Bara masih berada di ruang kerjanya, menunggu Andi datang. Aura wajah pria tampan itu menunjukkan emosi, dan kemarahan tertahan. Kilat mata menajam, dan suara gigi menggemeletuk akibat geraman emosi dalam dirinya. Bara tak menyangka Bintang langsung tidak masuk bekerja. Wanita itu secara terang-terangan mengatakan padanya sangat membutuhkan pekerjaan, lalu kenapa malah wanita itu berani tak datang ke kantor? “Shit!” Bara mengumpati dirinya, yang tak henti memikirkan sosok Bintang. Bara menyambar rokok di hadapannya, menghidupkan rokoknya, dan mengisap rokok itu. Asap rokok memenuhi ruang kerja Bara. Saat pikiran yang kacau, biasanya dia akan minum alkohol ataupun merokok. Suara ketukan pintu terdengar … Bara langsung mematikan rokok di tangannya, mengalihkan pandangan ke arah pintu, lalu berkata tegas, “Masuk!” “Selamat sore, Pak Bara.” Andi masuk ke dalam ruang kerja Bara, seraya menundukkan kepala sopan. Bara menatap dingin Andi, mengabaikan sapaan asistennya itu. “Kamu sudah
Lina dan Wilona dibuat bungkam melihat kedatangan Bara. Tentu yang paling takut adalah Lina, karena wanita itu mengeluarkan kalimat pedas untuk Bintang. Ya, tidak ada yang bisa berkutik. Mereka semua menundukkan kepalanya sekarang—tapi berbeda dengan Bintang. Bintang Dilara sekarang menatap Bara yang mendekat, tatapan mata yang menunjukkan jelas kebingungan, dan rasa tak mengerti. Perkataan Bara sangat ambigu menurutnya, hingga membuatnya tak bisa memahami dengan jelas. Bara mengatakan bahwa hanya pria itu yang bisa memecatnya. Ini kalimat yang membuat Bintang bingung. Apakah Bara membelanya di depan Lina? Atau Bara memiliki tujuan lain? Jutaan pertanyaan muncul di dalam benak Bintang saat ini. Namun, wanita itu memilih untuk segera menepis semua pertanyaan yang muncul di kepalanya. Bintang datang kembali ke Gunaraya Group, tentu karena dia sangat membutuhkan pekerjaan. Meski telah direndahkan, tapi dia tetap datang. Alasannya? Jelas Bintang membutuhkan uang. Jika wanita cantik itu
Hujan turun membasahi kota Jakarta cukup deras. Gelegar petir membuat langit seakan terbelah akibat kilat petir yang besar. Terlihat lobi Gunaraya Group cukup dipadati dengan karyawan yang tak bisa pulang akibat turun hujan. Sebagian karyawan sudah pulang sebelum hujan turun, sedangkan karyawan yang tadinya bermaksud bersantai sebentar di lobi malah menjadi terjebak tak bisa pulang. Tampak Wilona bersama dengan tunangannya terpaksa harus menunggu sampai hujan sedikit reda. Meski Wilona dijemput menggunakan mobil, tapi hujan deras disertai dengan petir kencang. Hal tersebut yang membuat Wilona menjadi khawatir dan menunda pulang, paling tidak sampai petir reda. “Pak Bara?” sapa Wilona di kala melihat Bara berdiri di area lobi, terlihat ragu untuk pulang. Bara melirik sekilas Wilona. “Kamu belum pulang?” tanyanya dingin. Wilona menggelengkan kepalanya. “Belum, Pak. Saya lagi tunggu hujan reda. Hm, Pak, apa Bintang sudah pulang? Saya dari tadi di area lobi, tapi belum melihat di
Otak Bintang seakan tak bisa berfungsi dengan baik, di kala ada daging kenyal dan lembut menyapu bibirnya. Mata wanita itu masih terbuka untuk beberapa detik, sampai akhirnya dia terpejam akibat suasana yang seharusnya tak terjadi itu. Jemari lentik Bintang meremas lembut kemeja Bara di kala pria itu memberikan lumatan liar di bibirnya. Debar jantung wanita itu berpacu dengan kencang seakan ingin berhenti berdetak. Tidak … bukan hanya dia yang merasakan jantungnya berdebar, tapi dia juga bisa merasakan debar jantung Bara yang lebih cepat dari biasanya orang normal. Bintang tenggelam akan suasana hangat itu. Wanita cantik itu seakan lupa segalanya. Lupa tentang dinding penjulang tinggi yang telah dia ciptakan. Bintang berusaha untuk menyudahi ini semua, tapi hatinya seakan tak sanggup. Bintang menjadi lemah seolah tak memiliki tenaga. Lumatan yang diciptakan Bara sangat manis, sama seperti pertama kali Bintang berciuman dengan Bara. Wanita itu tak pernah menyangka setelah perpisah
Bintang sepertinya tak ingin datang ke kantor. Perasaan khawatirnya begitu berkecamuk tak menentu membuat rasanya dia tak semangat untuk betemu dengan orang-orang. Sungguh! Bintang ingin pergi dari ke luar angkasa di kala dia mengingat kejadian kemarin. Kejadian di mana Bara menggendongnya keluar dari lift. Sepanjang perjalanan menuju kantor, yang dilakukan Bintang adalah memanjatkan doa. Wanita cantik itu berharap para karyawan di Gunaraya Group tidak berpikir aneh-aneh padanya. Sialnya, hari ini adalah hari terakhir di setiap minggu untuk bekerja. Sementara weekend baru ada esok hari. Bintang berharap weekend adalah hari ini agar dia tak perlu menghadapi tatapan teman-teman kerjanya. Namun, sepertinya semesta sedang menguji Bintang. Sebab, masalah didatangkan begitu bertubu-tubi seakan memang sengaja membuat Bintang terpojok. “Apa yang harrus aku katakan?” gumam Bintang gelisah, dia yakin saat tiba di kantor akan ada pertanyaan dari Wilona. Hal tersebut yang membuat Bintang menja
Weekend tiba hati Bintang cukup tenang, karena dia tak bertemu dengan teman-teman di kantornya yang membicarakan hal buruk tentangnya. Ya, setidaknya meski hati Bintang masih merasa gelisah, tapi paling tidak sekarang dia sedikit tenang. Meski demikian, Bintang tetap bersyukur karena Wilona mau percaya padanya. Selama ini Bintang tak memiliki teman dekat, tapi sejak bekerja di Gunaraya Group, dia memiliki Wilona yang baik padanya. Bahkan di kala ada gossip miring tetap Wilona percaya pada ucapannya. Jujur, Bintang sedikit merasa bersalah karena sudah menutupi pada Wilona tentang dirinya dengan Bara. Namun, tentu Bintang tak mungkin mengatakan hal sebenarnya. Bukan dia tak percaya pada Wilona, dia hanya ingin menutup kisah masa lalunya. Sebab, baginya dia dengan Bara telah benar-benar selesai. Tidak ada lagi lanjutan kisahnya dengan Bara. “Mama, hari ini Mama nggak kerja, kan?” tanya Bima sambil menikmati sarapannya. “Nggak, Sayang. Ini weekend. Mama nggak kerja di weekend,” jawab
Bara tak menyukai weekend-nya kali ini, karena dia dipaksa makan malam bersama dengan rekan bisnis ayahnya. Pria tampan itu sebenarnya sangat malas, tapi karena paksaan membuatnya mau tak mau menuruti permintaan orang tuanya. Malam itu, Bara mendatangi restoran Bunga Ramai yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Dia melangkah masuk, dan sudah mendapatkan sambutan ramah dari para pelayan. Namun, karena kondisi hati yang tak baik membuat Bara mengabaikan sapaan dari para pelayan itu. “Bara, di sini, Sayang,” seru Della seraya melambaikan tangannya ke arah putranya. Bara tak mengatakan apa pun, dia melangkah mendekat menghampiri orang tuanya. “Maaf, aku terlambat,” ucapnya memberikan kecupan di kening ibunya, lalu duduk di kursi tepat di samping ibunya. Della tersenyum hangat menatap Bara. “Tidak apa-apa, Sayang. Mama ngerti kamu pasti sibuk.” “Bara, salam pada Om Darman,” ucap Galih mengingatkan putranya. Bara tersenyum di balik wajah dinginnya, menatap pria paruh baya bernama D
Bintang membeku diam di tempatnya melihat pemandangan gila ini. Dia menyakinkan apa yang dia lihat ini salah, tapi tidak sama sekali. Apa yang dia lihat ini nyata, tidak salah. Bara—pria itu ada di hadapannya bersama dengan seorang wanita cantik memeluk lengannya. Bintang menjadi bingung bagaimana harus bersikap. Hal paling gila adalah kenapa dia harus bertemu dengan Bara di saat dirinya bersama dengan Bima? Sungguh, Bintang merasa takdir mempermainkan dirinya. Ingin rasanya dia berlari, tapi rasanya sangat sulit. Dia merasa dirinya sangat terjebak. Bara bagaikan terpancing oleh panasnya api, tatapannya menatap tajam Bintang bersama Mario. Hal yang membuat emosinya semakin memuncak adalah dirinya melihat bocah kecil bersama dengan Bintang dan Mario. Pertanyaan di kepalanya seakan otomatis terjawab, dan menimbulkan kemarahan tertahan. “Om, maafin aku. Aku nggak sengaja,” ucap Bima dengan suara pelan, dan tatapan menatap Bara. Bintang yang menyadari Bima meminta maaf pada Bara, lan
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah