"P-pak, Bapak yakin mau makan di sini?" "Kenapa tidak? Kamu juga, kenapa makanannya malah diobrak-abrik begitu?" Nadira menatap siomay di depannya. Ia cengengesan seketika. Triana dan Yasmin yang baru muncul di pintu masuk kantin langsung mematung di tempat melihat pemandangan itu. "Yas, ini gimana?" "Kita nyari meja lain dong. Masa iya mau satu meja sama pak An." "Oke-oke." Triana dan Yasmin bejalan dengan tegak. "Na! Yas! Sini!" teriak Nadira saat melihat kedua temannya. Namun, kedua temannya itu malah cengengesan. "Lo duduk di sana aja, Ra, kita di sini. Kali-kali kita makan tanpa Lo," celetuk Yasmin.Nadira langsung membelalak mendengar ucapan asal tersebut. Gadis itu sudah bangkit dari kursi hendak menghampiri teman-temannya, namun Anand menahan tangannya dan memaksa Dira kembali duduk."Siapa yang melewatkan sarapan saya?" Nadira mengerucutkan bibir. "Saya." "Jadi sekarang temani saya makan. Diam!" Nadira memejam sambil menarik nafas. Tiba-tiba pikiran jahil muncul d
Tok tok tok!"Masuk!" Nadira melongokan kepalanya terlebih dulu sebelum benar-benar masuk. Terlihat An sedang begitu fokus dengan pekerjaannya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" "Duduk dulu." Nadira duduk di kursi dengan santai, tak menyadari kalau kini ada bom waktu yang siap meledak untuknya. "Tolong belikan saya obat diare." "Bapak diare?" An melirik dengan sengit."Oh, iya, ya. Gara-gara tadi, ya?" Dira cengengesan. "Ini uangnya. Kamu harus kembali dalam waktu 10 menit." "Sepuluh menit? Pak, warung kan--""Dimulai dari sekarang." Nadira berdecak, semua omelannya terpaksa harus ia pendam terlebih dulu dan segera berlari keluar dari ruangan. Bagaikan sedang dikejar anjing, Nadira berlari terbirit-birit hingga berkali-kali hampir menabrak orang. Brak! Nadira menyimpan obat di atas meja An. Nafas gadis itu tersengal-sengal, tangannya memegangi dada yang terasa sesak. "Terlambat dua menit." "Cuma dua menit, yang penting sekarang obatnya sudah ada, kan? Bapak bisa minum se
"Siapa bilang saya suka sama kamu?" tanya An di tengah-tengah kegugupan. Berdebat dengan Nadira ternyata bukanlah ide bagus.Nadira mendengkus. "Siapa bilang? Gak perlu ada yang bilang aku bisa lihat sendiri dari cara Bapak memperlakukan aku. Tapi maaf, aku gak suka sama tipe cowok yang gak setia kaya Bapak. Dan bener, aku udah nikah, dan aku lebih bersyukur punya suami yang pendiam dan gak banyak tingkah kaya Bapak. Jangan harap aku akan berpaling hanya karena wujud Bapak yang lebih bagus dari suamiku. Bapak pikir good looking hal pokok yang membuat perempuan bahagia? Bapak salah! Walaupun suamiku gak ganteng, tapi dia lembut dan penyayang, dan itu cukup membuatku hidup tenang. Gak pernah perhitungan apalagi curang!""Nadira, kamu mengagumi siapa sebenarnya?" "Ya jelas suami aku. Masa Bapak?" An berdecak kesal. Ingin sekali merutuki nasib pernikahannya yang berbelit-belit seperti ini. "Nadira, suami kamu itu--""Cukup! Jangan harap Bapak bisa mempengaruhi isi kepalaku dengan menga
"Duar!" "Copot!" Yasmin tertawa melihat raut terkejut di wajah Triana."Yasmiiiiiin!" Triana mengejar temannya, berusaha meraih Yasmin dengan gemas. Begitu dapat, ia memukul temannya itu berkali-kali. "Sakit, Nana! Lo sadis banget sama gue." "Lagian siapa suruh ngagetin gue?" "Eh, Na, gue denger pembicaraan Lo sama pak An tadi."Triana mengerjap, menatap Yasmin dengan mata membelalak. "Lo ... nguping?" Yasmin nyengir lebar. "Astaga Yasmin!" "Awalnya gue mau pergi lagi, tapi denger Lo nyebut pak An kakak gue gak jadi pergi. Hehe." "Asem, Lo!" "Jadi sekarang Lo gak punya alasan lagi buat gak jelasin sama gue kan, Na?" Triana menarik nafas dalam-dalam, kemudian menatap Yasmin yang sedari tadi cengar-cengir menyebalkan."Memang gak ada pilihan lain, atau telinga gue bakal sakit denger rengekan Lo yang gak bakal berenti." "Asiiikk!" ***An menatap ponselnya tanpa berkedip. Deretan pesan yang ia kirimkan tak satu pun yang mendapatkan balasan. Dan keadaan berbanding terbalik den
[Kamu harus sembuh dulu, nanti aku akan datang.]Nadira menatap pesan dari suaminya tanpa kedip. "Ada apa, Sayang?" tanya Melati."Ma, apa penyakitku menular? Kenapa Anand hanya akan datang kalau aku sembuh?" "Bukan seperti itu, Nak, mungkin ... Memang Anand sekarang memang belum bisa datang. Kamu jangan berpikiran buruk sama Anand. Bukan kah kamu bilang mau berubah? Mau mulai menerimanya sebagai suami?" Nadira mengangguk pelan. "Kalau begitu, kamu harus semangat untuk sembuh biar bisa ketemu sama suami kamu." Nadira tersenyum.Di tempat lain, Anand sedang menatap foto Nadira yang sedang mengerjakan tugas. Ia mengambil fotonya diam-diam saat sedang les. Anand menggeser foto itu, hingga yang terpampang di layar kini foto Nadira yang sedang menyibakkan rambut karena kegerahan. An tersenyum melihatnya, walaupun diambil secara diam-diam dan tersembunyi, tapi hasil potretannya sangat indah. "Sayang, Mas kangen. Cepet sembuh. Dan ... Maaf." Anand mengecup layar ponselnya sendiri, mat
Nadira benar-benar mematung, bahkan ia sampai lupa caranya berkedip. Perlahan ia duduk dengan wajah masih menyimpan keterkejutan hebat. An sengaja mengangkat panggilan itu. "Halo?" Suara pria itu benar-benar terdengar dari ponsel Nadira. Merasa sudah cukup, Anand mematikan panggilan dan berjalan mendekat, berlutut di depan Nadira sambil memegang tangan perempuan itu yang terasa dingin. "Maaf, aku gak bermaksud menipumu ataupun berbohong. Semuanya mengalir begitu saja. Bermula sejak pertemuan pertama kita di kampus, aku terkejut karena kamu tak mengenalku, padahal menurut pengakuanmu dalam chat, kamu sudah melihat fotoku." Nadira masih tak mampu berbicara. Ia hanya terdiam menatap tanah dengan nafas memburu. "Nadira? Kamu baik-baik saja, kan?" Nadira masih bergeming, pikirannya masih berkeliaran menyusuri setiap kejadian demi kejadian yang berkaitan dengan Anand ataupun An selama ini. Akalnya mulai mengakui jika semuanya memang masuk akal, hanya saja ... egonya menolak. Semua ya
Begitu mobil tiba di halaman rumah, Dira langsung turun dan berlari ke dalam. "Dira tunggu!" Perempuan itu tak mendengarkan dan terus berlari menaiki tangga. "Ada apa, Nak?" tanya Abram menghampiri menantunya. "Gimana, Nak? Nadira sudah diberitahu?" Kini giliran Melati yang bertanya."Sudah, Ma," ucap Anand tersenyum menatap kedua mertuanya. "Terus Nadira kenapa lari-lari?" tanya Melati lagi."Mungkin dia masih syok, Ma." Abram dan Melati kompak mengangguk. "Itu wajah kamu kenapa?" Anand memegang wajahnya, kemudian teringat dengan kejadian beberapa saat lalu. Ia terkekeh."Pasti Nadira yang melakukannya." Anand hanya tersenyum."Kamu mau bicara sama Nadira, Nak? Masuk saja ke kamarnya." Abram memberi usul. "Atau ... mau memberinya waktu sendiri dulu?" "Sepertinya tidak perlu memberi waktu lagi, Pa, lebih cepat lebih baik. Walaupun mungkin luka-luka ini akan bertambah." Anand terkekeh mengatakannya, sedangkan Melati meringis ngilu. Abram tertawa, kemudian menepuk pundak mena
"Maafkan sikap Nadira, ya? Kadang-kadang dia memang suka kelewatan.""Tidak apa-apa, Ma. Ini lebih baik daripada Nadira membenci Anand.""Tapi ... Lebih baik kalau Nadira sedang tidak bisa diajak bicara jangan diganggu dulu, Nak. Mama gak tega lihat kamu. Wajah kamu sampai begitu." "Anggap saja ini sebagai tanda penerimaan. Ya kan, Pa?" Abram yang sedang makan langsung mengangguk menanggapi pertanyaan menantunya. Kemudian pria paruh baya itu mengacungkan satu jempolnya. "Hah, Papa ini.""Memang gak mudah naklukin Nadira, Ma. Tentu Anand harus berjuang keras untuk meluluhkan hatinya. Ya, kan, Nak?" Kini Anand yang mengangguk. "Ya sudah, terserah kalian saja. Mama mau panggil Nadira dulu biar makan bareng." Setelah melihat Melati menjauh, Abram membisikan sesuatu pada menantunya. "Nak, Nadira itu memang keras kepala dan susah sekali dibujuk. Tapi papa yakin, dia tidak akan bisa menolak kamu. Percaya sama papa."Anand tersenyum. "Siap, Pa." "Papa tahu, sedikit banyaknya Nadira it
"Kamu punya teman kecil secantik itu, Anand. Kenapa nggak jatuh cinta sama dia?" Anand masih membisu, tatapannya lurus ke depan jalan."Menurutku cantikan dia daripada aku." "Tidak menurutku." Nadira mengulum senyum. "Kamu ngucapin itu dengan sadar, kan, Anand?"Anand tak menyahut."Badannya juga bagusan dia daripada aku. Dia--"Anand ngerem mendadak, membuat Nadira terdorong ke depan. "Anand! Kebiasaan!" pekiknya sambil merapikan rambut. Dengan cepat Anand menarik Nadira dan memainkan bbir istrinya dengan dalam. Beberapa saat berlalu, Anand menatap Nadira dengan lekat. "Berhenti membicarkaaln dia. Bagiku kamu yang paling indah." Nadira mengedip pelan, lalu lama-kelamaan mengulum senyum. "Bisa aja!" "Aku serius. Di mataku perempuan lain semuanya sama, cuma istriku yang berbeda."Nadira semakin tersipu malu. "Udah-udah, lanjutin lagi jalannya. Aku udah kenyang dengan pujian seperti itu.""Kenyang?""Iya. Dulu aku ini bintang besar di kampus. Semua orang pasti pernah mendengar na
"Kenapa kamu masih di sini?" tanya An tajam."A-aku ... " Tatapan Nadine terarah pada tangan yang sedang saling bertaut. "Anand ... A-aku tidak percaya kamu seperti ini," ucapnya dengan mata berkaca. Anand membuang muka. "Dan sekarang kamu harus percaya. Ayo!" Pria itu menarik Nadira."Anand tunggu! Kamu harus jelasin dulu semuanya sama aku. Anand!" Kejadian itu menarik perhatian banyak orang. Nadine menghadang Anand, membuat orang-orang mulai berkumpul memperhatikan mereka. "Aku gak percaya kamu ... kamu main-main sama dia?"Anand menarik nafas, kemudian menoleh ke arah Nadira. "Sepertinya kita harus mengumumkannya sekarang, Yank." "T-tapi, Pak, apa gak nanggung?"Anand berdecak kesal. "Kamu ini, situasinya sudah seperti ini masih mikir nanggung apa nggak?" Melihat Anand San Nadira ayang saling berbisik membuat hati Nadine semakin terbakar. Perempuan itu pun mendekat dan menarik Nadira hingga terlepas dari pegangan tangan Anand. "Wanita murahan! Gatal! Penggoda! Berani-berani
"Apa maksud kamu?" "Gue ngingetin Lo!" "Apa hak kamu?" "Gue istrinya." Nadine tertegun sesaat. "Istri?" "Ya!" Gadis itu menyibakkan rambut layaknya bintang ikan shampo di tv."Bohong! Mana mungkin Anand menyukai gadis bar-bar seperti kamu.""Terserah deh.""Kenapa kamu sok dekat sekali sama Anand?" tanya Nadine lagi. Nadira Memutar bola matanya dengan muak. "Denger, ya, hubungan gue sama pak An itu gak bakal bisa dijangkau sama otak seperempat Lo. Udah deh, berenti ganggu gue.""Kamu cuma sekretarisnya, kan?" "Itu tahu!" Nadira melotot. Ia kesal luar biasa, merasa Nadine sengaja muter-muter untuk menguji kesabarannya. "Dan saya juga tahu kamu sudah menikah. Jadi saya peringatkan, jangan merusak citra Anand dengan sifat gatal mu itu." Nadira menghela nafas. "Terima kasih untuk pujiannya. Saya permisi." Nadira membungkuk sambil melebarkan roknya. Sepanjang jalan, Nadira terus bersungut-sungut "Kurang ajar! Dia nyembunyiin temen secantik itu dari gue. Awas aja kamu Anand! Gue r
"Anand, sekalian ambilin tasku!" teriak Nadira yang masih duduk di kursi meja makan. "Siap, Sayang." Nadira tersenyum, kemudian menghabiskan susu di gelasnya. Melati dan Abram pun tak bisa berhenti mengukir senyuman melihat kemajuan yang terjadi dalam hubungan anak dan menantunya. Tak lama kemudian Anand sudah kembali dengan membawa dua tas. "Sini!""Biar Mas aja yang bawa," sahut Anand. Nadira pun mengulum senyum dan segera berpamitan pada kedua orang tuanya. Melati dan Abram sampai-sampai bertahan di teras hingga mobil yang Anand kendarai tak terlihat lagi. "Mama sangat bahagia, Pa." "Tentu saja, orang tua mana yang tidak bahagia melihat anaknya bahagia?"***"Kamu pokoknya harus bantuin aku bikin skripsi, dan jangan bantuin orang lain." Anand yang sedang menyetir pun tersenyum dan menoleh. "Jangan khawatir, Mas cuma bakal bantuin kamu." Nadira mendelik sambil mengulum senyum. "Hilih, yang pengen dipanggil 'mas'." "Iya dong. Ayo, mulai sekarang panggil aku Mas. Mas pengen
Sesaat keduanya saling tatap, dan tanpa diduga Anand langsung mendorong Nadira hingga telentang dan segera menarik selimut."Aaaa lepas! Apa yang kamu lakukan Anand? Berhenti! Dasar cabu--""Ssttt!" Anand membekap mulut istrinya. "Kamu ini! Apa gak bisa tenang sedikit? Malu kalau didengar mama atau papa." Beberapa saat keduanya saling tatap dalam cahaya remang-remang tersebut. Gadis itu mengedip degan cepat. "Tenang saja. Oke?" ucap Anand setengah berbisik. Nadira mengangguk patuh. Perlahan-lahan Anand melepaskan bekapan tangannya. Suasana hening seketika, keduanya seolah menggunakan mata untuk mewakili lisan, mencoba saling mengerti isi pikiran dan hati satu sama lain lewat tatapan."Aku mencintaimu, Nadira. Cuma kamu perempuan yang ada di duniaku." Nadira tak sanggup berkata-kata. Lidahnya terasa kelu, dadanya berdegup kencang. Apalagi saat melihat tatapan Anand yang ia rasa semakin berbeda. Penuh damba dan pengharapan akan sesuatu yang selama ini tak pernah ia berikan sebagai
"Shena?" tanya Anand dengan kening mengernyit."Masih pura-pura gak ngerti." Nadira mendengkus.Anand menerawang jauh, mencoba mengingat-ingat kejadian mana yang melibatkan nama itu hingga membuat Nadira semarah ini. Hingga kemudian pria itu berdecak sambil menyandarkan kepala. "Ya ampun, Dira. Sejauh itu pikiran kamu? Aku bahkan sudah lupa kejadian itu. Tapi kamu? Apa kejadian seperti itu sangat penting bagi kamu sampai terus teringat sampai sekarang?" Nadira mencebik. "Lupa ... Lupa! Sama kejadiannya lupa, tapi sama orangnya nggak, kan?""Nadira, Shena itu cuma kenalan aku. Dia ngajak kerja sama buka usaha, tapi aku menolaknya.""Terus?" "Apanya yang terus?" "Ya terus sekarang kalian terlibat apa lagi?" "Ya sekarang gak ada apa-apa. Aku udah gak pernah hubungan lagi sama dia. Dia juga tahu aku sudah menikah.""Bohong!" "Loh, kok?" "Jelas-jelas kemarin juga kamu teleponan sama dia, kan?" "Kemarin? Kapan, Dira?" "Yang kemarin pas di kamar!" "Astaga Diraaa ... Dira!" Anand te
Semua mahasiswa di semester akhir mulai sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki sesi pembuatan skripsi. Termasuk Nadira dan teman-temannya. Setiap hari selalu menghabiskan waktu di perpustakaan dengan bermacam-macam buku di atas meja. Jika pun harus nongkrong di tempat lain, buku kini menjadi benda yang wajib ada di tangan mereka."Nadira, pak An nyariin kamu." Nadira menoleh pada Marvel, lalu mengangguk menanggapi informasi yang temannya itu berikan. Namun, dalam benaknya tak ada niatan sama sekali untuk menemui dekannya itu. "Diraaa ... Lo rajin banget akhir-akhir ini. Mendadak tekena virus kutu buku kaya gini," celetuk Yasmin begitu kembali dari warung. Nadira tak menggubris dan tetap fokus pada buku di tangannya. "Ra, ini minum dulu." Nadira menatap minuman dingin yang dibawa Triana. "Makasih, Na. Cuma Lo yang perhatian sungguhan sama gue.""Apa? Dan gue ...? Lo ... Lo menyepelekan kasih sayang gue, Dira. Kejamnya!" ucap Yasmin dengan terisak palsu."Banyak drama Lo!""Tapi ka
Nadira yang baru masuk ke kamar langsung mematung di depan pintu saat mendapati Anand sedang menelepon sambil membelakanginya. Hatinya mendadak bergejolak. Pria itu langsung mematikan panggilan dan berbalik, menoleh ke arah Nadira. "Kenapa langsung dimatiin? Takut gue denger, ya?" tanya Nadira penuh selidik."Sudah selesai." "Masa? Bukannya takut gue ganggu?" Anand mengerutkan kening. "Kamu itu kenapa? Curiga? Tadi tuh cuma--""Udah-udah! Gak usah repot-repot ngejelasin. Gue gak peduli!" jerit Nadira sambil menutup kedua telinga. Anand menghela nafas. "Mereka sudah pulang?" tanyanya mengalihkan topik.Nadira mendelik acuh. "Apa urusannya sama kamu?" "Kamu mengurung suamimu seharian di sini dan sibuk dengan mereka. Bahkan kamu tidak datang melihat keadaanku sekalipun, apa aku ingin sesuatu, atau butuh sesuatu. Benar-benar gak peduli." Anand merajuk.Nadira mengangkat kedua alisnya dengan acuh dan dengan santai berjalan menuju lemari. "Kamu dengar aku, kan?" "Hah ... Siapa juga y
"Tatap mata gue, Ra. Jawab, apa yang Lo sembunyiin di kamar Lo dari kita?"Nadira yang mulai mengerti langsung melepaskan kedua tangan Yasmin dari pundaknya, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. Namun lagi-lagi Yasmin memegang kedua pundak Nadira dan memaksa Dira menghadap ke arahnya. "Jawab, Ra!"Nadira berdecak sambil memejam. "Gak ada apa-apa, suer!" "Boong, Lu!" "Serius, Yas!" "Ya udah kalo gitu, gue mau ke kamar Lo." "Eeeetttt!" Nadira menarik Yasmin yang sudah berjalan menuju pintu. "Nah, kan? Lo takut, kan, kita ke kamar Lo?" "Y-yaa ... Tapi ... Gue gak maksud nyembunyiin apa-apa dari kalian. Gue cuma belum siap aja, oke? Nanti juga kalian pasti tahu." "Apakah itu?" selidik Yasmin masih tak menyerah. Triana yang sedari tadi tak ikut ribut mulai mempunyai dugaan. Ada kemungkinan memang benar yang tadi sempat ia lihat di balkon kamar Nadira itu memang kakak sepupunya, yang tak lain adalah suaminya Nadira. Semula Triana mengira itu hanyalah bayangan karena hanya melih