Ruangan mister Bhanks yang didominasi warna hitam dengan paduan putih dan abu selalu membuat Lucas takjub melihatnya. Laki-laki ini terkenal begitu pelit untuk mengeluarkan dana bagi para aktris dan aktor ya, justru terlihat tidak keberatan untuk merogoh jutaan dolar untuk biaya renovasi dan pembelian-pembelian furniture tidak terlalu penting di ruangannya.
Lucas agak sangsi kalau ingat, dia menjadi salah satu budak agensi yang tenaga dan keberadaannya serius diperas habis oleh lelaki keturunan Perancis ini. Laki-laki yang suka bertindak semaunya ini suka membuatnya naik darah tapi Lucas juga tak akan menapik kalau dia nyaman bekerja di bawah naunga agensi milik Bhanks.
"Apa kau sudah punya solusi untuk masalahmu Luc?" meski memberikan pertanyaan tanpa nada intimidasi tapi Lucas tetap merasa sedang di pojokan, oleh atasan ini. Lihat saja bibirnya yang menampilkan senyum mencurigakan, belum lagi sorot mata teduh tapi sarat akan kemarahan, lalu Lucas harus menjawab seperti apa agar orang dihdapannya ini puas.
Skandal memang tak pernah jauh dari seorang Lucas Alexander. Kendati demikian skandal yang dialaminya sekarang jelas berbeda dari image-nya yang selalu dianggap pemain wanita. Lucas dengan orientasi menyimpang adalah hal yang tak pernah warga Amerika Serikat pikirkan.
Lucas menggaruk tengkuknya berkala, matanya masih sibuk menatap marmer marble yang di pijaknya saat ini. "Well, Charlie memberi usul untuk kita mengadakan konferensi pers." katanya singkat dan tak yakin. Bahkan saat matanya bersitatap dengan Charlie, manajernya itu tampak memberikan pelototan tak terima karena baru saja dijadikan kambing hitam oleh sang bintang. Tapi mau bagaimana lagi saat ini dengan membawa nama Charlie setidaknya kalau itu dianggap ide yang bodoh, Lucas masih bisa berkilah.
"konferensi pers untuk apa? Untuk membenarkan bahwa kau seorang gay?" Mister Bhanks bertanya retoris dan pedas.
"Aku bukan gay!" Lucas berseru tak terima, kali ini matanya sudah balas menatap wajah atasannya yang masih menampilkan senyum misterius menyebalkan. Kalau boleh Lucas ingin melempar orang ini keluar gedung 17 lantai ini.
Mr Bhanks menaruh dagunya di atas punggung tangannya yang ia kaitkan di atas meja, matanya masih memandang salah satu penghasil jutaan dolar untuk agensinya, Lucas Alexander seorang bintang Hollywood yang namanya tak hanya terselip dalam banyak sekali judul film namun juga brand ambassdor dari berbagai produk terkenal dan juga produk-produk elit yang dijual dengan harga fantastis.
"Lalu apa solusimu? Media tidak akan mereda kalau kau tidak mengambil tindakan apapun," kini Mr Bhaks sudah kembali menyadarkan bahunta ke sandaran kursi, laki-laki itu seperti sudah lebih rilex. "Aku juga tidak akan menyetujui kalau kau mau mengakui orientasi seksualmu yang cukup membuat ku terkejut sejujurnya."
Lucas maju mendekat menggebrak meja atasnya pelan, "sudah ku bilang aku bukan gay!" bantahnya lagi. Mau berapakalipun dia memberikan alasan, orang-orang akan tetap memandangkan sebagai seorang gay karena fotonya yang disebar para paparazi sialan itu.
Meski aksinya bisa dianggap tidak sopan, tapi Bhanks seseorang yang sudah dikenalnya sejak dulu tak pernah keberatan dengan sikap Lucas yang kadang tidak hormat padanya. Yang terpenting untuknya adalah seberapa banyak yang bisa Lucas hasilkan maka akan selalu ada toleransi untuk tindakannya yang lumayan brutal dan kurang ajar.
"Baiklah-baiklah, bagaimana pun konferensi pers untuk saat ini bukan solusi yang tepat menurut ku, mungkin kita bisa menunggu rapat para pemegang saham lusa danbmeminta mereka membantu kita, kau tahu untuk mencari solusi."
Kalau Bhanks sudah berkata seperti itu, tak ada lagi yang bisa lucas sampaikan, mendebat laki-laki yang melakukan segalanya dengan perhitungan masak jelas Lucas tak mau membuang energinya percuma. Maka dengan cepat dia menyetujui permintaan CEOnya.
***
Benar ingat dengan dendamnya, Charlie menantikan ekspresi Lucas yang akan dibtampilkanya saat menyesap americano yang spesial dipesannya dengan beberapa tambahan garam asin.
"Damn... What are you fucking doing to my americano mate..?" Maki Lucas nyaring, beberapa pandang mata di kantin agensi ikut menatap ke arahnya penasaran.
Bukan menjawab kemarahan Lucas, Charlie justru sibuk memberikan wink untuk Willi, sang barista−yang bertugas meracik minuman untuk para pelanggan.
"Yang benar saja, kali ini apa yang ku lakukan?" tanya Lucas sangsi, mulutnya tak henti berumur dengan air mineral yang kebetulan juga sudah disiapkan oleh manajernya itu.
"Kau bahkan tidak peka dengan kesalahanmu, oh kenapa aku bisa bertahan menjadi manajer mu Luke?"
"Karena kau membutuhkan uang dan aku memberikannya." kata lucas santai sambil menyeringai.
Dengan cepat Charlie melemparkan bolpoin miliknya ke wajah tampan nan sialan itu.
"Hey.... Kau bisa ku tuntut kalau merusak aset ku. Wajah ini memiliki asuransi lebih mahal dari asuransi jiwa yang kau punya." akunya penuh keangkuhan.
"Yeah dan aku akan menuntut pada Tuhan untuk membiarkanmu terbakar di neraka." Balasan pedas Charlie membuat tawa Lucas lepas.
Sebenarnya Charlie tidak perlu meinta lagi pada Tuhan, karena nyatanya, Lucas bahkan sudah merasa berada di neraka saat ini.
Aroma mentega bercampur susu menguar dari arah dapur, Quin tau kalau Bella—housemate sekaligus manajernya tengah membuat penekuk untuk sarapan mereka pagi ini."Hai babe..."sapa nya basa-basi, bahkan tangannya kini sudah melingkar santai di pinggang Bella. Terlalu romantic untu sepasang sahabat yang bahkan selalu bertengkar setiap hari. Dan benar, tidak bertahan begitu lama, Bella gadis yang lebih tinggi beberapa centimeter, dengan kejam melepas paksa pelukannya yang tulus meski ada maksud tersembunyi sedikit."Quin, kita benar-benar harus belanja setelah ini! Isi kulkas kita bahkan hanya tersisa air mineral saja kau tahu?" kata Bella datar dan masih sibuk membolak-balik penekuk yang sudah berwarna keemasan, sudah saatnya untuk diangkat.Quin belum menyahuti, dirinya masih berkutat menyusun piring diatas meja makan dan menyiapkan teh untuk mereka berdua. Meski dirinya adalah penggemar berat minuman ber-kafein, tapi Bella menjadi semakin c
"APA KAU SUDAH GILA?" Quin memekik nyaring setelah tahu renacana yang disiapkan Ms Evans untuknya. "Kecilkan suaramu Quin!" Bella memberi peringatan. Berteriak di dengan dinding flat yang tipis bisa mengundang para tetangganya datang kemari karena berpikir mereka sedang bertengkar hebat, belajar dari pengalaman dulu. Mereka sempat mengalami kejadian seperti itu. "I can't believe this. Aku tau, aku belum menghasilkan banyak untuk kantor Ms Evans tapi menjualku untuk menutupi skandal gay milik seorang aktor, aku jelas menolak." Quin dengan cepat membalikkan badannya ke arah dapur, untuk sekarang dia butuh setidaknya menjenguk segelas air putih. Tiba-tiba saja dia merasa dehidrasi. "Oh ayolah Quin,dia bukan menjualmu! Kau bahkan tidak harus tidur dengan laki-laki ini, kau hanya perlu berakting layaknya sepasang kekasih di hadapan kamera dan publik tentu saja." ujar Bella yang ternyata menyusul ya ke dapur. Quin berbalik menghadap Bella y
"Kau yakin gadis itu sudah setuju?" Lucas bertanya sambil sesekali melihat arloji ditangan ya yang masih bergerak konstan.Benar-benar menyebalkan, bagaimana mungkin dia sudah menunggu selama setengah jam tapi batang hidung seseorang yang ditunggunya bahkan belum muncul."Mereka pasti akan datang, kita tunggu saja. Lagi pula perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersiap." kata Charlie santai menanggapi kegelisahan Lucas yang tak habis-habis sejak tadi. Kenapa artisnya menjadi lebih cerewet malam ini. Seperti seseorang yang akan melakukan kencan buta saja.Lucas menoleh ke arah Charlie dengan sensi, "Tapi aku tidak suka dengan seseorang yang tidak tepat waktu.""Baiklah mister tepat waktu, bagaimana kalau kita mulai memesan saja, sekalian untuk mereka berdua." usul Charlie sambil membolak-balik buku menu yang sudah lumayan familiar untuknya."Maaf kami terlambat." suara yang bercampur napas tesengal-sengal membuat Lucas danCharlie
Mengambil langkah lebar, gadis itu tampak masih diliputi kemarahan yang hebat. Bella, sang sahabat bahkan tertinggal jauh di belakang tanpa dipedulikan. Bahkan dinginnya suhu malam itu tak membuat Quin goyah, rasanya dia ingin segera sampai di flatnya dengan segera.Quin tidak habis pikir kalau emosinya bisa terpancing semedikian hebatnya hanya karena seorang lelaki asing yang baru dia kenal malam ini.Sampai matipun Quin tidak akan pernah sudi berhubungan kembali dengan yang namanya Lucas Alexander.Gay brengsek yang penuh keangkuhan hanya karena merasa memiliki segalanya.Beraninya lelaki itu menginjak harga dirinya dan sahabatnya hanya karena penampilan mereka yang menurutnya memalukan.
Bab 7 Bukan Pilihan"Ku dengar kau membuat masalah di pertemuan itu Luke?"Sialan Charlie, dia pasti sudah mengadukan apa yang terjadi saat makan malam itu pada Bhanks.Bukannya menjawab Lucas justru memberi tatapan tajam pada Charlie yang tampak acuh—justru sibuk dengan ipad di tangannya.Dan lebih menyebalkan lagi, Charlie benar serius saat mengatakan akan membiarkan dirinya sendiri menyeselaikan semuanya dengan Bhaks."Jadi bisa kau jelaskan, kenapa kau mengacau lagi disaat aku sudah berbaik hati memberikanmu sebuah solusi?" Bhanks kembali mendesak Lucas dengan wajah datarnya yang menurut banyak orang bisa selalu berhasil membuat merinding da
Quin masih menunggu Bella yang sibuk menelpon keluarganya yang ada di Seatle, berdasarkan penjelasan singkat yang diberikan Bella padanya.Penyakit jantung mr Robert—ayah Bella—kambuh setelah para debt collector berusaha menghancurkan pabrik percetakan milik keluar Bella.Bella merasa sangat menyesal karena dia tak mau apapun tentang utang ataupun masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Setiap kali dia berkomunikasi dengan orang tua maupun adiknya, tak pernah sedikitpun keluarga Bella berkeluh kesah tentang permasalahan yang mereka alami. Sebaliknya mereka justru meminta Bella untuk tidak memikirkan apapun dan fokus pada mimpinya.Inilah yang paling membuat manajer Quin itu kec
"Apa kau sudah hilang kewarasan?" Lucas menatap tak percaya pada kedua iris Quin yang terlihat cukup serius untuk orang yang hanya ingin main-main. "Wow aku masih tidak percaya? Apakah kau sama dengan orang yang tempo hari menolak untuk bersandiwara dengan ku?" Lucas berkata takjub sembari menunjuk-tunjuk dirinya sendiri dengan bangga. Benar. Tidak ada yang bisa lepas dari jeratnya. Awalnya Lucas mengira gadis ini cukup aneh dengan menolak tawaran untuk menjadi kekasih pura-puranya. Sebuah peran yang pasti diinginkan semua perempuan di dunia. Ternyata Quin bukan pengecualian, dia tidak berbeda dari perempuan lain, begitu pikir Lucas. "Jadi apa kau mau?"
"Jadi, katakan padaku Quin, apa yang membuatmu akhirnya setuju?"Setelah pertemuannya dengan Lucas malam itu, akhirnya terbuatnya suatu persetujuan tak tertulis yang sudah disepakati Lucas dan Quin.Malam ini mereka mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak yang memiliki andil dengan sandiwara mereka berdua, Mr Bhanks, Ms Evans, juga Charlie. Meskipun Bella harusnya juga ada di sini mengingat statusnya sebagai manajer Quin. Tetapi karena Bella harus pulang ke Seatle untuk ayahnya yang sedang sakit."Aku hanya berpikir tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk karir ku. Aku sudah terlalu lama membuang waktuku untuk menjadi peran pendamping dalam sebuah judul, jadi kesempatan ini tak akan akun buang begitu saja."
"Bos mu benar-benar sudah sinting!" Quin tidak berhenti menggerutu meski mereka kini sudah keluar dari ruangan Bhanks— bersama Charlie. "Jangan berlebihan, dia hanya memberikan solusi untuk kita." Wajah Quin semakin berkilat tajam. Oh ayolah apa yang dia harapkan dari si Lucas mesum. Tidak, Lucas tentu saja akan senang dengan 'solusi' itu. Dasar pembohong. Padahal dia selalu menghina Quin secara fisik, tetapi tetap berkilat nakal tiap kali ada kesempatan, dasar tidak konsisten. Bagaimana ucapan dan tindakannya bisa se-kontradiktif itu. "Terserah. Tapi jangan berani-berani kau melakukannya." desis Quin geram, seraya memasuki lift yang tombolnya sudah dipencet lebih dulu oleh Charlie. "Aku rasa kau benar-benar seorang virgin." gumam Lucas, begitu mereka sampai di dalam. Untung saja hanya ada mereka bertiga di sini, kalau tidak mungkin Quin sudah menendang tulang kering lelaki sok tampan ini. "Kalau aku memang seorang virgin, lalu apa masalahmu?" "Tidak ada, hanya itu berarti
Memang apa salahnya menjadi perawan?Quin masih kesal kalau ingat kejadian tadi, omongan Lucas seharusnya tidak sebepengaruh itu untuknya, tapi lagi-lagi bagai kaset rusak, kata-kata Lucas bagai sindiran untuknya.Memang usia Quin tidak bisa dikatakan muda lagi. Tapi tentu Quin juga belum setua itu sampai desperate dengan virgin dan lainnya.Quin jadi tidak mood melakukan rutinitas pengaplikasian skin care malam yang jarang absen dilakukannya. Yah, meski dia bukan orang berduit, Quin masih bekerja di bidang yang membuatnya wajib merawat wajahnya, agar tetap sehat— itu poin terpenting.
"Tidak buruk,"Quin memutar bola matanya asal mendengar perkataan Lucas tengang makan malam yang disiapkan untuk pertama kali setelah mereka tinggal bersama.Tidak banyak yang gadis itu siapkan hanya pasta dengan racikan yang sama dengan yang selalu dia buat dengan Bella di flat sederhana mereka.Meski perkataan Lucas sama sekali tidak mengandung kata pujian barang sedikitpun, laki-laki itu terlihat menikmati pasta buatannya dengan lahap. Quin jadi tidak ragu mengartikan kalau sebenarnya Lucas menyukai masakan buatannya, hanya saja lelaki itu cukup 'tsundere' alias tidak mau mengakui perasaannya yang sebenarnya.Setelah makan malam selesai dan Quin juga yang membereskan semuanya, karena sekali lagi Lucas berti
Membuat laki-laki itu puas?Apa maksud perkataan Lucas? Apakah lelaki itu baru saja melecehkannya?Dasar sialan!!Quin mendorong kasar dada Lucas merasa terpropokasi dengan perkataanya yang terkesan sedang merendahkan dirinya."Apa maksudmu?" cicitnya marah, yang benar saja…Lucas tidak bisa menyamakannya dengan para perempuan yang rela ditiduri dengan suka rela. Quin tahu dia berhutang banyak kepada lelaki itu, tapi menyerahkan tubuhnya tentu saja sampai mati Quin tak akan sudi."Kau yang ada apa? Kenapa marah?" kini balik Lucas yang merasa emosi karena baru saja didorong dan
"Quin! Kau tidak harus melakukan semua ini!" Bella merasa marah pada sahabatnya karena dia sadar Quin membuat keputusan ini karena ini menolongnya—juga keluarganya."Apa maksudmu Bell? Aku tidak mungkin bisa diam saja melihatmu dan keluargamu kesulitan." setelah tahu Bella butuh banyak biaya untuk melunasi utang dan biaya pengobatan sang Ayah, Quin memutar otaknya untuk bisa membantu Bella meski dia tidak punya banyak pilihan saat itu.Pilihannya hanyalah berlari dan memohon pada Lucas untuk mempertimbangkan kembali tawaran yang pernah diajukan padanya, atau kembali pada Keluarganya di Seatle dan memperjuangkan warisan peninggalan orang tuanya yang kini dikuasai oleh tantenya sendiri."Oh ayolah, kita memang perlu uang it
"Jadi, katakan padaku Quin, apa yang membuatmu akhirnya setuju?"Setelah pertemuannya dengan Lucas malam itu, akhirnya terbuatnya suatu persetujuan tak tertulis yang sudah disepakati Lucas dan Quin.Malam ini mereka mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak yang memiliki andil dengan sandiwara mereka berdua, Mr Bhanks, Ms Evans, juga Charlie. Meskipun Bella harusnya juga ada di sini mengingat statusnya sebagai manajer Quin. Tetapi karena Bella harus pulang ke Seatle untuk ayahnya yang sedang sakit."Aku hanya berpikir tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk karir ku. Aku sudah terlalu lama membuang waktuku untuk menjadi peran pendamping dalam sebuah judul, jadi kesempatan ini tak akan akun buang begitu saja."
"Apa kau sudah hilang kewarasan?" Lucas menatap tak percaya pada kedua iris Quin yang terlihat cukup serius untuk orang yang hanya ingin main-main. "Wow aku masih tidak percaya? Apakah kau sama dengan orang yang tempo hari menolak untuk bersandiwara dengan ku?" Lucas berkata takjub sembari menunjuk-tunjuk dirinya sendiri dengan bangga. Benar. Tidak ada yang bisa lepas dari jeratnya. Awalnya Lucas mengira gadis ini cukup aneh dengan menolak tawaran untuk menjadi kekasih pura-puranya. Sebuah peran yang pasti diinginkan semua perempuan di dunia. Ternyata Quin bukan pengecualian, dia tidak berbeda dari perempuan lain, begitu pikir Lucas. "Jadi apa kau mau?"
Quin masih menunggu Bella yang sibuk menelpon keluarganya yang ada di Seatle, berdasarkan penjelasan singkat yang diberikan Bella padanya.Penyakit jantung mr Robert—ayah Bella—kambuh setelah para debt collector berusaha menghancurkan pabrik percetakan milik keluar Bella.Bella merasa sangat menyesal karena dia tak mau apapun tentang utang ataupun masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Setiap kali dia berkomunikasi dengan orang tua maupun adiknya, tak pernah sedikitpun keluarga Bella berkeluh kesah tentang permasalahan yang mereka alami. Sebaliknya mereka justru meminta Bella untuk tidak memikirkan apapun dan fokus pada mimpinya.Inilah yang paling membuat manajer Quin itu kec
Bab 7 Bukan Pilihan"Ku dengar kau membuat masalah di pertemuan itu Luke?"Sialan Charlie, dia pasti sudah mengadukan apa yang terjadi saat makan malam itu pada Bhanks.Bukannya menjawab Lucas justru memberi tatapan tajam pada Charlie yang tampak acuh—justru sibuk dengan ipad di tangannya.Dan lebih menyebalkan lagi, Charlie benar serius saat mengatakan akan membiarkan dirinya sendiri menyeselaikan semuanya dengan Bhaks."Jadi bisa kau jelaskan, kenapa kau mengacau lagi disaat aku sudah berbaik hati memberikanmu sebuah solusi?" Bhanks kembali mendesak Lucas dengan wajah datarnya yang menurut banyak orang bisa selalu berhasil membuat merinding da