"Gue tanya buat terakhir kali," Rajasena menatap lurus ke arah Narendra yang duduk di seberangnya, "Lo yakin sama rencana ini?"
Narendra balas menatap dan kemudian menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan, "Aku yakin. Aku sudah mengkalkulasi setiap langkah."
"Lo masih terlalu baik, Dra. Ini nggak kayak lo biasanya. Ngapain kita ngasih kesempatan Bira buat nyesal?"
"Ya, gue juga mempertanyakan itu," Abimana ikut urun suara, "Setelah pembicaraan malam itu, gue yakin kalau bokap gue nggak akan menyesal sama rencananya ini. Tindakan lo percuma."
"Percuma atau tidaknya akan kita ketahui nanti. Yang jelas aku tidak ingin kita menyesal," Narendra tersenyum tipis, "Kita tidak perlu merendahkan diri dengan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Bira. Benar?"
Keempat orang lainnya memberi jawaban dengan menganggukkan beberapa kali.
"Lakukan rencana ini. Jika Bira menunjukkan penyesalan, kita lanjutkan dengan plan A. Tapi jika tidak maka kita
"Tumben kamu ke kantor. Uang pemberian papamu kurang? Atau kamu bikin masalah dengan teman kencan semalammu?" Ucapan itu terdengar seiring dengan langkah berderap Bira memasuki ruang kerja Narendra. "Pertanyaan itu seharusnya diajukan untuk diri Om sendiri," Narendra dengan santainya menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan melemparkan tatapan merendahkan ke arah Bira. Abimana yang langsung memahami peran yang harus dilakukannya langsung berusaha menenangkan sang ayah kemudian berbisik, "Pa, jangan cari masalah. Ingat rencana Papa." Bira terkesiap sebelum tersenyum dan menepuk pipi anak semata wayangnya dengan lembut, "Kamu memang dapat Papa andalkan." "Hati-hati, Narendra bisa curiga." Mendengar ucapan Abimana, tepukan pelan penuh sayang itu dengan cepat berubah menjadi tamparan, "Dasar tidak tahu diri! Berani kamu menghalangi Papa?! Jangan karena dia atasan kamu terus kamu belain, ya!" "Aku tidak membela Narendra, Pa," Abimana men
"Terima kasih," hanya itu yang keluar dari mulut Narendra ketika Abimana kembali ke ruang kerjanya setelah berhasil menenangkan Bira.Pria itu berulang kali menghela napas panjang sambil memperhatikan pemandangan kota yang terjadi melalui jendela ruangannya. Dia sengaja melakukan itu menenangkan diri. Narendra tahu jika dia memaksa diri untuk berhadapan dengan siapapun dia akan meledak. Emosinya sudah sampai ke ubun-ubun.Hampir setengah jam berlalu ketika akhirnya Narendra bangkit dari duduknya, "Calya, kamu pulang, ya? Aku akan meminta Badi untuk mengawal.""Tapi Kak ..." Gadis itu ingin membantah. Dia masih ingin berada di sini. Bukan karena ada yang harus dikerjakan melainkan untuk memastikan Narendra tidak melakukan sesuatu yang bodoh."Aku sudah meminta Intan mengosongkan jadwal Mama. Hari ini, habiskan waktu bersama Mama, ya? Ingat, besok kamu sudah harus kembali ke Melbourne."Gantian Calya yang menghela napas panjang, "Baiklah."Dia
Hari ini melelahkan. Terlalu banyak yang harus dikerjakan sementara telalu sedikit waktu untuk menyelesaikan semuanya. Ketika tiba di penthouse yang pertama ingin dilakukannya adalah mandi air panas untuk waktu yang cukup lama. Sayangnya keinginan itu harus ditunda. Narendra hanya sempat mandi selama beberapa menit sebelum berganti piyama kemudian ditemani secangkir kopi dia sudah kembali ke ruang baca merangkap ruang kerjanya.Dulu dia paling sering menghabiskan waktu di sini. Sofa kulit nyaman yang berada di tengah ruangan adalah tempat dia memeriksa berbagai dokumen hingga tertidur sampai pagi. Rak buku kayu dari bahan terbaik menjulang hingga ke langit-langit terlihat sesak dengan berbagai buku pilihan Narendra. Sejak kecil pria itu memang suka membaca. Hampir semua jenis buku dibacanya. Dia tidak terlalu pemilih untuk hal itu. Meja kerja yang membelakangi jendela besar seukuran dinding memamerkan pemandangan ibukota malam hari yang penuh dengan gemerlap warna-warni lampu
"Kamu masih kuat?" Kenny bertanya ketika melewati tempat Agnia duduk sambil memejamkan mata.Gadis itu tidak sedang tidur walau dia memang nyaris tertidur. Bekerja selama nyaris 24 jam tentu menguras energi siapa pun. Tetapi Agnia merasa tidak pantas untuk mengeluh mengingat para kru bekerja jauh lebih keras darinya. Dia hanya berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Setiap kali break atau menunggu giliran, dia menyempatkan diri untuk terlalu atau setidaknya beristirahat."Aman, Bang," Agnia segera membuka matanya, "Nanggung juga. Tinggal dua scene, kan?""Ya. Kalau setiap hari progress-nya seperti ini kemungkinan besar kita akan selesai lebih cepat dari rencana.""Itu bakalan jadi kabar yang menyenangkan untuk tim editing. Mereka jadi punya lebih banyak waktu," Agnia tertawa kecil, "Aku juga jadi bisa lebih cepat istirahat.""Bukan cuma kamu, saat ini kita semua pasti pengin ngerasain istirahat yang proper."Ga
"Pak Sabda ke mana?" Abimana bertanya segera setelah beberapa menit lalu memasuki ruangan Narendra dan tidak menemukan sepupunya di sana. Hanya ruang kosong yang menyambutnya."Itu..." sedikit gugup sekretaris yang masih dalam masa training itu menjawab pertanyaan atasannya, "Ke...duh, ah, ke mini market, Pak!""Mini market? Maksud kamu ke Supermart? Tapi tidak ada jadwal visit ke sana dalam agenda Pak Sabda," dia mulai mendesak.Abimana tidak mungkin salah mengingat karena sampai saat ini dia masih bertanggung jawab terhadap jadwal Narendra. Mungkin nanti setelah sepupunya mendapatkan sekretaris yang dapat diandalkan seperti dia mengandalkan Rania baru Abimana tidak harus melakukannya lagi."Bukaaan," suara sekretaris itu semakin pelan dan terdengar memelas, "Bukan visit ke Supermart tapi Pak Sabda ke mini market di bawah, Pak," gadis itu menunduk menatap ujung sepatunya, "Mini market di kantin karyawan, Pak.""Mini market?" Abimana berusaha mengi
"Lo mikir nggak, sih?" Abimana menghampiri sepupunya kesal, "Gue panik nyariin lo dari tadi!""Aku sudah menitipkan pesan kepada sekretaris. Kenapa kamu harus panik?" Narendra bertanya tanpa rasa bersalah kemudian kembali menikmati mie seduh instant-nya."Gue ke ruangan lo dan pas lihat itu ruangan kosong langsung panik. Mana gue tahu lo ke sini. Sejak kapan lo demen ke mini market?""Tadi si Bos tiba-tiba kangen mie instant, Pak. Katanya dia pengin makan micin kayak selama di kontrakan. Ya udah aku ajak ke sini aja. Tadi mau ajak ke kantin di basement tapi nggak jadi karena di situ penuh dengan supir dan bodyguard. Bisa panjang urusan kalau mereka lihat si Bos. Nanti dikira ada sidak atau apa."Abimana tertawa mendengar celotehan Badi, "Masuk akal, sih! Bisa-bisa pada takut buat jajan di kantin lagi, kan?""Daripada berisik mending kamu beli mie seduh instant dulu. Pilih yang rasa kari. Di antara semua rasa, yang kari paling enak.""Menurut
"Bersih, Pak," seorang pria dengan setelah hitam membalut tubuh kekarnya serta bahasa tubuh yang dengan kuat meneriakan profesinya sebagai bodyguard keluar dari ruang VIP salah satu restoran Jepang termahal di ibukota."Yakin?" Bira menatap bodyguard itu meminta kepastian."Seratus persen. Kami sudah memeriksanya dua kali. Tidak ada alat perekam atau semacamnya.""Bagus," pria paruh baya itu terlihat puas dengan kinerja bodyguardnya, "Segera informasikan kalau Aryanto Sabian sudah tiba."Perintah itu ditanggapi dengan anggukan oleh para bodyguardnya. Ya, siang ini Bira memang memiliki janji temu sekaligus makan siang bersama dengan salah satu kandidat mayor ibukota dalam pemilihan mendatang.Sampai lima tahun yang lalu Aryanto Sabian hanya dikenal sebagai seorang pengusaha dengan bisnis yang menggurita walau masih belum sehebat konglomerasi yang dimiliki oleh keluarga Widjaja. Tetapi sekarang dia juga dikenal sebagai seorang politikus muda menginga
Hallo~ Pertama aku mau minta maaf karena belum mengumumkan pemenang giveaway. Seperti yang kemarin aku katakan, kehidupan nyata sedang melelahkan. Tapi tenang~ aku tidak lupa, kok. Besok aku akan mengumumkannya di Faceb00k Group Ternyata Kaya Tujuh Turunan, ya. Karena aku banyak dapat pertanyaan faceb00k groupnya yang mana, besok linknya akan di share oleh GoodNovel, ya. Kebetulan Senin kemarin editor in house-ku menginformasikan kalau Rabu, 26 Januari 2022 akan ada sesi live comment ngobrolin Ternyata Kaya Tujuh Turunan di Faceb00k group mereka. Nah, kalian bisa meninggalkan pertanyaan di sana, nanti aku akan menjawab semua pertanyaan yang masuk. Buat yang bingung faceb00k group-nya GoodNovel yang mana, besok kalian bisa langsung swipe up di I* Story-nya GoodNovel, ya. Buat yang belum follow akun I*nya GoodNovelIndonesia buruan follow karena ada bonus koin, lho! Jadi~ sampai bertemu
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan