“Ah, sial! Kenapa aku kesiangan?!” Bintang melonjak terkejut, di kala melihat jam dinding—waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Sementara jam kantornya mulai dari jam sembilan pagi. Umpatan pelan lolos di bibirnya, dia mengacak-acak rambutnya akibat kepanikan melanda.
Tak bisa lagi berpikir jernih, Bintang berlari masuk ke dalam kamar mandi. Bersiap-siap secara kilat, itu yang ada di dalam pikiran Bintang. Bahkan, dia pun tak bisa berias terlalu lama. Jika sudah lama bekerja mungkin dia tak akan sepanik ini. Yang menjadi masalah utama adalah dirinya masih menjadi karyawan baru. Lima belas menit berlalu, Bintang sudah selesai bersiap. Wanita cantik itu menyambar tas dan ponselnya. Tampak Mbok Inem sedang menyuapi Bima di ruang tamu. “Bu Bintang, tadi saya sudah mencoba membangunkan ibu, tapi ibu tidak bangun. Saya pikir ibu kelelahan. Jadi, saya tidak berani membangunkan ibu lagi,” ucap Mbok Inem kala melihat Bintang terburu-buru. Bintang mendesah panjang, merutuki kebodohannya yang sudah dibangunkan oleh pembantunya, tapi malah tak kunjung membuka mata. Alhasil seperti sekang ini dirinya yang terkena sial. “Nggak apa-apa, Mbok. Aku yang salah. Aku kelelahan. Terima kasih udah bangunin aku,” balas Bintang lembut, dan tak mungkin menyalahkan pembantunya. “Mama, ingin pergi bekerja?” tanya Bima polos sambil memeluk ibunya. Bintang mengangguk seraya menundukkan tubuhnya. “Iya, Nak. Mama harus bekerja dulu. Bima di rumah sama Mbok Inem, ya, Sayang?” Bima mengerjapkan matanya beberapa kali. “Mama, kapan Mama libur?” “Sabtu dan minggu, Mama libur, Sayang.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. Setiap kali meninggalkan Bima, tentu saja hati Bintang selalu tidak tenang. Ada rasa khawatir dan kegelisahan yang membentang. Namun, Bintang tak memiliki pilihan lain. Wanita cantik itu harus tetap bekerja demi memberikan kehidupan yang terbaik untuk putra kesayangannya. Bima tersenyum sambil memeluk leher Bintang. “Yeay, sabtu dan minggu, aku bisa bermain bersama Mama.” Bintang menganggukkan kepalanya. “Iya, Nak. Sabtu minggu kita bisa bermain. Sekarang Mama berangkat dulu, ya? Bima di rumah baik-baik. Jadi anak penurut. Jangan buat Mbok Inem pusing. Oke, Sayang?” Bima tersenyum manis sambil mengangguk. “Mama, aku good boy. Bye, Mama. I love you.” “I love you more, Sayang,” bisik Bintang sambil menciumi gemas pipi bulat Bima. Bintang bangkit berdiri, menatap Mbok Inem. “Mbok, tolong jaga baik-baik Bima, ya? Jangan selalu berikan dia ice cream. Nanti dia sakit.” Mbok Inem mengangguk sopan. “Baik, Bu. Saya pasti akan selalu menjaga Den Bima. Den Bima anak yang penurut. Saat saya bilang makan banyak ice cream bisa membuatnya sakit, dia langsung mengurangi makan ice cream. Den Bima bilang dia ingin selalu sehat agar Ibu tidak khawatir.” Bintang tersenyum mendengar cerita dari Mbok Inem. “Terima kasih, Mbok. Aku berangkat dulu. Aku akan usahakan pulang tepat waktu.” “Hati-hati di jalan, Bu,” jawab Mbok Inem sopan, lalu Bintang melangkah pergi meninggalkan pembantu dan putranya. Tampak Bima melambaikan tangannya di kala Bintang pergi. Tentu Bintang membalas lambaian tangan Bima, sebelum wanita itu benar-benar pergi. Sejak dulu Bintang lebih nyaman tinggal di apartemen. Meski hanya apartemen sederhana, tapi dia tak terusik dengan adanya tetangga. Apalagi kondisi Bintang yang sebagai ibu tunggal. Jika tinggal di kontrakan pastinya banyak yang membicarakannya. Bintang ingin hidup tenang tanpa adanya gangguan. Tinggal di kontrakan lebih murah daripada tinggal di apartemen. Namun, Bintang memutuskan untuk tinggal di tempat yang sedikit lebih mahal, tapi mendapatkan ketenangan daripada harus tinggal di kontrakan—yang membuatnya tertekan karena ucapan tetangga. *** Lina menatap dingin kursi meja kerja Bintang yang kosong. Waktu sudah lewat dari jam sembilan, tapi Bintang belum juga datang. Decakan lolos di bibir Lina. Sang HRD Manager itu semakin kesal pada Bintang. Hari pertama Bintang sudah datang terlambat, dan sekarang Bintang kembali terlambat. Lina berbalik, bermaksud ingin pergi ke ruangannya, tapi di sana dia bertemu dengan Wilona—bagian keuangan—yang cukup dekat dengan Bintang. Tatapan Lina menatap dingin Wilona. “Wilona!” panggil Lina cukup keras. Wilona melonjak terkejut. “I-iya, Bu Lina?” “Kamu tau di mana Bintang?” tanya Lina ketus. Wilona menggaruk tengkuk lehernya. Dia sudah menghubungi Bintang, dan temannya itu masih di jalan. Namun, sekarang dia bingung harus mengatakan apa pada sang HRD Manager. Apa dia harus mengatakan Bintang masih di jalan? Atau dia mengatakan Bintang bertemu client? Shit! Bintang adalah sekretaris dari CEO Gunaraya Group. Tak mungkin Wilona mengatakan Bintang bertemu dengan client. Jika Bintang bertemu dengan client, maka pastinya bersama dengan CEO Gunaraya Group. “Wilona, kamu ini punya mulut atau tidak? Kenapa hanya diam saja?!” seru Lina jengkel luar biasa pada Wilona yang hanya diam seperti orang bodoh. Wilona meringis bingung. “S-saya—” “Ada apa ini?” Andi menginterupsi percakapan Wilona dan Lina. Tatapan Lina dan Wilona teralih pada Andi yang muncul bersamaan dengan Bara. Mereka langsung menundukkan kepala penuh rasa hormat. Tampak kedua wanita itu tak berani di kala melihat Bara sudah datang. “Kenapa kalian berdebat di pagi hari seperti ini?” tanya Andi seraya menatap dingin Lina dan Wilona. Sementara Bara hanya diam, karena Andi sudah mewakilinya bicara. Lina menatap Andi sopan. “Begini, Pak, saya sedang bertanya pada Wilona, kenapa Bintang belum datang.” Mendengar nama Bintang, membuat Bara mengalihkan pandangannya menatap kursi kerja Bintang—yang kosong. Sorot mata Bara dingin menunjukkan rasa kesal. “Jam segini Bintang belum datang?!” Nada bicara Bara meninggi, membuat semua orang di sana ketakutan. “Pak Bara … B-Bintang terkena macet.” Wilona bermaksud membela Bintang. Meski takut, tapi dia memberanikan diri. Dia tak tega pada Bintang yang pastinya akan disudutkan. Meski dia baru mengenal Bintang, tapi dia melihat bahwa Bintang adalah sosok wanita yang baik. Hal tersebut yang membuat Wilona membela Bintang dengan caranya. Bara menatap tajam Wilona. “Jika jalanan macet, kenapa tidak berangkat dari awal?” balasnya dengan nada masih sama. Nada tinggi, menusuk, dan membuat semua orang takut. Wilona menelan salivanya susah payah, bingung untuk menjawab lagi. Sebab apa yang dikatakan Bara benar. Jika jalanan macet, maka sudah seharusnya Bintang berangkat lebih awal. “Pak Bara, saya akan memberikan teguran pada Bintang yang tidak bersikap discipline,” sambung Lina sopan sambil menundukkan kepalanya. “Tidak usah! Kamu tidak usah memberikan teguran apa pun! Biar saya yang memberikan teguran padanya! Jika dia sudah datang, langsung minta dia untuk menemui saya!” seru Bara dingin, lalu dia segera berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya. Wilona bergidik ngeri mendengar ucapan Bara. Selama dia bekerja di Gunaraya Group, dia kerap datang terlambat, tetapi biasanya dia hanya ditegur Lina saja. Tidak sampai ditegur langsung oleh CEO Gunaraya Group. Andi menatap Lina. “Segera patuhi perkataan Pak Bara. Jika Bintang sudah datang, minta dia untuk menemui Pak Bara. Biarkan Pak Bara yang menegurnya!” ucapnya memberikan penekanan agar Lina tak perlu menegur Bintang. Lina mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya akan langsung meminta Bintang untuk ke ruang kerja Pak Bara.” Tanpa berkata apa pun, Andi masuk menyusul ke ruang kerja Bara. Sementara Wilona bersama dengan Lina masih bergeming di tempat mereka masing-masing. Lina memasang wajah kesal, sedangkan Wilona memasang wajah khawatir. “Ck! Masih anak baru, sudah mencari masalah!” gerutu Lina kesal. Wilona menggaruk tengkuk lehernya tak gatal, bingung harus bicara seperti apa. Tak selang lama, Bintang muncul berlari menuju kursi meja kerjanya. Seketika, langkahnya langsung terhenti mendapatkan tatapan dingin dari Lina. Tidak hanya tatapan dingin saja, tapi tatapan yang sangat tajam. Ini adalah hal yang wajar, karena Bintang tahu dia bersalah. “Bu Lina, maaf—” “Kamu masuk ke ruang Pak Bara! Beliau ingin langsung bicara denganmu!” tegur Lina dengan penuh peringatan. Bintang menelan salivanya susah payah. “P-pak Bara memanggil saya, Bu?” “Kamu masih tanya? Kamu jelas datang terlambat, Bintang Dilara!” balas Lina tajam. Bintang menghela napas gelisah. Dia sudah berusaha datang lebih cepat, bahkan dia sudah menggunakan taksi untuk berangkat. Namun, sialnya macet di Jakarta benar-benar tidak terkendali. “Iya, Bu. Saya akan segera menemui Pak Bara,” ucap Bintang lesu. Lina mendekat pada Bintang. “Kamu ini karyawan baru, tapi sudah tidak discipline dengan aturan! Jika saya menjadi Pak Bara, pasti saya akan langsung memecatmu.” Setelah mengatakan kalimat pedas, Lina langsung melangkah pergi meninggalkan Bintang. Tampak Bintang hanya bisa mengembuskan napas panjang beberapa kali. Tidak ada kata yang bisa Bintang katakan, karena dia tahu dirinya salah. Wilona menatap khawatir Bintang. “Bintang, sebenarnya kenapa kamu bisa terlambat? Apa kamu tidur terlalu malam?” “Wilona, aku sudah tidur tepat waktu, tapi sepertinya aku sangat kecapekan. Banyak hal yang aku pikirkan. Maaf, aku sudah membuat kekacauan,” ucap Bintang merasa bersalah. Wilona menyentuh bahu Bintang. “Bintang, kalau kamu memiliki masalah, cobalah untuk bercerita dengan orang terdekatmu. Mungkin itu akan mengurangi beban pikiranmu. Tentu pastinya kamu harus bercerita pada orang yang kamu percayai.” Bintang terdiam mendengar saran dari Wilona. Pertemuannya dengan Bara, tentunya membuat Bintang menjadi terkejut dan pikiran kacau. Ingin rasanya Bintang mencurahkan isi hatinya, tapi sayang dia tak mudah percaya pada siapa pun. Sejak dulu yang Bintang percayai hanya Bara. Namun, semua telah sirna, karena Bintang dan Bara telah berakhir. “Thanks, Wilona. Aku harus bertemu dengan Pak Bara sekarang. Doakan semua baik-baik saja,” ucap Bintang pelan. Wilona menganggukkan kepalanya. “Aku pasti akan mendoakanmu. Semangat, Bintang. Jangan menyerah.” Bintang tersenyum, lalu dia melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bara. *** Bara berdiri di ruang kerjanya, menatap perkotaan dari balik kaca tinggi di ruang kerjanya. Sorot mata dingin dan tajam menunjukkan aura yang menakutkan. Andi yang sedari tadi ada di sana hanya menundukkan kepala. “Pak Bara, apa Anda ingin saya mencari sekretaris baru?” tanya Andi hati-hati. Tentu dia sangat mengenal bosnya. Hal itu yang membuatnya untuk langsung menawarkan mencari sekretaris baru. Bara masih bergeming di tempatnya, belum mengatakan apa pun. “Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Jangan memberikan inisiatif apa pun, jika saya belum memberikan perintah.” Andi mengangguk cepat. “B-baik, Pak.” Suara ketukan pintu terdengar. Bara menoleh menatap ke arah pintu. “Masuk!” titah Bara tegas. Pintu terbuka. Bintang masuk ke dalam ruang kerja Bara dengan kepala yang masih tertunduk. Andi yang ada di sana segera pamit undur diri di kala melihat Bintang sudah datang. “Pak Bara, saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya siap menerima hukuman atas ketidakpatuhan saya pada aturan Gunaraya Group,” ucap Bintang di kala Andi sudah pergi. Hening, tidak ada respon apa pun dari Bara ketika Bintang sudah berucap. Bintang tak berani menatap Bara. Wanita cantik itu hanya terus menundukkan kepalanya. Tatapan mata tajam Bara bagaikan mata elang yang siap menangkap musuh. “Masih baru menjadi karyawan Gunaraya Group, tapi berani untuk bersikap tidak patuh. Menurutmu hukuman apa yang layak kamu terima, Bintang Dilara?” seru Bara dengan nada dingin, dan terdengar menusuk. Bintang menelan salivanya susah payah. “S-saya tahu saya salah, Pak. Saya sungguh minta maaf. Jika bapak ingin memotong gaji saya, saya terima.” Bara tersenyum sinis. “Menurutmu menghukummu dengan memotong gaji sudah cukup? Kamu pikir kamu bekerja di perusahaan kecil yang bisa menghukummu dengan cara mudah seperti itu?” Bintang memejamkan mata penuh rasa bersalah. Dalam hati dia menggumamkan doa agar dirinya tidak dipecat. Dia baru saja diterima bekerja. Pasti mencari pekerjaan baru tidak akan langsung dia dapatkan. Paling tidak, dia membutuhkan waktu beberapa bulan untuk mendapatkan perusahaan baru. Astaga! Bintang merutuki kebodohannya. Bara melangkah mendekat, mengikis jarak di antaranya dengan Bintang. “Jawab aku, hukuman apa yang pantas kamu dapatkan atas dirimu yang tidak patuh?!” “S-saya—” “Angkat kepalamu ketika bicara denganku, Bintang!” bentak Bara keras, membuat Bintang terkejut. Selama mengenal Bara, belum pernah Bintang dibentak seperti ini. Mata Bintang sudah hampir mengeluarkan air mata. Namun, mati-matian Bintang menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia tak ingin menunjukkan kelemahannya pada siapa pun. Perlahan, Bintang mulai mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Bara. “S-saya minta maaf, Pak. Saya mohon jangan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini.” Bara menyeringai sinis mendengar ucapan permohonan yang lolos di bibir Bintang. “Kamu baru saja memohon padaku, Bintang.” Bintang berusaha bersikap setegar mungkin. “Saya salah. Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya. Maafkan saya, Pak. Anda boleh menghukum saya, tapi saya mohon jangan pecat saya, Pak.” Bintang merasakan gugup di kala jarak Bara sangat dekat dengannya. Aroma parfum maskulin Bara menyeruak ke indra penciumannya. Debaran jantung berpacu sangat keras, tapi Bintang berusaha untuk tak salah tingkah. “Kamu siap menerima hukuman apa pun, Bintang?” seringai licik muncul di bibir Bara. Bintang mengangguk lemas. “Iya, Pak. Saya mohon jangan pecat saya. Hukuman apa pun saya siap menerimanya, Pak.” Bintang memohon pada Bara demi Bima. Dia siap melakukan apa pun asalkan memberikan kehidupan yang baik untuk putranya. Uang di tabungan Bintang sudah tidak banyak. Jika dia dipecat, bagaimana dia bisa mengidupi putranya? Sementara apartemen yang dia tempati sekarang saja masih menyewa. Bara menarik dagu Bintang dengan tangannya, tatapannya menatap dingin, dan tajam Bintang. “Besok malam, temui aku di alamat yang aku berikan padamu. Aku akan memberitahumu hukuman apa yang pantas kamu dapatkan.” Bintang terpaku terkejut. “Besok malam, Pak? Kenapa tidak sekarang?” Bara tersenyum sinis. “Aku ingin mempersiapkan hukuman untukmu.” Bintang menelan salivanya susah payah. Sentuhan jemari Bara di dagunya membuat sekujur tubuhnya merinding. Setelah sekian lama, Bintang kembali merasakan sentuhan Bara. Sentuhan yang dia pikir tak akan lagi dia rasakan. “P-pak, t-tapi—” “Tidak ada bantahan, Bintang Dilara. Kamu bekerja di perusahaanku. Jika kamu tidak suka, maka segera ajukan surat pengunduran diri!” seru Bara dengan nada penuh ancaman. Mata Bintang sudah berkaca-kaca. Dia tak pernah mengira Bara akan sekejam ini padanya. Sepertinya dendam dalam diri Bara yang membuat pria itu sangat kejam padanya. Bintang memaklumi, karena apa yang dia lakukan pada Bara sangat jahat. “Baik, Pak. Saya akan menuruti keinginan Anda,” ucap Bintang akhirnya dengan nada yang sedikit tercekat. Bara melangkah menjauh dari Bintang, dan menyeringai kejam. “Sudah seharusnya kamu mematuhiku. Ingat, kamu hanya karyawan biasa di sini. Kamu tidak memiliki hak untuk melawan. Jika tidak suka, segera ajukan surat pengunduran diri.”Bintang melangkah keluar dari ruang kerja Bara. Raut wajahnya sangat lesu menunjukkan jelas ada beban pikiran yang mengusik ketenangannya. Ancaman dari Bara berputar di kepalanya. Bohong jika Bintang tidak takut, jelas saja dia khawatir akan ancaman Bara. Kondisi sekarang telah berubah total. Bara memiliki kekuasaan yang bisa membuat Bintang terpuruk. Fakta seperti itu, dan Bintang sama sekali tidak bisa mengelak akan kenyataan yang ada. Bara yang dia kenal dulu sangat berbeda jauh dengan Bara yang sekarang dia kenal. Bara sekarang penuh dendam dan menatap Bintang dengan tatapan kebencian mendalam. Jika saja Bintang mendapatkan penawaran bekerja di perusahaan lain, maka pasti Bintang akan bekerja di perusahaan lain. Namun kondisinya mencari pekerjaan sangat sulit. Bintang duduk di kursi kerjanya dengan raut wajah muram. Kesedihan membentang. Sejak dia dibentak oleh Bara, hatinya sangat sakit dan terluka. Ingin sekali dia menangis di depan Bara, tapi dia tak menahan diri karena tak
Bintang mendapati Bima sudah tertidur lelap di kala dia sudah pulang dari kantor. Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Sangat wajar jika putra kesayangannya itu sudah tidur pulas. Dia tak ingin membangunkan, dia memilih untuk melangkah menuju dapur mengambil minum.“Bu, sudah pulang?” Mbok Inem tersenyum menatap Bintang.Bintang menegguk minumannya perlahan, lalu meletakan gelas ke atas meja. “Iya, Mbok. Maaf hari ini aku pulang malam. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus.”“Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti pasti banyak pekerjaan yang harus ibu kerjakan,” jawab Mbok Inem sopan.Bintang tersenyum. “Mbok, hari ini Bima nggak rewel, kan?”“Tidak, Bu. Den Bima anak yang pintar dan baik. Tapi, Bu, maaf tadi ada pertanyaan Den Bima pada saya, yang saya bingung untuk menjawab.”“Pertanyaan apa, Mbok?”“Jadi tadi saya menonton televisi, dan ada adegan di mana anak-anak bermain dengan papa mereka. Den Bima bertanya pada saya ke mana papanya. Jujur saya bingung, Bu. Saya hanya m
“Ibu Bintang, Anda dipanggil Pak Bara.” Andi menghampiri Bintang yang baru saja menyelesaikan pekerjaan. Tampak Bintang menunjukkan sedikit rasa gelisah mendengar perkataan Andi. Bintang mengangguk patuh. “Baik, Pak. Saya akan menemui Pak Bara sekarang.” Andi menunduk, lalu pamit undur diri dari hadapan Bintang. Tepat di kala Andi sudah pergi, Bintang segera melangkah menuju ruang kerja Bara. Entah apa yang akan Bara katakan padanya. Yang pasti Bintang masih khawatir tentang hukuman yang Bara berikan padanya. “Permisi, Pak,” ucap Bintang saat sudah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara yang duduk di kursi kebesarannya, memberikan tatapan dingin pada Bintang. “Malam ini, aku akan memberikan alamat padamu. Kamu harus datang tepat waktu. Ingat, aku tidak suka orang datang terlambat.” Bintang terdiam sejenak dengan kegelisahan yang membentang. Ya, malam ini adalah di mana Bintang harus menjalani hukumannya. Wanita cantik itu tak tahu hukuman apa yang akan dia terima. Yang pasti Bint
Lidah Bintang seakan kaku tak mampu menjawab ucapan Bara. Matanya membulat sempurna. Kakinya tak bisa bergerak sedikit pun. Dia merasa bahwa telinganya mengalami pendengaran yang salah, tapi rasanya apa yang dikatakan Bara sangat jelas. Napas Bintang mulai menjadi tidak teratur, akibat rasa gelisah bercampur dengan cemas yang membentang. Dia melangkah mundur, berusaha untuk tidak panik. Padahal jujur, menjadi tenang adalah hal rumit untuk sekarang ini. “M-maaf, Pak, a-apa maksud Anda?” tanya Bintang dengan nada terbata-bata. Bara menyilangkan kaki kanannya, bertumpu ke paha kiri. “Aku rasa apa yang aku katakan tadi sangat jelas. Kamu mendengar kalimatku dengan baik, kan?” Bintang menggigit bibir bawahnya. Sungguh, selama dia mengenal Bara, belum pernah Bara merendahkan dirinya seperti ini. Bintang kehilangan kata, dia tak tahu harus bicara seperti apa. Air matanya nyaris berlinang jatuh membasahi pipinya, tetapi dia mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Dia tak ingin le
Langit malam di kota Jakarta tampak mendung. Bulan dan bintang tak menyinari langit luas. Awan gelap menggumpal menandakan bahwa sebentar lagi turun hujan. Cuaca malam itu sama seperti dengan kondisi Bintang yang menunjukkan kesedihan. Mata wanita cantik itu sudah sembab, akibat tangis yang sejak tadi tak kunjung mereda. Bintang duduk di dalam taksi dengan air mata yang tak henti berlinang. Sesekali sang sopir taksi melirik Bintang dari kaca spion, tapi tentu sang sopir taksi tak berani bertanya. Hanya raut wajah sang sopir taksi tampak tak tega melihat Bintang yang menangis pilu. “Kak, apa kakak butuh tisu?” tanya sang sopir taksi pada Bintang. Bintang menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya. “Terima kasih, Pak,” jawabnya sambil menerima tisu pemberian dari sang sopir taksi. Sang sopir taksi tersenyum lembut. “Kak, kalau hari kakak berat, ingat saja hidup akan terus berjalan.” Bintang terdiam sebentar mendengar nasihat dari sang sopir taksi. “Hari terus berjalan, tapi
“Kalian sudah mencoba menghubungi Bintang lagi?” Andi bertanya pada Lina dan Wilona. Sejak panggilan telepon diputus secara sepihak oleh bosnya, membuatnya bertindak langsung menginterogasi kembali Lina dan Wilona. “Pak Andi, saya sudah berkali-kali menghubungi Bintang, tapi nomor telepon Bintang masih tidak aktif. Menurut saya, sifat Bintang tidak menunjukkan professional dalam bekerja. Jika Pak Andi berkenan, saya akan mencarikan sekretaris baru untuk Pak Bara,” ujar Lina dengan nada sopan. Wanita itu menunjukkan ketidaksukaannya pada Bintang. Sebab, baru menjadi karyawan baru Bintang sudah berani tidak tertib. Wilona panik mendengar ucapan Lina. Bagaimanapun Bintang adalah temannya. Dia mengenal selama ini Bintang sosok wanita yang baik. Dia tidak mau sampai Bintang dikekuarkan dari Gunaraya Group. “Tunggu, Pak Andi, mungkin saja Bintang sakit,” sambung Wilona secara terang-terangan membela Bintang. Lina menatap dingin Wilona. “Jika dia sakit, harusnya dia menghubungi saya. Se
Bara masih berada di ruang kerjanya, menunggu Andi datang. Aura wajah pria tampan itu menunjukkan emosi, dan kemarahan tertahan. Kilat mata menajam, dan suara gigi menggemeletuk akibat geraman emosi dalam dirinya. Bara tak menyangka Bintang langsung tidak masuk bekerja. Wanita itu secara terang-terangan mengatakan padanya sangat membutuhkan pekerjaan, lalu kenapa malah wanita itu berani tak datang ke kantor? “Shit!” Bara mengumpati dirinya, yang tak henti memikirkan sosok Bintang. Bara menyambar rokok di hadapannya, menghidupkan rokoknya, dan mengisap rokok itu. Asap rokok memenuhi ruang kerja Bara. Saat pikiran yang kacau, biasanya dia akan minum alkohol ataupun merokok. Suara ketukan pintu terdengar … Bara langsung mematikan rokok di tangannya, mengalihkan pandangan ke arah pintu, lalu berkata tegas, “Masuk!” “Selamat sore, Pak Bara.” Andi masuk ke dalam ruang kerja Bara, seraya menundukkan kepala sopan. Bara menatap dingin Andi, mengabaikan sapaan asistennya itu. “Kamu sudah
Lina dan Wilona dibuat bungkam melihat kedatangan Bara. Tentu yang paling takut adalah Lina, karena wanita itu mengeluarkan kalimat pedas untuk Bintang. Ya, tidak ada yang bisa berkutik. Mereka semua menundukkan kepalanya sekarang—tapi berbeda dengan Bintang. Bintang Dilara sekarang menatap Bara yang mendekat, tatapan mata yang menunjukkan jelas kebingungan, dan rasa tak mengerti. Perkataan Bara sangat ambigu menurutnya, hingga membuatnya tak bisa memahami dengan jelas. Bara mengatakan bahwa hanya pria itu yang bisa memecatnya. Ini kalimat yang membuat Bintang bingung. Apakah Bara membelanya di depan Lina? Atau Bara memiliki tujuan lain? Jutaan pertanyaan muncul di dalam benak Bintang saat ini. Namun, wanita itu memilih untuk segera menepis semua pertanyaan yang muncul di kepalanya. Bintang datang kembali ke Gunaraya Group, tentu karena dia sangat membutuhkan pekerjaan. Meski telah direndahkan, tapi dia tetap datang. Alasannya? Jelas Bintang membutuhkan uang. Jika wanita cantik itu
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah