Langkah Bintang pelan, matanya memancarkan kelelahan yang mendalam. Akan tetapi perlahan kerapuhan di wajahnya lenyap melihat bocah laki-laki berusia tiga tahun berlari menghampirinya, dan langsung memberikan pelukan erat di tubuhnya.
“Mama! Aku kangen Mama,” ucap bocah laki-laki tampan, seraya terus memeluk erat Bintang. Bintang tersenyum, menundukkan tubuhnya, dan langsung menggendong bocah laki-laki itu. “Bima Sayang, Mama juga kangen Bima.” Bima Dirgantara Gunawan, bocah laki-laki tampan berusia tiga tahun itu sangat cerdas. Paras tampan membuat semua orang sangat menyukainya. Ya, Bima adalah alasan Bintang mati-matian berjuang sekeras mungkin. Yang Bintang lakukan adalah memberikan kehidupan yang layak untuk putranya. Bintang hidup di dunia ini sebatang kara. Dia tak lagi memiliki kedua orang tua. Sejak kecil, Bintang telah kehilangan kedua orang tuanya. Dia dibesarkan oleh adik dari ibunya. Namun, saat Bintang duduk di bangku SMA, dia telah kehilangan tantenya—yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Bintang bisa kuliah karena beasiswa. Demi menyambung hidup, sepulang kuliah—dia menjadi pelayan kafe. Hidupnya sangat sulit sejak dulu, tapi dia tak pernah mengeluh. Meski dalam kesulitan, tapi Bintang yang dulu selalu merasakan cinta yang luar biasa dari Bara—mantan kekasihnya yang dulu bersamanya selama lima tahun. “Mama, kenapa Mama melamun? Apa yang Mama pikirkan?” celoteh Bima begitu pintar. Bintang membuyarkan lamunannya di kala mendengar ucapan Bima. Dia langsung membuang pikirannya yang mengingat kenangan masa lalunya dengan Bara. Dia mengatur napas, meneguhkan bahwa kisahnya dengan Bara telah selesai. Pertemuannya dengan Bara tak berarti apa pun. “Mama nggak mikirin apa pun, Sayang. Mama hanya capek aja,” jawab Bintang berdusta. Bima memiringkan kepalanya. “Oh, begitu. Mama, nanti kalau aku sudah besar, aku akan bekerja untuk Mama. Aku akan cari banyak uang untuk Mama.” Bintang tersenyum, hatinya tersentuh mendengar ucapan manis putranya. “Bima ingin bekerja untuk Mama?” Bima mengangguk antusias. “Tentu saja, Mama. Aku akan mencari banyak uang untuk Mama.” Bintang memeluk Bintang erat, menciumi pipi bulat putranya. Hatinya benar-benar bersyukur karena melahirkan seorang putra yang tak hanya tampan, tapi juga cerdas dan juga penurut. “Den Bima, ayo kita istirahat. Mama pasti capek ingin langsung tidur,” ucap Mbok Inem, pembantu Bintang yang baru bekerja. Sejak diterima bekerja di Gunaraya Group, tentu Bintang mempersiapkan banyak hal, termasuk mempekerjakan seseorang untuk membantunya menjaga putra kesayangannya. Bintang tak bisa menitipkan anaknya ke sembarangan orang. Apalagi, Bintang tak memiliki siapa pun di dunia ini. Bima menggelengkan kepalanya. “Aku mau sama Mama! Aku kangen Mama!” “Tapi, Den—” “Mbok, nggak apa-apa. Aku udah pulang kerja. Biarin Bima sama aku aja, ya? Aku juga kangen sama Bima,” kata Bintang yang langsung memotong ucapan pembantunya. Bintang mengerti pastinya Bima masih belum nyaman bersama dengan Mbok Inem. Akan tetapi, meski belum sepenuhnya nyaman, Bintang sangat bersyukur anaknya tidak menangis di kala dia harus pergi bekerja. Saat jam makan siang tadi, Bintang menghubungi pembantunya, dan pembantunya melaporkan Bima tidak rewel sama sekali. Hal tersebut yang membuat Bintang sangat bersyukur. Bintang bisa sedikit tenang, karena putranya bisa ditinggal. Mbok Inem mengangguk patuh merespon Bintang. “Baik, Bu. Kalau begitu saya siapkan makan malam saja.” “Boleh, Mbok. Terima kasih.” Bintang tersenyum, lalu melangkah menuju kamar sambil menggendong Bima. Tampak Bima sangat bahagia karena Bintang meluangkan waktu. Bocah laki-laki itu menunjukkan tak ingin jauh dari ibunya. Setibanya di kamar, Bintang membaringkan tubuh Bima di ranjang. Pun dia ikut berbaring. Dia memeluk putranya seraya menciumi pipi bulat putranya itu. Rasa lelah seakan sirna di kala sudah memberikan pelukan erat di tubuh putranya itu. Sayup-sayup, Bima mulai menguap dalam pelukan Bintang. Bocah laki-laki itu perlahan mulai tertidur di pelukan ibunya. Bintang terdiam di kala mendapati putranya yang terlelap dalam pelukannya. Sudut matanya tiba-tiba saja mengeluarkan air mata. Satu demi satu sesuatu hal muncul di dalam benak Bintang. Apalagi di kala dia melihat Bima—mengingatkannya pada sosok pria yang seharusnya tak dia ingat lagi. Bintang tak pernah mengira akan kembali bertemu dengan Bara. Selama ini, memang dia tahu bahwa Bara lahir di keluarga berkecukupan, sangat berbeda dengannya, tapi dia tak pernah tahu bahwa Gunaraya Group milik keluarga Bara. Sungguh, jika saja dia tahu dari awal, maka dia tak akan pernah melamar di perusahaan itu. Bintang ingin sekali keluar dari Gunaraya Group. Namun, dia tak bisa bersikap egois. Ini bukan tentang Bintang saja, tapi ini tentang Bima. Bintang sudah lama menganggur, dan sekarang sudah mendapatkan pekerjaan. Tentunya Bintang memikirkan kehidupan Bima, jika sampai dia menganggur lagi. Sementara mencari pekerjaan di Jakarta sangat tidak mudah. Bintang seakan terjebak di dalam lingkaran api. Dia tak bisa berbuat apa pun. Hanya ada satu pilihan yaitu tetap bertahan. Dia membutuhkan uang untuk Bima. Dia tak ingin putranya mengalami kesulitan. Sejak dulu, hidup Bintang sangat sulit. Wanita cantik itu tak ingin putranya merasakan hal yang sama sepertinya. ‘Bara, aku nggak akan biarin kamu tau tentang Bima,’ batin Bintang dengan air mata yang membasahi pipinya. *** Kembali ke Jakarta tak serta merta membuat Bara segera pulang ke rumah. Pria tampan itu memilih untuk tinggal di apartemen mewahnya yang ada di Kawasan Jakarta Selatan. Dia sengaja tak langsung pulang ke rumah, karena dia malas mendengar begitu banyak pertanyaan dari kedua orang tuanya. Bara berdiri menatap keindahan pemadangan apartemennya dari balik kaca. Tatapan mata menyorot ke depan, dengan aura wajah dingin, penuh amarah serta dendam yang membakar dirinya. Sudah empat tahun Bara tak bertemu dengan Bintang. Kebencian dan amarah telah menggrogotinya. Hal yang paling Bara puas adalah Bintang hidup terlihat kesulitan. Terbukti Bintang yang dulu memilih Mario tidak hidup bergelimang harta. Suara dering ponsel terdengar. Bara mengalihkan pandangannya, mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Tatapannya menatap tegas nomor ibunya terpampang di layar ponselnya. Embusan napas kasar terdengar bercampur dengan decakan kesal. Bara tak ingin menjawab telepon, tapi dia sadar jika dia tak menjawab telepon ibunya, maka masalah baru akan timbul. Akhirnya, dengan terpaksa Bara memilih untuk menjawab telepon itu. “Aku sibuk, Ma,” ucap Bara dingin kala panggilan terhubung. “Bara, kamu kok kayak gitu dapet telepon dari Mama? Harusnya kamu tanya kabar Mama. Kamu itu kan baru kembali dari New York,” ujar Della, ibu Bara, dengan nada sedikit jengkel dari seberang sana. Bara berusaha bersabar. “Ma, aku lagi capek. Katakan ada apa?” Della mengembuskan napas kasar. “Mama nelepon kamu, karena Mama ingin kamu segera pulang ke rumah. Mama dapat informasi dari Andi, kamu malah pulang ke apartemenmu. Harusnya kamu pulang ke rumah, Nak. Mama dan Papa merindukanmu.” “Aku akan pulang nanti. Sekarang pikiranku masih sangat kacau.” “Apa ada masalah?” “Nggak. Nggak ada masalah sama sekali. Ma, sorry, aku tutup dulu. Aku akan pulang, kalau kondisi memungkinkan.” “Bara—” Bara langsung menutup panggilan telepon itu, dia tak mau melanjutkan percakapan dengan sang ibu. Sejak bertemu kembali dengan Bintang, pikirannya sangat kacau. Pun emosinya menjadi tak terkendali. Bara melangkah menuju balkon, tatapannya menatap bintang yang ada di langit. Sorot mata tajam penuh dendam begitu terlihat jelas. Pria tampan itu seakan menunjukkan sangat membenci pemandangan yang ada di pandangannya itu. “Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan, Bintang,” gumam Bara penuh dendam.“Ah, sial! Kenapa aku kesiangan?!” Bintang melonjak terkejut, di kala melihat jam dinding—waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Sementara jam kantornya mulai dari jam sembilan pagi. Umpatan pelan lolos di bibirnya, dia mengacak-acak rambutnya akibat kepanikan melanda. Tak bisa lagi berpikir jernih, Bintang berlari masuk ke dalam kamar mandi. Bersiap-siap secara kilat, itu yang ada di dalam pikiran Bintang. Bahkan, dia pun tak bisa berias terlalu lama. Jika sudah lama bekerja mungkin dia tak akan sepanik ini. Yang menjadi masalah utama adalah dirinya masih menjadi karyawan baru. Lima belas menit berlalu, Bintang sudah selesai bersiap. Wanita cantik itu menyambar tas dan ponselnya. Tampak Mbok Inem sedang menyuapi Bima di ruang tamu. “Bu Bintang, tadi saya sudah mencoba membangunkan ibu, tapi ibu tidak bangun. Saya pikir ibu kelelahan. Jadi, saya tidak berani membangunkan ibu lagi,” ucap Mbok Inem kala melihat Bintang terburu-buru. Bintang mendesah panjang, merutuki kebodohannya yan
Bintang melangkah keluar dari ruang kerja Bara. Raut wajahnya sangat lesu menunjukkan jelas ada beban pikiran yang mengusik ketenangannya. Ancaman dari Bara berputar di kepalanya. Bohong jika Bintang tidak takut, jelas saja dia khawatir akan ancaman Bara. Kondisi sekarang telah berubah total. Bara memiliki kekuasaan yang bisa membuat Bintang terpuruk. Fakta seperti itu, dan Bintang sama sekali tidak bisa mengelak akan kenyataan yang ada. Bara yang dia kenal dulu sangat berbeda jauh dengan Bara yang sekarang dia kenal. Bara sekarang penuh dendam dan menatap Bintang dengan tatapan kebencian mendalam. Jika saja Bintang mendapatkan penawaran bekerja di perusahaan lain, maka pasti Bintang akan bekerja di perusahaan lain. Namun kondisinya mencari pekerjaan sangat sulit. Bintang duduk di kursi kerjanya dengan raut wajah muram. Kesedihan membentang. Sejak dia dibentak oleh Bara, hatinya sangat sakit dan terluka. Ingin sekali dia menangis di depan Bara, tapi dia tak menahan diri karena tak
Bintang mendapati Bima sudah tertidur lelap di kala dia sudah pulang dari kantor. Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Sangat wajar jika putra kesayangannya itu sudah tidur pulas. Dia tak ingin membangunkan, dia memilih untuk melangkah menuju dapur mengambil minum.“Bu, sudah pulang?” Mbok Inem tersenyum menatap Bintang.Bintang menegguk minumannya perlahan, lalu meletakan gelas ke atas meja. “Iya, Mbok. Maaf hari ini aku pulang malam. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus.”“Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti pasti banyak pekerjaan yang harus ibu kerjakan,” jawab Mbok Inem sopan.Bintang tersenyum. “Mbok, hari ini Bima nggak rewel, kan?”“Tidak, Bu. Den Bima anak yang pintar dan baik. Tapi, Bu, maaf tadi ada pertanyaan Den Bima pada saya, yang saya bingung untuk menjawab.”“Pertanyaan apa, Mbok?”“Jadi tadi saya menonton televisi, dan ada adegan di mana anak-anak bermain dengan papa mereka. Den Bima bertanya pada saya ke mana papanya. Jujur saya bingung, Bu. Saya hanya m
“Ibu Bintang, Anda dipanggil Pak Bara.” Andi menghampiri Bintang yang baru saja menyelesaikan pekerjaan. Tampak Bintang menunjukkan sedikit rasa gelisah mendengar perkataan Andi. Bintang mengangguk patuh. “Baik, Pak. Saya akan menemui Pak Bara sekarang.” Andi menunduk, lalu pamit undur diri dari hadapan Bintang. Tepat di kala Andi sudah pergi, Bintang segera melangkah menuju ruang kerja Bara. Entah apa yang akan Bara katakan padanya. Yang pasti Bintang masih khawatir tentang hukuman yang Bara berikan padanya. “Permisi, Pak,” ucap Bintang saat sudah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara yang duduk di kursi kebesarannya, memberikan tatapan dingin pada Bintang. “Malam ini, aku akan memberikan alamat padamu. Kamu harus datang tepat waktu. Ingat, aku tidak suka orang datang terlambat.” Bintang terdiam sejenak dengan kegelisahan yang membentang. Ya, malam ini adalah di mana Bintang harus menjalani hukumannya. Wanita cantik itu tak tahu hukuman apa yang akan dia terima. Yang pasti Bint
Lidah Bintang seakan kaku tak mampu menjawab ucapan Bara. Matanya membulat sempurna. Kakinya tak bisa bergerak sedikit pun. Dia merasa bahwa telinganya mengalami pendengaran yang salah, tapi rasanya apa yang dikatakan Bara sangat jelas. Napas Bintang mulai menjadi tidak teratur, akibat rasa gelisah bercampur dengan cemas yang membentang. Dia melangkah mundur, berusaha untuk tidak panik. Padahal jujur, menjadi tenang adalah hal rumit untuk sekarang ini. “M-maaf, Pak, a-apa maksud Anda?” tanya Bintang dengan nada terbata-bata. Bara menyilangkan kaki kanannya, bertumpu ke paha kiri. “Aku rasa apa yang aku katakan tadi sangat jelas. Kamu mendengar kalimatku dengan baik, kan?” Bintang menggigit bibir bawahnya. Sungguh, selama dia mengenal Bara, belum pernah Bara merendahkan dirinya seperti ini. Bintang kehilangan kata, dia tak tahu harus bicara seperti apa. Air matanya nyaris berlinang jatuh membasahi pipinya, tetapi dia mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Dia tak ingin le
Langit malam di kota Jakarta tampak mendung. Bulan dan bintang tak menyinari langit luas. Awan gelap menggumpal menandakan bahwa sebentar lagi turun hujan. Cuaca malam itu sama seperti dengan kondisi Bintang yang menunjukkan kesedihan. Mata wanita cantik itu sudah sembab, akibat tangis yang sejak tadi tak kunjung mereda. Bintang duduk di dalam taksi dengan air mata yang tak henti berlinang. Sesekali sang sopir taksi melirik Bintang dari kaca spion, tapi tentu sang sopir taksi tak berani bertanya. Hanya raut wajah sang sopir taksi tampak tak tega melihat Bintang yang menangis pilu. “Kak, apa kakak butuh tisu?” tanya sang sopir taksi pada Bintang. Bintang menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya. “Terima kasih, Pak,” jawabnya sambil menerima tisu pemberian dari sang sopir taksi. Sang sopir taksi tersenyum lembut. “Kak, kalau hari kakak berat, ingat saja hidup akan terus berjalan.” Bintang terdiam sebentar mendengar nasihat dari sang sopir taksi. “Hari terus berjalan, tapi
“Kalian sudah mencoba menghubungi Bintang lagi?” Andi bertanya pada Lina dan Wilona. Sejak panggilan telepon diputus secara sepihak oleh bosnya, membuatnya bertindak langsung menginterogasi kembali Lina dan Wilona. “Pak Andi, saya sudah berkali-kali menghubungi Bintang, tapi nomor telepon Bintang masih tidak aktif. Menurut saya, sifat Bintang tidak menunjukkan professional dalam bekerja. Jika Pak Andi berkenan, saya akan mencarikan sekretaris baru untuk Pak Bara,” ujar Lina dengan nada sopan. Wanita itu menunjukkan ketidaksukaannya pada Bintang. Sebab, baru menjadi karyawan baru Bintang sudah berani tidak tertib. Wilona panik mendengar ucapan Lina. Bagaimanapun Bintang adalah temannya. Dia mengenal selama ini Bintang sosok wanita yang baik. Dia tidak mau sampai Bintang dikekuarkan dari Gunaraya Group. “Tunggu, Pak Andi, mungkin saja Bintang sakit,” sambung Wilona secara terang-terangan membela Bintang. Lina menatap dingin Wilona. “Jika dia sakit, harusnya dia menghubungi saya. Se
Bara masih berada di ruang kerjanya, menunggu Andi datang. Aura wajah pria tampan itu menunjukkan emosi, dan kemarahan tertahan. Kilat mata menajam, dan suara gigi menggemeletuk akibat geraman emosi dalam dirinya. Bara tak menyangka Bintang langsung tidak masuk bekerja. Wanita itu secara terang-terangan mengatakan padanya sangat membutuhkan pekerjaan, lalu kenapa malah wanita itu berani tak datang ke kantor? “Shit!” Bara mengumpati dirinya, yang tak henti memikirkan sosok Bintang. Bara menyambar rokok di hadapannya, menghidupkan rokoknya, dan mengisap rokok itu. Asap rokok memenuhi ruang kerja Bara. Saat pikiran yang kacau, biasanya dia akan minum alkohol ataupun merokok. Suara ketukan pintu terdengar … Bara langsung mematikan rokok di tangannya, mengalihkan pandangan ke arah pintu, lalu berkata tegas, “Masuk!” “Selamat sore, Pak Bara.” Andi masuk ke dalam ruang kerja Bara, seraya menundukkan kepala sopan. Bara menatap dingin Andi, mengabaikan sapaan asistennya itu. “Kamu sudah
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah