Weekend tiba hati Bintang cukup tenang, karena dia tak bertemu dengan teman-teman di kantornya yang membicarakan hal buruk tentangnya. Ya, setidaknya meski hati Bintang masih merasa gelisah, tapi paling tidak sekarang dia sedikit tenang. Meski demikian, Bintang tetap bersyukur karena Wilona mau percaya padanya. Selama ini Bintang tak memiliki teman dekat, tapi sejak bekerja di Gunaraya Group, dia memiliki Wilona yang baik padanya. Bahkan di kala ada gossip miring tetap Wilona percaya pada ucapannya. Jujur, Bintang sedikit merasa bersalah karena sudah menutupi pada Wilona tentang dirinya dengan Bara. Namun, tentu Bintang tak mungkin mengatakan hal sebenarnya. Bukan dia tak percaya pada Wilona, dia hanya ingin menutup kisah masa lalunya. Sebab, baginya dia dengan Bara telah benar-benar selesai. Tidak ada lagi lanjutan kisahnya dengan Bara. “Mama, hari ini Mama nggak kerja, kan?” tanya Bima sambil menikmati sarapannya. “Nggak, Sayang. Ini weekend. Mama nggak kerja di weekend,” jawab
Bara tak menyukai weekend-nya kali ini, karena dia dipaksa makan malam bersama dengan rekan bisnis ayahnya. Pria tampan itu sebenarnya sangat malas, tapi karena paksaan membuatnya mau tak mau menuruti permintaan orang tuanya. Malam itu, Bara mendatangi restoran Bunga Ramai yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Dia melangkah masuk, dan sudah mendapatkan sambutan ramah dari para pelayan. Namun, karena kondisi hati yang tak baik membuat Bara mengabaikan sapaan dari para pelayan itu. “Bara, di sini, Sayang,” seru Della seraya melambaikan tangannya ke arah putranya. Bara tak mengatakan apa pun, dia melangkah mendekat menghampiri orang tuanya. “Maaf, aku terlambat,” ucapnya memberikan kecupan di kening ibunya, lalu duduk di kursi tepat di samping ibunya. Della tersenyum hangat menatap Bara. “Tidak apa-apa, Sayang. Mama ngerti kamu pasti sibuk.” “Bara, salam pada Om Darman,” ucap Galih mengingatkan putranya. Bara tersenyum di balik wajah dinginnya, menatap pria paruh baya bernama D
Bintang membeku diam di tempatnya melihat pemandangan gila ini. Dia menyakinkan apa yang dia lihat ini salah, tapi tidak sama sekali. Apa yang dia lihat ini nyata, tidak salah. Bara—pria itu ada di hadapannya bersama dengan seorang wanita cantik memeluk lengannya. Bintang menjadi bingung bagaimana harus bersikap. Hal paling gila adalah kenapa dia harus bertemu dengan Bara di saat dirinya bersama dengan Bima? Sungguh, Bintang merasa takdir mempermainkan dirinya. Ingin rasanya dia berlari, tapi rasanya sangat sulit. Dia merasa dirinya sangat terjebak. Bara bagaikan terpancing oleh panasnya api, tatapannya menatap tajam Bintang bersama Mario. Hal yang membuat emosinya semakin memuncak adalah dirinya melihat bocah kecil bersama dengan Bintang dan Mario. Pertanyaan di kepalanya seakan otomatis terjawab, dan menimbulkan kemarahan tertahan. “Om, maafin aku. Aku nggak sengaja,” ucap Bima dengan suara pelan, dan tatapan menatap Bara. Bintang yang menyadari Bima meminta maaf pada Bara, lan
Hati Bintang menjadi gelisah, tak menentu. Setelah kejadian di mana Bara bertemu secara tak sengaja dengan Bima, membuat rasa khawatir dalam diri Bintang timbul. Tentu, Bintang tak ingin sampai Bara mengetahui segala fakta yang ada. Bintang rasanya ingin tidak datang ke kantor, tapi itu adalah sesuatu hal yang tidak mungkin. Hari ini dia mengingat Bara memiliki jadwal meeting penting—yang mana dirinya wajib mempersiapkan segala dokumen yang dibutuhkan Bara. “Bintang, kamu harus tenang. Bara nggak akan curiga kalau kamu tetap tenang,” gumam Bintang meneguhkan pada dirinya sendiri, bahwa semua akan berjalan dengan baik, jika dirinya tetap tenang. “Mama, hari ini apa Mama bekerja?” tanya Bima sambil mendekati Bintang. Namun, sayangnya, pertanyaan Bima tak direspon oleh ibunya itu. “Mama?” tegur Bima lagi di kala Bintang tak memberikan respon. Bintang membuyarkan lamunan yang mengusik ketenangan jiwanya. “Eh, iya, Nak? Ada apa?” Bima mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap Binta
Bintang memutuskan menolak panggilan telepon itu, tapi getar ponsel kembali terdengar. Ya, rupanya Mario kembali berusaha menghubungi Bintang, tanpa menyerah. Hal ini membuat Bintang menjadi tak enak, dan serba salah. Apalagi dia mengingat kebaikan Mario. “Aku jawab saja,” gumam Bintang yang memutuskan untuk menjawab panggilan itu. “Halo, Mario?” jawab Bintang kala panggilan terhubung, dengan nada pelan, agar tidak ada yang dengar. “Bintang, maaf mengganggumu. Kamu pasti sedang bekerja, ya?” ujar Mario dari seberang sana. “Iya, Mario. Aku sedang bekerja.” “Boleh aku tahu di mana alamat kantormu, Bintang?” “Untuk apa, Mario?” “Aku hari ini memiliki meeting di luar, kalau kantormu dekat, kita akan pulang bersama. Aku memiliki hadiah untuk Bima.” “Astaga, Mario, harusnya kamu nggak usah repot-repot.” Bintang merasa tidak enak pada Mario. “Sama sekali nggak repot. Aku hanya membelikan robot untuk Bima,” jawab Mario tenang. “Boleh, aku tahu kantormu, Bintang?” Bintang terdiam se
Keheningan membentang dari dalam mobil. Bintang menatap lurus ke depan, dengan pandangan kosong. Mario duduk di samping Bintang seraya mengemudikan mobil. Sesekali pria itu melirik Bintang yang tampak muram, dan menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Harusnya kamu nggak nahan aku, Bintang. Aku nggak mau kamu direndahkan Bara,” ucap Mario seraya meremas setir mobilnya. Amarah dalam dirinya berusaha ditahan, perkataan Bara tadi membuatnya sangat emosi. Bintang menghela napas dalam. “Aku nggak mau kamu dan Bara ribut. Lagi pula apa yang Bara katakan itu benar, Mario. Aku hanya karyawan rendahan di sana. Aku nggak layak untuk mendapatkan pembelaan.” Mendengar apa yang dikatakan Bintang, membuat Mario langsung menepikan mobilnya. Tampak jelas tatapan mata Mario terlayang dingin, dan tajam. Pria tampan itu tak suka mendengar ucapan Bintang. “Kamu tahu, Bintang? Saat kamu memberikan alamat kantor sama aku, aku langsung cari tahu tentang perusahaan itu. Ternyata saat aku cari tahu, itu ada
“Terima kasih, Om Mario!” Bima memberikan pelukan erat di kala Mario, membawakannya mainan baru. Tampak bocah laki-laki itu sangat bahagia. Dia bahkan sampai tak melepaskan pelukan Mario. Tentu melihat itu membuat Bintang sedari tadi tersenyum. Bintang bersyukur memiliki teman yang peduli pada putranya. Meski Mario tahu fakta akan Bima merupakan anak Bara, tetap tidak mengubah apa pun. Terbukti Mario menunjukkan kepedulian yang tinggi pada Bima. Mario tersenyum melihat Bima senang. “Kamu benar-benar suka pemberian dariku, Boy?” Bima mengangguk antusias. “Sangat suka! Terima kasih, Om Mario.” Bintang membelai pipi bulat Bima. “Ayo, masuk ke dalam kamar, Nak. Ini sudah malam. Ucapkan selamat malam sama Om Mario.” Bima kembali mengangguk mematuhi perkataan ibunya. “Om Mario, aku harus masuk ke kamar. Sekali lagi terima kasih untuk mainannya. Good night, Om Mario.” “Good night, Boy. Mimpi indah.” Mario menurunkan Bima yang tadi ada digendongannya. Sebelum pergi, Bintang memberikan
Bibir saling menaut, saliva saling bertukar, membuat dua insan yang sedang terbaring di ranjang terbuai akan gelora api yang tercipta. Tubuh keduanya polos hanya selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang mereka. “Sayang, nanti setelah aku lulus kuliah kita nikah, yuk,” ajak Bara sambil membelai pipi Bintang. Bintang tersenyum, membelai pipi Bara. “Kamu nggak mau lanjut s2?” Bara menggelengkan kepalanya. “Kayaknya nggak. Lulus kuliah, aku mau langsung nikahin kamu.” “Nikah, kan nggak mudah, Bara,” ucap Bintang pelan, tapi menatap Bara dengan tatapan penuh cinta. Kening Bara mengerut. “Kenapa nggak mudah? Aku sudah ada tabungan untuk nikahin kamu. Aku juga akan mastiin hidup kamu akan bahagia sama aku. Nanti aku akan cari uang yang banyak buat bahagiain kamu.” Bintang tersenyum lembut. “Ini bukan tentang uang.” “Lalu, tentang apa?” tanya Bara lagi protes. “Aku hanya khawatir kita terlalu cepat menikah. Kamu pintar, Bara. Kamu bisa memiliki potensi mendapatkan beasiswa ke luar
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah