Narendra seorang diri di penthouse-nya. Malam ini Badi meminta izin untuk mengunjungi Antari. Tentu saja pria itu mengizinkannya karena dia tidak memiliki rencana apapun sepulang dari kantor.
Sama seperti kemarin malam, selesai mandi dan berganti pakaian pria itu merasa terusik dengan keheningan yang entah bagaimana terasa begitu memekakkan. Sepertinya keheningan sudah tidak lagi menjadi teman baiknya.
"Samahita Agnia ... " dia mengucap nama itu dengan lirih.
Baru dua hari mereka tidak bertemu dan dia sudah merindukan gadisnya sebesar ini. Semenyesakkan ini. Apa mungkin sebenarnya tidak tetapi keheningan penthouse membuat rindu itu berkali lipat besarnya.
Tanpa sadar dia sudah mengambil ponsel dan menghubungi nomor kekasihnya. Narendra sama sekali tidak berharap teleponnya akan diangkat. Jadwal syuting tidak pernah menentu.
"Hai, Dra," suara khas Agnia tiba-tiba terdengar,
Narendra terkesiap, sesaat dia berpikir kalau suara itu hanya bayanga
"Omongan Kakak benar," Calya langsung berucap ketika Narendra menerima panggilan teleponnya.Gadis itu baru saja tiba di Melbourne beberapa saat lalu. Dia bahkan masih belum keluar dari bandar udara internasional salah satu kota besar di Australia itu karena masih terjebak di antrean imigrasi. Biasanya dia memilih untuk menggunakan private jet keluarga agar tidak disusahkan dengan tetek bengek admistrasi seperti ini. Kali ini tidak karena Narendra secara khusus meminta dia untuk menggunakan penerbangan publik. Katanya demi keamanan."Berapa banyak?" Nada suara Narendra langsung berubah menjadi serius."Dua, nggak, tiga. Iya, sejauh ini aku baru lihat tiga orang, sih," Calya maju beberapa langkah, "Bodoh banget, mau ngawasin orang, kok, nggak berusaha berbaur.""Kamu sekarang di mana?" Narendra sama sekali tidak menanggapi ocehan Calya tentang penampilan beberapa orang yang saat ini sedang mengawasi adiknya."Masih ngantre imigrasi, sih. Kenapa?"
Sudah lima belas menit berlalu. Hanya ada Calya dan Ardiansyah dalam mobil tua yang dibeli pria itu dengan harga murah dari tangan pemilik kesekian. Tidak ada lagu yang mengalun. Bahkan, tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali sesekali ketika Ardiansyah menyesuaikan persneling atau semacamnya.Sejak mereka bertemu di salah satu gerai kopi di bandara, Calya sangat irit bicara. Hanya menyapa dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Ardiansyah dengan singkat. Sesingkat mungkin. Konsentrasinya terpecah. Dia masih berusaha untuk mengawasi para pria yang diam-diam berusaha mengawasinya dan memastikan mereka tidak mengikutinya terlalu lama. Sekaligus berusaha menemukan jawaban mengapa Ardiansyah tidak menolak untuk direpotkan seperti ini oleh keluarganya."Oke, ada apa?" Akhirnya Ardiansyah yang mengalah. Pria itu tahu kalau dibiarkan kebisuan Calya dapat bertahan untuk waktu yang lama."Nggak ada," dia menyandarkan kepala ke kaca jendela mobil, "Maaf ke
Ada yang tidak beres.Itu yang pertama muncul di benak Calya ketika dia memasuki apartemen. Dia mengedarkan pandangan. Tidak ada yang berubah. Semua furnitur masih pada tempatnya sebagaimana ketika dia meninggalkan apartemennya. Tetapi insting gadis itu mengatakan hal yang berbeda. Ada yang tidak beres. Calya yakin.Setelah menutup pintu apartemen, dia mengendus udara. Mencari sisa aroma yang mungkin tertinggal. Dugaannya benar, ada yang tidak beres. Inderanya mencium aroma tembakau. Sesuatu yang tidak seharusnya tidak tertinggal di apartemennya karena dia tidak pernah merokok.Calya menghela napas panjang. Detik itu dia menyesal kenapa dia memutuskan turun dari mobil Ardiansyah. Seharusnya dia menuruti permintaan Narendra. Kakaknya pasti sudah memikirkan hal ini dam menyiapkan rencana. Sekarang dia tidak mungkin menghubungi Ardiansyah setelah kejadian itu.Sial! Seharusnya dia bisa diri dan tidak mempermalukan dirinya sendiri.Sekarang apa yang ha
"Kenapa lo gelisah banget?" Abimana bertanya ketika dia sudah beberapa menit di ruangan Narendra tetapi pria itu tidak melakukan apapun selain mengetuk-ngetukkan jari di kaca meja kerja."Calya," Narendra berujar pelan, "Dia belum memberikan kabar lagi.""Terakhir dia ngehubungi lo kapan?" Pria iu langsung menegakkan punggung. Ini bukan masalah yang remeh."Berapa jam lalu. Sebelum dia keluar dari bandara. Aku sudah memastikan dia bertemu dengan Ardiansyah.""Kalau gitu seharusnya nggak ada yang perlu lo khawatirin, kan?"Narendra menggeleng pelan, "Masalahnya, Ardiansyah sudah menghubungiku. Dia bilang kalau sesuatu terjadi dan mereka bertengkar sampai Calya turun dari mobilnya. Dia sudah berusaha menunggu tapi Calya keras kepala.""Khas Calya banget.""Tidak cuma itu," Narendra menghela napas panjang, "Ardiansyah mencoba menunggu di dekat apartemen Calya. Tetapi dia langsung beranjak ketika melihat ada minivan di sudut jalan. Dia se
Calya menatap kantung kertas berisikan makanan pesanannya. Lima menit lalu seorang kurir mengantarkannya. Tetapi bukan itu membuat perasaannya semakin tidak keruan. Sebelum kurir sampai di depan pintu apartemennya, gadis itu sempat melihat kalau kurir itu dihentikan oleh salah seorang pria berpakaian hitam yang turun dari minivan. Dugaannya benar."Astagaa..." dia menggigit bibir bawah, "Apa yang sekarang harus aku lakukan?"Dia menatap ponsel yang berada di samping kantung kertas, "Ayolah, Kak Narendra balas! Tolong balas!! Aku beneran kalut ini."Gadis itu memejamkan mata sambil memijat pelipisnya. Tidak tahu harus melakukan apa.Tiba-tiba dia terperanjat karena ponselnya tiba-tiba berbunyi. Notifikasi pesan."Semoga dari Kak Narendra," itu yang pertama muncul dalam benaknya sebelum dengan cepat dia membuka pesan yang masuk.Sabda Narendra Widjaja: Kalau lapar ajak Ardiansyah dinnerSa
"Maaf, Nona. Seharusnya saya yang menjemput Nona di bandara tetapi karena ada yang harus saya persiapkan. Selain itu menurut Pak Sabda akan terlalu mencolok jika saya yang menjemput."Badi. Suara yang familiar di telinganya adalah suara bodyguard kakaknya. Selama ini Narendra tidak pernah membiarkan Badi jauh darinya. Calya membutuhkan beberapa saat untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi."Maaf Nona harus mengalami kejadian mengerikan seperti itu," Badi sedikit berpaling, "Tapi tenang, sekarang Nona sudah aman bersama kami."Calya meremas ujung sweaternya. Semua emosi yang sejak tadi ditahannya keluar tanpa dapat dikendalikan. Untuk pertama kalinya dia menangis di depan orang lain. Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya karena bagi seorang Widjaja menangis berarti menunjukkan kelemahan.Tanpa berucap apapun, Ardiansyah langsung menarik gadis itu ke dalam pelukan. Membiarkan Calya menyembunyikan tangisan dalam dadanya. Pria itu tahu apa yang dihadapi
Agnia sudah lari beberapa putaran ketika melihat Kenny melambaikan tangan ke arahnya. Pria paruh baya itu terlihat sedang bersantai di salah satu kursi taman hotel sambil menikmati rokok yang baru disulutnya beberapa saat lalu."Kirain aku satu-satunya udah bangun," Kenny menyapa ramah ketika Agnia menghampirinya sambil berlari kecil."Kebiasaan, Bang. Mau dipaksa tidur juga nggak bisa," gadis itu tertawa kecil, "Jadi jogging aja.""Jangan diforsir. Aku nggak mau aktris utamaku kenapa-kenapa," pria itu tertawa kecil."Nggak, lah, Bang. Ini juga nggak sampai setengah jarak yang bisa," Agnia berdiri sambil menggerak-gerakkan kaki untuk pendinginan."Kamu suka olahraga?""Suka nggak suka, sih," Agnia tertawa kecil, "Tapi aku harus jaga stamina, kan? Aktris itu bukan kerjaan yang gampang.""Jarang banget ada aktris seusia kamu yang punya pikiran kayak gini. Kebanyakan aktris dan aktor sekarang itu cuma mikir enaknya aja. Mikir terkenalnya
Narendra memeriksa berkas-berkas yang menumpuk di depannya. Dia memberi tanda beberapa bagian yang harus diperiksa ulang, menandatangi berkas yang dianggapnya sudah sesuai, di sela itu dia juga sambil memeriksa email dari Abimana dan kakak-kakaknya. Hari ini jadwalnya cukup padat."Kerjaan lo belum beres, Dra?" Abimana masuk sambil membawa kopi dari salah satu brand terkenal di negara ini."Sedikit lagi. Ada apa?" Narendra menutup berkas yang baru saja selesai diperiksanya, "Kamu tidak kerja selama aku tidak ada?" Tentu saja pria itu hanya bercanda. Narendra tidak dapat membayangkan akan setinggi apa tumpukan berkas yang menunggu untuk dikerjakannya jika sepupunya benar-benar tidak bekerja."Sial. Berani banget lo nuduh gue nggak kerja," Abimana terkekeh, "Kopi? Lumayan, nih, kopinya. Nggak yang manis sampai giung.""No. Aku tidak minum kopi dengan campuran apapun.""Cupu," sepupunya duduk di hadapan Narendra, "Semua beres?""Beres dan aman.