New York, USA.
Salju turun di kota Manhattan cukup lebat. Sosok pria tampan berdiri di bangunan menjulang tinggi sebuah penthouse mewah. Sorot mata dingin, dengan aura wajah tegas begitu terlihat. Pria tampan itu baru saja baru saja selesai memeriksa pekerjaan yang dikirimkan oleh karyawannya. Bara Gunawan Gunaraya, pria tampan berusia 25 tahun itu langsung menonaktifkan ponselnya di kala terus menerus mendapatkan telepon dari ibunya. Jika tak ingin diganggu, maka Bara tak ingin diganggu oleh siapa pun. “Pak Bara,” sapa Andi, asisten pribadi Bara, melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara menatap dingin Andi yang baru saja datang ke penthouse-nya. “Kamu tahu ini jam berapa? Kenapa kamu mengganggu waktu saya?” Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Bara tak suka jika diganggu, tapi malah asisten pribadinya mendatanginya. Padahal pria tampan itu sudah mengatakan, jika ingin membahas pekerjaan maka lebih baik ditunda sampai jam kantor. Andi menundukkan kepalanya. “Pak Bara, maaf mengganggu, saya hanya ingin memberi tahu Anda sesuatu hal penting.” Bara mengembuskan napas kasar. “Ada apa? Jangan katakan kalau kedua orang tua saya meminta saya untuk kembali ke Jakarta. Jika iya, maka jawabannya saya tidak mau! Saya sudah jenuh dengan kota itu. New York jauh lebih membuat saya lebih tenang.” Empat tahun sudah Bara tinggal di New York. Pria tampan itu sudah meninggalkan Jakarta cukup lama. Setelah menyelesaikan sarjana, dia ke New York untuk melanjutkan pendidikan master. Tidak sampai di sana, dia juga memimpin perusahaan cabang keluarganya di New York. Namun, belakangan ini kedua orang tuanya menginginkan dirinya untuk kembali ke Jakarta. Hal tersebut yang membuat Bara menjadi kesal. Sebab, dia sudah tak memiliki minat untuk kembali ke Jakarta. Andi tetap menundukkan kepalanya. “Maaf, Pak, tapi perintah Pak Gilang sangat jelas. Pak Gilang mengatakan bahwa minggu depan beliau akan pensiun. Pak Gilang ingin Anda yang menggantikan beliau. Selain itu, ibu Anda juga memaksa Anda untuk segera kembali ke Jakarta.” Bara berdecak kesal, dan tak suka. “Jika saya tidak mau, apa yang akan orang tua saya lakukan?” Ini bukan pertama kali Bara dibujuk untuk kembali ke Jakarta, tapi sudah berkali-kali. Tentu sudah berkali-kali juga Bara melakukan penolakan. Sebab, dia sudah muak dengan Jakarta. Di New York, dia mendapatkan ketenangan dan kedamaian hati. “Orang tua Anda berpesan, akan datang ke New York untuk menjemput Anda secara paksa, jika Anda tidak ingin kembali ke Jakarta. Pak Bara, maaf jika saya lancang, tapi Anda merupakan anak tunggal di keluarga Anda. Anda adalah pewaris. Pastinya kedua orang tua Anda akan meminta Anda untuk berada di Jakarta. New York hanya tempat Anda untuk menempuh pendidikan Anda serta mengasah kemampuan Anda. Pusat Gunaraya Group berada di Jakarta, jadi sudah sepantasnya Anda kembali ke Jakarta, menggantikan ayah Anda memimpin perusahaan,” jawab Andi sopan, dan sangat hati-hati. Bara mengembuskan napas kasar, dan mengumpat pelan. Tak menampik bahwa apa yang dikatakan asisten pribadinya itu benar. Sejak dulu memang Bara tidak memiliki pilihan apa pun. Kehidupannya sudah sangat sering diatur oleh kedua orang tuanya. Bara ingin sekali berontak, dan memutuskan tinggal di New York. Namun, sepertinya itu sangat mustahil. Bara tidak mungkin bisa melawan keinginan kedua orang tuanya. Dia yakin seribu persen, jika dia menolak, maka pasti orang tuanya mendatangi New York, dan membuat masalah. “Fine, atur saja kepulangan saya ke Jakarta,” ucap Bara dingin, tak memiliki pilihan lain. Andi mengangguk patuh. “Baik, Pak. Hm, ada hal lain yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Bara menatap tajam sang asisten. “Jika bicara jangan setengah-setengah! Ada apa lagi?” Andi sedikit ketakutan. “I-ini, Pak, saya hanya ingin memberikan informasi bahwa Anda memiliki beberapa kandidat untuk menjadi sekretaris Anda. Sekretaris lama Pak Gilang telah mengundurkan diri. Lina, HRD Manager kita sedang mencari sekretaris baru. Ada beberapa kandidat yang Lina berikan pada saya. Apa Anda ingin saya memilih, atau Anda ingin menyaring sendiri sekretaris Anda?” “Berikan aku berkas kandidat calon sekretarisku,” ucap Bara dingin, dia lebih menyukai memilih sendiri sekretarisnya. Sebab, dia paling tak suka orang yang bodoh ataupun lambat. “Ini, Pak.” Andi menyerahkan berkas di tangannya pada Bara. Bara mengambil berkas yang ada di tangannya itu, dan menatap seksama berkas itu. Setiap kandidat disertai foto serta background pendidikan. Banyak yang diabaikan oleh Bara, sampai tiba di lembar terakhir—tatapan Bara tertuju pada sosok wanita cantik berambut cokelat—menunjukkan senyuman menawan. Bara terdiam terkejut melihat foto itu. Background pendidikan, dan identitas wanita itu sudah menjawab semua pertanyaan yang muncul di dalam benaknya. Debar jantungnya berpacu kencang seakan ingin berhenti berdetak. Kepingan memorinya mengingat tentang kejadian beberapa tahun silam. “Pak, apa Anda tertarik dengan Bintang Dilara?” tanya Andi sopan. Bara belum menjawab pertanyaan sang asisten. Beberapa kali dia berusaha menahan emosi yang tiba-tiba saja ingin meledak. Dia mengepalkan tangannya kuat dan bertanya, “Dia melamar di Gunaraya Group?” Andi menganggukkan kepalanya. “Dari semua kandidat, saya juga menyukai profile Bintang Dilara. Dia mahir Bahasa Inggris dan Mandarin. Selain itu, dia juga cukup memiliki pengalaman kerja yang baik. Terakhir dia juga lulusan terbaik. Menurut saya orang seperti ini akan sangat kritis dalam berpendapat. Sebagai sekretaris Anda, pastinya Anda membutuhkan orang yang cerdas, kristis dalam berpendapat, dan teliti.” Bara masih terdiam seraya meremas profile Bintang Dilara. Embusan napas kasar lolos di bibirnya. Sudah empat tahun dia tak bertemu dengan Bintang. Ternyata takdir mempertemukan kembali dirinya dengan keadaan seperti ini. “Saya pilih Bintang Dilara. Katakan pada Lina, saya memilih Bintang Dilara,” ucap Bara dingin, dengan raut wajah yang menahan emosi. Andi mengangguk patuh. “Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi Lina. Kalau begitu saya permisi. Ini sudah malam. Selamat malam, Pak Bara. Maaf sudah mengganggu Anda.” Andi segera pamit undur diri dari hadapan Bara—yang masih bergeming di tempatnya. Tampak sorot mata Bara memancarkan jelas rasa emosi yang tak bisa terkendali. Kepingan memori Bara mengingat atas apa yang telah dilakukan Bintang padanya. Bintang Dilara … wajahnya ternyata tak berubah sama sekali. Senyuman, paras semua tetap sama. Sudah empat tahun tak bertemu nyatanya Bara tetap mengingat wajah wanita itu. Sosok wanita yang telah menghancurkannya. Bara tak akan pernah mungkin lupa hari di mana Bintang menghancurkan dirinya. Pertama kali dalam hidup, Bara menangisi seorang wanita yang telah mengkhianatinya. Membayangkan itu kemarahan semakin menggrogotinya. “Bintang, kita akan bertemu lagi,” ucap Bara penuh dendam, dan amarah yang tak bisa lagi tertahankan.“B-Bara?” Napas Bintang seakan tercekat. Debar jantungnya berpacu dengan kencang seolah ingin berhenti berdetak. Dia bahkan sampai melangkah mundur, guna memastikan bahwa semua ini mimpi. Namun, sayangnya dia menyadari bahwa ini adalah nyata, bukan mimpi. “Bintang? Kamu kenal Pak Bara?” tanya Wilona berbisik pada Bintang yang tampak seperti terkejut melihat Bara. Bintang masih belum menjawab pertanyaan Wilona. Gelengan di kepalanya seakan jawaban dari pertanyaan yang lolos di bibir Wilona. Bintang tak sanggup untuk berkata-kata akibat kembali melihat sosok pria yang seharusnya tak dia lihat lagi. Bara yang berdiri di tengah-tengah lobi, tatapannya menatap dingin Bintang yang berjarak tak terlalu jauh darinya. Dia bisa melihat tatapan terkejut Bintang, sedangkan dia tetap tenang di tempatnya. Namun, meski tenang—sorot matanya begitu tajam seakan penuh amarah dendam pada Bintang. “Selamat pagi semua. Saya Andi, asisten pribadi Pak Bara Gunawan Gunaraya. Mulai detik ini Pak Bara aka
Bintang tak bergerak sedikit pun di kala Bara begitu dekat dengannya. Dia sedikit ingin melangkah mundur, tapi dia merasa bahwa kakinya tak bisa digerakan sama sekali. Seakan berada di ambang maut, Bintang benar-benar tak bisa berkutik. “P-pak, s-saya—” “Bagaimana rasanya memanggil orang yang kamu hina dengan sebutan ‘Bapak?’ Bukankah dulu kamu mengatakan bahwa aku ini hanya pas-pasan?” Bara berkata sangat sarkas, menggali kembali ucapan Bintang masa lalu. Bintang menelan salivanya susah payah. Kepingan memorinya mengingat semua hinaan tajam yang sudah dia ucapkan pada Bara. Tentu dia tak akan mungkin lupa. Bahkan jika sekarang Bara menaruh dendam serta kebencian padanya adalah hal yang wajar. Bintang menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Mati-matian, dia berusaha mengatasi dirinya sendiri. Hari ini adalah hari yang paling tidak diinginkan oleh Bintang. Dari jutaan banyak manusia di muka bumi ini, kenapa Bintang harus kembali dipertemukan dengan Bara? Sungguh, takdir
Langkah Bintang pelan, matanya memancarkan kelelahan yang mendalam. Akan tetapi perlahan kerapuhan di wajahnya lenyap melihat bocah laki-laki berusia tiga tahun berlari menghampirinya, dan langsung memberikan pelukan erat di tubuhnya. “Mama! Aku kangen Mama,” ucap bocah laki-laki tampan, seraya terus memeluk erat Bintang. Bintang tersenyum, menundukkan tubuhnya, dan langsung menggendong bocah laki-laki itu. “Bima Sayang, Mama juga kangen Bima.” Bima Dirgantara Gunawan, bocah laki-laki tampan berusia tiga tahun itu sangat cerdas. Paras tampan membuat semua orang sangat menyukainya. Ya, Bima adalah alasan Bintang mati-matian berjuang sekeras mungkin. Yang Bintang lakukan adalah memberikan kehidupan yang layak untuk putranya. Bintang hidup di dunia ini sebatang kara. Dia tak lagi memiliki kedua orang tua. Sejak kecil, Bintang telah kehilangan kedua orang tuanya. Dia dibesarkan oleh adik dari ibunya. Namun, saat Bintang duduk di bangku SMA, dia telah kehilangan tantenya—yang sudah dia
“Ah, sial! Kenapa aku kesiangan?!” Bintang melonjak terkejut, di kala melihat jam dinding—waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Sementara jam kantornya mulai dari jam sembilan pagi. Umpatan pelan lolos di bibirnya, dia mengacak-acak rambutnya akibat kepanikan melanda. Tak bisa lagi berpikir jernih, Bintang berlari masuk ke dalam kamar mandi. Bersiap-siap secara kilat, itu yang ada di dalam pikiran Bintang. Bahkan, dia pun tak bisa berias terlalu lama. Jika sudah lama bekerja mungkin dia tak akan sepanik ini. Yang menjadi masalah utama adalah dirinya masih menjadi karyawan baru. Lima belas menit berlalu, Bintang sudah selesai bersiap. Wanita cantik itu menyambar tas dan ponselnya. Tampak Mbok Inem sedang menyuapi Bima di ruang tamu. “Bu Bintang, tadi saya sudah mencoba membangunkan ibu, tapi ibu tidak bangun. Saya pikir ibu kelelahan. Jadi, saya tidak berani membangunkan ibu lagi,” ucap Mbok Inem kala melihat Bintang terburu-buru. Bintang mendesah panjang, merutuki kebodohannya yan
Bintang melangkah keluar dari ruang kerja Bara. Raut wajahnya sangat lesu menunjukkan jelas ada beban pikiran yang mengusik ketenangannya. Ancaman dari Bara berputar di kepalanya. Bohong jika Bintang tidak takut, jelas saja dia khawatir akan ancaman Bara. Kondisi sekarang telah berubah total. Bara memiliki kekuasaan yang bisa membuat Bintang terpuruk. Fakta seperti itu, dan Bintang sama sekali tidak bisa mengelak akan kenyataan yang ada. Bara yang dia kenal dulu sangat berbeda jauh dengan Bara yang sekarang dia kenal. Bara sekarang penuh dendam dan menatap Bintang dengan tatapan kebencian mendalam. Jika saja Bintang mendapatkan penawaran bekerja di perusahaan lain, maka pasti Bintang akan bekerja di perusahaan lain. Namun kondisinya mencari pekerjaan sangat sulit. Bintang duduk di kursi kerjanya dengan raut wajah muram. Kesedihan membentang. Sejak dia dibentak oleh Bara, hatinya sangat sakit dan terluka. Ingin sekali dia menangis di depan Bara, tapi dia tak menahan diri karena tak
Bintang mendapati Bima sudah tertidur lelap di kala dia sudah pulang dari kantor. Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Sangat wajar jika putra kesayangannya itu sudah tidur pulas. Dia tak ingin membangunkan, dia memilih untuk melangkah menuju dapur mengambil minum.“Bu, sudah pulang?” Mbok Inem tersenyum menatap Bintang.Bintang menegguk minumannya perlahan, lalu meletakan gelas ke atas meja. “Iya, Mbok. Maaf hari ini aku pulang malam. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus.”“Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti pasti banyak pekerjaan yang harus ibu kerjakan,” jawab Mbok Inem sopan.Bintang tersenyum. “Mbok, hari ini Bima nggak rewel, kan?”“Tidak, Bu. Den Bima anak yang pintar dan baik. Tapi, Bu, maaf tadi ada pertanyaan Den Bima pada saya, yang saya bingung untuk menjawab.”“Pertanyaan apa, Mbok?”“Jadi tadi saya menonton televisi, dan ada adegan di mana anak-anak bermain dengan papa mereka. Den Bima bertanya pada saya ke mana papanya. Jujur saya bingung, Bu. Saya hanya m
“Ibu Bintang, Anda dipanggil Pak Bara.” Andi menghampiri Bintang yang baru saja menyelesaikan pekerjaan. Tampak Bintang menunjukkan sedikit rasa gelisah mendengar perkataan Andi. Bintang mengangguk patuh. “Baik, Pak. Saya akan menemui Pak Bara sekarang.” Andi menunduk, lalu pamit undur diri dari hadapan Bintang. Tepat di kala Andi sudah pergi, Bintang segera melangkah menuju ruang kerja Bara. Entah apa yang akan Bara katakan padanya. Yang pasti Bintang masih khawatir tentang hukuman yang Bara berikan padanya. “Permisi, Pak,” ucap Bintang saat sudah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara yang duduk di kursi kebesarannya, memberikan tatapan dingin pada Bintang. “Malam ini, aku akan memberikan alamat padamu. Kamu harus datang tepat waktu. Ingat, aku tidak suka orang datang terlambat.” Bintang terdiam sejenak dengan kegelisahan yang membentang. Ya, malam ini adalah di mana Bintang harus menjalani hukumannya. Wanita cantik itu tak tahu hukuman apa yang akan dia terima. Yang pasti Bint
Lidah Bintang seakan kaku tak mampu menjawab ucapan Bara. Matanya membulat sempurna. Kakinya tak bisa bergerak sedikit pun. Dia merasa bahwa telinganya mengalami pendengaran yang salah, tapi rasanya apa yang dikatakan Bara sangat jelas. Napas Bintang mulai menjadi tidak teratur, akibat rasa gelisah bercampur dengan cemas yang membentang. Dia melangkah mundur, berusaha untuk tidak panik. Padahal jujur, menjadi tenang adalah hal rumit untuk sekarang ini. “M-maaf, Pak, a-apa maksud Anda?” tanya Bintang dengan nada terbata-bata. Bara menyilangkan kaki kanannya, bertumpu ke paha kiri. “Aku rasa apa yang aku katakan tadi sangat jelas. Kamu mendengar kalimatku dengan baik, kan?” Bintang menggigit bibir bawahnya. Sungguh, selama dia mengenal Bara, belum pernah Bara merendahkan dirinya seperti ini. Bintang kehilangan kata, dia tak tahu harus bicara seperti apa. Air matanya nyaris berlinang jatuh membasahi pipinya, tetapi dia mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Dia tak ingin le
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah