Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
“Aku mau putus.” Kata-kata yang lolos di bibir gadis cantik bernama Bintang, membuat Bara yang duduk di hadapannya sontak terkejut. Tampak aura wajah Bara menunjukkan emosi yang tak bisa tertahan. Sorot menajam yang tercipta di mata Bara, tak membuat Bintang takut sedikit pun. “Aku lagi nggak suka becanda, Bi. Jangan ngomong hal-hal konyol,” jawab Bara menekankan, tak suka diajak bercanda oleh kekasihnya itu. Bintang bangkit berdiri. “Aku nggak bercanda, Bara. Aku udah bosen sama kamu. Aku mau kita putus.” Bintang hendak pergi, tapi Bara menahan lengan Bintang. “Nggak usah main-main bisa nggak sih? Aku lagi capek!” Bintang menepis kasar tangan Bara, berusaha kuat menahan air mata yang nyaris tumpah. “Aku udah bosen sama kamu. Kamu nggak lebih baik dari Mario. Aku capek sama kamu yang selalu naik motor. Sementara Mario punya mobil bagus. Aku capek sama kamu diajak makan di pinggir jalan, sedangkan Mario selalu bawa aku ke restoran mahal. Aku capek sama kamu yang kasih kado boneka,
Empat Tahun Berlalu … Bintang mengumpat pelan di kala melihat antrean busway sangat padat. Sialnya dia bangun terlambat, sehingga ketika tiba di halte sudah menyaksikan banyak sekali lautan manusia. Tampak embusan napas kasar lolos di bibir wanita cantik itu. Bintang tak memiliki pilihan lain, dia terpaksa menggunakan taksi. Hari ini adalah hari pertama bintang bekerja. Dia tak ingin sampai terlambat di kantor. Mendapatkan pekerjaan di Jakarta bukan hal yang mudah. Menganggur cukup lama, akhirnya Bintang bisa diterima di sebuah perusahaan ternama. “Bintang Dilara, Anda tahu jam berapa ini?!” seorang wanita cantik bernama Lina, yang merupakan HRD Manager memberikan teguran cukup keras pada Bintang yang baru saja tiba di kantor. Bintang sedikit panik. “I-iya, Bu Lina. Saya Bintang Dilara. M-maaf saya terlambat.” Bintang sudah naik taksi, tapi sialnya jalanan di kota Jakarta tetap macet. Hal tersebut yang membuat Bintang tiba di kantornya terlambat. Letak kantor di Jakarta Selatan,
New York, USA. Salju turun di kota Manhattan cukup lebat. Sosok pria tampan berdiri di bangunan menjulang tinggi sebuah penthouse mewah. Sorot mata dingin, dengan aura wajah tegas begitu terlihat. Pria tampan itu baru saja baru saja selesai memeriksa pekerjaan yang dikirimkan oleh karyawannya. Bara Gunawan Gunaraya, pria tampan berusia 25 tahun itu langsung menonaktifkan ponselnya di kala terus menerus mendapatkan telepon dari ibunya. Jika tak ingin diganggu, maka Bara tak ingin diganggu oleh siapa pun. “Pak Bara,” sapa Andi, asisten pribadi Bara, melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara menatap dingin Andi yang baru saja datang ke penthouse-nya. “Kamu tahu ini jam berapa? Kenapa kamu mengganggu waktu saya?” Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Bara tak suka jika diganggu, tapi malah asisten pribadinya mendatanginya. Padahal pria tampan itu sudah mengatakan, jika ingin membahas pekerjaan maka lebih baik ditunda sampai jam kantor. Andi menundukkan kepalanya. “Pak Bar
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah