Share

Bab 4 : Rumor Buruk

last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-10 13:41:01

“Kenapa, Mba?” tanya Wisnu, satu-satunya pria di toko itu.

Toko sudah mau tutup. Sinta sedang menghitung uang masuk hari ini dibantu oleh Risma.

“Coba kamu hitung lagi, Wisnu. Apa saya salah hitung?”

Sinta memberikan buku penjualan dan kalkulator. Eti juga mendengar perkataan Sinta perihal uang kurang. Dia ingin membantu, hanya saja dengan sikap buruk Sinta kepadanya, dia masih diam duduk di pinggiran di bagian luar toko.

“Totalnya 10.320.000, mba.” Kata Wisnu setelah menyelesaikan hitungannya.

“Tuh kan bener. Duitnya cuman ada 10.170.000. Kurang 150 ribu.” Sinta terlihat panik.

Eti hanya menatap bingung ke arah tiga rekannya yang berada di dalam. Wisnu dan Risma saling pandang. Kalau sudah begini, biasanya mereka harus ganti dengan uang pribadi masing-masing.

Dengan uang makan mereka yang masih kecil, menganti uang yang hilang cukup memberatkan. Wisnu nampak suram saat mendekati Eti untuk bicara.

“Mba Eti, duit penjualan kurang,” katanya.

“Lho, kok bisa? Kurang berapa?” tanya Eti heran. Tadi siang toko memang lumayan rame. Dia bahkan harus sering bolak-balik ke toko lain untuk mencari baju sesuai ukuran yang pembeli mau.

“150 ribu. Kita mesti patungan. Satu orang 35 ribu. Mba Sinta 45 ribu sendiri.”

Mengganti uang penjualan? Eti bengong mendengarkan penjelasan Wisnu. Dulu dia tidak pernah di toko, jadi tidak tahu kalau ada yang seperti ini.

“Oh, ya udah. Potong aja dari uang makan,” ucapnya.

Wisnu kemudian kembali ke tempat Sinta. Suasananya jadi suram saat menutup toko. Eti hanya bisa diam. Meski pernah punya pengalaman sebagai admin, disini dia tidak diberi pembukuan. Semua uang masuk diterima Risma dan Sinta.

Beberapa hari kemudian, kejadian uang kurang ada lagi. Kali ini nominalnya hanya 95 ribu. Tapi tetap saja mereka harus menggantinya.

Setiap Minggu, paling tidak sekali pasti ada uang kurang. Eti lama-lama juga kesal. Tapi dia tidak bisa apa-apa. Status dia hanya karyawan biasa. Kepala toko disini Sinta.

“Semenjak ada Eti, duit toko kok kurang terus ya?”

“Ah, masa sih dia tukang nyolong?”

“Ya gak tahu. Bisa aja kan dia butuh buat ngirim anaknya.”

“Iya juga sih. Tapi orangnya kelihatan alim begitu kok.”

“Eh, zaman sekarang mah banyak yang kaya gitu. Kelihatannya doang alim, aslinya mah maling.”

Rumor baru menyebar bagai jamur di musim hujan. Eti tidak tahu soal itu. Dia hanya heran, beberapa tetangga toko dan rekannya menatapnya dengan aneh.

Risma dan Wisnu juga jadi berbeda. Mereka melihat Eti seperti orang yang penuh kudis. Sikap mereka pun jadi lebih jutek. Kalau toko sepi, kadang mereka asik ngobrol bertiga.

Eti hanya bersikap seperti orang bodoh. Dia merasa tidak punya masalah dengan ketiga rekan kerjanya. Dia kesini untuk bekerja. Selama tidak merugikan orang lain, dia tidak perduli.

“Eti, gimana kerjanya?” tanya Maryam.

“Baik, bu. Saya masih agak kagok sama barangnya. Sering ketuker-tuker.”

Maryam hanya tersenyum. Mereka hanya berdua di ruangan khusus di dalam toko utama yang jadi gudang sekaligus ruang kerja.

Selentingan kabar yang tidak enak membuat dia memanggil Eti. Dia percaya anak buahnya ini orang yang jujur. Namun kabar itu cukup mengganggunya.

“Bagaimana dengan teman-teman toko. Sudah akrab?” tanya Maryam lagi.

“Sudah bu, Alhamdullilah. Anak-anaknya baik semua.”

“Baguslah. Tapi saya dengar, uang penjualan sering hilang. Apa benar?”

“Iya, bu. Saya juga kurang tahu kenapa. Setiap Minggu ada saja uang kurang.”

“Oh begitu ya.” Maryam seperti berpikir keras. Dia masih menilai perkataan Eti.

Eti terlihat biasa saja. Tidak ada raut takut atau khawatir. Dia masih tidak tahu kalau rumor mengatakan uang hilang justru karena dia.

“Ya udah. Kerja yang bener ya. Nanti awal bulan ini saya naikin uang makan kamu.”

“Alhamdulilah. Makasih banyak bu.” Kata Eti sumringah.

“Iya sama-sama.”

Eti kemudian keluar. Dia kembali ke toko dan mendapati Sinta, Wisnu, Risma dan satu lagi penggantinya sementara karena dia dipanggil bu Maryam, sedang ngobrol serius. Mereka bubar begitu melihat Eti datang.

Di ruangan yang tadi Eti dan Maryam bicara, tak lama kemudian Agung keluar setelah Eti pergi. Pria itu sembunyi untuk mendengarkan pembicaraan dua wanita tadi.

“Bagaimana menurut kamu, Gung?” tanya Maryam begitu Agung duduk di bekas tempat Eti.

“Kayanya sih Eti jujur, bu.” Jawab Agung.

“Jadi bagaimana kita bisa tahu penyebab uang sering hilang di toko Sinta? Kamu ada usul?”

“Ada bu. Tapi entah ibu percaya apa tidak.”

“Baik, katakan!”

***

Hari-hari masih dilewati Eti dengan sikap masa bodoh. Jadi omongan orang sudah hal biasa baginya. Yang dipikirannya cuman Eren.

Temannya ada yang baru beli mobil-mobilan. Tadinya mereka main bareng. Tapi ketika temannya mau pulang, Eren malah nangis masih pengen main mobil-mobilan itu.

Neneknya Eren tadinya tidak bilang apa-apa saat Eti telpon. Justru Eren yang sudah mulai belajar ngoceh, minta mobil-mobilan seperti temannya.

Sebagai ibu, Eti hanya bisa menjanjikan nanti gajian bakal beli. Dia sudah cek harga mobil-mobilan seperti temannya Eren. Harganya empat kali uang makannya sehari.

“Kalau gak ada, ya jangan dipaksakan, Et. Anak kecil mah nanti juga lupa.”

Ibunya menasehati. Bagaimana pun Fitri tahu, gaji Eti tidak seberapa. Untuk makan Eti di Jakarta dan mengirim ke kampung saja kadang pas-pasan.

“Gapapa, bu. Namanya buat anak. Eti ada kok tabungan dikit-dikit Lagi pula, Bu Maryam katanya awal bulan depan mau naikin gaji Eti.”

“Ya, udah terserah kamu. Tapi jangan lupa terus berdo’a, dilancarkan rezeki. Rezeki anak mah gak ketuker.”

“Aamiin, bu.”

Setelah Eti dipanggil Maryam, entah kenapa uang kurang justru tidak ada lagi. Seminggu lebih semua berjalan normal. Rumor itu pun kembali surut.

Sikap Wisnu dan Risma lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Cuman mereka masih saja ngobrol asik bertiga tanpa melibatkan Eti.

“Nak,yang di patung itu ibu bisa lihat?” tanya seorang ibu-ibu pada Sinta. Pakaian ibu itu terlihat biasa saja dengan gamis dan kerudung.

“Mba Eti, layanin nih!” Sinta kembali ngobrol dengan Wisnu setelah memberi perintah. Eti yang sedang merapikan pajangan langsung menghampiri sang ibu.

“Iya, bu. Ada yang bisa dibantu.” Tanya Eti ramah.

Ibu itu tersenyum. “Iya, nak. Ibu mau tahu baju batik yang di patung itu. Ibu lihat kok bagus dari jauh. Bisa ibu lihat?”

“Bisa. Silahkan duduk dulu, bu.”

Melihat Sinta yang di dalam sedang asik ngobrol, Eti terpaksa masuk untuk mengambil baju yang di tunjuk oleh ibu itu. Risma yang biasa di dalam, sedang pergi membeli makan.

Sinta hanya melirik sekilas lalu kembali ngobrol dengan Wisnu. Mereka sepertinya sedang ngobrol seru sampai Sinta tertawa kencang. Eti hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Ini, bu.” Kata Eti sambil menaruh patung di atas meja.

“Memang bagus ya, nak. Anak ibu mau nikah. Ibu mau beliin batik buat orang yang bantu-bantu.”

“Oh, iya kah bu? Selamat ya. Kapan emang nikahnya?”

“Bulan depan.”

Nama ibu itu Nurmala. Beliau kemudian cerita kalau baru saja ditinggal suaminya pergi bulan lalu. Padahal anaknya yang bungsu sudah mau menikah sebulan lagi. Eti hanya mendengarkan dengan khidmat.

Ibu Nurmala mengaku sedih saat suaminya pergi. Untungnya ketiga anaknya bergantian menghiburnya. Sekarang pun si bungsu yang berinisiatif mengajaknya untuk belanja agar tidak kepikiran alamarhum suaminya terus.

“Yang sabar ya, bu. Saya turut berduka cita atas kepergian suami ibu.” Ucap Eti sambil memegang tangan Bu Nurmala yang sudah keriput.

“Terimakasih ya, nak. Nama anak ini siapa?”

“Saya Eti, Bu.”

“Ibu senang ketemu Nak Eti disini.” Ibu Nurmala tersenyum dengan tulusnya.

Mendengar cerita Ibu Nurmala, Eti merasa beliau sangat beruntung dengan suaminya bisa tetap saling mencintai sampai tua dan maut memisahkan. Dia jadi ingat pernikahannya dengan Hamdan yang gagal.

“Mau belanja apa mau cerita?”

**004**

Bab terkait

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 5 : Ibu Nurmala

    “Mau belanja apa mau cerita? Kalau mau cerita, bukan disini tempatnya.” Suara ketus Sinta mengagetkan dua wanita itu. Eti seakan minta maaf dengan pandangannya ke arah Ibu Nurmala. “Iya nak. Ibu mau beli. Tapi ibu bilang anak ibu dulu ya.” Ibu Nurmala berkata pelan. Dia sendiri nampak tidak enak dengan Eti. Bukannya langsung memilih yang dia mau, malah asyik bercerita kepada orang yang baru dia temui. Sinta hanya mendengus kesal. “Huh, bilang aja gak ada duit.” “Astagfirlullah, Sinta. Gak boleh gitu,” Eti tidak terima kenalan barunya itu sampai disindir tidak punya uang. “Maaf sekali lagi ya, bu.” “Gapapa, nak Eti. Ibu yang salah. Ibu panggil anak ibu dulu, ya.” Sekali lagi Eti mengucapkan maaf dan melihat kepergian Ibu Nurmala dengan iba. Eti sebenarnya sangat marah pada Sinta. Dia boleh melakukan itu pada Eti, tapi tidak pada Ibu Nurmala. Beliau adalah orang tua. Beli ataupun tidak, beliau masih harus dihormati. “Lain kali bikin orang beli, jangan malah dengerin cerita.” Se

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-10
  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 6 : Orang Baik

    “Nak Eti, jangan marah ya,” kata Bu Nurmala setelah selesai mengambil uang. “Baju yang ibu beli ini buat nak Eti sama keluarga. Jangan ditolak. Ini sebagai ucapan terimakasih ibu karena sudah dilayani dengan baik.” Kantong baju yang dibawa Zikri kemudian diserahkan ke Eti. Bu Nurmala pun memberikan uang pembayaran bajunya. Eti menerimanya dengan sedikit bengong. “Tapi bu. Ini kan baju yang mahal semua.” Eti merasa tidak enak. Dia tidak menyangka Bu Nurmala akan membelikan baju itu untuk dia. “Sudah terima aja, kak. Mamah kalo udah gitu, gak suka di tolak.” Zikri yang berdiri dibelakang ibunya ikut bicara. Eti hanya bisa memandangi sepasang ibu dan anak itu dengan pandangan terimakasih. Melihat tidak ada penolakan lagi, Bu Nurmala kembali berkata. “Kalau bisa, nanti datang ya pas acara nikahannya Iki. Nanti ibu minta Iki anterin undangannya. Ajak ayah, ibu sama anaknya nak Eti.” “Insya Allah, ya bu. Terimakasih banyak buat bajunya.” Kedua wanita itu berpisah sambil saling menemp

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-11
  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 7 : Dituduh Maling

    "Gimana sih? Kamu kan dari tadi di dalam, kok bisa kurang lagi. Nggak becus kerja ya kamu?."Suara Sinta sampai terdengar keluar. Beberapa tetangga toko yang belum tutup sampai melihat ke dalam penasaran.Mereka sudah paham dengan sifat Sinta yang kadang emosional. Sasarannya biasanya Eti. Namun wanita itu ada di luar dan sedang duduk santai."Kalau sudah gak mau disini bilang! Nanti gue minta ganti sama yang lain!""I-iya maaf, mba. Risma coba itung lagi."Dengan tangan gemetar menahan emosi, Risma memencet tombol-tombol di kalkulator sambil menghitung pemasukan hari itu.Tadi dia hitung sudah benar. Namun uang dan catatannya terjadi selisih sampai 235 ribu. Padahal hari ini tidak seramai akhir pekan.Wisnu dipanggil masuk untuk menghitung jumlah uang yang ada. Eti hanya diam saja di luar sambil melirik sesekali ke dalam.Wajah Risma nampak seperti ingin menangis. Bagaimana pun Eti pernah diposisi dia. Tidak masalah kalau kita salah terus dimarahi. Tapi tidak di depan orang lain.Itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-11
  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 8 : Toko Belakang

    Suasana toko jadi terasa tidak enak esok paginya. Sinta yang biasa akrab dengan Risma, kini memilih hanya ngobrol dengan Wisnu.Risma masih di dalam, tapi sekarang tempat duduknya berseberangan dengan Santi yang dekat meja kasir. Untuk bagian luar, ada Eti dan Wisnu seperti biasa."Mba Eti, dipanggil ibu ke toko depan." Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Eti.Toko sedang sepi, belum ada pembeli dari buka toko tadi. Setelah membereskan pajangan, Eti seperti biasa duduk di pojokan."Oh, iya. Makasih ya, Sum." Wanita yang memberitahu Eti bernama Sumiyati, dia dari toko Agung. Sementara salah satu tidak masuk, biasanya dia akan menggantikan disitu sementara."Bawa tas mba Eti juga sekalian kata ibu." Ada suara tidak senang dari kata-kata Sumiyati. "Sekarang mba Eti di depan, saya disini.""Emang apa kata ibu, Sum?""Enggak tahu. Tadi Mas Agung cuman ngomong kita tukeran tempat mulai hari ini."Tadinya Eti akan bertanya lebih banyak, namun melihat wajah Sumiyati yang terlihat kesal,

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-12
  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 9 : Pergantian (Lagi)

    Sinta terlihat pucat. Dia sedikit bengong saat baru keluar dari ruangan. Sebuah amplop coklat berada di tangannya. Deni dan Teguh melihat Sinta dengan bingung. "Sin, kamu gak apa-apa?" Teguh memberanikan bertanya. Pemuda ini yang menjaga toko ketiga Bu Maryam. Posisi tokonya ada di gedung sebelah. Dia masuk kerja tidak lama setelah Sinta. "Sinta? Belum pulang?" Agung keluar dari dalam. Dia heran melihat Sinta masih berdiri mematung. "Mas, gak bisa yah ibu maafin saya?" Suara Sinta bergetar seakan ingin menangis. "Hn." Agung memandang dengan Iba. "Nasi sudah jadi bubur, Sin. Jadiin pelajaran aja buat kamu. Mas do'ain kamu ketemu kerjaan yang lebih baik, ya." Kata-kata Agung membuat Deni dan Teguh saling pandang. Ketemu kerjaan yang lebih baik? Bukannya itu berarti Sinta dipecat ya?Beberapa menit sebelumnya, Sinta masuk dengan wajah khawatir. Dia seperti akan disidang begitu melihat Bu Maryam yang duduk dengan santainya, sedangkan Mas Agung menyuruh duduk di bangku kosong depan mej

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-13
  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 10 : Mengantarkan Undangan

    Pria itu bisa dibilang termasuk dalam golongan pria-pria tampan. Sosoknya tinggi dan tegap. Tatapan matanya teduh dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Ada kumis tipis dan cambang yang sama tipisnya menghias wajah yang berparas layaknya orang seberang. Jelas terlihat sang pria sedang dalam usia matang.Dengan celana chinos berwarna krem kombinasi kemeja flanel berwarna biru, pria itu menarik perhatian beberapa karyawan toko dan pengunjung pasar yang kebetulan lewat."Maaf, apa disini ada yang bernama Eti?" pria itu mengulangi pertanyaannya.Risma yang kebetulan ditanya oleh pria itu kembali dari keterpanaannya. Gadis itu tidak menutupi sudah terpengaruh oleh pesona pria dihadapannya itu."Eh, iya. Ada bang. Teh Eti, ada yang nyari!" Risma berteriak dari luar toko, Dia sedang menghitung baju yang ada digantungan luar,"Siapa, Ris?" Eti yang tadinya terduduk di lantai dalam toko berdiri masih dengan kertas dan pena di tangannya. Di

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-03
  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 1 : Kenyataan Pahit

    Eti adalah orang yang sederhana. Sebagai istri dan ibu untuk seorang anak laki-laki yang baru berumur 3 tahun, dia jalani rutinitas harian ibu rumah tangga yang membosankan tanpa mengeluh sedikitpun. Dia tahu suaminya bekerja keras untuk kesejahteraan mereka, jadi Eti tidak banyak protes apabila suatu waktu suaminya memberikan uang belanja lebih sedikit dari bulan lalu. Dia juga tidak mempermasalahkan suaminya yang kadang tidak pulang dengan dalih sedang main di rumah temannya. Bagi Eti, tidak ada alasan bagi orang-orang terdekatnya untuk membohonginya. Dia percaya sepenuhnya kepada mereka, terutama tentu saja kepada suaminya. Sayangnya dia lupa kalau Jakarta punya banyak cerita. Tidak semua orang disini bisa dipercaya. Banyak yang bersembunyi dibalik topeng hanya untuk membuat orang lain sengsara. Yang mengecewakan, salah satu orang itu justru adalah suaminya. Malam itu telah merubah jalan hidupnya. Air mata sedari tadi tak berhenti

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-09
  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 2 : Keputusan Terakhir

    Dengan bedak dan make up, Eti menutupi wajahnya yang agak sembab. Dia tidak ingin ibunya nanti khawatir melihatnya sedang kacau seperti ini saat mereka tiba di kampung. Hijab warna moka sudah rapi menutupi kepalanya.Hamdan sudah mengabari akan menjemput dia dan Eren selepas shubuh. Sepasang koper besar dan kecil sudah rapi berdiri di belakang pintu. Eren masih lelap dalam tidurnya. Semalaman Eti merapihkan baju sambil tak henti-hentinya meneteskan air mata. Kenyataan ini masih terlalu pahit untuk dia terima. Dikhianati dan kini harus siap menyandang status janda. Dia belum genap berumur 26 tahun, Eti hanya bisa melamun perihal statusnya nanti yang terdengar mengerikan. juga tentang masa depan dia dan anaknya yang masih buram. Tok! Tok! Tok! Suara Hamdan membuyarkan lamunan Eti. Dia membukakan pintu dan melihat sosok kikuk yang dulu pernah ia sangat cintai. Entah laki-laki itu tidur dimana semalam. Mungkin di rumah temannya,

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-09

Bab terbaru

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 10 : Mengantarkan Undangan

    Pria itu bisa dibilang termasuk dalam golongan pria-pria tampan. Sosoknya tinggi dan tegap. Tatapan matanya teduh dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Ada kumis tipis dan cambang yang sama tipisnya menghias wajah yang berparas layaknya orang seberang. Jelas terlihat sang pria sedang dalam usia matang.Dengan celana chinos berwarna krem kombinasi kemeja flanel berwarna biru, pria itu menarik perhatian beberapa karyawan toko dan pengunjung pasar yang kebetulan lewat."Maaf, apa disini ada yang bernama Eti?" pria itu mengulangi pertanyaannya.Risma yang kebetulan ditanya oleh pria itu kembali dari keterpanaannya. Gadis itu tidak menutupi sudah terpengaruh oleh pesona pria dihadapannya itu."Eh, iya. Ada bang. Teh Eti, ada yang nyari!" Risma berteriak dari luar toko, Dia sedang menghitung baju yang ada digantungan luar,"Siapa, Ris?" Eti yang tadinya terduduk di lantai dalam toko berdiri masih dengan kertas dan pena di tangannya. Di

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 9 : Pergantian (Lagi)

    Sinta terlihat pucat. Dia sedikit bengong saat baru keluar dari ruangan. Sebuah amplop coklat berada di tangannya. Deni dan Teguh melihat Sinta dengan bingung. "Sin, kamu gak apa-apa?" Teguh memberanikan bertanya. Pemuda ini yang menjaga toko ketiga Bu Maryam. Posisi tokonya ada di gedung sebelah. Dia masuk kerja tidak lama setelah Sinta. "Sinta? Belum pulang?" Agung keluar dari dalam. Dia heran melihat Sinta masih berdiri mematung. "Mas, gak bisa yah ibu maafin saya?" Suara Sinta bergetar seakan ingin menangis. "Hn." Agung memandang dengan Iba. "Nasi sudah jadi bubur, Sin. Jadiin pelajaran aja buat kamu. Mas do'ain kamu ketemu kerjaan yang lebih baik, ya." Kata-kata Agung membuat Deni dan Teguh saling pandang. Ketemu kerjaan yang lebih baik? Bukannya itu berarti Sinta dipecat ya?Beberapa menit sebelumnya, Sinta masuk dengan wajah khawatir. Dia seperti akan disidang begitu melihat Bu Maryam yang duduk dengan santainya, sedangkan Mas Agung menyuruh duduk di bangku kosong depan mej

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 8 : Toko Belakang

    Suasana toko jadi terasa tidak enak esok paginya. Sinta yang biasa akrab dengan Risma, kini memilih hanya ngobrol dengan Wisnu.Risma masih di dalam, tapi sekarang tempat duduknya berseberangan dengan Santi yang dekat meja kasir. Untuk bagian luar, ada Eti dan Wisnu seperti biasa."Mba Eti, dipanggil ibu ke toko depan." Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Eti.Toko sedang sepi, belum ada pembeli dari buka toko tadi. Setelah membereskan pajangan, Eti seperti biasa duduk di pojokan."Oh, iya. Makasih ya, Sum." Wanita yang memberitahu Eti bernama Sumiyati, dia dari toko Agung. Sementara salah satu tidak masuk, biasanya dia akan menggantikan disitu sementara."Bawa tas mba Eti juga sekalian kata ibu." Ada suara tidak senang dari kata-kata Sumiyati. "Sekarang mba Eti di depan, saya disini.""Emang apa kata ibu, Sum?""Enggak tahu. Tadi Mas Agung cuman ngomong kita tukeran tempat mulai hari ini."Tadinya Eti akan bertanya lebih banyak, namun melihat wajah Sumiyati yang terlihat kesal,

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 7 : Dituduh Maling

    "Gimana sih? Kamu kan dari tadi di dalam, kok bisa kurang lagi. Nggak becus kerja ya kamu?."Suara Sinta sampai terdengar keluar. Beberapa tetangga toko yang belum tutup sampai melihat ke dalam penasaran.Mereka sudah paham dengan sifat Sinta yang kadang emosional. Sasarannya biasanya Eti. Namun wanita itu ada di luar dan sedang duduk santai."Kalau sudah gak mau disini bilang! Nanti gue minta ganti sama yang lain!""I-iya maaf, mba. Risma coba itung lagi."Dengan tangan gemetar menahan emosi, Risma memencet tombol-tombol di kalkulator sambil menghitung pemasukan hari itu.Tadi dia hitung sudah benar. Namun uang dan catatannya terjadi selisih sampai 235 ribu. Padahal hari ini tidak seramai akhir pekan.Wisnu dipanggil masuk untuk menghitung jumlah uang yang ada. Eti hanya diam saja di luar sambil melirik sesekali ke dalam.Wajah Risma nampak seperti ingin menangis. Bagaimana pun Eti pernah diposisi dia. Tidak masalah kalau kita salah terus dimarahi. Tapi tidak di depan orang lain.Itu

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 6 : Orang Baik

    “Nak Eti, jangan marah ya,” kata Bu Nurmala setelah selesai mengambil uang. “Baju yang ibu beli ini buat nak Eti sama keluarga. Jangan ditolak. Ini sebagai ucapan terimakasih ibu karena sudah dilayani dengan baik.” Kantong baju yang dibawa Zikri kemudian diserahkan ke Eti. Bu Nurmala pun memberikan uang pembayaran bajunya. Eti menerimanya dengan sedikit bengong. “Tapi bu. Ini kan baju yang mahal semua.” Eti merasa tidak enak. Dia tidak menyangka Bu Nurmala akan membelikan baju itu untuk dia. “Sudah terima aja, kak. Mamah kalo udah gitu, gak suka di tolak.” Zikri yang berdiri dibelakang ibunya ikut bicara. Eti hanya bisa memandangi sepasang ibu dan anak itu dengan pandangan terimakasih. Melihat tidak ada penolakan lagi, Bu Nurmala kembali berkata. “Kalau bisa, nanti datang ya pas acara nikahannya Iki. Nanti ibu minta Iki anterin undangannya. Ajak ayah, ibu sama anaknya nak Eti.” “Insya Allah, ya bu. Terimakasih banyak buat bajunya.” Kedua wanita itu berpisah sambil saling menemp

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 5 : Ibu Nurmala

    “Mau belanja apa mau cerita? Kalau mau cerita, bukan disini tempatnya.” Suara ketus Sinta mengagetkan dua wanita itu. Eti seakan minta maaf dengan pandangannya ke arah Ibu Nurmala. “Iya nak. Ibu mau beli. Tapi ibu bilang anak ibu dulu ya.” Ibu Nurmala berkata pelan. Dia sendiri nampak tidak enak dengan Eti. Bukannya langsung memilih yang dia mau, malah asyik bercerita kepada orang yang baru dia temui. Sinta hanya mendengus kesal. “Huh, bilang aja gak ada duit.” “Astagfirlullah, Sinta. Gak boleh gitu,” Eti tidak terima kenalan barunya itu sampai disindir tidak punya uang. “Maaf sekali lagi ya, bu.” “Gapapa, nak Eti. Ibu yang salah. Ibu panggil anak ibu dulu, ya.” Sekali lagi Eti mengucapkan maaf dan melihat kepergian Ibu Nurmala dengan iba. Eti sebenarnya sangat marah pada Sinta. Dia boleh melakukan itu pada Eti, tapi tidak pada Ibu Nurmala. Beliau adalah orang tua. Beli ataupun tidak, beliau masih harus dihormati. “Lain kali bikin orang beli, jangan malah dengerin cerita.” Se

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 4 : Rumor Buruk

    “Kenapa, Mba?” tanya Wisnu, satu-satunya pria di toko itu. Toko sudah mau tutup. Sinta sedang menghitung uang masuk hari ini dibantu oleh Risma. “Coba kamu hitung lagi, Wisnu. Apa saya salah hitung?” Sinta memberikan buku penjualan dan kalkulator. Eti juga mendengar perkataan Sinta perihal uang kurang. Dia ingin membantu, hanya saja dengan sikap buruk Sinta kepadanya, dia masih diam duduk di pinggiran di bagian luar toko. “Totalnya 10.320.000, mba.” Kata Wisnu setelah menyelesaikan hitungannya. “Tuh kan bener. Duitnya cuman ada 10.170.000. Kurang 150 ribu.” Sinta terlihat panik. Eti hanya menatap bingung ke arah tiga rekannya yang berada di dalam. Wisnu dan Risma saling pandang. Kalau sudah begini, biasanya mereka harus ganti dengan uang pribadi masing-masing. Dengan uang makan mereka yang masih kecil, menganti uang yang hilang cukup memberatkan. Wisnu nampak suram saat mendekati Eti untuk bicara. “Mba Eti, duit penjualan kurang,” katanya. “Lho, kok bisa? Kurang berapa?” tany

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 3 : Awal Baru

    “Bu, apa Eti bisa titip Eren? Eti mau kerja lagi di Jakarta.” Sudah hampir dua bulan Eti di kampung. Uang yang dia pegang tinggal sedikit. Selama itu Hamdan hanya pernah memberikan uang dua kali. Pertama sebelum Hamdan kembali ke Jakarta setelah mengantarnya pulang kampung sebesar satu juta. Kedua dia kirim lagi awal bulan lalu, jumlahnya hanya setengah dari yang pertama. Meski hanya berdua dan kadang dibantu ibunya untuk jajan dan makan, Eti tidak bisa terus seperti ini. Eren perlu biaya untuk pendidikannya nanti. Makanya kalau bisa dia ingin menabung dari sekarang. “Emang udah ada kerjaannya?” tanya Fitri. Sepasang ibu dan anak itu sedang duduk di teras. Mengawasi Eren yang sedang bermain di halaman dengan anak-anak tetangga yang seusianya. “Sudah. Mantan bos Eti yang dulu tadi siang nelpon, nawarin kerjaan.” Kedua alis Fitri menyatu. “Bos yang mana?” Setahu dia, Eti hanya pernah kerja sekali di Jakarta sebelum kemudian menikah dengan Hamdan. “Bu Maryam, yang punya toko bati

  • Terlalu Percaya, Aku Malah Jadi Janda   Bab 2 : Keputusan Terakhir

    Dengan bedak dan make up, Eti menutupi wajahnya yang agak sembab. Dia tidak ingin ibunya nanti khawatir melihatnya sedang kacau seperti ini saat mereka tiba di kampung. Hijab warna moka sudah rapi menutupi kepalanya.Hamdan sudah mengabari akan menjemput dia dan Eren selepas shubuh. Sepasang koper besar dan kecil sudah rapi berdiri di belakang pintu. Eren masih lelap dalam tidurnya. Semalaman Eti merapihkan baju sambil tak henti-hentinya meneteskan air mata. Kenyataan ini masih terlalu pahit untuk dia terima. Dikhianati dan kini harus siap menyandang status janda. Dia belum genap berumur 26 tahun, Eti hanya bisa melamun perihal statusnya nanti yang terdengar mengerikan. juga tentang masa depan dia dan anaknya yang masih buram. Tok! Tok! Tok! Suara Hamdan membuyarkan lamunan Eti. Dia membukakan pintu dan melihat sosok kikuk yang dulu pernah ia sangat cintai. Entah laki-laki itu tidur dimana semalam. Mungkin di rumah temannya,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status