Aroma mentega bercampur susu menguar dari arah dapur, Quin tau kalau Bella—housemate sekaligus manajernya tengah membuat penekuk untuk sarapan mereka pagi ini.
"Hai babe..."sapa nya basa-basi, bahkan tangannya kini sudah melingkar santai di pinggang Bella. Terlalu romantic untu sepasang sahabat yang bahkan selalu bertengkar setiap hari. Dan benar, tidak bertahan begitu lama, Bella gadis yang lebih tinggi beberapa centimeter, dengan kejam melepas paksa pelukannya yang tulus meski ada maksud tersembunyi sedikit.
"Quin, kita benar-benar harus belanja setelah ini! Isi kulkas kita bahkan hanya tersisa air mineral saja kau tahu?" kata Bella datar dan masih sibuk membolak-balik penekuk yang sudah berwarna keemasan, sudah saatnya untuk diangkat.
Quin belum menyahuti, dirinya masih berkutat menyusun piring diatas meja makan dan menyiapkan teh untuk mereka berdua. Meski dirinya adalah penggemar berat minuman ber-kafein, tapi Bella menjadi semakin cerewet dengan melarangnya minum kopi, alasanya yang logis mengingat asam lambungnya yang sempat kambuh beberapa hari yang lalu.Dan itu bukan pertama kalinya.
"Quin!" katanya lagi, kali ini cukup memekakakn telinga karena tidak berhasil mendapat respon dipercobaan pertama.
"Oh seriously, kau harus berhenti berteriak Bell, kau tau kita suka mendapat kelurahan dari Mr dan Mrs Dawson karena keributan yang kau buat." kata Quin mendramatisir, padahal siapa pula yang tidak akan berteriak seperti tadi kalau kata-kata mu hanya mendapat jawaban dari angin.
Bella sudah keluar dari dapur, masih lengkap dengan celemek merah muda dan gambar strawberry besar di tengahnya, "Oh great honey, kau mau membuat ku menjadi tersangka penuh, padahal kau jelas-jelas alasan yang membuat darah tinggi ku selalu kambuh." Katanya merengut sangsi.
Meski benar dirinya yang lebih suka berteriak, tapi Quin—partner, sahabat, sekaligus rekan kerjanya ini sungguh-sungguh sumbu sebenarnya yang kerap membuatnya meledak tak tertahan.
Lihat saja gadis itu yang gini justru tertawa lepas setelah diberi omelan.
Anehnya Bella tidak pernah terbiasa dengan cara Quin mengusilinya meskipun sudah bertahun-tahun gadis itu melakukannya.
Berbicara tentang Mr dan Mrs Dawson, kedua orang itu adalah tetangga diflat sederhana yang mereka tempati. Flat yang disewa oleh Quin dan Bella bukan termasuk dalam kategori flat mewah di California, flat ini memiliki 5 lantai dengan masing-masing 4 kamar di setiap lantainya, uang sewanya bahkan tidak lebih dari 3000 dolar.
Memiliki satu ruang tidur, satu kamar mandi, ruang makan yang jadi satu dengan dapur, serta satu ruang santai yang biasanya mereka pakai untuk menyambut tamu, atau menikmati segelas coklat panas. Meski begitu penghangat ruangan di flat ini adalah yang terbaik ketika musim dingin mulai tiba.
"Haruskah kita menaruh beberapa berry di atasnya?" seru Quin dengan mata berbinar.
"Apa aku harus mengingatkanmu setiap hari, kita bahkan sudah tidak memiliki stok buah apapun sejak seminggu yang lalu!" Kata Quin lirih, dirinya sudah melepaskan celemek yang dikenakannya. Dan mulai ikut duduk di kursi seberang Quin.
Merasa bersalah karena membawa kembali kemirisan ekonomi yang dialaminya dan Bella, Quin mencoba memberi usul," Bagaimana kalau kita kembali ke Seattle? Kau tau kita bisa kembali bekerja di restaurant milik Samantha, lalu ikut dalam pertunjukan teater bersama rekan-rekan kita dulu."
Bella berdecih mendengar apa yang baru saja Quin katakan, "Kau bilang apa? Kembali ke Seattle katamu?"
Oh.. Shit..
Kau berhasil membangunkan singa tidur Quin, great for you.
"Kau mau kembali ditempeli bak parasit oleh tante dan sepupu mu itu? Oh atau kau mau kembali diremehkan oleh orang-orang disana? Kau mau melupakan mimpi mu? Mimpi kita..? Kalau kau mau pulang, pulang saja sendiri..!!"
Sepertinya gadis berambut pendek, coklat keemasan itu benar-benar marah padanya. Lihat saja Bella bahkan sudah membanting garpu dan pisau di tangannya. Takut menjadi semakin besar, Quin meraih tangan Bella diatas meja, mencoba memberitahu sahabatnya itu bagaimana sebenarnya maksud dari ucapannya tadi, karena sudah jelas Bella salah paham dengan maksud Quin. Quin hanya merasa bersalah karena merasa ikut andil dalam kemelaratan Bella saat ini.
"I am sorry Bell, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi kau masih punya banyak jalan untuk meraih impian mu ketimbang harus menolong aktis tanpa bakat seperti ku." kata Quin sedih, matanya mulai berkabut ketika mengingat perjuangannya dan Bella yang belum dilihat seberapa keras pun ia mencoba, Hollywood mungkin bukan terlahir untuknya.
"Kau tau kau bukan tidak kompeten, hanya saja para produser dan sutradara belum berhasil menemukanmu, tapi kau jangan khawatir aku percaya waktu kita akan tiba sebentar lagi." Bella mencoba memberitahu Quin untuk tidak terlalu memandang rendah dirinya sendiri, karena lebih dari siapapun di dunia ini Bella tahu, Quin adalah aktris yang berbakat, hanya saja waktu yang tepat belum datang untuk memberinya semua keberuntungan yang ada di semsta. Terkadang kita memang harus bekerja lebih keras, 200 persen dari kemampuan kita untuk bisa meraih mimpi yang kita idaman.
"Bagaimana kalau kita pergi belanja ke supermarket setelah sarapan?" ajakan Bella membuat Quin kembali memasang ekspresi berbinar, tapi setelahnya redup lagi.
"Kenapa?" tanya Bella ringan yang sadar akan perubahan ekspresi Quin.
Quin menggeleng cepat, mulutnya mencoba merangkai kata dengan hati-hati, "Apakah kita masih punya cukup tabungan untuk berbelanja?"
"Ya.." mulut Bella menjawab dengan masih sibuk mengunyah potongan penekuknya yang
terakhir. "Kita masih punya beberapa dolar di rekening. Bayarin mu menjadi extras kemarin sudah cair."
Muka Quin memerah mendengarnya.
Hhh...
Padahal dia berharap mendapat peran yang lebih baik, tapi ini dia muncul di empat episode tanpa dialog dan hanya muncul sepersekian detik dengan wujud yang bahkan tidak tampak jelas.
"Jangan berkecil hati, hari ini pengumuman apakah casting mu di series ‘Woman Diary’ kan? Mungkin kau benar akan mendapatkan peran Karen." Quin mencoba memberi semangat, "Coba cek email diponselku, harusnya kita sudah mendapatkannya pagi ini." lanjutnya, sembari membereskan piring kotor untuk dia letakkan di tempat cuci piring.
Ingat kalau dia masih memiliki harapan dengan castingnya terlahir yang mendapat pujian langsung dari casting director, Quin berlari cepat ke kamar, mencari ponsel Bella untuk mengecek notifikasi.
"Bagaimana?" teriak Bella dari luar.
Mendengar Quin mengehela napas panjang, Bella memiliki firasat yang buruk dan segera menyusul ke dalam kamar.
"Yah..sepertinya aku tertolak lagi." Quin tersenyum getir pada Bella yang sudah menampilkan wajah sendunya. Bella langsung merengkuhnya dengan cepat memberi Quin pelukan,
"I am okay Bell, kau tau kita masih bisa mendatangi satu dua casting lagi untuk beberapa project yang sempat mrs evans singgung kemarin."
"Kau benar, ayo kita coba lagi. Dan buat mereka yang menolakmu menyesal seumur hidupnya." seru Bella dengan senyum simpul di wajahnya.
****
"Kita tidak harus menggunakan troli Quin, kau tau kita hanya akan berbelanja seperlunya."sejak tadi Bella sudah protes saat Quin dengan santainya menarik troli dan menggeretnya kesana kemari."Berbelanja tanpa troli itu tidak bisa disebut berbelanja kau tau. " Quin berkata ringan, tangannya masih sibuk memilah-milih frozen food yang biasa menjadi stok wajib di kulkas mereka.
"Hey Bella menurutmu juta harus membikin merek yang mana?" tanyanya menunjukkan dua jenis nugget kemasan dari merek yang berbeda.
"Yang paling murah saja" Kata Bella cepat, Quin mengangguk menyetujui, sekarang yang lebih murah adalah pilihan terbaik untuk keduanya.
Ketika keduanya tenang asyik memilih beberapa sayur segar dan buah, terdengar getaran ponsel milik Bella.
Drttt....drtt....
"Oh..Ms Evans menelponku, kira-kira ada apa?"
Quin hanya mengedikan bahunya tak mengerti, ingat dia bukan seorang peramal.
Beberapa saat Quin hanya bisa mendengarkan percakapan satu arah dari mulut Bella, karena idak tau apa yang Ms Evans katakan padanya, tidak mungkin juga Quin meminta Bella untuk me-loudspeaker di tempat umum seperti ini.
"Hmm.. Baik, nanti akan saya diskusikan dengan Quin..Ya,terimakasi Ms Evans. Ya..baiklah, ya selamat pagi juga."
Begitu Bella menutup teleponnya, Quin sudah menampilkan ekspresi tidak sabar sekaligus penaran. Matanya melebar berkilat-kilat menanti Bella menjelaskan sesuatu padanya.
"Kita mungkin bisa membayar uang sewa flat untuk bulan depan, tapi itu kalau kau setuju dengan renacana Nona Evans?" itulah kalimat ter-ambigu yang Bella ucapkan pertama kali. Dahi Quin mengernyit tak mengerti.
"Apa? Rencana apa?" tanya Quin tak sabar.
"Baik-nya kita bicarakan saat rumah saja..Ayo.!" Bella menarik paksa Quin untuk kembali melanjutkan berbelanja, meski Bella masih melihat guratan ekspresi gadis itu masih memandang ya tak puas. Lihat saja bibir Quin yang mengerucut ke depan.
Tapi apakah Quin mau melakukan rencana Ms Evans? Haruskan Bella membujuknya ?
"APA KAU SUDAH GILA?" Quin memekik nyaring setelah tahu renacana yang disiapkan Ms Evans untuknya. "Kecilkan suaramu Quin!" Bella memberi peringatan. Berteriak di dengan dinding flat yang tipis bisa mengundang para tetangganya datang kemari karena berpikir mereka sedang bertengkar hebat, belajar dari pengalaman dulu. Mereka sempat mengalami kejadian seperti itu. "I can't believe this. Aku tau, aku belum menghasilkan banyak untuk kantor Ms Evans tapi menjualku untuk menutupi skandal gay milik seorang aktor, aku jelas menolak." Quin dengan cepat membalikkan badannya ke arah dapur, untuk sekarang dia butuh setidaknya menjenguk segelas air putih. Tiba-tiba saja dia merasa dehidrasi. "Oh ayolah Quin,dia bukan menjualmu! Kau bahkan tidak harus tidur dengan laki-laki ini, kau hanya perlu berakting layaknya sepasang kekasih di hadapan kamera dan publik tentu saja." ujar Bella yang ternyata menyusul ya ke dapur. Quin berbalik menghadap Bella y
"Kau yakin gadis itu sudah setuju?" Lucas bertanya sambil sesekali melihat arloji ditangan ya yang masih bergerak konstan.Benar-benar menyebalkan, bagaimana mungkin dia sudah menunggu selama setengah jam tapi batang hidung seseorang yang ditunggunya bahkan belum muncul."Mereka pasti akan datang, kita tunggu saja. Lagi pula perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersiap." kata Charlie santai menanggapi kegelisahan Lucas yang tak habis-habis sejak tadi. Kenapa artisnya menjadi lebih cerewet malam ini. Seperti seseorang yang akan melakukan kencan buta saja.Lucas menoleh ke arah Charlie dengan sensi, "Tapi aku tidak suka dengan seseorang yang tidak tepat waktu.""Baiklah mister tepat waktu, bagaimana kalau kita mulai memesan saja, sekalian untuk mereka berdua." usul Charlie sambil membolak-balik buku menu yang sudah lumayan familiar untuknya."Maaf kami terlambat." suara yang bercampur napas tesengal-sengal membuat Lucas danCharlie
Mengambil langkah lebar, gadis itu tampak masih diliputi kemarahan yang hebat. Bella, sang sahabat bahkan tertinggal jauh di belakang tanpa dipedulikan. Bahkan dinginnya suhu malam itu tak membuat Quin goyah, rasanya dia ingin segera sampai di flatnya dengan segera.Quin tidak habis pikir kalau emosinya bisa terpancing semedikian hebatnya hanya karena seorang lelaki asing yang baru dia kenal malam ini.Sampai matipun Quin tidak akan pernah sudi berhubungan kembali dengan yang namanya Lucas Alexander.Gay brengsek yang penuh keangkuhan hanya karena merasa memiliki segalanya.Beraninya lelaki itu menginjak harga dirinya dan sahabatnya hanya karena penampilan mereka yang menurutnya memalukan.
Bab 7 Bukan Pilihan"Ku dengar kau membuat masalah di pertemuan itu Luke?"Sialan Charlie, dia pasti sudah mengadukan apa yang terjadi saat makan malam itu pada Bhanks.Bukannya menjawab Lucas justru memberi tatapan tajam pada Charlie yang tampak acuh—justru sibuk dengan ipad di tangannya.Dan lebih menyebalkan lagi, Charlie benar serius saat mengatakan akan membiarkan dirinya sendiri menyeselaikan semuanya dengan Bhaks."Jadi bisa kau jelaskan, kenapa kau mengacau lagi disaat aku sudah berbaik hati memberikanmu sebuah solusi?" Bhanks kembali mendesak Lucas dengan wajah datarnya yang menurut banyak orang bisa selalu berhasil membuat merinding da
Quin masih menunggu Bella yang sibuk menelpon keluarganya yang ada di Seatle, berdasarkan penjelasan singkat yang diberikan Bella padanya.Penyakit jantung mr Robert—ayah Bella—kambuh setelah para debt collector berusaha menghancurkan pabrik percetakan milik keluar Bella.Bella merasa sangat menyesal karena dia tak mau apapun tentang utang ataupun masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Setiap kali dia berkomunikasi dengan orang tua maupun adiknya, tak pernah sedikitpun keluarga Bella berkeluh kesah tentang permasalahan yang mereka alami. Sebaliknya mereka justru meminta Bella untuk tidak memikirkan apapun dan fokus pada mimpinya.Inilah yang paling membuat manajer Quin itu kec
"Apa kau sudah hilang kewarasan?" Lucas menatap tak percaya pada kedua iris Quin yang terlihat cukup serius untuk orang yang hanya ingin main-main. "Wow aku masih tidak percaya? Apakah kau sama dengan orang yang tempo hari menolak untuk bersandiwara dengan ku?" Lucas berkata takjub sembari menunjuk-tunjuk dirinya sendiri dengan bangga. Benar. Tidak ada yang bisa lepas dari jeratnya. Awalnya Lucas mengira gadis ini cukup aneh dengan menolak tawaran untuk menjadi kekasih pura-puranya. Sebuah peran yang pasti diinginkan semua perempuan di dunia. Ternyata Quin bukan pengecualian, dia tidak berbeda dari perempuan lain, begitu pikir Lucas. "Jadi apa kau mau?"
"Jadi, katakan padaku Quin, apa yang membuatmu akhirnya setuju?"Setelah pertemuannya dengan Lucas malam itu, akhirnya terbuatnya suatu persetujuan tak tertulis yang sudah disepakati Lucas dan Quin.Malam ini mereka mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak yang memiliki andil dengan sandiwara mereka berdua, Mr Bhanks, Ms Evans, juga Charlie. Meskipun Bella harusnya juga ada di sini mengingat statusnya sebagai manajer Quin. Tetapi karena Bella harus pulang ke Seatle untuk ayahnya yang sedang sakit."Aku hanya berpikir tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk karir ku. Aku sudah terlalu lama membuang waktuku untuk menjadi peran pendamping dalam sebuah judul, jadi kesempatan ini tak akan akun buang begitu saja."
"Quin! Kau tidak harus melakukan semua ini!" Bella merasa marah pada sahabatnya karena dia sadar Quin membuat keputusan ini karena ini menolongnya—juga keluarganya."Apa maksudmu Bell? Aku tidak mungkin bisa diam saja melihatmu dan keluargamu kesulitan." setelah tahu Bella butuh banyak biaya untuk melunasi utang dan biaya pengobatan sang Ayah, Quin memutar otaknya untuk bisa membantu Bella meski dia tidak punya banyak pilihan saat itu.Pilihannya hanyalah berlari dan memohon pada Lucas untuk mempertimbangkan kembali tawaran yang pernah diajukan padanya, atau kembali pada Keluarganya di Seatle dan memperjuangkan warisan peninggalan orang tuanya yang kini dikuasai oleh tantenya sendiri."Oh ayolah, kita memang perlu uang it
"Bos mu benar-benar sudah sinting!" Quin tidak berhenti menggerutu meski mereka kini sudah keluar dari ruangan Bhanks— bersama Charlie. "Jangan berlebihan, dia hanya memberikan solusi untuk kita." Wajah Quin semakin berkilat tajam. Oh ayolah apa yang dia harapkan dari si Lucas mesum. Tidak, Lucas tentu saja akan senang dengan 'solusi' itu. Dasar pembohong. Padahal dia selalu menghina Quin secara fisik, tetapi tetap berkilat nakal tiap kali ada kesempatan, dasar tidak konsisten. Bagaimana ucapan dan tindakannya bisa se-kontradiktif itu. "Terserah. Tapi jangan berani-berani kau melakukannya." desis Quin geram, seraya memasuki lift yang tombolnya sudah dipencet lebih dulu oleh Charlie. "Aku rasa kau benar-benar seorang virgin." gumam Lucas, begitu mereka sampai di dalam. Untung saja hanya ada mereka bertiga di sini, kalau tidak mungkin Quin sudah menendang tulang kering lelaki sok tampan ini. "Kalau aku memang seorang virgin, lalu apa masalahmu?" "Tidak ada, hanya itu berarti
Memang apa salahnya menjadi perawan?Quin masih kesal kalau ingat kejadian tadi, omongan Lucas seharusnya tidak sebepengaruh itu untuknya, tapi lagi-lagi bagai kaset rusak, kata-kata Lucas bagai sindiran untuknya.Memang usia Quin tidak bisa dikatakan muda lagi. Tapi tentu Quin juga belum setua itu sampai desperate dengan virgin dan lainnya.Quin jadi tidak mood melakukan rutinitas pengaplikasian skin care malam yang jarang absen dilakukannya. Yah, meski dia bukan orang berduit, Quin masih bekerja di bidang yang membuatnya wajib merawat wajahnya, agar tetap sehat— itu poin terpenting.
"Tidak buruk,"Quin memutar bola matanya asal mendengar perkataan Lucas tengang makan malam yang disiapkan untuk pertama kali setelah mereka tinggal bersama.Tidak banyak yang gadis itu siapkan hanya pasta dengan racikan yang sama dengan yang selalu dia buat dengan Bella di flat sederhana mereka.Meski perkataan Lucas sama sekali tidak mengandung kata pujian barang sedikitpun, laki-laki itu terlihat menikmati pasta buatannya dengan lahap. Quin jadi tidak ragu mengartikan kalau sebenarnya Lucas menyukai masakan buatannya, hanya saja lelaki itu cukup 'tsundere' alias tidak mau mengakui perasaannya yang sebenarnya.Setelah makan malam selesai dan Quin juga yang membereskan semuanya, karena sekali lagi Lucas berti
Membuat laki-laki itu puas?Apa maksud perkataan Lucas? Apakah lelaki itu baru saja melecehkannya?Dasar sialan!!Quin mendorong kasar dada Lucas merasa terpropokasi dengan perkataanya yang terkesan sedang merendahkan dirinya."Apa maksudmu?" cicitnya marah, yang benar saja…Lucas tidak bisa menyamakannya dengan para perempuan yang rela ditiduri dengan suka rela. Quin tahu dia berhutang banyak kepada lelaki itu, tapi menyerahkan tubuhnya tentu saja sampai mati Quin tak akan sudi."Kau yang ada apa? Kenapa marah?" kini balik Lucas yang merasa emosi karena baru saja didorong dan
"Quin! Kau tidak harus melakukan semua ini!" Bella merasa marah pada sahabatnya karena dia sadar Quin membuat keputusan ini karena ini menolongnya—juga keluarganya."Apa maksudmu Bell? Aku tidak mungkin bisa diam saja melihatmu dan keluargamu kesulitan." setelah tahu Bella butuh banyak biaya untuk melunasi utang dan biaya pengobatan sang Ayah, Quin memutar otaknya untuk bisa membantu Bella meski dia tidak punya banyak pilihan saat itu.Pilihannya hanyalah berlari dan memohon pada Lucas untuk mempertimbangkan kembali tawaran yang pernah diajukan padanya, atau kembali pada Keluarganya di Seatle dan memperjuangkan warisan peninggalan orang tuanya yang kini dikuasai oleh tantenya sendiri."Oh ayolah, kita memang perlu uang it
"Jadi, katakan padaku Quin, apa yang membuatmu akhirnya setuju?"Setelah pertemuannya dengan Lucas malam itu, akhirnya terbuatnya suatu persetujuan tak tertulis yang sudah disepakati Lucas dan Quin.Malam ini mereka mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak yang memiliki andil dengan sandiwara mereka berdua, Mr Bhanks, Ms Evans, juga Charlie. Meskipun Bella harusnya juga ada di sini mengingat statusnya sebagai manajer Quin. Tetapi karena Bella harus pulang ke Seatle untuk ayahnya yang sedang sakit."Aku hanya berpikir tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk karir ku. Aku sudah terlalu lama membuang waktuku untuk menjadi peran pendamping dalam sebuah judul, jadi kesempatan ini tak akan akun buang begitu saja."
"Apa kau sudah hilang kewarasan?" Lucas menatap tak percaya pada kedua iris Quin yang terlihat cukup serius untuk orang yang hanya ingin main-main. "Wow aku masih tidak percaya? Apakah kau sama dengan orang yang tempo hari menolak untuk bersandiwara dengan ku?" Lucas berkata takjub sembari menunjuk-tunjuk dirinya sendiri dengan bangga. Benar. Tidak ada yang bisa lepas dari jeratnya. Awalnya Lucas mengira gadis ini cukup aneh dengan menolak tawaran untuk menjadi kekasih pura-puranya. Sebuah peran yang pasti diinginkan semua perempuan di dunia. Ternyata Quin bukan pengecualian, dia tidak berbeda dari perempuan lain, begitu pikir Lucas. "Jadi apa kau mau?"
Quin masih menunggu Bella yang sibuk menelpon keluarganya yang ada di Seatle, berdasarkan penjelasan singkat yang diberikan Bella padanya.Penyakit jantung mr Robert—ayah Bella—kambuh setelah para debt collector berusaha menghancurkan pabrik percetakan milik keluar Bella.Bella merasa sangat menyesal karena dia tak mau apapun tentang utang ataupun masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Setiap kali dia berkomunikasi dengan orang tua maupun adiknya, tak pernah sedikitpun keluarga Bella berkeluh kesah tentang permasalahan yang mereka alami. Sebaliknya mereka justru meminta Bella untuk tidak memikirkan apapun dan fokus pada mimpinya.Inilah yang paling membuat manajer Quin itu kec
Bab 7 Bukan Pilihan"Ku dengar kau membuat masalah di pertemuan itu Luke?"Sialan Charlie, dia pasti sudah mengadukan apa yang terjadi saat makan malam itu pada Bhanks.Bukannya menjawab Lucas justru memberi tatapan tajam pada Charlie yang tampak acuh—justru sibuk dengan ipad di tangannya.Dan lebih menyebalkan lagi, Charlie benar serius saat mengatakan akan membiarkan dirinya sendiri menyeselaikan semuanya dengan Bhaks."Jadi bisa kau jelaskan, kenapa kau mengacau lagi disaat aku sudah berbaik hati memberikanmu sebuah solusi?" Bhanks kembali mendesak Lucas dengan wajah datarnya yang menurut banyak orang bisa selalu berhasil membuat merinding da