Bintang tak bergerak sedikit pun di kala Bara begitu dekat dengannya. Dia sedikit ingin melangkah mundur, tapi dia merasa bahwa kakinya tak bisa digerakan sama sekali. Seakan berada di ambang maut, Bintang benar-benar tak bisa berkutik.
“P-pak, s-saya—” “Bagaimana rasanya memanggil orang yang kamu hina dengan sebutan ‘Bapak?’ Bukankah dulu kamu mengatakan bahwa aku ini hanya pas-pasan?” Bara berkata sangat sarkas, menggali kembali ucapan Bintang masa lalu. Bintang menelan salivanya susah payah. Kepingan memorinya mengingat semua hinaan tajam yang sudah dia ucapkan pada Bara. Tentu dia tak akan mungkin lupa. Bahkan jika sekarang Bara menaruh dendam serta kebencian padanya adalah hal yang wajar. Bintang menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Mati-matian, dia berusaha mengatasi dirinya sendiri. Hari ini adalah hari yang paling tidak diinginkan oleh Bintang. Dari jutaan banyak manusia di muka bumi ini, kenapa Bintang harus kembali dipertemukan dengan Bara? Sungguh, takdir telah mempermainkannya. “Pak Bara, saya minta maaf jika ada perkataan saya yang menyakiti Anda. Mari lupakan apa yang terjadi di belakang. Sekarang saya hanya sekretaris Anda, dan Anda adalah atasan saya,” jawab Bintang berusaha setenang mungkin. Bara menyunggingkan senyuman sinis mendengar ucapan Bintang. “Aku tidak akan pernah melupakan ucapan wanita murahan yang berani menghinaku.” Perkataan Bara bagaikan pisau yang menusuk relung hati Bintang. Sebutan ‘Wanita Murahan’, seakan sebutan final yang memang sudah seharusnya. Kata-kata itu menyakitkan, tapi Bintang berusaha keras untuk menerima. Bintang mendongak, memberanikan diri menatap Bara. “Pak Bara yang terhormat, apa yang Anda katakan adalah benar. Saya ini adalah wanita murahan. Saya menerima apa pun apa yang Anda katakan. Sekali lagi saya mohon maaf, tapi saya berjanji akan bekerja sebagai sekretaris Anda dengan baik. Saya tidak akan menyangkutpautkan hal pribadi dalam urusan pekerjaan. Permisi, Pak Bara, jika tidak ada lagi yang Anda ucapkan saya akan kembali ke meja kerja saya. Ada beberapa dokumen dari mantan sekretaris lama Pak Galih untuk saya pelajari.” Tanpa berkata lagi, Bintang memberanikan diri melangkah pergi meninggalkan Bara. Sementara Bara masih bergeming di tempatnya—dengan tatapan menatap Bintang penuh dendam serta kebencian mendalam. Bara tidak akan pernah melupakan bagaimana Bintang menghancurkannya. *** Jam pulang kantor tiba. Para karyawan Gunaraya Group mulai meninggalkan kantor. Bintang masih berada di kursi kerjanya sambil mempelajari dokumen yang ada. Otaknya sedari tadi berusaha mencerna bahwa semua ini adalah nyata. Pria yang telah dia sakiti sekarang telah menjadi bosnya sendiri. “Bintang, kamu nggak pulang?” tanya Wilona seraya menatap Bintang yang sibuk mempelajari dokumen. Bintang menoleh, menatap Wilona yang sudah bergegas ingin pulang. “Tanggung, Wil. Nanti aja aku pulangnya. Masih ada yang harus aku pelajari.” Wilona mengangguk singkat. “Pak Bara udah pulang?” Bintang terdiam sebentar mendengar pertanyaan Wilona. Kursi kerjanya berada di depan ruangan Bara, dari tadi dia tak melihat Bara keluar. Hanya Andi yang mondar-mandir ke dalam ruangan Bara. Jika seperti itu, maka artinya Bara belum pulang. “Bara, eh maksudnya Pak Bara belum pulang,” jawab Bintang buru-buru mengoreksi. Bahaya jika Wilona curiga padanya. William mengangguk. “Ya sudah, aku pulan duluan ya, Bintang. Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu. Tunanganku di bawah udah jemput aku.” Bintang tersenyum lembut. “Jadi, kau sudah memiliki tunangan?” “Ya, Bintang. Dalam waktu dekat, aku dan tunanganku akan menikah. Kamu pasti akan aku undang. Wajib datang, ya?” “Tentu saja!” “Oke, sampai bertemu besok, Bintang.” “Sampai bertemu besok, Wilona. Take care.” Wilona mengagguk merespon ucapan Bintang. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Bintang. Sementara Bintang masih memilih fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Wanita cantik itu belum ingin pergi, karena terlalu banyak yang dia pikirkan. Semua yang terjadi pada Bintang seakan telah ditakdirkan. Awalnya Bintang seorang penggangguran yang lama tidak mendapatkan pekerjaan. Namun, di kala dia mulai melamar di Gunaraya Group, tiba-tiba saja dia diterima. Padahal Bintang sempat tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki. Bintang tentu merasakan bahagia di kala diterima di Gunaraya Group, tapi semua kebahagiaannya seakan lenyap di kala fakta menyakitkan muncul. Bara—mantan kekasihnya—ternyata adalah CEO dari Gunaraya Group. Jika saja Bintang tahu dari awal, maka Bintang tak akan mau bekerja di Gunaraya Group. Ingin sekali Bintang segera mengajukan surat pengunduran diri, tapi dia sadar bahwa sekarang dia telah terjebak. Bintang membutuhkan uang. Jika dia mengundurkan diri, bagaimana kehidupannya? Terlebih dia bukan hanya membiayai dirinya saja. Goresan nasib ini memang sudah seharusnya Bintang terima. Meski sangat pahit. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Bintang mulai merasakan lelah. Dia memutuskan untuk pulang, tapi sebelum pulang dia merapikan lebih dulu dokumen-dokumen yang ada di atas meja. Detik selanjutnya, Bintang mengambil tasnya—dan hendak meninggalkan mejanya, tetapi langkahnya terhenti di kala melihat Bara keluar dari ruang kerjanya. Bintang menundukkan kepala. “Selamat malam, Pak Bara. Saya izin pulang.” Bara tak mengindahkan ucapan Bintang. Dia melangkah melewati Bintang begitu saja bagaikan angin lalu. Tampak Bintang terus menatap Bara yang mulai lenyap dari pandangannya. Wanita itu menerima Bara bersikap sangat dingin, dan terkesan tak peduli padanya. Sebab memang sudah seharusnya Bara bersikap demikian padanya. Bara menggunakan lift pribadi, sedangkan Bintang menggunakan lift khusus karyawan. Bintang lega karena tidak satu lift dengan Bara. Paling tidak hatinya menjadi tenang dan damai sementara waktu. Di area lobi, banyak karyawan yang menunggu dijemput atau ada yang masih bersantai. Bintang melihat Bara masuk ke dalam mobil sport berwarna hitam, sedangkan dia berjalan menuju halter busway yang jaraknya tak jauh. Tampak senyuman di wajah Bintang terlukis melihat mobil sport Bara dilajukan dengan kecepatan penuh. Hati Bintang ikut senang, karena Bara memiliki kehidupan yang baik. Dulu saat kuliah, Bara selalu naik motor lama yang sering mogok, dan sekarang Bara menaiki mobil sport mahal. Hanya saja sekarang telah berbeda. Keadaan tidak lagi sama. Bara yang dia kenal dulu, bukan Bara arogan yang sekarang. Bintang berjalan menuju halte dengan wajah yang sedikit riang. Dia menikmati antrean panjang di halte busway. Meski sudah pulang malam, tapi kenyataannya halte busway masih dipadati orang pulang kantor. Saat Bintang sedang mengantre, tanpa sadar sepasang iris mata cokelat menatap dingin dan tajam Bintang. Ya, Bara dari kejauhan memarkirkan mobil sport-nya dan berjarak tak terlalu jauh dari halte busway. Pria tampan itu memfokuskan pandangannya pada Bintang yang berdiri di antrean yang cukup padat. “Ternyata ini kehidupanmu, Bintang. Aku pikir kamu sudah bergemilang harta,” ucap Bara sinis, penuh dendam.Langkah Bintang pelan, matanya memancarkan kelelahan yang mendalam. Akan tetapi perlahan kerapuhan di wajahnya lenyap melihat bocah laki-laki berusia tiga tahun berlari menghampirinya, dan langsung memberikan pelukan erat di tubuhnya. “Mama! Aku kangen Mama,” ucap bocah laki-laki tampan, seraya terus memeluk erat Bintang. Bintang tersenyum, menundukkan tubuhnya, dan langsung menggendong bocah laki-laki itu. “Bima Sayang, Mama juga kangen Bima.” Bima Dirgantara Gunawan, bocah laki-laki tampan berusia tiga tahun itu sangat cerdas. Paras tampan membuat semua orang sangat menyukainya. Ya, Bima adalah alasan Bintang mati-matian berjuang sekeras mungkin. Yang Bintang lakukan adalah memberikan kehidupan yang layak untuk putranya. Bintang hidup di dunia ini sebatang kara. Dia tak lagi memiliki kedua orang tua. Sejak kecil, Bintang telah kehilangan kedua orang tuanya. Dia dibesarkan oleh adik dari ibunya. Namun, saat Bintang duduk di bangku SMA, dia telah kehilangan tantenya—yang sudah dia
“Ah, sial! Kenapa aku kesiangan?!” Bintang melonjak terkejut, di kala melihat jam dinding—waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Sementara jam kantornya mulai dari jam sembilan pagi. Umpatan pelan lolos di bibirnya, dia mengacak-acak rambutnya akibat kepanikan melanda. Tak bisa lagi berpikir jernih, Bintang berlari masuk ke dalam kamar mandi. Bersiap-siap secara kilat, itu yang ada di dalam pikiran Bintang. Bahkan, dia pun tak bisa berias terlalu lama. Jika sudah lama bekerja mungkin dia tak akan sepanik ini. Yang menjadi masalah utama adalah dirinya masih menjadi karyawan baru. Lima belas menit berlalu, Bintang sudah selesai bersiap. Wanita cantik itu menyambar tas dan ponselnya. Tampak Mbok Inem sedang menyuapi Bima di ruang tamu. “Bu Bintang, tadi saya sudah mencoba membangunkan ibu, tapi ibu tidak bangun. Saya pikir ibu kelelahan. Jadi, saya tidak berani membangunkan ibu lagi,” ucap Mbok Inem kala melihat Bintang terburu-buru. Bintang mendesah panjang, merutuki kebodohannya yan
Bintang melangkah keluar dari ruang kerja Bara. Raut wajahnya sangat lesu menunjukkan jelas ada beban pikiran yang mengusik ketenangannya. Ancaman dari Bara berputar di kepalanya. Bohong jika Bintang tidak takut, jelas saja dia khawatir akan ancaman Bara. Kondisi sekarang telah berubah total. Bara memiliki kekuasaan yang bisa membuat Bintang terpuruk. Fakta seperti itu, dan Bintang sama sekali tidak bisa mengelak akan kenyataan yang ada. Bara yang dia kenal dulu sangat berbeda jauh dengan Bara yang sekarang dia kenal. Bara sekarang penuh dendam dan menatap Bintang dengan tatapan kebencian mendalam. Jika saja Bintang mendapatkan penawaran bekerja di perusahaan lain, maka pasti Bintang akan bekerja di perusahaan lain. Namun kondisinya mencari pekerjaan sangat sulit. Bintang duduk di kursi kerjanya dengan raut wajah muram. Kesedihan membentang. Sejak dia dibentak oleh Bara, hatinya sangat sakit dan terluka. Ingin sekali dia menangis di depan Bara, tapi dia tak menahan diri karena tak
Bintang mendapati Bima sudah tertidur lelap di kala dia sudah pulang dari kantor. Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Sangat wajar jika putra kesayangannya itu sudah tidur pulas. Dia tak ingin membangunkan, dia memilih untuk melangkah menuju dapur mengambil minum.“Bu, sudah pulang?” Mbok Inem tersenyum menatap Bintang.Bintang menegguk minumannya perlahan, lalu meletakan gelas ke atas meja. “Iya, Mbok. Maaf hari ini aku pulang malam. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus.”“Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti pasti banyak pekerjaan yang harus ibu kerjakan,” jawab Mbok Inem sopan.Bintang tersenyum. “Mbok, hari ini Bima nggak rewel, kan?”“Tidak, Bu. Den Bima anak yang pintar dan baik. Tapi, Bu, maaf tadi ada pertanyaan Den Bima pada saya, yang saya bingung untuk menjawab.”“Pertanyaan apa, Mbok?”“Jadi tadi saya menonton televisi, dan ada adegan di mana anak-anak bermain dengan papa mereka. Den Bima bertanya pada saya ke mana papanya. Jujur saya bingung, Bu. Saya hanya m
“Ibu Bintang, Anda dipanggil Pak Bara.” Andi menghampiri Bintang yang baru saja menyelesaikan pekerjaan. Tampak Bintang menunjukkan sedikit rasa gelisah mendengar perkataan Andi. Bintang mengangguk patuh. “Baik, Pak. Saya akan menemui Pak Bara sekarang.” Andi menunduk, lalu pamit undur diri dari hadapan Bintang. Tepat di kala Andi sudah pergi, Bintang segera melangkah menuju ruang kerja Bara. Entah apa yang akan Bara katakan padanya. Yang pasti Bintang masih khawatir tentang hukuman yang Bara berikan padanya. “Permisi, Pak,” ucap Bintang saat sudah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara yang duduk di kursi kebesarannya, memberikan tatapan dingin pada Bintang. “Malam ini, aku akan memberikan alamat padamu. Kamu harus datang tepat waktu. Ingat, aku tidak suka orang datang terlambat.” Bintang terdiam sejenak dengan kegelisahan yang membentang. Ya, malam ini adalah di mana Bintang harus menjalani hukumannya. Wanita cantik itu tak tahu hukuman apa yang akan dia terima. Yang pasti Bint
Lidah Bintang seakan kaku tak mampu menjawab ucapan Bara. Matanya membulat sempurna. Kakinya tak bisa bergerak sedikit pun. Dia merasa bahwa telinganya mengalami pendengaran yang salah, tapi rasanya apa yang dikatakan Bara sangat jelas. Napas Bintang mulai menjadi tidak teratur, akibat rasa gelisah bercampur dengan cemas yang membentang. Dia melangkah mundur, berusaha untuk tidak panik. Padahal jujur, menjadi tenang adalah hal rumit untuk sekarang ini. “M-maaf, Pak, a-apa maksud Anda?” tanya Bintang dengan nada terbata-bata. Bara menyilangkan kaki kanannya, bertumpu ke paha kiri. “Aku rasa apa yang aku katakan tadi sangat jelas. Kamu mendengar kalimatku dengan baik, kan?” Bintang menggigit bibir bawahnya. Sungguh, selama dia mengenal Bara, belum pernah Bara merendahkan dirinya seperti ini. Bintang kehilangan kata, dia tak tahu harus bicara seperti apa. Air matanya nyaris berlinang jatuh membasahi pipinya, tetapi dia mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Dia tak ingin le
Langit malam di kota Jakarta tampak mendung. Bulan dan bintang tak menyinari langit luas. Awan gelap menggumpal menandakan bahwa sebentar lagi turun hujan. Cuaca malam itu sama seperti dengan kondisi Bintang yang menunjukkan kesedihan. Mata wanita cantik itu sudah sembab, akibat tangis yang sejak tadi tak kunjung mereda. Bintang duduk di dalam taksi dengan air mata yang tak henti berlinang. Sesekali sang sopir taksi melirik Bintang dari kaca spion, tapi tentu sang sopir taksi tak berani bertanya. Hanya raut wajah sang sopir taksi tampak tak tega melihat Bintang yang menangis pilu. “Kak, apa kakak butuh tisu?” tanya sang sopir taksi pada Bintang. Bintang menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya. “Terima kasih, Pak,” jawabnya sambil menerima tisu pemberian dari sang sopir taksi. Sang sopir taksi tersenyum lembut. “Kak, kalau hari kakak berat, ingat saja hidup akan terus berjalan.” Bintang terdiam sebentar mendengar nasihat dari sang sopir taksi. “Hari terus berjalan, tapi
“Kalian sudah mencoba menghubungi Bintang lagi?” Andi bertanya pada Lina dan Wilona. Sejak panggilan telepon diputus secara sepihak oleh bosnya, membuatnya bertindak langsung menginterogasi kembali Lina dan Wilona. “Pak Andi, saya sudah berkali-kali menghubungi Bintang, tapi nomor telepon Bintang masih tidak aktif. Menurut saya, sifat Bintang tidak menunjukkan professional dalam bekerja. Jika Pak Andi berkenan, saya akan mencarikan sekretaris baru untuk Pak Bara,” ujar Lina dengan nada sopan. Wanita itu menunjukkan ketidaksukaannya pada Bintang. Sebab, baru menjadi karyawan baru Bintang sudah berani tidak tertib. Wilona panik mendengar ucapan Lina. Bagaimanapun Bintang adalah temannya. Dia mengenal selama ini Bintang sosok wanita yang baik. Dia tidak mau sampai Bintang dikekuarkan dari Gunaraya Group. “Tunggu, Pak Andi, mungkin saja Bintang sakit,” sambung Wilona secara terang-terangan membela Bintang. Lina menatap dingin Wilona. “Jika dia sakit, harusnya dia menghubungi saya. Se
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah