"Hey... Sudah berapa kali ku bilang, hati-hati dengan gerak-gerik mu bodoh! Lagi-lagi kau berhasil membuat semua orang sibuk membicarakanmu dan sukses menjadi headline di seluruh media cetak dan online." laki-laki dengan perawakan tinggi dan berkulit putih menggerutu kesal dengan lawan bicara yang masih berlagak acuh.
"Bukan salah ku untuk menjadi terlalu terkenal," kelakar laki-laki yang lain—sang bintang berwajah tampan dengan kulit tan-nya yang eksotis dan sexy.
Mendengar jawaban yang sama sekali tidak kooperatif dari lawan bicaranya, Charlie—lelaki yang jauh lebih ramping—memukul keras kepala Lucas dengan kertas berisikan bukti-bukti foto yang terekam lewat lensa kamera paparazi.
"Hmm... Lalu katakan padaku sejak kapan kau—Lucas Alexander, tertarik dengan seseorang yang memiliki penis?" mata Charlie kini memincing lebih tajam, seperti seorang penyidik yang tengah mendikte tersangka di meja interogasi.
"Wow dude are you Fucking kidding me?! Sudah kukatakan, alasanku pergi ke sana hanya karena penasaran okay? Bukan berarti aku tertarik dengan laki-laki, bodoh!" Lucas mengerang tak terima dengan tuduhan dari sahabat sekaligus manajernya. "Lagi pula aku masih tidur dengan wanita seminggu yang lalu, kau ingat lawan main ku di video klip milik Austin..?" tambahnya berusaha meyakinkan.
"Itu bukan alasan Luke, mereka jelas memergoki mu pergi ke gay bar lebih dari tiga kali setiap kali kau pulang ke California." Charlie berkata tak puas, wajahnya masih menampilkan rona merah, jelas lelaki itu masih marah karena skandal yang kini memenuhi urutan satu di kolom pencarian.
Lucas, sang lawan bicara—juga tak mau kalah, dirinya tetap berpegang teguh pada alasannya, tentang rasa penasaran dan keingintahuan semata, lagi pula di negara bebas seperti Amerika Serikat, kenapa dia masih harus dipusing kan hanya karena beberapa kali mengunjungi gay bar, sungguh menggelikan.
"Aku tau apa yang kau pikirkan!" seru Charlie pelan, seakan bisa membaca pikiran dangkal sahabat karibnya itu, "mungkin kalau aku yang terlihat pergi kesana maka artikel itu tak akan pernah para wartawan sialan itu tulis tapi ini kau, si bintang besar yang pernah masuk nominasi oscar. Harusnya kau tidak perlu kaget kalau sewaktu-waktu yang kau sebut 'rasa penasaran' itu menjadi sasaran empuk para pencari sensasi." ujar Charlie menerawang. Sambil menyesap wine mahal yang Lucas dapatkan dari lelang dengan harga fantastis, lima ratus ribu dolar.
Kadang Charlie merasa beruntung berteman dengan Lucas dengan segala kemewahannya. Menjadi manajer dari artis yang sudah booming dari tahun pertamanya terjun ke dunia peran jelas bukan pekerjaan mudah untuk Charlie. Lucas juga bukan aktor dengan citra yang sebaik malaikat di mata publik, dia bahkan dikenal sebagai son of Lucifer, karena track record-nya yang cukup membuat orang geleng kepala.
"Lakukan konferensi pers, ini yang terbaik untuk membungkam mulut para wartawan. Ingat series mu yang akan tayang bulan depan, aku tak yakin kau masih punya muka untuk tampil dipublik kalau masalah belum selesai." Lucas mengangguk patuh, seperti seorang anak berumur lima tahun yang tengah dinasehati oleh ayahnya.
Oh.. Well.. Tapi Charlie memang sudah seperti ayahnya sendiri.
Meski terlihat acuh, namun Lucas tetap awas dan selalu mendengar perkaan Charlie. Lelaki dengan tingkat kecerewetan yang hampir menyerupai, oh bahkan lebih dari seorang perempuan itu—nyatanya selalu berhasil membuat Lucas merangkak dari lubang yang digalinya sendiri. Jadi untuk sekarang dia akan kembali percaya pada Charlie meski harus Lucas katakan, Charlie yang dilanda panik bukan tipe teman yang menyenangkan. Terlalu berisik dan paranoid.
"Atau kau bisa kembali pulang kerumah dan berhenti menjadi anak durhaka untuk ayahmu.?"
Lucas jelas dapat melihat kerlingan menyebalkan di mata Charlie saat mengatakannya.
Hell Fucking No
Kembali pada orang tua kolot yang suka memerintahnya ini itu, Lucas lebih baik menghapus nama 'King' dari kartu penduduknya. Ya meskipun tak ada yang tau kalau sebenarnya dia adalah anak Aston King, triliyuner dengan kerajaan bisnis yang tersebar di seluruh dunia.
Lucas adalah bocah laki-laki pemberontak yang kabur dari mansion keluarganya yang terletak di New York tapi tetap tinggal disalah satu rumah mewah, di kawasan beverly hill. Hadiah ulang tahunnya yang ke 17.
"Kau tau aku sudah sampai disini dan kau menyuruhku kembali ke neraka itu. Kau pasti bercanda." Lucas tertawa sangsi, sejak dirinya dinyatakan lulus dari universitas, Lucas dengan tegas menolak segala prosedur untuk menjadi ahli waris dari King Cooroeration yang masih berada dibwah kendali ayahnya sampai jari ini. Dirinya justru tertarik pada industru dunia kreatif yang tak kenal apa itu privasi tapi membuatmu menjadi sentral dan gravitasi ribuan atau bahkan jutaan osang mata di dunia. Lucas bahkan sudah pernah tampil di sampul beberapa majalah besar karena ketampanannya yang irasional.
Kadang Charlie, yang sudah mengenal dirinya sejak kecil masih bisa dibuat kagum saat menemani Lucas melakukan pemotretan. Tetapi menjadi satu-satunya anak, juga keturunan dari keluarga King membuat Lucas kerap bertengkar hebat dengan ayahnya yang jelas memintanya mengambil estafet dari kepemimpinannya sebagai pimpinan besar perusahaan. Itulah yang membuat laki-laki berusia 24 tahun ini nekat bertindak seperti bocah yang baru saja mengalami pubertas, kabur dari rumah dan mulai menggikuti dunia yang diidam-idamkannya.
"Harusnya kau tau, uncle Aston sudah pasti bisa menyeret mu paksa kalau dia memang serius. Kau harus sadar dia itu hanya terlalu menyayangimu." Ucapannya Charlie menyentak Lucas dari lamunannya tentang memori.
"Aku tau! Lagi pula dia punya Max di sana untuk menggantikan peran ku sebagai anak semata wayangnya. Dan kelihatannya Max benar-benar menikmati peran itu." wajah dan suaranya serupa sindiran pedas untuk seseorang, meski Charlie tau siapa yang dimaksud Lucas dengan kata-katanya itu. Mendesah napas lelah, karena tak akan pernah ada, Lucas yang mau mengalah kalau sudah berusuan dengan Alexander dewasa itu, jadi Charlie memilih menyudahi topik ini, "Jangan sampai kau menyesal dikemudian hari dude." Charlie menepuk pelan bahu Lucas sekilas tanpa tau wajah temannya itu kini mulai mengeras.
Membayangkan kedekatan Max dengan ayahnya kadang membuat emosi dalam dirinya melonjak tak tertahan.
"Aku pulang dulu, ingat kita besok harus menyetor muka pada mr Banks di agensi, pastikan kau tidak minum banyak setelah ini." Peringat Charlie tegas sambil mengenakan kembali mantelnya yang tadi ia lemparkan ke atas sofa.
Udara yang cukup dingin di luar sana mengingat musim dingin telah tiba, membuat Charlie mautak mau harus mengenakan berlapis pakaian untuk membuat keadaan tubuhnya tetap hangat. Sialan Lucas dengan segala kemewahannya, laki-laki itu bahkan tinggal dirumah megah yangmemiliki segala hal untuk tetap membuatnya hangat. Wine mahal ini juga satu diantaranya.
"Kau tidak ingin tinggal?" Lucas kembali memberi Charlie sebuah penawaran yang lumayan menggiurkan. Tapi Charlie sudah punya seseorang yang menunggunya di apartemen.
"Kau pasti bercanda, sampai kau bisa membuktikan kalau kau bukan seorang gay aku tak akan mau berbagi atap denganmu. Jangan marah, tapi aku sudah punya Amber yang menungguku di kasur saat ini." Charlie menjawab jenaka, tau bahwa temannya akan meledak buru-buru dia keluar dari rumah megah itu.
"FUCK YOU..!! " Charlie jelas dapat mendengar teriakan Lucas yang seperti auman singa dari dalam. Dan beruntung laki-laki itu tidak membuntutinya sampai mobil. Oh Lucas dengan segala skandal yang tak pernah ada akhir ini kadang membuat Charlie mulai sesekali melirik laman pencaharian kerja hang ada di Internet. Haruskah dia resign untuk menyelamatkan mentalnya yang hampir memasuki tahap gila. Semoga esok hari ada kabar yang lebih positif hntuk memanjakan matanya dari pada kekusutan yang dilihatnya diportal berita tadi pagi.
Ruangan mister Bhanks yang didominasi warna hitam dengan paduan putih dan abu selalu membuat Lucas takjub melihatnya. Laki-laki ini terkenal begitu pelit untuk mengeluarkan dana bagi para aktris dan aktor ya, justru terlihat tidak keberatan untuk merogoh jutaan dolar untuk biaya renovasi dan pembelian-pembelian furniture tidak terlalu penting di ruangannya.Lucas agak sangsi kalau ingat, dia menjadi salah satu budak agensi yang tenaga dan keberadaannya serius diperas habis oleh lelaki keturunan Perancis ini. Laki-laki yang suka bertindak semaunya ini suka membuatnya naik darah tapi Lucas juga tak akan menapik kalau dia nyaman bekerja di bawah naunga agensi milik Bhanks."Apa kau sudah punya solusi untuk masalahmu Luc?" meski memberikan pertanyaan tanpa nada intimidasi tapi Lucas tetap merasa sedang di pojokan, oleh atasan ini. Lihat saja bibirnya yang menampilkan senyum mencurigakan, belum lagi sorot mata teduh tapi sarat akan kemarahan, lalu Lucas harus menja
Aroma mentega bercampur susu menguar dari arah dapur, Quin tau kalau Bella—housemate sekaligus manajernya tengah membuat penekuk untuk sarapan mereka pagi ini."Hai babe..."sapa nya basa-basi, bahkan tangannya kini sudah melingkar santai di pinggang Bella. Terlalu romantic untu sepasang sahabat yang bahkan selalu bertengkar setiap hari. Dan benar, tidak bertahan begitu lama, Bella gadis yang lebih tinggi beberapa centimeter, dengan kejam melepas paksa pelukannya yang tulus meski ada maksud tersembunyi sedikit."Quin, kita benar-benar harus belanja setelah ini! Isi kulkas kita bahkan hanya tersisa air mineral saja kau tahu?" kata Bella datar dan masih sibuk membolak-balik penekuk yang sudah berwarna keemasan, sudah saatnya untuk diangkat.Quin belum menyahuti, dirinya masih berkutat menyusun piring diatas meja makan dan menyiapkan teh untuk mereka berdua. Meski dirinya adalah penggemar berat minuman ber-kafein, tapi Bella menjadi semakin c
"APA KAU SUDAH GILA?" Quin memekik nyaring setelah tahu renacana yang disiapkan Ms Evans untuknya. "Kecilkan suaramu Quin!" Bella memberi peringatan. Berteriak di dengan dinding flat yang tipis bisa mengundang para tetangganya datang kemari karena berpikir mereka sedang bertengkar hebat, belajar dari pengalaman dulu. Mereka sempat mengalami kejadian seperti itu. "I can't believe this. Aku tau, aku belum menghasilkan banyak untuk kantor Ms Evans tapi menjualku untuk menutupi skandal gay milik seorang aktor, aku jelas menolak." Quin dengan cepat membalikkan badannya ke arah dapur, untuk sekarang dia butuh setidaknya menjenguk segelas air putih. Tiba-tiba saja dia merasa dehidrasi. "Oh ayolah Quin,dia bukan menjualmu! Kau bahkan tidak harus tidur dengan laki-laki ini, kau hanya perlu berakting layaknya sepasang kekasih di hadapan kamera dan publik tentu saja." ujar Bella yang ternyata menyusul ya ke dapur. Quin berbalik menghadap Bella y
"Kau yakin gadis itu sudah setuju?" Lucas bertanya sambil sesekali melihat arloji ditangan ya yang masih bergerak konstan.Benar-benar menyebalkan, bagaimana mungkin dia sudah menunggu selama setengah jam tapi batang hidung seseorang yang ditunggunya bahkan belum muncul."Mereka pasti akan datang, kita tunggu saja. Lagi pula perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersiap." kata Charlie santai menanggapi kegelisahan Lucas yang tak habis-habis sejak tadi. Kenapa artisnya menjadi lebih cerewet malam ini. Seperti seseorang yang akan melakukan kencan buta saja.Lucas menoleh ke arah Charlie dengan sensi, "Tapi aku tidak suka dengan seseorang yang tidak tepat waktu.""Baiklah mister tepat waktu, bagaimana kalau kita mulai memesan saja, sekalian untuk mereka berdua." usul Charlie sambil membolak-balik buku menu yang sudah lumayan familiar untuknya."Maaf kami terlambat." suara yang bercampur napas tesengal-sengal membuat Lucas danCharlie
Mengambil langkah lebar, gadis itu tampak masih diliputi kemarahan yang hebat. Bella, sang sahabat bahkan tertinggal jauh di belakang tanpa dipedulikan. Bahkan dinginnya suhu malam itu tak membuat Quin goyah, rasanya dia ingin segera sampai di flatnya dengan segera.Quin tidak habis pikir kalau emosinya bisa terpancing semedikian hebatnya hanya karena seorang lelaki asing yang baru dia kenal malam ini.Sampai matipun Quin tidak akan pernah sudi berhubungan kembali dengan yang namanya Lucas Alexander.Gay brengsek yang penuh keangkuhan hanya karena merasa memiliki segalanya.Beraninya lelaki itu menginjak harga dirinya dan sahabatnya hanya karena penampilan mereka yang menurutnya memalukan.
Bab 7 Bukan Pilihan"Ku dengar kau membuat masalah di pertemuan itu Luke?"Sialan Charlie, dia pasti sudah mengadukan apa yang terjadi saat makan malam itu pada Bhanks.Bukannya menjawab Lucas justru memberi tatapan tajam pada Charlie yang tampak acuh—justru sibuk dengan ipad di tangannya.Dan lebih menyebalkan lagi, Charlie benar serius saat mengatakan akan membiarkan dirinya sendiri menyeselaikan semuanya dengan Bhaks."Jadi bisa kau jelaskan, kenapa kau mengacau lagi disaat aku sudah berbaik hati memberikanmu sebuah solusi?" Bhanks kembali mendesak Lucas dengan wajah datarnya yang menurut banyak orang bisa selalu berhasil membuat merinding da
Quin masih menunggu Bella yang sibuk menelpon keluarganya yang ada di Seatle, berdasarkan penjelasan singkat yang diberikan Bella padanya.Penyakit jantung mr Robert—ayah Bella—kambuh setelah para debt collector berusaha menghancurkan pabrik percetakan milik keluar Bella.Bella merasa sangat menyesal karena dia tak mau apapun tentang utang ataupun masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Setiap kali dia berkomunikasi dengan orang tua maupun adiknya, tak pernah sedikitpun keluarga Bella berkeluh kesah tentang permasalahan yang mereka alami. Sebaliknya mereka justru meminta Bella untuk tidak memikirkan apapun dan fokus pada mimpinya.Inilah yang paling membuat manajer Quin itu kec
"Apa kau sudah hilang kewarasan?" Lucas menatap tak percaya pada kedua iris Quin yang terlihat cukup serius untuk orang yang hanya ingin main-main. "Wow aku masih tidak percaya? Apakah kau sama dengan orang yang tempo hari menolak untuk bersandiwara dengan ku?" Lucas berkata takjub sembari menunjuk-tunjuk dirinya sendiri dengan bangga. Benar. Tidak ada yang bisa lepas dari jeratnya. Awalnya Lucas mengira gadis ini cukup aneh dengan menolak tawaran untuk menjadi kekasih pura-puranya. Sebuah peran yang pasti diinginkan semua perempuan di dunia. Ternyata Quin bukan pengecualian, dia tidak berbeda dari perempuan lain, begitu pikir Lucas. "Jadi apa kau mau?"
"Bos mu benar-benar sudah sinting!" Quin tidak berhenti menggerutu meski mereka kini sudah keluar dari ruangan Bhanks— bersama Charlie. "Jangan berlebihan, dia hanya memberikan solusi untuk kita." Wajah Quin semakin berkilat tajam. Oh ayolah apa yang dia harapkan dari si Lucas mesum. Tidak, Lucas tentu saja akan senang dengan 'solusi' itu. Dasar pembohong. Padahal dia selalu menghina Quin secara fisik, tetapi tetap berkilat nakal tiap kali ada kesempatan, dasar tidak konsisten. Bagaimana ucapan dan tindakannya bisa se-kontradiktif itu. "Terserah. Tapi jangan berani-berani kau melakukannya." desis Quin geram, seraya memasuki lift yang tombolnya sudah dipencet lebih dulu oleh Charlie. "Aku rasa kau benar-benar seorang virgin." gumam Lucas, begitu mereka sampai di dalam. Untung saja hanya ada mereka bertiga di sini, kalau tidak mungkin Quin sudah menendang tulang kering lelaki sok tampan ini. "Kalau aku memang seorang virgin, lalu apa masalahmu?" "Tidak ada, hanya itu berarti
Memang apa salahnya menjadi perawan?Quin masih kesal kalau ingat kejadian tadi, omongan Lucas seharusnya tidak sebepengaruh itu untuknya, tapi lagi-lagi bagai kaset rusak, kata-kata Lucas bagai sindiran untuknya.Memang usia Quin tidak bisa dikatakan muda lagi. Tapi tentu Quin juga belum setua itu sampai desperate dengan virgin dan lainnya.Quin jadi tidak mood melakukan rutinitas pengaplikasian skin care malam yang jarang absen dilakukannya. Yah, meski dia bukan orang berduit, Quin masih bekerja di bidang yang membuatnya wajib merawat wajahnya, agar tetap sehat— itu poin terpenting.
"Tidak buruk,"Quin memutar bola matanya asal mendengar perkataan Lucas tengang makan malam yang disiapkan untuk pertama kali setelah mereka tinggal bersama.Tidak banyak yang gadis itu siapkan hanya pasta dengan racikan yang sama dengan yang selalu dia buat dengan Bella di flat sederhana mereka.Meski perkataan Lucas sama sekali tidak mengandung kata pujian barang sedikitpun, laki-laki itu terlihat menikmati pasta buatannya dengan lahap. Quin jadi tidak ragu mengartikan kalau sebenarnya Lucas menyukai masakan buatannya, hanya saja lelaki itu cukup 'tsundere' alias tidak mau mengakui perasaannya yang sebenarnya.Setelah makan malam selesai dan Quin juga yang membereskan semuanya, karena sekali lagi Lucas berti
Membuat laki-laki itu puas?Apa maksud perkataan Lucas? Apakah lelaki itu baru saja melecehkannya?Dasar sialan!!Quin mendorong kasar dada Lucas merasa terpropokasi dengan perkataanya yang terkesan sedang merendahkan dirinya."Apa maksudmu?" cicitnya marah, yang benar saja…Lucas tidak bisa menyamakannya dengan para perempuan yang rela ditiduri dengan suka rela. Quin tahu dia berhutang banyak kepada lelaki itu, tapi menyerahkan tubuhnya tentu saja sampai mati Quin tak akan sudi."Kau yang ada apa? Kenapa marah?" kini balik Lucas yang merasa emosi karena baru saja didorong dan
"Quin! Kau tidak harus melakukan semua ini!" Bella merasa marah pada sahabatnya karena dia sadar Quin membuat keputusan ini karena ini menolongnya—juga keluarganya."Apa maksudmu Bell? Aku tidak mungkin bisa diam saja melihatmu dan keluargamu kesulitan." setelah tahu Bella butuh banyak biaya untuk melunasi utang dan biaya pengobatan sang Ayah, Quin memutar otaknya untuk bisa membantu Bella meski dia tidak punya banyak pilihan saat itu.Pilihannya hanyalah berlari dan memohon pada Lucas untuk mempertimbangkan kembali tawaran yang pernah diajukan padanya, atau kembali pada Keluarganya di Seatle dan memperjuangkan warisan peninggalan orang tuanya yang kini dikuasai oleh tantenya sendiri."Oh ayolah, kita memang perlu uang it
"Jadi, katakan padaku Quin, apa yang membuatmu akhirnya setuju?"Setelah pertemuannya dengan Lucas malam itu, akhirnya terbuatnya suatu persetujuan tak tertulis yang sudah disepakati Lucas dan Quin.Malam ini mereka mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak yang memiliki andil dengan sandiwara mereka berdua, Mr Bhanks, Ms Evans, juga Charlie. Meskipun Bella harusnya juga ada di sini mengingat statusnya sebagai manajer Quin. Tetapi karena Bella harus pulang ke Seatle untuk ayahnya yang sedang sakit."Aku hanya berpikir tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk karir ku. Aku sudah terlalu lama membuang waktuku untuk menjadi peran pendamping dalam sebuah judul, jadi kesempatan ini tak akan akun buang begitu saja."
"Apa kau sudah hilang kewarasan?" Lucas menatap tak percaya pada kedua iris Quin yang terlihat cukup serius untuk orang yang hanya ingin main-main. "Wow aku masih tidak percaya? Apakah kau sama dengan orang yang tempo hari menolak untuk bersandiwara dengan ku?" Lucas berkata takjub sembari menunjuk-tunjuk dirinya sendiri dengan bangga. Benar. Tidak ada yang bisa lepas dari jeratnya. Awalnya Lucas mengira gadis ini cukup aneh dengan menolak tawaran untuk menjadi kekasih pura-puranya. Sebuah peran yang pasti diinginkan semua perempuan di dunia. Ternyata Quin bukan pengecualian, dia tidak berbeda dari perempuan lain, begitu pikir Lucas. "Jadi apa kau mau?"
Quin masih menunggu Bella yang sibuk menelpon keluarganya yang ada di Seatle, berdasarkan penjelasan singkat yang diberikan Bella padanya.Penyakit jantung mr Robert—ayah Bella—kambuh setelah para debt collector berusaha menghancurkan pabrik percetakan milik keluar Bella.Bella merasa sangat menyesal karena dia tak mau apapun tentang utang ataupun masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Setiap kali dia berkomunikasi dengan orang tua maupun adiknya, tak pernah sedikitpun keluarga Bella berkeluh kesah tentang permasalahan yang mereka alami. Sebaliknya mereka justru meminta Bella untuk tidak memikirkan apapun dan fokus pada mimpinya.Inilah yang paling membuat manajer Quin itu kec
Bab 7 Bukan Pilihan"Ku dengar kau membuat masalah di pertemuan itu Luke?"Sialan Charlie, dia pasti sudah mengadukan apa yang terjadi saat makan malam itu pada Bhanks.Bukannya menjawab Lucas justru memberi tatapan tajam pada Charlie yang tampak acuh—justru sibuk dengan ipad di tangannya.Dan lebih menyebalkan lagi, Charlie benar serius saat mengatakan akan membiarkan dirinya sendiri menyeselaikan semuanya dengan Bhaks."Jadi bisa kau jelaskan, kenapa kau mengacau lagi disaat aku sudah berbaik hati memberikanmu sebuah solusi?" Bhanks kembali mendesak Lucas dengan wajah datarnya yang menurut banyak orang bisa selalu berhasil membuat merinding da