Agnia tidur cukup lama. Dia terbangun menjelang siang dan Narendra sudah kembali ke kontrakannya. Merasa tidak enak, dia segera menemui kekasihnya. Kebetulan ketika Narendra sedang asyik bersantai di ruang tengah sambil menonton dan mengerjakan sesuatu du laptopnya. Pemandangan yang sangat familiar baginya.
"Sayang, maafin. AKu tadi ketiduran," dia berujar dengan penuh rasa bersalah.
"Hm?" Narendra mengalihkan pandangan dari layar laptop dan langsung tersenyum ke arah Agnia, "Sini. Kamu sudah bangun? Nyenyak tidurnya?"
Gadis itu langsung duduk di samping Narendra yang seketika menutup laptopnya, "Nyenyak banget. Bangun-bangun kamu udah nggak ada dan Calya asyik dengan HPnya. Nggak tahu lagi ngobrol sama siapa."
"Bagus kalau kamu nyenyak," Narendra tersenyum, "Sudah selesai berkemas?"
Agnia menggelengkan kepala, "Belum. Bangun-bangun aku langsung ke sini. Nggak enak aku karena ketiduran padahal kamu mungkin mau ngobrol sama aku atau apa."
"Ti
"Tidak ada yang ketinggalan?" Narendra bertanya ketika Agnia dan Calya keluar dari kontrakan petak gadis itu."Udah semua. Lagian aku bukannya mau ke mana. Kalau ada yang ketinggalan aku bisa beli di sana," Agnia tersenyum untuk menenangkan."Tahu, nih! Kak Rendra kayak Kak Agnia mau ke mana aja," gadis itu memeluk lengan kekasih kakaknya, "Kak, kalau Kak Rendra nggak boleh ke lokasi, aku boleh, kan? Dua minggu itu lama, lho, Kak!""Kamu boleh. Yang nggak boleh cuma Rendra karena bisa-bisa aku kehilangan fokus kalau tahu dia ada di lokasi."Ucapan Agnia ditingkahi dengan gelak tawa Narendra dan Calya."Sarapan dulu," Narendra tersenyum, "Aku sudah membelikan bubur untuk kita sarapan.""Bubur ayam?" Calya tersenyum lebar, "Aku mau! Yang di perempatan itu bukan, ya?"Agnia tertawa, "Kamu itu kayak udah lama tinggal di sini, deh.""Kalau urusan makanan enak Calya nggak ada lawan," gadis itu memamerkan senyum penuh kebanggaan, "Lag
Pagi itu lobby gedung Widjaja Group terlihat serupa dengan hari-hari sebelumnya. Para pegawai berdatangan dengan harapan hari ini seluruh pekerjaan mereka akan berjalan dengan lancar. Sebagian besar membawa tumbler berisi kopi, senjata utama untuk melawan kantuk di pagi hari, sementara yang lain membawa tas kain berisi bekal makanan. Kerumunan terlihat di depan sepuluh lift yang tersedia walau tidak sampai mengular. Nyaris tidak ada yang berbeda dengan kemarin.Ketenangan itu seketika berubah ketika bisik-bisik mulai terdengar saat sebuah mobil Mercesdes-Benz S Class memasuki pelataran gedung. Seluruh pegawai Widjaja Group tahu siapa pemilik mobil itu. Seorang petinggi yang sosoknya begitu misterius bagi sebagian mereka karena pria itu sangat jarang menunjukan diri di gedung Widjaja Group terlebih beberapa bulan terakhir.Seakan tidak memedulikan perhatian dari seluruh mata yang saat ini berada di lobby, Sabdra Narendra Widjaja turun dari mobilnya. Penampilan pria itu
"Gue tanya buat terakhir kali," Rajasena menatap lurus ke arah Narendra yang duduk di seberangnya, "Lo yakin sama rencana ini?"Narendra balas menatap dan kemudian menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan, "Aku yakin. Aku sudah mengkalkulasi setiap langkah.""Lo masih terlalu baik, Dra. Ini nggak kayak lo biasanya. Ngapain kita ngasih kesempatan Bira buat nyesal?""Ya, gue juga mempertanyakan itu," Abimana ikut urun suara, "Setelah pembicaraan malam itu, gue yakin kalau bokap gue nggak akan menyesal sama rencananya ini. Tindakan lo percuma.""Percuma atau tidaknya akan kita ketahui nanti. Yang jelas aku tidak ingin kita menyesal," Narendra tersenyum tipis, "Kita tidak perlu merendahkan diri dengan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Bira. Benar?"Keempat orang lainnya memberi jawaban dengan menganggukkan beberapa kali."Lakukan rencana ini. Jika Bira menunjukkan penyesalan, kita lanjutkan dengan plan A. Tapi jika tidak maka kita
"Tumben kamu ke kantor. Uang pemberian papamu kurang? Atau kamu bikin masalah dengan teman kencan semalammu?" Ucapan itu terdengar seiring dengan langkah berderap Bira memasuki ruang kerja Narendra. "Pertanyaan itu seharusnya diajukan untuk diri Om sendiri," Narendra dengan santainya menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan melemparkan tatapan merendahkan ke arah Bira. Abimana yang langsung memahami peran yang harus dilakukannya langsung berusaha menenangkan sang ayah kemudian berbisik, "Pa, jangan cari masalah. Ingat rencana Papa." Bira terkesiap sebelum tersenyum dan menepuk pipi anak semata wayangnya dengan lembut, "Kamu memang dapat Papa andalkan." "Hati-hati, Narendra bisa curiga." Mendengar ucapan Abimana, tepukan pelan penuh sayang itu dengan cepat berubah menjadi tamparan, "Dasar tidak tahu diri! Berani kamu menghalangi Papa?! Jangan karena dia atasan kamu terus kamu belain, ya!" "Aku tidak membela Narendra, Pa," Abimana men
"Terima kasih," hanya itu yang keluar dari mulut Narendra ketika Abimana kembali ke ruang kerjanya setelah berhasil menenangkan Bira.Pria itu berulang kali menghela napas panjang sambil memperhatikan pemandangan kota yang terjadi melalui jendela ruangannya. Dia sengaja melakukan itu menenangkan diri. Narendra tahu jika dia memaksa diri untuk berhadapan dengan siapapun dia akan meledak. Emosinya sudah sampai ke ubun-ubun.Hampir setengah jam berlalu ketika akhirnya Narendra bangkit dari duduknya, "Calya, kamu pulang, ya? Aku akan meminta Badi untuk mengawal.""Tapi Kak ..." Gadis itu ingin membantah. Dia masih ingin berada di sini. Bukan karena ada yang harus dikerjakan melainkan untuk memastikan Narendra tidak melakukan sesuatu yang bodoh."Aku sudah meminta Intan mengosongkan jadwal Mama. Hari ini, habiskan waktu bersama Mama, ya? Ingat, besok kamu sudah harus kembali ke Melbourne."Gantian Calya yang menghela napas panjang, "Baiklah."Dia
Hari ini melelahkan. Terlalu banyak yang harus dikerjakan sementara telalu sedikit waktu untuk menyelesaikan semuanya. Ketika tiba di penthouse yang pertama ingin dilakukannya adalah mandi air panas untuk waktu yang cukup lama. Sayangnya keinginan itu harus ditunda. Narendra hanya sempat mandi selama beberapa menit sebelum berganti piyama kemudian ditemani secangkir kopi dia sudah kembali ke ruang baca merangkap ruang kerjanya.Dulu dia paling sering menghabiskan waktu di sini. Sofa kulit nyaman yang berada di tengah ruangan adalah tempat dia memeriksa berbagai dokumen hingga tertidur sampai pagi. Rak buku kayu dari bahan terbaik menjulang hingga ke langit-langit terlihat sesak dengan berbagai buku pilihan Narendra. Sejak kecil pria itu memang suka membaca. Hampir semua jenis buku dibacanya. Dia tidak terlalu pemilih untuk hal itu. Meja kerja yang membelakangi jendela besar seukuran dinding memamerkan pemandangan ibukota malam hari yang penuh dengan gemerlap warna-warni lampu
"Kamu masih kuat?" Kenny bertanya ketika melewati tempat Agnia duduk sambil memejamkan mata.Gadis itu tidak sedang tidur walau dia memang nyaris tertidur. Bekerja selama nyaris 24 jam tentu menguras energi siapa pun. Tetapi Agnia merasa tidak pantas untuk mengeluh mengingat para kru bekerja jauh lebih keras darinya. Dia hanya berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Setiap kali break atau menunggu giliran, dia menyempatkan diri untuk terlalu atau setidaknya beristirahat."Aman, Bang," Agnia segera membuka matanya, "Nanggung juga. Tinggal dua scene, kan?""Ya. Kalau setiap hari progress-nya seperti ini kemungkinan besar kita akan selesai lebih cepat dari rencana.""Itu bakalan jadi kabar yang menyenangkan untuk tim editing. Mereka jadi punya lebih banyak waktu," Agnia tertawa kecil, "Aku juga jadi bisa lebih cepat istirahat.""Bukan cuma kamu, saat ini kita semua pasti pengin ngerasain istirahat yang proper."Ga
"Pak Sabda ke mana?" Abimana bertanya segera setelah beberapa menit lalu memasuki ruangan Narendra dan tidak menemukan sepupunya di sana. Hanya ruang kosong yang menyambutnya."Itu..." sedikit gugup sekretaris yang masih dalam masa training itu menjawab pertanyaan atasannya, "Ke...duh, ah, ke mini market, Pak!""Mini market? Maksud kamu ke Supermart? Tapi tidak ada jadwal visit ke sana dalam agenda Pak Sabda," dia mulai mendesak.Abimana tidak mungkin salah mengingat karena sampai saat ini dia masih bertanggung jawab terhadap jadwal Narendra. Mungkin nanti setelah sepupunya mendapatkan sekretaris yang dapat diandalkan seperti dia mengandalkan Rania baru Abimana tidak harus melakukannya lagi."Bukaaan," suara sekretaris itu semakin pelan dan terdengar memelas, "Bukan visit ke Supermart tapi Pak Sabda ke mini market di bawah, Pak," gadis itu menunduk menatap ujung sepatunya, "Mini market di kantin karyawan, Pak.""Mini market?" Abimana berusaha mengi