“Ivan mencarimu, Fabian,” ucap Luna.
Wanita cantik itu baru saja keluar dari kamar rawat inap Ivan dan melihat Fabian hanya duduk diam di teras depan kamar Ivan. Fabian menoleh, tersenyum sambil mengangguk.
“Iya. Aku akan menemuinya.” Fabian gegas berdiri dan berlalu masuk ke dalam ruang rawat inap tanpa menunggu Luna.
“Hei, Bro!! Ngapain nyariin aku?” sapa Fabian ramah ke Ivan.
Ivan tersenyum kemudian meminta Fabian duduk di kursi dekat tempat tidurnya.
“Fabian, aku minta kamu mau melakukan sesuatu untukku kali ini.”
Fabian terdiam mengernyitkan alis melihat ke arah Ivan.
“Apa maksudmu, Van? Jangan ngomong aneh-aneh!!”
Ivan tersenyum miring sambil menghela napas panjang. “Aku gak ngomong aneh-aneh. Aku hanya ingin kamu membantu.”
“Membantu apa?” Fabian mencondongkan tubuhnya ke Ivan.
“Aku ingin perusahaanku dimerger oleh Om
“FABIAN!!!” seru Luna.Wanita cantik itu sudah berdiri di depan pintu dan menatap Fabian dengan amarah. Ivan hanya terdiam sambil melihat ke arah Fabian dan Luna. Fabian hanya membisu sambil menoleh ke arah Luna. Langkah Luna sangat tegas, kemudian berhenti dan berdiri tegak di depan Fabian.“Kamu apa-apaan, Fabian? Memangnya aku barang, seenaknya kamu pindah tangankan?” sentak Luna.Fabian tidak menjawab hanya menghela napas sambil menatap Luna dengan sendu. Belum sempat Fabian bersuara, tiba-tiba pintu terbuka. Ada Bu Ana dan Pak Roni berdiri di depan pintu.“Kalian berkumpul di sini semua. Apa Ivan sudah lebih baik?” tanya Pak Roni.“Iya, Pa. Dia sudah lebih baik.” Fabian yang menjawab. Ia sudah bangkit dari duduknya dan menyilakan Bu Ana yang duduk.“Aku dan Luna sedang berdiskusi mencari rumah sakit yang cocok untuk pengobatan dia selanjutnya. Benar kan, Babe?” Fabian kini ters
PLAK!!Sebuah tamparan hinggap di pipi Fabian membuat pria tampan bermata sipit itu tercengang bahkan spontan dia mengelus pipinya kali ini. Mata Luna tampak berkabut menatap Fabian dengan tangan yang gemetaran. Baru pertama kali Luna menampar Fabian dan itu membuatnya terluka.“Aku ... aku sengaja melakukannya supaya kamu berhenti omong kosong, Fabian!!!” ucap Luna.Fabian hanya diam dan tangannya masih sibuk mengelus pipinya yang kesakitan.“Seenaknya kamu bicara seperti itu seakan aku tidak punya hati. Kamu tidak tahu bagaimana perasaanku, kan?”Fabian belum menjawab, tapi mata sipitnya sudah melihat Luna dengan sudut mata.“Aku hanya mencintai Fabian Baskara. Bagaimana mungkin kamu memintaku pergi? Aku hanya mencintaimu, bukan yang lain. Tolong ... jangan bicara tentang ini lagi!! Aku mohon.”Fabian trenyuh mendengar ucapan Luna. Semua yang dikatakan Luna benar. Dia sama sekali tidak mau tahu pe
“Lun, malam ini aku gak pulang. Aku ada tugas keluar kota,” ujar Fabian.Usai melihat interaksi mesra Luna dan Ivan di kamar rawat inap, Fabian memutuskan berkata seperti itu. Mungkin ada baiknya dia yang pergi dan membiarkan sepasang kekasih itu bersatu lagi.“Kok dadakan, Fabian? Kamu bahkan tidak memberitahu aku saat siang tadi.” Luna sudah melakukan protes di seberang sana.Fabian berdecak. Ia masih berada di dalam mobil parkiran rumah sakit tempat Luna bekerja. Sesekali Fabian mengacak rambutnya sambil menggelengkan kepala. Entah apa alasan dia melakukan ini, yang pasti Fabian tidak mau membuat dia semakin merasa bersalah.“Maaf, Babe. Aku juga baru mendapat kabarnya petang ini. Aku gak lama, kok. Palingan cuman tiga hari.”“TIGA HARI??” Di seberang sana Luna terperangah kaget. Wanita cantik itu terdiam sambil menghela napas panjang. Sepertinya Fabian bisa merasakan reaksi Luna kali ini.&
Beberapa jam sebelumnya ... Tanpa sengaja Fabian bertemu dengan Nina. Fabian memang sudah lama mengenal Nina. Nina salah satu putri teman orang tuanya. Hanya saja Fabian tidak tahu jika Nina sempat dikenalkan ke Ivan dan Ivan menolaknya. “Fabian!! Kamu di sini?” sapa Nina. Nina baru saja bertemu dengan salah satu rekan bisnisnya di hotel tersebut. Kebetulan Fabian menginap di sana semalam. Ia baru datang dan hendak beristirahat. Dia terkejut saat melihat Nina ada di sana. “Eh, iya, Nin. Tumben kamu di sini. Ngapain?” Nina tersenyum sambil menyibak rambut bergelombangnya. “Biasa, ketemuan ama klien. Kamu sendiri ngapain di sini?” Fabian tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sama kayak kamu, mau ketemuan ama teman.” Kali ini terpaksa Fabian berbohong, untungnya Nina tidak mencurigainya. “Apa sudah ketemu?” Fabian menggeleng sambil menghela napas panjang. “Gak. Mereka baru saja membatalkannya dan aku mau balik pulang.” Lagi-lagi Fabian berbohong. Entahl
“Ini tidak seperti yang kamu duga, Luna. Aku pulang!!” ucap Fabian.Ia langsung mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya. Nina yang duduk di depan Fabian terlihat bingung dan menatap Fabian penuh tanda tanya.“Kamu ada masalah?” tanya Nina.Fabian tersenyum sambil menggeleng. “Gak. Hanya saja aku harus balik duluan, Nin. Makasih atas traktirannya, ya!!”Fabian sudah bangkit dan berlalu pergi meninggalkan Nina. Nina hanya diam sambil menganggukkan kepala dengan kikuk. Kalau mau jujur, dia senang dengan pertemuan kali ini. Dari dulu, Nina memang sudah suka Fabian, hanya saja pria itu seakan sengaja memberi jarak dengannya.Nina menghela napas panjang sambil melihat punggung Fabian yang sudah menghilang di balik pintu.Fabian langsung ke kamarnya, membereskan barang kemudian melakukan chek out. Ia harus lekas pulang kali ini. Entah apa reaksi Luna, yang pasti dia sudah siap apa pun itu.Pukul tujuh
“Van ... aku mohon, jangan bicara seperti itu,” ucap Luna.Wanita cantik itu menatap sendu ke arah Ivan. Sementara Ivan hanya diam sambil menatap kosong. Perlahan Luna bangkit dan duduk di tepi brankar sambil mengelus lembut tangan Ivan.“Aku akan selalu menemani kamu. Asal kamu mau melakukan semua pengobatan ini. Aku janji, Van.”Ivan mendengus sambil terkekeh lirih. Ia sudah membalikkan badan dan menatap Luna dengan mengejek.“Seingatku kamu adalah orang yang sudah ingkar janji. Mengapa sekarang aku harus percaya padamu?”Luna berdecak sambil menganggukkan kepala. Ia membenarkan ucapan Ivan dan Luna sama sekali tidak menyangkalnya.“Terserah apa anggapanmu, yang pasti kali ini aku bersungguh-sungguh, Van.”Ivan hanya diam sambil menatap dalam ke arah Luna. Luna tersenyum sambil mengelus lembut tangan Ivan seakan sedang menyakinkannya.Selang beberapa saat Ivan sudah ditangani ol
“Dok, Anda baik-baik saja?” tanya asisten suster.Luna yang baru saja kembali dari ruang pertemuan terlihat lesu dan itu sebabnya asisten susternya bertanya. Luna tersenyum sambil mengangguk.“Iya, saya baik-baik saja, Sus. Bisa kita mulai sekarang!”Tak berapa lama Luna sudah terlihat sibuk melayani para pasiennya. Dia sudah melupakan kejadian di ruang tunggu tadi dan fokus pada pasiennya.Sementara itu, beberapa jam kemudian, Fabian sudah menyelesaikan sesi pertama seminar tersebut. Dia sudah berada di ruang tunggu dan hanya duduk terdiam di sana. Nina masih melakukan sesi berikutnya sehingga tidak menemani Fabian.“Pak Fabian, terima kasih atas kedatangannya,” ucap ketua panitia.Fabian hanya manggut-manggut sambil tersenyum.“Kalau sudah selesai, saya mau undur diri.” Fabian sudah berpamitan dan berlalu pergi meninggalkan ruang tunggu tersebut.Ia kini berjalan menuju gedung s
“Kamu kenapa lagi, Van?” tanya Luna.Wanita cantik itu melihat Ivan sedang meringkuk kesakitan sambil memegang perutnya. Luna gegas menekan panic button. Ia tidak mau Ivan terlambat mendapatkan penanganan. Selang beberapa saat terlihat dua orang suster datang menghampiri Luna.“Sus, sepertinya dia kesakitan,” ucap Luna.Dua orang suster itu segera mengambil tindakan. Sepertinya mereka sudah mendapat petunjuk dari dokter yang menangani Ivan apa yang harus mereka lakukan. Luna membiarkan Ivan dalam penanganan dua suster itu, sementara dia berjalan keluar.Namun, langkah Luna terhenti saat melihat Fabian sudah tidak berada di sana. Helaan napas panjang keluar tergesa dari bibir Luna. Matanya beredar dan tampak berkabut, sementara hatinya sudah kacau balau tak karuan.“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Fabian?” gumam Luna.Dia masih berdiri diam menatap kosong ke depan hingga sebuah tepukan mendarat di bahu Lu
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me