatan. Yang lain belum pada pulang,” dengan riang Agnia turun dari motor dan membukakan pagar untuk narendra masuk.“Paling sebentar lagi mereka pulang,” Narendra memarkirkan motor di depan kontrakan petaknya.“Harus! Atau croffle ini bakal aku habisin,” Agnia tertawa sambil mengambil kresek yang tergantung di bagian depan motor tetangganya.“Jangan lupa belanjaan kamu,” dia membuka jok motor dan mengeluarkan paper bag cokelat yang sedikit lecek, “Alat lukis.”“Hampir aja lupa!” Dia menerima paper bag itu sambil tersenyum lebar, “Kanvasnya besok aku beli pulang kerja.”“Kenapa tadi tidak sekalian?” Narendra membuka pintu kontrakan petak setelah mengunci kembali jok motornya.“Gimana bawanya? Lagian tadi habis aku belanja kita masih mau nongkrong, kan? Mana enak kalau bawa-bawa kanvas gede.”“Mem
“Jadi,” Bang Ucok mengambil sepotong kecil croffle.Tidak lama setelah Narendra bertanya pertemuan pertama pria itu dengan Amelia, Agnia datang dengan penampilan yang lebih segar. Tidak membutuhkan waktu lama bagi gadis itu untuk bergabung dengan pembicaraan tiga tetangganya. Dia juga sama penasarannya dengan Narendra dan Badi terkait kisah pertemuan Bang Ucok dengan Amelia.“Sekali aja ini kuceritakan. Nanti jangan tanya-tanya lagi kalian!”“Iya, Bang,” serempak mereka bertiga menjawab.“Dengar baik-baik, ya?”“Iya, Bang,” lagi mereka kompak menjawab seperti paduan suara.“Bagus, pokoknya…”“Buruan, Bang! Aku beneran penasaran ini!” Agnia memotong ucapan Bang Ucok sambil menatap kesal.***“Bang Ucok,” sesorang menyusulnya ke lift ketika dia baru sampai di gedung utama Bank Menara, “Ada pesan dari HRD, katanya Ab
“Macam mananya ini,” Bang Ucok bertanya sambil mencuci muka selesai sikat gigi. Sudah sejak setengah jam yang lalu dia kembali dari kontrakan petak Narendra. Setelah menghabiskan croffle yang dibelikan oleh tetangganya itu dan membantu membereskan bekas makanan, dia segera kembali ke kontrakan petaknya. Bukan tanpa alasan. Godaan dan candaan yang dilontarkan oleh ketiga tetangganya itu membuat kepalanya penuh dengan pertanyaan. Sekuat apapun dia ingin mengusirnya, pertanyaan itu selalu kembali lagi. Benarkah Amelia memiliki perasaan yang sama? Haruskah mengungkapkan perasaan? Bagaimana jika hubungan yang sekarang dimiliki berakhir berantakan? Mampukah dia kehilangan Amelia jika gadis itu menolaknya? “AAARRGHH!” Dia berteriak tertahan karena frustasi. Sejujurnya, dia bukannya tidak peka. Dia tahu kalau Amelia juga memberikan perhatian kepadanya. Bukan sekali dua kali gadis itu seakan
Narendra bangun sangat pagi. Semalaman dia nyaris tidak bisa tidur. Pria itu terlalu bersemangat karena hari ini akhirnya pelatihan kerjanya akan dimulai. Dia sama sekali tidak memiliki bayangan apa yang akan terjadi hari ini. Meski begitu dia tidak sabar untuk menjajal pelatihan dan merasakan pengalaman menjadi orang biasa seutuhnya.“Kenapa harus pakai kemeja putih dan celana hitam coba?” Dia mengeluh sambil mengambil kemeja dan celana yang sudah disiapkan kemarin.Sejujurnya dia tidak ada masalah dengan perpaduan pakaian itu. Pria itu bermasalah karena dia terpaksa menggunakan pakaian yang tidak biasa dikenakannya. Walau bukan kemeja dan celana murah di pasar kaget, kali ini merupakan pakaian yang dia beli di salah satu outlet di ITC, tetap saja tidak senyaman pakaian yang biasa dikenakannya. Menyebalkan.Setelah memastikan pakaiannya rapi tanpa kerutan berarti, dia keluar dari kamar dengan membawa jaket. Tepat ketika dia menyampirkan jaket di kur