Beranda / Romansa / Ternyata Bosku Mantanku / Bab 4. Takdir yang Telah Digoreskan 

Share

Bab 4. Takdir yang Telah Digoreskan 

Penulis: SecretAK
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-27 11:59:28

“B-Bara?” 

Napas Bintang seakan tercekat. Debar jantungnya berpacu dengan kencang seolah ingin berhenti berdetak. Dia bahkan sampai melangkah mundur, guna memastikan bahwa semua ini mimpi. Namun, sayangnya dia menyadari bahwa ini adalah nyata, bukan mimpi. 

“Bintang? Kamu kenal Pak Bara?” tanya Wilona berbisik pada Bintang yang tampak seperti terkejut melihat Bara. 

Bintang masih belum menjawab pertanyaan Wilona. Gelengan di kepalanya seakan jawaban dari pertanyaan yang lolos di bibir Wilona. Bintang tak sanggup untuk berkata-kata akibat kembali melihat sosok pria yang seharusnya tak dia lihat lagi. 

Bara yang berdiri di tengah-tengah lobi, tatapannya menatap dingin Bintang yang berjarak tak terlalu jauh darinya. Dia bisa melihat tatapan terkejut Bintang, sedangkan dia tetap tenang di tempatnya. Namun, meski tenang—sorot matanya begitu tajam seakan penuh amarah dendam pada Bintang. 

“Selamat pagi semua. Saya Andi, asisten pribadi Pak Bara Gunawan Gunaraya. Mulai detik ini Pak Bara akan menggantikan posisi Pak Gilang. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik dengan Pak Bara. Ada beberapa aturan yang berubah, Lina, HRD Manager akan mengumumkan beberapa perubahan.” Andi bersuara pada seluruh karyawan. 

Para karyawan mengangguk sopan menanggapi ucapan Andi. 

Bara tak memedulikan pengumuman yang disampaikan oleh Andi. Yang pria itu fokuskan adalah Bintang—wanita yang sejak tadi begitu terkejut melihat keberadaannya. Bahkan dia melihat Bintang sampai mundur agar menjauh, tapi tetap selama Bintang masih bekerja di Gunaraya Group, maka wanita itu tidak bisa jauh dari lingkaran api yang Bara ciptakan.  

“Pak Bara, apa Anda ingin menyampaikan sesuatu?” bisik Andi pelan di telinga Bara. 

Mendengar pertanyaan Andi, membuat Bara menatap para karyawannya. “Hari ini adalah hari pertama secara resmi saya menggantikan ayah saya, dan saya minta jangan bandingkan sifat saya dengan ayah saya. Jika sampai saya mendengar ada yang membandingkan saya dengan ayah saya, maka saya tidak segan untuk memecat orang tersebut.” 

Perkataan yang disampaikan Bara, membuat semua orang di sana terkejut dan ketakutan. Bisa bergabung di Gunaraya Group bukan sesuatu hal yang mudah, jadi sudah sepantasnya banyak yang takut kehilangan pekerjaan mereka. 

Tanpa berkata lagi, Bara melangkah meninggalkan lobi. Dia bahkan melewati Bintang, seakan tak mengenali wanita itu. Pria tampan itu sangat dingin, dan acuh. Sementara Bintang masih bergeming di tempatnya dengan kebingungan yang bercampur dengan takut serta rasa campur aduk.  

Saat Bara sudah masuk ke lift, para karyawan mulai bubar dan kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Namun, di kala para karyawan sudah bubar, sayangnya Bintang masih bergeming di tempatnya—seakan tak ingin beranjak pergi sama sekali. 

“Bintang, ayo kembali ke meja kerjamu,” ajak Wilona seraya menarik tangan Bintang. 

Bintang sedikit terkejut. “Wilona, a-aku—” Lidahnya kelu, bingung untuk menjelaskan pada Wilona. Tidak mungkin dia menceritakan pada Wilona tentang kegundahan hatinya. 

Kening Wilona mengerut bingung. “Kamu kenapa sih, Bintang?” 

Bintang menjadi gelisah tak menentu, dia tak berani untuk naik ke lantai atas. Sebab, pasti dia akan bertemu dengan Bara. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Bara dalam kondisi yang seperti ini. 

“Bintang Dilara, kenapa kamu masih di sini?!” Lina menatap dingin Bintang yang masih ada di area lobi. 

Wilona mengumpat dalam hati. “Duh, Bintang, aku nggak mau kena masalah sama Bu Lina. Aku naik ke atas dulu, ya!” Buru-buru, dia berlari menuju lift menuju departement keuangan di Gunaraya Group. 

Bintang panik dan gelisah di kala Wilona sudah pergi, sekarang dia harus menghadapi Lina, sang HRD manager menghampirinya. Wajah garang Lina sudah menunjukkan jelas kemarahan wanita itu. Ya, harus Bintang akui bahwa dirinya banyak salah di hari pertama bekerja. 

“Bu Lina, saya—” 

“Bintang, kamu cepat naik ke atas! Pak Bara pasti udah nungguin kamu!” seru Lina kesal pada Bintang yang lambat. 

“Bu, tapi—” 

“Bintang, kamu itu ingin dipecat?” 

Bintang panik mendengar kata ‘Pecat’. Menganggur cukup lama tak akan mungkin dia biarkan terjadi lagi. Sudah susah payah mendapatkan pekerjaan, tentunya dia akan menyia-nyiakan pekerjaannya. 

“I-iya, Bu. Saya ke atas.” Bintang langsung berlari menuju lift, meninggalkan Lina. Tampak kegelisahan begitu terlihat jelas di wajah Bintang. Wanita itu menyadari bahwa dirinya berada di ambang berbahaya. 

“Ibu Bintang Dilara?” Andi menyapa Bintang yang baru saja muncul. 

Bintang mengangguk, berusaha menutupi kegugupannya. “I-iya, Pak?” 

“Anda sudah mengenal saya, kan?” tanya Andi memastikan. 

Bintang kembali mengangguk. “Iya, Pak. Anda asisten Pak Bara,” jawabnya pelan. Ini pertama kalinya dia menyebut nama ‘Bara’, dengan tambahan ‘Pak’. Sangat aneh, tapi dia akan tetap berusaha bersikap professional. 

“Pak Bara ada di dalam ruang kerjanya. Beliau ingin bertemu dengan Anda,” balas Andi memberi tahu. 

Bintang terdiam mendengar perintah Andi. Sesaat, dia mengembuskan napas panjang. Dia berusaha mati-matian menutupi perasaan campur aduk yang dia rasakan saat ini. Dia menyadari bahwa dia tak bisa lari sama sekali. Berlari sekencang apa pun, kenyataannya adalah takdir kembali mempertemukannya dengan sosok pria yang harusnya tak dia temui lagi. 

“Baik, saya akan menemui Pak Bara,” jawab Bintang sopan, lalu dia mulai melangkah menuju ke ruangan Bara. Tepat di kala sudah di depan pintu, dia mengetuk pintu dengan pelan—dan ketika mendapatkan perintah untuk masuk—dia segera masuk dengan langkah yang sangat pelan. 

“Selamat pagi, Pak Bara,” sapa Bintang dengan kepala yang masih tertunduk, tak berani menanatap Bara yang duduk di kursi kebesarannya. 

Bara menatap dingin Bintang yang berdiri tak jauh darinya. Dia masih belum mengatakan apa pun. Bahkan sapaan Bintang, hanya bagaikan angin di telinganya. Detik selanjutnya, pria tampan itu bangkit berdiri—dan melangkah mendekat ke arah Bintang—dengan aura wajah penuh keangkuhan dan dendam. 

“Begini caramu bicara dengan atasanmu? Kepala menunduk? Tidak tahu etika!” seru Bara tajam. 

Tangan Bintang gemetar di kala jarak Bara sangat dekat dengannya. Aroma parfume masukulin Bara menyeruak ke indra penciuman Bintang, seakan melumpuhkan seluruh organ saraf di tubuh wanita itu.  

“Angkat wajahmu ketika bicara denganku!” titah Bara tegas, di kala Bintang masih terus menundukkan kepalanya. 

Selama Bintang mengenal sosok Bara, ini pertama kali Bara membentaknya. Nada yang lembut yang biasa Bintang dengar, tak lagi didengar olehnya. Semua telah berubah, dan Bintang harus menyadari itu. Dia dan Bara kembali dipertemukan, tapi semua tak lagi sama. 

“M-maafkan saya, Pak Bara,” ucap Bintang gugup di kala menatap mata Bara. 

Bara belum mengatakan apa pun. Sepasang iris mata cokelatnya menatap dingin, dan tajam Bintang. Tatapannya pada Bintang tak lagi sama. Dia menatap Bintang dengan penuh kebencian, sedangkan Bintang menatap Bara dengan rasa takut yang terselip rasa bersalah. Sayangnya Bara tak menyadari bahwa tatapan mata Bintang tersirat tatapan rasa bersalah. 

 

Bab terkait

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 5. Mari Lupakan Masa Lalu 

    Bintang tak bergerak sedikit pun di kala Bara begitu dekat dengannya. Dia sedikit ingin melangkah mundur, tapi dia merasa bahwa kakinya tak bisa digerakan sama sekali. Seakan berada di ambang maut, Bintang benar-benar tak bisa berkutik. “P-pak, s-saya—” “Bagaimana rasanya memanggil orang yang kamu hina dengan sebutan ‘Bapak?’ Bukankah dulu kamu mengatakan bahwa aku ini hanya pas-pasan?” Bara berkata sangat sarkas, menggali kembali ucapan Bintang masa lalu. Bintang menelan salivanya susah payah. Kepingan memorinya mengingat semua hinaan tajam yang sudah dia ucapkan pada Bara. Tentu dia tak akan mungkin lupa. Bahkan jika sekarang Bara menaruh dendam serta kebencian padanya adalah hal yang wajar. Bintang menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Mati-matian, dia berusaha mengatasi dirinya sendiri. Hari ini adalah hari yang paling tidak diinginkan oleh Bintang. Dari jutaan banyak manusia di muka bumi ini, kenapa Bintang harus kembali dipertemukan dengan Bara? Sungguh, takdir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 1. Saling Menyakiti  

    “Aku mau putus.” Kata-kata yang lolos di bibir gadis cantik bernama Bintang, membuat Bara yang duduk di hadapannya sontak terkejut. Tampak aura wajah Bara menunjukkan emosi yang tak bisa tertahan. Sorot menajam yang tercipta di mata Bara, tak membuat Bintang takut sedikit pun. “Aku lagi nggak suka becanda, Bi. Jangan ngomong hal-hal konyol,” jawab Bara menekankan, tak suka diajak bercanda oleh kekasihnya itu. Bintang bangkit berdiri. “Aku nggak bercanda, Bara. Aku udah bosen sama kamu. Aku mau kita putus.” Bintang hendak pergi, tapi Bara menahan lengan Bintang. “Nggak usah main-main bisa nggak sih? Aku lagi capek!” Bintang menepis kasar tangan Bara, berusaha kuat menahan air mata yang nyaris tumpah. “Aku udah bosen sama kamu. Kamu nggak lebih baik dari Mario. Aku capek sama kamu yang selalu naik motor. Sementara Mario punya mobil bagus. Aku capek sama kamu diajak makan di pinggir jalan, sedangkan Mario selalu bawa aku ke restoran mahal. Aku capek sama kamu yang kasih kado boneka,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 2. Semesta Mengajak Bercanda 

    Empat Tahun Berlalu … Bintang mengumpat pelan di kala melihat antrean busway sangat padat. Sialnya dia bangun terlambat, sehingga ketika tiba di halte sudah menyaksikan banyak sekali lautan manusia. Tampak embusan napas kasar lolos di bibir wanita cantik itu. Bintang tak memiliki pilihan lain, dia terpaksa menggunakan taksi. Hari ini adalah hari pertama bintang bekerja. Dia tak ingin sampai terlambat di kantor. Mendapatkan pekerjaan di Jakarta bukan hal yang mudah. Menganggur cukup lama, akhirnya Bintang bisa diterima di sebuah perusahaan ternama. “Bintang Dilara, Anda tahu jam berapa ini?!” seorang wanita cantik bernama Lina, yang merupakan HRD Manager memberikan teguran cukup keras pada Bintang yang baru saja tiba di kantor. Bintang sedikit panik. “I-iya, Bu Lina. Saya Bintang Dilara. M-maaf saya terlambat.” Bintang sudah naik taksi, tapi sialnya jalanan di kota Jakarta tetap macet. Hal tersebut yang membuat Bintang tiba di kantornya terlambat. Letak kantor di Jakarta Selatan,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 3. Cinta dan Dendam yang Melebur Menjadi Satu   

    New York, USA. Salju turun di kota Manhattan cukup lebat. Sosok pria tampan berdiri di bangunan menjulang tinggi sebuah penthouse mewah. Sorot mata dingin, dengan aura wajah tegas begitu terlihat. Pria tampan itu baru saja baru saja selesai memeriksa pekerjaan yang dikirimkan oleh karyawannya. Bara Gunawan Gunaraya, pria tampan berusia 25 tahun itu langsung menonaktifkan ponselnya di kala terus menerus mendapatkan telepon dari ibunya. Jika tak ingin diganggu, maka Bara tak ingin diganggu oleh siapa pun. “Pak Bara,” sapa Andi, asisten pribadi Bara, melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara menatap dingin Andi yang baru saja datang ke penthouse-nya. “Kamu tahu ini jam berapa? Kenapa kamu mengganggu waktu saya?” Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Bara tak suka jika diganggu, tapi malah asisten pribadinya mendatanginya. Padahal pria tampan itu sudah mengatakan, jika ingin membahas pekerjaan maka lebih baik ditunda sampai jam kantor. Andi menundukkan kepalanya. “Pak Bar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27

Bab terbaru

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 5. Mari Lupakan Masa Lalu 

    Bintang tak bergerak sedikit pun di kala Bara begitu dekat dengannya. Dia sedikit ingin melangkah mundur, tapi dia merasa bahwa kakinya tak bisa digerakan sama sekali. Seakan berada di ambang maut, Bintang benar-benar tak bisa berkutik. “P-pak, s-saya—” “Bagaimana rasanya memanggil orang yang kamu hina dengan sebutan ‘Bapak?’ Bukankah dulu kamu mengatakan bahwa aku ini hanya pas-pasan?” Bara berkata sangat sarkas, menggali kembali ucapan Bintang masa lalu. Bintang menelan salivanya susah payah. Kepingan memorinya mengingat semua hinaan tajam yang sudah dia ucapkan pada Bara. Tentu dia tak akan mungkin lupa. Bahkan jika sekarang Bara menaruh dendam serta kebencian padanya adalah hal yang wajar. Bintang menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Mati-matian, dia berusaha mengatasi dirinya sendiri. Hari ini adalah hari yang paling tidak diinginkan oleh Bintang. Dari jutaan banyak manusia di muka bumi ini, kenapa Bintang harus kembali dipertemukan dengan Bara? Sungguh, takdir

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 4. Takdir yang Telah Digoreskan 

    “B-Bara?” Napas Bintang seakan tercekat. Debar jantungnya berpacu dengan kencang seolah ingin berhenti berdetak. Dia bahkan sampai melangkah mundur, guna memastikan bahwa semua ini mimpi. Namun, sayangnya dia menyadari bahwa ini adalah nyata, bukan mimpi. “Bintang? Kamu kenal Pak Bara?” tanya Wilona berbisik pada Bintang yang tampak seperti terkejut melihat Bara. Bintang masih belum menjawab pertanyaan Wilona. Gelengan di kepalanya seakan jawaban dari pertanyaan yang lolos di bibir Wilona. Bintang tak sanggup untuk berkata-kata akibat kembali melihat sosok pria yang seharusnya tak dia lihat lagi. Bara yang berdiri di tengah-tengah lobi, tatapannya menatap dingin Bintang yang berjarak tak terlalu jauh darinya. Dia bisa melihat tatapan terkejut Bintang, sedangkan dia tetap tenang di tempatnya. Namun, meski tenang—sorot matanya begitu tajam seakan penuh amarah dendam pada Bintang. “Selamat pagi semua. Saya Andi, asisten pribadi Pak Bara Gunawan Gunaraya. Mulai detik ini Pak Bara aka

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 3. Cinta dan Dendam yang Melebur Menjadi Satu   

    New York, USA. Salju turun di kota Manhattan cukup lebat. Sosok pria tampan berdiri di bangunan menjulang tinggi sebuah penthouse mewah. Sorot mata dingin, dengan aura wajah tegas begitu terlihat. Pria tampan itu baru saja baru saja selesai memeriksa pekerjaan yang dikirimkan oleh karyawannya. Bara Gunawan Gunaraya, pria tampan berusia 25 tahun itu langsung menonaktifkan ponselnya di kala terus menerus mendapatkan telepon dari ibunya. Jika tak ingin diganggu, maka Bara tak ingin diganggu oleh siapa pun. “Pak Bara,” sapa Andi, asisten pribadi Bara, melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara menatap dingin Andi yang baru saja datang ke penthouse-nya. “Kamu tahu ini jam berapa? Kenapa kamu mengganggu waktu saya?” Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Bara tak suka jika diganggu, tapi malah asisten pribadinya mendatanginya. Padahal pria tampan itu sudah mengatakan, jika ingin membahas pekerjaan maka lebih baik ditunda sampai jam kantor. Andi menundukkan kepalanya. “Pak Bar

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 2. Semesta Mengajak Bercanda 

    Empat Tahun Berlalu … Bintang mengumpat pelan di kala melihat antrean busway sangat padat. Sialnya dia bangun terlambat, sehingga ketika tiba di halte sudah menyaksikan banyak sekali lautan manusia. Tampak embusan napas kasar lolos di bibir wanita cantik itu. Bintang tak memiliki pilihan lain, dia terpaksa menggunakan taksi. Hari ini adalah hari pertama bintang bekerja. Dia tak ingin sampai terlambat di kantor. Mendapatkan pekerjaan di Jakarta bukan hal yang mudah. Menganggur cukup lama, akhirnya Bintang bisa diterima di sebuah perusahaan ternama. “Bintang Dilara, Anda tahu jam berapa ini?!” seorang wanita cantik bernama Lina, yang merupakan HRD Manager memberikan teguran cukup keras pada Bintang yang baru saja tiba di kantor. Bintang sedikit panik. “I-iya, Bu Lina. Saya Bintang Dilara. M-maaf saya terlambat.” Bintang sudah naik taksi, tapi sialnya jalanan di kota Jakarta tetap macet. Hal tersebut yang membuat Bintang tiba di kantornya terlambat. Letak kantor di Jakarta Selatan,

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 1. Saling Menyakiti  

    “Aku mau putus.” Kata-kata yang lolos di bibir gadis cantik bernama Bintang, membuat Bara yang duduk di hadapannya sontak terkejut. Tampak aura wajah Bara menunjukkan emosi yang tak bisa tertahan. Sorot menajam yang tercipta di mata Bara, tak membuat Bintang takut sedikit pun. “Aku lagi nggak suka becanda, Bi. Jangan ngomong hal-hal konyol,” jawab Bara menekankan, tak suka diajak bercanda oleh kekasihnya itu. Bintang bangkit berdiri. “Aku nggak bercanda, Bara. Aku udah bosen sama kamu. Aku mau kita putus.” Bintang hendak pergi, tapi Bara menahan lengan Bintang. “Nggak usah main-main bisa nggak sih? Aku lagi capek!” Bintang menepis kasar tangan Bara, berusaha kuat menahan air mata yang nyaris tumpah. “Aku udah bosen sama kamu. Kamu nggak lebih baik dari Mario. Aku capek sama kamu yang selalu naik motor. Sementara Mario punya mobil bagus. Aku capek sama kamu diajak makan di pinggir jalan, sedangkan Mario selalu bawa aku ke restoran mahal. Aku capek sama kamu yang kasih kado boneka,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status