Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, akhirnya Badi dan Antari memasuki kawasan Kota Tua. Bangunan modern yang tinggi sudah berganti dengan bangunan dengan arsitektur kolonial yang khas. Pengunjung terlihat berlalu lalang bercampur dengan penduduk setempat. Bagi Badi yang baru pertama kali berkunjung, kawasan ini terlihat menyenangkan.
“Kita ambil kiri, terus nanti di ujung jalan restorannya. Tapi kita nggak bisa parkir di situ, cari di ruko sebelumnya aja.”
“Oke,” Badi mengikuti arahan Antari dan dengan awas mencari lahan parkir kosong yang dapat mereka gunakan, “Di sini aja, ya?”
Antari melihat lahan parkir yang ditunjuk oleh Badi sebelum menganggukkan kepala, “Boleh. Nggak jauh juga nanti kita jalannya.”
Setelah mendapatkan persetujuan, Badi langsung memarkirkan kendaraannya dengan rapi dalam waktu singkat. Dia memastikan posisi mobil sebelum akhirnya mematikan mesin dan membuka seal bel
“Kita kecepatan. Yang lain belum pada pulang,” dengan riang Agnia turun dari motor dan membukakan pagar untuk narendra masuk.“Paling sebentar lagi mereka pulang,” Narendra memarkirkan motor di depan kontrakan petaknya.“Harus! Atau croffle ini bakal aku habisin,” Agnia tertawa sambil mengambil kresek yang tergantung di bagian depan motor tetangganya.“Jangan lupa belanjaan kamu,” dia membuka jok motor dan mengeluarkan paper bag cokelat yang sedikit lecek, “Alat lukis.”“Hampir aja lupa!” Dia menerima paper bag itu sambil tersenyum lebar, “Kanvasnya besok aku beli pulang kerja.”“Kenapa tadi tidak sekalian?” Narendra membuka pintu kontrakan petak setelah mengunci kembali jok motornya.“Gimana bawanya? Lagian tadi habis aku belanja kita masih mau nongkrong, kan? Mana enak kalau bawa-bawa kanvas gede.”“Mem
“Jadi,” Bang Ucok mengambil sepotong kecil croffle.Tidak lama setelah Narendra bertanya pertemuan pertama pria itu dengan Amelia, Agnia datang dengan penampilan yang lebih segar. Tidak membutuhkan waktu lama bagi gadis itu untuk bergabung dengan pembicaraan tiga tetangganya. Dia juga sama penasarannya dengan Narendra dan Badi terkait kisah pertemuan Bang Ucok dengan Amelia.“Sekali aja ini kuceritakan. Nanti jangan tanya-tanya lagi kalian!”“Iya, Bang,” serempak mereka bertiga menjawab.“Dengar baik-baik, ya?”“Iya, Bang,” lagi mereka kompak menjawab seperti paduan suara.“Bagus, pokoknya…”“Buruan, Bang! Aku beneran penasaran ini!” Agnia memotong ucapan Bang Ucok sambil menatap kesal.***“Bang Ucok,” sesorang menyusulnya ke lift ketika dia baru sampai di gedung utama Bank Menara, “Ada pesan dari HRD, katanya Ab
“Macam mananya ini,” Bang Ucok bertanya sambil mencuci muka selesai sikat gigi. Sudah sejak setengah jam yang lalu dia kembali dari kontrakan petak Narendra. Setelah menghabiskan croffle yang dibelikan oleh tetangganya itu dan membantu membereskan bekas makanan, dia segera kembali ke kontrakan petaknya. Bukan tanpa alasan. Godaan dan candaan yang dilontarkan oleh ketiga tetangganya itu membuat kepalanya penuh dengan pertanyaan. Sekuat apapun dia ingin mengusirnya, pertanyaan itu selalu kembali lagi. Benarkah Amelia memiliki perasaan yang sama? Haruskah mengungkapkan perasaan? Bagaimana jika hubungan yang sekarang dimiliki berakhir berantakan? Mampukah dia kehilangan Amelia jika gadis itu menolaknya? “AAARRGHH!” Dia berteriak tertahan karena frustasi. Sejujurnya, dia bukannya tidak peka. Dia tahu kalau Amelia juga memberikan perhatian kepadanya. Bukan sekali dua kali gadis itu seakan
Narendra bangun sangat pagi. Semalaman dia nyaris tidak bisa tidur. Pria itu terlalu bersemangat karena hari ini akhirnya pelatihan kerjanya akan dimulai. Dia sama sekali tidak memiliki bayangan apa yang akan terjadi hari ini. Meski begitu dia tidak sabar untuk menjajal pelatihan dan merasakan pengalaman menjadi orang biasa seutuhnya.“Kenapa harus pakai kemeja putih dan celana hitam coba?” Dia mengeluh sambil mengambil kemeja dan celana yang sudah disiapkan kemarin.Sejujurnya dia tidak ada masalah dengan perpaduan pakaian itu. Pria itu bermasalah karena dia terpaksa menggunakan pakaian yang tidak biasa dikenakannya. Walau bukan kemeja dan celana murah di pasar kaget, kali ini merupakan pakaian yang dia beli di salah satu outlet di ITC, tetap saja tidak senyaman pakaian yang biasa dikenakannya. Menyebalkan.Setelah memastikan pakaiannya rapi tanpa kerutan berarti, dia keluar dari kamar dengan membawa jaket. Tepat ketika dia menyampirkan jaket di kur
Dugaan Badi benar. Hari pertama merupakan pengenalan lingkungan kerja, Ketika mereka sampai di kantor pusat pelatihan Supermart, mereka dikumpulkan di sebuah ruangan besar seperti aula. Narendra dan Badi bergabung bersama puluhan karyawan baru untuk mendapatkan pelatihan sebelum mereka akan ditempatkan di gerai-gerai Supermart.Kegiatan pertama merupakan sambutan dari direksi sebelum acara di ambil alih oleh HRD. Sepanjang pagi mereka harus mendengarkan sejarah Supermart, visi dan misi perusahaan serta hal serupa lainnya.Narendra harus menahan diri untuk tidak menguap. Dia menghapal apa yang disampaikan oleh salah seorang pegawai HRD. Bahkan beberapa informasi yang disampaikan kurang tepat. Tetapi dia paham kalau bukan waktunya untuk dia mengoreksi.“Ini seharian?” Narendra sedikit menyondongkan tubuh ke arah Badi yang duduk di sampingnya.“Nggak tahu. Tapi bisa jadi, sih, Bos,” Badi balas berbisik.“Membosankan,&rdqu
Menjelang jam makan siang, sesi pagi pelatihan pegawai baru selesai. Mereka semua diajak ke kafetaria khusus pegawai Supermart. Dari informasi yang mereka dapatkan selama training mereka akan makan siang di kafetaria secara gratis. Sama seperti pegawai Supermart lainnya.“Baru kali ini pelatihan kerja dapat makan gratis segala,” bisik-bisik terdengar di antara pegawai baru.“Gosipnya kafetaria di sini enaknya kayak restoran terkenal, lho!” Pegawai lain menimpali dengan penuh semangat.“Biasa mentok cuma dapat nasi kotak. Itu juga nasinya kering banget.”“Pantes pada pengin kerja di Supermart.”“Bukan Supermart tapi Widjaja Group. Katanya kalau kerja di sana terjamin. Mau posisi apa juga dihargai!”Narendra mendengar percakapan antar pegawai baru saat sedang mengantre makan siang. Di kafetaria ini sistemnya mereka mengantre dan mengambil makanan yang mereka inginkan dengan d
Selesai mengambil makanan, Narendra bergegas ke salah satu meja di sudut ruangan yang masih kosong. Tidak menunggu lama, Badi sudah menyusulnya. Tempat makan bodyguard-nya itu terlihat menggunung. Porsi makan pria itu memang jauh lebih banyak dari Narendra.“Kangen, ya, Bos? Kayak lagi di Gedung W,” Badi terkekeh sambil menarik kursi.“Memangnya kalau di kantor pusat kamu makan di kafetaria?”“Iya. Aku bukan Bos yang selalu makan di ruangan,” dia kembali terkekeh, “Tapi lebih sering makan di mobil bareng Bos, sih.”“Hemat waktu,” Narendra berkomentar pelan sambil mulai mencicipi makanannya.Tidak buruk. Rasanya serupa dengan makanan di kafetaria kantor pusat Widjaja Group. Urusan makanan tidak ada yang harus diperbaiki walau kebersihan di kafetaria jelas membutuhkan perhatian lebih. Ada beberapa sudut yang seperti tidak dibersihkan secara rutin.“Kakak ini yang tadi n
“Aku capek,” itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Narendra ketika turun dari motor di depan kontrakan petaknya.Setelah makan siang, mereka kembali berkumpul di ruang pertemuan. Pelatihan berlanjut masih tentang perkenalan Supermart. Kali ini materinya tentang berbagi divisi yang ada di Supermart. Narendra tahu tentang itu tetapi dia belajar banyak karena banyak informasi yang hanya diketahu oleh pekerja di lapangan.“Langsung istirahat, Bos. Besok kita harus berangkat pagi-pagi.”“Lagi?” Narendra menaikan sebelah alisnya.“Tentu. Kita harus datang pagi selama pelatihan dan setelah itu sesuai dengan jadwal shift kita. Itu juga tergantung kita kerja di Supermart mana. Kalau jauh dari sini ya tetap harus berangkat jauh sebelum jam kerja mulai.”“Kamu benar,” dia menghela napas panjang.“Udah mulai nyesal, Bos?” Badi bertanya untuk menggoda Narendra.“Sep