“Kamu sudah siuman?” tanya Emran.
Ivan hanya diam sambil berulang mengerjapkan mata dan melihat ke sekeliling. Seingatnya dia sedang berjalan menuju ke mobil, kemudian tiba-tiba pandangannya gelap dan tak sadarkan diri. Bisa jadi kini Ivan berada di rumah sakit.
Ivan gegas bangkit dan langsung duduk di atas brankar. Emran yang duduk di sebelahnya ikut terkejut dan langsung bangun dari duduknya.
“Kamu mau ke mana, Van?” imbuh Emran.
“Aku ... aku mau pulang. Aku sudah tidak apa-apa. Aku hanya lelah tadi.” Ivan melepas paksa infus yang menempel di tangannya dan berdiri dari tempat tidur.
“Van, kata dokter mereka akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut padamu. Setidaknya kamu menunggu barang satu dua jam untuk memastikan kondisimu.”
“Aku baik-baik saja. Aku hanya lelah tadi.” Emran hanya diam, menghela napas panjang sambil melirik Ivan.
Padahal dia terpaksa menunda acara keluarga
“Selamat pagi, Dok!!” sapa seorang suster.Senin pagi Luna sudah beraktivitas seperti biasa. Ia kembali melakoni tugasnya seperti biasa. Luna tersenyum membalas sapaan suster asistennya. Liburan akhir pekan kemarin dihabiskan Luna cukup lama bersama Fabian. Lama-lama dia sudah tidak malu lagi menunjukkan perasaannya kepada Fabian.“Pagi, Sus. Bisa kita mulai sekarang?”Suster itu mengangguk, kemudian sudah memulai tugasnya memanggil satu persatu nama pasien berdasarkan urutan. Hingga akhirnya seorang gadis kecil berusia hampir tiga tahun masuk ke ruang periksa bersama seorang wanita manis berhijab.“Selamat pagi Dokter Luna!” sapa wanita berhijab tersebut.Luna menoleh dan langsung tersenyum. “Mbak Widuri dan Alisyah,” balas Luna.“Iya, sekarang Alisyah yang demam, Dok. Sejak semalam,” jelas Widuri.Luna mengangguk kemudian meminta Alisyah naik ke atas brankar. Tak lama Luna
“IVAN!!!” seru Luna.Ia berlari mengejar dua perawat yang mendorong Ivan di atas brankar ke dalam ruang IGD.“Dokter mengenal pasiennya?” tanya salah satu perawat.“Iya. Dia ... dia saudara sepupu suami saya.”Perawat itu mengangguk kemudian sudah menempatkan Ivan ke ruangan khusus untuk mendapatkan pertolongan pertama. Ada seorang dokter bertugas yang menangani. Luna hanya diam memperhatikan.“Dia kenapa, Sus?” tanya Luna kepada perawat yang membawa Ivan tadi.“Ada orang yang menelepon menemukan saudara Anda tak sadarkan diri di parkiran mall.”Luna tercengang dan dia kembali teringat cerita Widuri. Luna jadi penasaran apa yang menyebabkan Ivan jatuh pingsan berulang kali seperti ini.“Bagaimana, Dok?” tanya Luna. Kali ini dia bertanya kepada dokter yang baru saja melakukan pemeriksaan.“Sepertinya dia kelelahan atau bisa jadi ada penyebab yan
“Lun, kamu bisa ajukan cuti seminggu, gak?” tanya Fabian pagi itu.Luna yang sedang asyik menyiapkan sarapan pagi menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Fabian.“Cuti seminggu? Memangnya mau ke mana?” Luna balik bertanya.Fabian berjalan mendekat dengan senyum malu-malu ia merengkuh pinggul Luna merapat ke tubuhnya.“Aku mau mengajakmu honeymoon.” Seketika wajah Luna merona merah dan gegas menunduk menghindar dari tatapan Fabian. Fabian tersenyum dan semakin gemas melihat reaksi istrinya.“Kenapa? Kamu keberatan?”Luna membisu hanya helaan napasnya saja yang terdengar keluar masuk tak berjeda. “Eng ... bukannya setiap hari kita sudah ---“Belum sempat Luna meneruskan, Fabian sudah menarik dagu Luna hingga mata mereka saling bertemu.“Iya, kita sudah sering melakukannya. Hanya saja aku ingin lebih sering. Kamu tahu, usiaku sudah tidak muda, Lun. Aku ingin lekas punya anak dan tidak mau menundanya.”
“Pagi, Bu Hani. Apa Pak Ivan ada?” tanya Emran.Sudah hampir seminggu berselang sejak Ivan didatangi dua deb kolektor ke kantornya. Kali ini Emran sengaja datang ke kantor Ivan.“Maaf, Pak. Pak Ivan tidak ada di tempat. Saya pikir beliau ada di lokasi proyek,” jawab Bu Hani.Emran tampak terkejut, menatap Bu Hani dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya dia bilang seperti itu?”“Iya, Pak. Hari senin kemarin Pak Ivan bilang kalau akan seminggu berada di lokasi proyek. Memang sudah hampir seminggu ini Pak Ivan tidak ke kantor dan saya berasumsi beliau ke lokasi proyek,” jelas Bu Hani.Emran terlihat bingung. Ia menghela napas sambil sesekali mengurut dagunya.“Saya sudah hampir seminggu juga ke lokasi proyek, Bu dan saya tidak pernah bertemu Ivan. Padahal banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Ivan. Itu sebabnya saya datang ke sini.”Bu Hani terlihat panik sekaligus bingung. Bayang-bayang dua pria penagih hutang yang tempo hari datang terlintas di benaknya dan entah mengapa wani
“Fabian, kamu berada di mana sekarang?” tanya Bu Ana melalui panggilan telepon.Fabian yang sedang duduk di ruang tunggu bandara terlihat terkejut. Pasalnya suara Bu Ana terdengar seperti orang yang menangis saat ini. Hari ini memang Fabian dan Luna hendak bertolak pulang ke rumah usai melakukan honeymoon. Namun, Fabian sangat terkejut saat mendengar panggilan dari ibunya.“Ada apa, Ma? Mama kenapa? Kok seperti menangis begitu?”Bu Ana tidak menjawab, tapi Fabian malah mendengar suara isakan terdengar jelas di sana. Fabian kebingungan, menoleh ke arah Luna yang duduk di sebelahnya. Ekspresi Luna sama dengan Fabian kali ini. Fabian menghela napas panjang kemudian kembali bersuara.“Kami sedang menunggu pesawat delay, Ma. Namun, Mama jangan khawatir sebentar lagi juga akan take off. Mama kenapa?”Hening, tidak ada suara malah isak tangis Bu Ana yang jelas. Lagi-lagi Fabian kebingungan dan berulang menoleh ke arah L
“Kamu sudah bangun?” tanya Luna.Ivan menoleh ke samping dan terkejut saat melihat Luna sedang duduk di sebelahnya. Mata Ivan terlihat sayu, tapi tampak jelas kebencian di sana.“Untuk apa kamu di sini? Mana Tante Ana?” Ivan malah balik bertanya.“Mama sedang membeli makan, jadi aku yang menggantikannya. Apa kamu membutuhkan sesuatu?”Ivan berdecak sambil memalingkan wajah menghindar dari Luna. Luna terdiam melihat reaksi Ivan. Lama-lama dia sudah terbiasa menghadapi sikap anti pati Ivan padanya.“Aku sudah tahu mengenai penyakitmu, Van. Kenapa kamu menyembunyikannya selama ini?”Ivan terdiam dan wajahnya masih menghadap ke sisi lain Luna. Dia sama sekali tidak mau melihat Luna.“Aku juga diberitahu Tante kalau kamu tidak mau menjalani pengobatan seperti sebelumnya. Kenapa, Van? Apa kamu sudah menyerah?”Ivan berdecak dan kini melihat ke arah Luna. “Memangnya apa
“Jadi apa kamu mau melakukannya, Luna?” tanya Ivan.Luna hanya terdiam, mengatupkan rapat bibirnya sambil menatap Ivan tanpa kedip. Ia tidak menduga, Ivan akan berkata seperti itu. Padahal jelas kalau hal itu tidak dapat dia lakukan. Apa Ivan sengaja melakukan semua ini karena dia sudah putus asa?Ivan tersenyum sumbang sambil melirik Luna dengan sinis.“Kamu tidak bisa melakukannya, bukan? Sudah kutebak.”Ivan menarik napas panjang, kemudian sudah tidur miring membelakangi Luna. Luna hanya diam membisu sambil menatap Ivan. Ada buliran bening di sudut matanya bahkan kini matanya sudah berkabut.Tanpa diketahui Luna dan Ivan, ada Fabian yang sedang berdiri tegak di depan pintu mendengar semua percakapan mereka. Fabian sengaja kembali untuk mengambil barang yang ketinggalan. Namun, dia urung masuk saat melihat interaksi yang dilakukan Ivan dan Luna. Fabian semakin terkejut saat mendengar apa yang baru saja dikatakan Ivan tadi.
“Ivan mencarimu, Fabian,” ucap Luna.Wanita cantik itu baru saja keluar dari kamar rawat inap Ivan dan melihat Fabian hanya duduk diam di teras depan kamar Ivan. Fabian menoleh, tersenyum sambil mengangguk.“Iya. Aku akan menemuinya.” Fabian gegas berdiri dan berlalu masuk ke dalam ruang rawat inap tanpa menunggu Luna.“Hei, Bro!! Ngapain nyariin aku?” sapa Fabian ramah ke Ivan.Ivan tersenyum kemudian meminta Fabian duduk di kursi dekat tempat tidurnya.“Fabian, aku minta kamu mau melakukan sesuatu untukku kali ini.”Fabian terdiam mengernyitkan alis melihat ke arah Ivan.“Apa maksudmu, Van? Jangan ngomong aneh-aneh!!”Ivan tersenyum miring sambil menghela napas panjang. “Aku gak ngomong aneh-aneh. Aku hanya ingin kamu membantu.”“Membantu apa?” Fabian mencondongkan tubuhnya ke Ivan.“Aku ingin perusahaanku dimerger oleh Om
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me