Hari ini melelahkan. Terlalu banyak yang harus dikerjakan sementara telalu sedikit waktu untuk menyelesaikan semuanya. Ketika tiba di penthouse yang pertama ingin dilakukannya adalah mandi air panas untuk waktu yang cukup lama. Sayangnya keinginan itu harus ditunda. Narendra hanya sempat mandi selama beberapa menit sebelum berganti piyama kemudian ditemani secangkir kopi dia sudah kembali ke ruang baca merangkap ruang kerjanya.
Dulu dia paling sering menghabiskan waktu di sini. Sofa kulit nyaman yang berada di tengah ruangan adalah tempat dia memeriksa berbagai dokumen hingga tertidur sampai pagi. Rak buku kayu dari bahan terbaik menjulang hingga ke langit-langit terlihat sesak dengan berbagai buku pilihan Narendra. Sejak kecil pria itu memang suka membaca. Hampir semua jenis buku dibacanya. Dia tidak terlalu pemilih untuk hal itu. Meja kerja yang membelakangi jendela besar seukuran dinding memamerkan pemandangan ibukota malam hari yang penuh dengan gemerlap warna-warni lampu
"Kamu masih kuat?" Kenny bertanya ketika melewati tempat Agnia duduk sambil memejamkan mata.Gadis itu tidak sedang tidur walau dia memang nyaris tertidur. Bekerja selama nyaris 24 jam tentu menguras energi siapa pun. Tetapi Agnia merasa tidak pantas untuk mengeluh mengingat para kru bekerja jauh lebih keras darinya. Dia hanya berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Setiap kali break atau menunggu giliran, dia menyempatkan diri untuk terlalu atau setidaknya beristirahat."Aman, Bang," Agnia segera membuka matanya, "Nanggung juga. Tinggal dua scene, kan?""Ya. Kalau setiap hari progress-nya seperti ini kemungkinan besar kita akan selesai lebih cepat dari rencana.""Itu bakalan jadi kabar yang menyenangkan untuk tim editing. Mereka jadi punya lebih banyak waktu," Agnia tertawa kecil, "Aku juga jadi bisa lebih cepat istirahat.""Bukan cuma kamu, saat ini kita semua pasti pengin ngerasain istirahat yang proper."Ga
"Pak Sabda ke mana?" Abimana bertanya segera setelah beberapa menit lalu memasuki ruangan Narendra dan tidak menemukan sepupunya di sana. Hanya ruang kosong yang menyambutnya."Itu..." sedikit gugup sekretaris yang masih dalam masa training itu menjawab pertanyaan atasannya, "Ke...duh, ah, ke mini market, Pak!""Mini market? Maksud kamu ke Supermart? Tapi tidak ada jadwal visit ke sana dalam agenda Pak Sabda," dia mulai mendesak.Abimana tidak mungkin salah mengingat karena sampai saat ini dia masih bertanggung jawab terhadap jadwal Narendra. Mungkin nanti setelah sepupunya mendapatkan sekretaris yang dapat diandalkan seperti dia mengandalkan Rania baru Abimana tidak harus melakukannya lagi."Bukaaan," suara sekretaris itu semakin pelan dan terdengar memelas, "Bukan visit ke Supermart tapi Pak Sabda ke mini market di bawah, Pak," gadis itu menunduk menatap ujung sepatunya, "Mini market di kantin karyawan, Pak.""Mini market?" Abimana berusaha mengi
"Lo mikir nggak, sih?" Abimana menghampiri sepupunya kesal, "Gue panik nyariin lo dari tadi!""Aku sudah menitipkan pesan kepada sekretaris. Kenapa kamu harus panik?" Narendra bertanya tanpa rasa bersalah kemudian kembali menikmati mie seduh instant-nya."Gue ke ruangan lo dan pas lihat itu ruangan kosong langsung panik. Mana gue tahu lo ke sini. Sejak kapan lo demen ke mini market?""Tadi si Bos tiba-tiba kangen mie instant, Pak. Katanya dia pengin makan micin kayak selama di kontrakan. Ya udah aku ajak ke sini aja. Tadi mau ajak ke kantin di basement tapi nggak jadi karena di situ penuh dengan supir dan bodyguard. Bisa panjang urusan kalau mereka lihat si Bos. Nanti dikira ada sidak atau apa."Abimana tertawa mendengar celotehan Badi, "Masuk akal, sih! Bisa-bisa pada takut buat jajan di kantin lagi, kan?""Daripada berisik mending kamu beli mie seduh instant dulu. Pilih yang rasa kari. Di antara semua rasa, yang kari paling enak.""Menurut
"Bersih, Pak," seorang pria dengan setelah hitam membalut tubuh kekarnya serta bahasa tubuh yang dengan kuat meneriakan profesinya sebagai bodyguard keluar dari ruang VIP salah satu restoran Jepang termahal di ibukota."Yakin?" Bira menatap bodyguard itu meminta kepastian."Seratus persen. Kami sudah memeriksanya dua kali. Tidak ada alat perekam atau semacamnya.""Bagus," pria paruh baya itu terlihat puas dengan kinerja bodyguardnya, "Segera informasikan kalau Aryanto Sabian sudah tiba."Perintah itu ditanggapi dengan anggukan oleh para bodyguardnya. Ya, siang ini Bira memang memiliki janji temu sekaligus makan siang bersama dengan salah satu kandidat mayor ibukota dalam pemilihan mendatang.Sampai lima tahun yang lalu Aryanto Sabian hanya dikenal sebagai seorang pengusaha dengan bisnis yang menggurita walau masih belum sehebat konglomerasi yang dimiliki oleh keluarga Widjaja. Tetapi sekarang dia juga dikenal sebagai seorang politikus muda menginga
Hallo~ Pertama aku mau minta maaf karena belum mengumumkan pemenang giveaway. Seperti yang kemarin aku katakan, kehidupan nyata sedang melelahkan. Tapi tenang~ aku tidak lupa, kok. Besok aku akan mengumumkannya di Faceb00k Group Ternyata Kaya Tujuh Turunan, ya. Karena aku banyak dapat pertanyaan faceb00k groupnya yang mana, besok linknya akan di share oleh GoodNovel, ya. Kebetulan Senin kemarin editor in house-ku menginformasikan kalau Rabu, 26 Januari 2022 akan ada sesi live comment ngobrolin Ternyata Kaya Tujuh Turunan di Faceb00k group mereka. Nah, kalian bisa meninggalkan pertanyaan di sana, nanti aku akan menjawab semua pertanyaan yang masuk. Buat yang bingung faceb00k group-nya GoodNovel yang mana, besok kalian bisa langsung swipe up di I* Story-nya GoodNovel, ya. Buat yang belum follow akun I*nya GoodNovelIndonesia buruan follow karena ada bonus koin, lho! Jadi~ sampai bertemu
Narendra seorang diri di penthouse-nya. Malam ini Badi meminta izin untuk mengunjungi Antari. Tentu saja pria itu mengizinkannya karena dia tidak memiliki rencana apapun sepulang dari kantor.Sama seperti kemarin malam, selesai mandi dan berganti pakaian pria itu merasa terusik dengan keheningan yang entah bagaimana terasa begitu memekakkan. Sepertinya keheningan sudah tidak lagi menjadi teman baiknya."Samahita Agnia ... " dia mengucap nama itu dengan lirih.Baru dua hari mereka tidak bertemu dan dia sudah merindukan gadisnya sebesar ini. Semenyesakkan ini. Apa mungkin sebenarnya tidak tetapi keheningan penthouse membuat rindu itu berkali lipat besarnya.Tanpa sadar dia sudah mengambil ponsel dan menghubungi nomor kekasihnya. Narendra sama sekali tidak berharap teleponnya akan diangkat. Jadwal syuting tidak pernah menentu."Hai, Dra," suara khas Agnia tiba-tiba terdengar,Narendra terkesiap, sesaat dia berpikir kalau suara itu hanya bayanga
"Omongan Kakak benar," Calya langsung berucap ketika Narendra menerima panggilan teleponnya.Gadis itu baru saja tiba di Melbourne beberapa saat lalu. Dia bahkan masih belum keluar dari bandar udara internasional salah satu kota besar di Australia itu karena masih terjebak di antrean imigrasi. Biasanya dia memilih untuk menggunakan private jet keluarga agar tidak disusahkan dengan tetek bengek admistrasi seperti ini. Kali ini tidak karena Narendra secara khusus meminta dia untuk menggunakan penerbangan publik. Katanya demi keamanan."Berapa banyak?" Nada suara Narendra langsung berubah menjadi serius."Dua, nggak, tiga. Iya, sejauh ini aku baru lihat tiga orang, sih," Calya maju beberapa langkah, "Bodoh banget, mau ngawasin orang, kok, nggak berusaha berbaur.""Kamu sekarang di mana?" Narendra sama sekali tidak menanggapi ocehan Calya tentang penampilan beberapa orang yang saat ini sedang mengawasi adiknya."Masih ngantre imigrasi, sih. Kenapa?"
Sudah lima belas menit berlalu. Hanya ada Calya dan Ardiansyah dalam mobil tua yang dibeli pria itu dengan harga murah dari tangan pemilik kesekian. Tidak ada lagu yang mengalun. Bahkan, tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali sesekali ketika Ardiansyah menyesuaikan persneling atau semacamnya.Sejak mereka bertemu di salah satu gerai kopi di bandara, Calya sangat irit bicara. Hanya menyapa dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Ardiansyah dengan singkat. Sesingkat mungkin. Konsentrasinya terpecah. Dia masih berusaha untuk mengawasi para pria yang diam-diam berusaha mengawasinya dan memastikan mereka tidak mengikutinya terlalu lama. Sekaligus berusaha menemukan jawaban mengapa Ardiansyah tidak menolak untuk direpotkan seperti ini oleh keluarganya."Oke, ada apa?" Akhirnya Ardiansyah yang mengalah. Pria itu tahu kalau dibiarkan kebisuan Calya dapat bertahan untuk waktu yang lama."Nggak ada," dia menyandarkan kepala ke kaca jendela mobil, "Maaf ke