“Mau belanja apa mau cerita? Kalau mau cerita, bukan disini tempatnya.”
Suara ketus Sinta mengagetkan dua wanita itu. Eti seakan minta maaf dengan pandangannya ke arah Ibu Nurmala.“Iya nak. Ibu mau beli. Tapi ibu bilang anak ibu dulu ya.”Ibu Nurmala berkata pelan. Dia sendiri nampak tidak enak dengan Eti. Bukannya langsung memilih yang dia mau, malah asyik bercerita kepada orang yang baru dia temui. Sinta hanya mendengus kesal.“Huh, bilang aja gak ada duit.”“Astagfirlullah, Sinta. Gak boleh gitu,” Eti tidak terima kenalan barunya itu sampai disindir tidak punya uang. “Maaf sekali lagi ya, bu.”“Gapapa, nak Eti. Ibu yang salah. Ibu panggil anak ibu dulu, ya.”Sekali lagi Eti mengucapkan maaf dan melihat kepergian Ibu Nurmala dengan iba. Eti sebenarnya sangat marah pada Sinta. Dia boleh melakukan itu pada Eti, tapi tidak pada Ibu Nurmala. Beliau adalah orang tua. Beli ataupun tidak, beliau masih harus dihormati.“Lain kali bikin orang beli, jangan malah dengerin cerita.”Sekali lagi perkataan Sinta membuat kuping Eti panas. Ingin rasanya dia menyumpal mulutnya yang tidak tahu rasa hormat itu.Untung saja dia masih mencoba sabar. Percuma dia mengamuk disini, yang ada malah jadi tontonan tetangga toko dan pembeli. Tidak hanya dia yang nanti malu. Nama toko juga bisa ikutan jelek.Setelah Risma kembali, Eti segera mengambil mukena buat Sholat Dzuhur. Dia ingin sekalian meredakan emosinya yang belum reda juga.'Apa aku minta pindah aja ya sama Bu Maryam?' Pikir Eti sambil berjalan ke arah Mushola. Dia merasa kali ini Sinta sudah keterlaluan.Sekitar 15 menit kemudian, Eti baru kembali. Di toko sudah berdiri seorang anak muda jangkung dengan kemeja polos warna krem dan celana jeans hitam. Di sebelahnya duduk ibu Nurmala. Pemuda jangkung itu mungkin anak yang dimaksud, si bungsu yang akan menikah bulan depan.Keduanya sedang melihat baju sambil di layani oleh Risma dan Wisnu. Sinta terlihat masam di pojokan entah kenapa. Eti hanya berdiri dibelakang mereka tanpa menginterupsi.“Eh, teh Eti. Ini ada yang nyariin,” ucap Risma begitu melihat Eti hanya berdiri diam.Ibu Nurmala dan pemuda itu menengok kebelakang. Senyum mengembang dari bibir orang tua itu.“Sini nak. Kata temen kamu tadi sedang sholat, iya?” tanya Ibu Nurmala dengan riang.“Iya, bu. Lagi milih-milih baju? Terusin aja atuh, bu.” Kata Eti setelah mendekat.“Iya, masih lihat-lihat sambil nunggu nak Eti. Ini kenalin anak ibu yang mau nikah, namanya Zikri. Iki, ini nak Eti yang ibu ceritain.”Keduanya saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Pemuda jangkung itu cukup tampan. Matanya tajam, hidungnya bangir dan bibir sedikit merah. Dia tersenyum manis ke arah Eti.“Makasih ya kak Eti sudah jagain Mamah tadi. Katanya tadi Mamah nemu baju batik yang bagus, pelayannya juga ramah. Makanya saya diajak kesini. Jarang-jarang Mamah muji orang yang baru kenal.”Eti sedikit bengong dipanggil kak. Apa dia setua itu ya? Tapi dipikir-pikir, Zikri ini terlihat lebih muda darinya. Risma dan Wisnu hanya diam melihat keakraban tiga orang itu.“Ibu Nurmala bisa aja. Sudah tugas saya kan memang melayani setiap orang mau belanja.”Ketiganya sama-sama tersenyum. Ibu Nurmala lalu menanyakan soal jumlah orang yang akan diberikan baju saat acara nanti. Zikri, yang dipanggil Iki oleh ibunya, melihat catatan yang ada di hape-nya.“Hm, yang biasa ada 35 orang. Buat penerima tamu sama seksi acara 20 orang. Sisanya buat keluarga ada 15 orang. Totalnya ada 70, Mah.”Jangankan Eti yang mendengarnya langsung, Risma dan Wisnu pun terkejut. Jumlah 70 orang berarti acaranya lumayan besar. Jika bukan orang kaya, mana mungkin bisa mengadakan acara dengan begitu banyak orang.Wajah Sinta makin terlihat suram. Dia juga mendengar omongan Zikri. Padahal tadi dia meremehkan Ibu Nurmala kalau tidak punya uang.“Apa tidak kurang, Ki?” tanya Bu Nurmala.“Yah nanti dilebihin aja, Mah.” Kata Iki, panggilan Bu Nurmala untuk anak bungsunya itu.“Ya udah. Nak Eti bisa bantu ibu pilihkan baju yang bagus. Ibu mau 75 potong. Motifnya kalau bisa yang seragaman buat laki-laki sama perempuan. Buat anak juga ada kan?"”Ada, Bu.""Ya udah. Coba keluarin dulu yang biasa, ibu mau lihat."“Iya bu,” ucap Eti.Jadilah Eti, Risma dan Wisnu sibuk menyiapkan baju yang dipilih oleh Ibu Nurmala dan anaknya. Ada beberapa ukuran baju yang kosong dan harus diambil di toko lain.Wisnu menawarkan diri mengambilnya dan membiarkan Eti tetap melayani Bu Nurmala. Dia bahkan harus berapa kali bolak-balik untuk mencari motif dan ukuran baju yang pas.Jangan tanya Sinta bagaimana. Dia dalam posisi serba salah. Diam saja tak enak, mau membantu juga ingat dengan kata-katanya yang ketus tadi. Sinta pun bilang mau ke toilet.Setelah hampir satu jam lebih akhirnya Bu Nurmala dan Zikri selesai memilih. Baju yang mereka pilih sudah tersusun rapi di dua kantong jumbo. Total belanja mereka lebih dari 10 juta karena dipilih yang bagus-bagus.“Mas bisa bantu bawakan ke mobil?” tanya Zikri pada Wisnu.“Bisa kak,” jawab Wisnu semangat. Biasanya kalau membawakan barang pembeli seperti ini, Wisnu paling tidak dikasih 10 ribu sebagai ongkos panggul.Zikri bilang pada ibunya untuk menunggu agar tidak capek bolak-balik. Masih ada beberapa barang lagi yang harus Zikri beli.Ibu Nurmala dan Eti kembali ngobrol. Tidak seperti pertama kali, Sinta tidak berani menginterupsi. Dia seperti ditonjok oleh kata-katanya sendiri dan pura-pura sibuk menghitung nota penjualan.“Oh, Nak Eti sudah nikah? Sudah punya anak?” tanya Ibu Nurmala suatu waktu.“Ada satu, bu. Dia di kampung sama neneknya.”“Kenapa gak bawa kesini, nak?”Eti tersenyum. “Gak ada yang jaga kalau dibawa kesini.”“Terus ayahnya kemana?”“Udah enggak, bu.” Ada senyum getir terlihat oleh Bu Nurmala saat Eti mengatakan itu. Dia mengerti kalau Eti dan suaminya mungkin sudah cerai.“Maafkan ibu ya, nak,” ujarnya Iba. “Ibu enggak tahu.”“Buat apa minta maaf, bu. Ibu kan gak salah apa-apa.”Kata-kata Eti terdengar lebih ceria. Dia tidak mau dikasihani karena statusnya yang janda anak satu. Dia masih bisa kuat kok membesarkan Eren sendirian."Berapa umurnya?""Sebentar lagi mau 4 tahun.""Pasti nanti besar jadi anak sholeh dan baik seperti ibunya, ya nak.""Aamiin. Makasih do'anya ya, bu.""Ibu jadi pengen ketemu anak Nak Eti. Siapa namanya?""Namanya Eren, Bu. Anaknya aktif banget, takutnya nanti malah ngerepotin kalau ketemu ibu.""Tidak apa-apa. Ibu suka anak-anak, kok. Anak pertama ibu sudah punya anak dua. Tapi mereka tinggalnya jauh, jadi ibu tidak bisa sering-sering bermain dengan mereka."Ibu Nurmala menunjukan wajah sedihnya. Semenjak ditinggal sang suami, jelas sekali dia begitu kesepian."Yang penting ibu harus sehat selalu dan semangat. Suatu saat nanti juga ketemu mereka lagi. Insyaallah.""Nak Eti benar." keduanya sama-sama tersenyum. “Oh, iya. Ibu lupa ada satu keluarga lagi yang belum ibu belikan. Coba lihat lagi bajunya, nak.”Satu baju batik pria, dua baju wanita lengan panjang dan satu baju anak dipilih ibu Nurmala. Keempat baju itu punya motif yang seragam.Tidak lama kemudian Zikri sudah kembali bersama Wisnu. Pemuda itu tadinya mau membayar baju yang baru dipilih sebelum dilarang oleh ibunya.Bu Nurmala hanya minta diantarkan ke ATM. Baju yang sudah dia pilih dibawa oleh anaknya. Eti diminta menemani dengan alasan dia tidak tahu tempatnya.Sebelum pergi, Bu Nurmala minta kertas dan pulpen. Beliau menuliskan sesuatu di kertas itu. Eti tidak ingin melihatnya jadi dia pura-pura merapikan pajangan.Counter ATM yang Ibu Nurmala datangi berada di dalam sebuah ruangan. Sepasang ibu dan anak masuk ke dalam sementara Eti menunggu di luar."Nak Eti, jangan marah ya."**005**“Nak Eti, jangan marah ya,” kata Bu Nurmala setelah selesai mengambil uang. “Baju yang ibu beli ini buat nak Eti sama keluarga. Jangan ditolak. Ini sebagai ucapan terimakasih ibu karena sudah dilayani dengan baik.” Kantong baju yang dibawa Zikri kemudian diserahkan ke Eti. Bu Nurmala pun memberikan uang pembayaran bajunya. Eti menerimanya dengan sedikit bengong. “Tapi bu. Ini kan baju yang mahal semua.” Eti merasa tidak enak. Dia tidak menyangka Bu Nurmala akan membelikan baju itu untuk dia. “Sudah terima aja, kak. Mamah kalo udah gitu, gak suka di tolak.” Zikri yang berdiri dibelakang ibunya ikut bicara. Eti hanya bisa memandangi sepasang ibu dan anak itu dengan pandangan terimakasih. Melihat tidak ada penolakan lagi, Bu Nurmala kembali berkata. “Kalau bisa, nanti datang ya pas acara nikahannya Iki. Nanti ibu minta Iki anterin undangannya. Ajak ayah, ibu sama anaknya nak Eti.” “Insya Allah, ya bu. Terimakasih banyak buat bajunya.” Kedua wanita itu berpisah sambil saling menemp
"Gimana sih? Kamu kan dari tadi di dalam, kok bisa kurang lagi. Nggak becus kerja ya kamu?."Suara Sinta sampai terdengar keluar. Beberapa tetangga toko yang belum tutup sampai melihat ke dalam penasaran.Mereka sudah paham dengan sifat Sinta yang kadang emosional. Sasarannya biasanya Eti. Namun wanita itu ada di luar dan sedang duduk santai."Kalau sudah gak mau disini bilang! Nanti gue minta ganti sama yang lain!""I-iya maaf, mba. Risma coba itung lagi."Dengan tangan gemetar menahan emosi, Risma memencet tombol-tombol di kalkulator sambil menghitung pemasukan hari itu.Tadi dia hitung sudah benar. Namun uang dan catatannya terjadi selisih sampai 235 ribu. Padahal hari ini tidak seramai akhir pekan.Wisnu dipanggil masuk untuk menghitung jumlah uang yang ada. Eti hanya diam saja di luar sambil melirik sesekali ke dalam.Wajah Risma nampak seperti ingin menangis. Bagaimana pun Eti pernah diposisi dia. Tidak masalah kalau kita salah terus dimarahi. Tapi tidak di depan orang lain.Itu
Suasana toko jadi terasa tidak enak esok paginya. Sinta yang biasa akrab dengan Risma, kini memilih hanya ngobrol dengan Wisnu.Risma masih di dalam, tapi sekarang tempat duduknya berseberangan dengan Santi yang dekat meja kasir. Untuk bagian luar, ada Eti dan Wisnu seperti biasa."Mba Eti, dipanggil ibu ke toko depan." Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Eti.Toko sedang sepi, belum ada pembeli dari buka toko tadi. Setelah membereskan pajangan, Eti seperti biasa duduk di pojokan."Oh, iya. Makasih ya, Sum." Wanita yang memberitahu Eti bernama Sumiyati, dia dari toko Agung. Sementara salah satu tidak masuk, biasanya dia akan menggantikan disitu sementara."Bawa tas mba Eti juga sekalian kata ibu." Ada suara tidak senang dari kata-kata Sumiyati. "Sekarang mba Eti di depan, saya disini.""Emang apa kata ibu, Sum?""Enggak tahu. Tadi Mas Agung cuman ngomong kita tukeran tempat mulai hari ini."Tadinya Eti akan bertanya lebih banyak, namun melihat wajah Sumiyati yang terlihat kesal,
Sinta terlihat pucat. Dia sedikit bengong saat baru keluar dari ruangan. Sebuah amplop coklat berada di tangannya. Deni dan Teguh melihat Sinta dengan bingung. "Sin, kamu gak apa-apa?" Teguh memberanikan bertanya. Pemuda ini yang menjaga toko ketiga Bu Maryam. Posisi tokonya ada di gedung sebelah. Dia masuk kerja tidak lama setelah Sinta. "Sinta? Belum pulang?" Agung keluar dari dalam. Dia heran melihat Sinta masih berdiri mematung. "Mas, gak bisa yah ibu maafin saya?" Suara Sinta bergetar seakan ingin menangis. "Hn." Agung memandang dengan Iba. "Nasi sudah jadi bubur, Sin. Jadiin pelajaran aja buat kamu. Mas do'ain kamu ketemu kerjaan yang lebih baik, ya." Kata-kata Agung membuat Deni dan Teguh saling pandang. Ketemu kerjaan yang lebih baik? Bukannya itu berarti Sinta dipecat ya?Beberapa menit sebelumnya, Sinta masuk dengan wajah khawatir. Dia seperti akan disidang begitu melihat Bu Maryam yang duduk dengan santainya, sedangkan Mas Agung menyuruh duduk di bangku kosong depan mej
Pria itu bisa dibilang termasuk dalam golongan pria-pria tampan. Sosoknya tinggi dan tegap. Tatapan matanya teduh dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Ada kumis tipis dan cambang yang sama tipisnya menghias wajah yang berparas layaknya orang seberang. Jelas terlihat sang pria sedang dalam usia matang.Dengan celana chinos berwarna krem kombinasi kemeja flanel berwarna biru, pria itu menarik perhatian beberapa karyawan toko dan pengunjung pasar yang kebetulan lewat."Maaf, apa disini ada yang bernama Eti?" pria itu mengulangi pertanyaannya.Risma yang kebetulan ditanya oleh pria itu kembali dari keterpanaannya. Gadis itu tidak menutupi sudah terpengaruh oleh pesona pria dihadapannya itu."Eh, iya. Ada bang. Teh Eti, ada yang nyari!" Risma berteriak dari luar toko, Dia sedang menghitung baju yang ada digantungan luar,"Siapa, Ris?" Eti yang tadinya terduduk di lantai dalam toko berdiri masih dengan kertas dan pena di tangannya. Di
Eti adalah orang yang sederhana. Sebagai istri dan ibu untuk seorang anak laki-laki yang baru berumur 3 tahun, dia jalani rutinitas harian ibu rumah tangga yang membosankan tanpa mengeluh sedikitpun. Dia tahu suaminya bekerja keras untuk kesejahteraan mereka, jadi Eti tidak banyak protes apabila suatu waktu suaminya memberikan uang belanja lebih sedikit dari bulan lalu. Dia juga tidak mempermasalahkan suaminya yang kadang tidak pulang dengan dalih sedang main di rumah temannya. Bagi Eti, tidak ada alasan bagi orang-orang terdekatnya untuk membohonginya. Dia percaya sepenuhnya kepada mereka, terutama tentu saja kepada suaminya. Sayangnya dia lupa kalau Jakarta punya banyak cerita. Tidak semua orang disini bisa dipercaya. Banyak yang bersembunyi dibalik topeng hanya untuk membuat orang lain sengsara. Yang mengecewakan, salah satu orang itu justru adalah suaminya. Malam itu telah merubah jalan hidupnya. Air mata sedari tadi tak berhenti
Dengan bedak dan make up, Eti menutupi wajahnya yang agak sembab. Dia tidak ingin ibunya nanti khawatir melihatnya sedang kacau seperti ini saat mereka tiba di kampung. Hijab warna moka sudah rapi menutupi kepalanya.Hamdan sudah mengabari akan menjemput dia dan Eren selepas shubuh. Sepasang koper besar dan kecil sudah rapi berdiri di belakang pintu. Eren masih lelap dalam tidurnya. Semalaman Eti merapihkan baju sambil tak henti-hentinya meneteskan air mata. Kenyataan ini masih terlalu pahit untuk dia terima. Dikhianati dan kini harus siap menyandang status janda. Dia belum genap berumur 26 tahun, Eti hanya bisa melamun perihal statusnya nanti yang terdengar mengerikan. juga tentang masa depan dia dan anaknya yang masih buram. Tok! Tok! Tok! Suara Hamdan membuyarkan lamunan Eti. Dia membukakan pintu dan melihat sosok kikuk yang dulu pernah ia sangat cintai. Entah laki-laki itu tidur dimana semalam. Mungkin di rumah temannya,
“Bu, apa Eti bisa titip Eren? Eti mau kerja lagi di Jakarta.” Sudah hampir dua bulan Eti di kampung. Uang yang dia pegang tinggal sedikit. Selama itu Hamdan hanya pernah memberikan uang dua kali. Pertama sebelum Hamdan kembali ke Jakarta setelah mengantarnya pulang kampung sebesar satu juta. Kedua dia kirim lagi awal bulan lalu, jumlahnya hanya setengah dari yang pertama. Meski hanya berdua dan kadang dibantu ibunya untuk jajan dan makan, Eti tidak bisa terus seperti ini. Eren perlu biaya untuk pendidikannya nanti. Makanya kalau bisa dia ingin menabung dari sekarang. “Emang udah ada kerjaannya?” tanya Fitri. Sepasang ibu dan anak itu sedang duduk di teras. Mengawasi Eren yang sedang bermain di halaman dengan anak-anak tetangga yang seusianya. “Sudah. Mantan bos Eti yang dulu tadi siang nelpon, nawarin kerjaan.” Kedua alis Fitri menyatu. “Bos yang mana?” Setahu dia, Eti hanya pernah kerja sekali di Jakarta sebelum kemudian menikah dengan Hamdan. “Bu Maryam, yang punya toko bati
Pria itu bisa dibilang termasuk dalam golongan pria-pria tampan. Sosoknya tinggi dan tegap. Tatapan matanya teduh dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Ada kumis tipis dan cambang yang sama tipisnya menghias wajah yang berparas layaknya orang seberang. Jelas terlihat sang pria sedang dalam usia matang.Dengan celana chinos berwarna krem kombinasi kemeja flanel berwarna biru, pria itu menarik perhatian beberapa karyawan toko dan pengunjung pasar yang kebetulan lewat."Maaf, apa disini ada yang bernama Eti?" pria itu mengulangi pertanyaannya.Risma yang kebetulan ditanya oleh pria itu kembali dari keterpanaannya. Gadis itu tidak menutupi sudah terpengaruh oleh pesona pria dihadapannya itu."Eh, iya. Ada bang. Teh Eti, ada yang nyari!" Risma berteriak dari luar toko, Dia sedang menghitung baju yang ada digantungan luar,"Siapa, Ris?" Eti yang tadinya terduduk di lantai dalam toko berdiri masih dengan kertas dan pena di tangannya. Di
Sinta terlihat pucat. Dia sedikit bengong saat baru keluar dari ruangan. Sebuah amplop coklat berada di tangannya. Deni dan Teguh melihat Sinta dengan bingung. "Sin, kamu gak apa-apa?" Teguh memberanikan bertanya. Pemuda ini yang menjaga toko ketiga Bu Maryam. Posisi tokonya ada di gedung sebelah. Dia masuk kerja tidak lama setelah Sinta. "Sinta? Belum pulang?" Agung keluar dari dalam. Dia heran melihat Sinta masih berdiri mematung. "Mas, gak bisa yah ibu maafin saya?" Suara Sinta bergetar seakan ingin menangis. "Hn." Agung memandang dengan Iba. "Nasi sudah jadi bubur, Sin. Jadiin pelajaran aja buat kamu. Mas do'ain kamu ketemu kerjaan yang lebih baik, ya." Kata-kata Agung membuat Deni dan Teguh saling pandang. Ketemu kerjaan yang lebih baik? Bukannya itu berarti Sinta dipecat ya?Beberapa menit sebelumnya, Sinta masuk dengan wajah khawatir. Dia seperti akan disidang begitu melihat Bu Maryam yang duduk dengan santainya, sedangkan Mas Agung menyuruh duduk di bangku kosong depan mej
Suasana toko jadi terasa tidak enak esok paginya. Sinta yang biasa akrab dengan Risma, kini memilih hanya ngobrol dengan Wisnu.Risma masih di dalam, tapi sekarang tempat duduknya berseberangan dengan Santi yang dekat meja kasir. Untuk bagian luar, ada Eti dan Wisnu seperti biasa."Mba Eti, dipanggil ibu ke toko depan." Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Eti.Toko sedang sepi, belum ada pembeli dari buka toko tadi. Setelah membereskan pajangan, Eti seperti biasa duduk di pojokan."Oh, iya. Makasih ya, Sum." Wanita yang memberitahu Eti bernama Sumiyati, dia dari toko Agung. Sementara salah satu tidak masuk, biasanya dia akan menggantikan disitu sementara."Bawa tas mba Eti juga sekalian kata ibu." Ada suara tidak senang dari kata-kata Sumiyati. "Sekarang mba Eti di depan, saya disini.""Emang apa kata ibu, Sum?""Enggak tahu. Tadi Mas Agung cuman ngomong kita tukeran tempat mulai hari ini."Tadinya Eti akan bertanya lebih banyak, namun melihat wajah Sumiyati yang terlihat kesal,
"Gimana sih? Kamu kan dari tadi di dalam, kok bisa kurang lagi. Nggak becus kerja ya kamu?."Suara Sinta sampai terdengar keluar. Beberapa tetangga toko yang belum tutup sampai melihat ke dalam penasaran.Mereka sudah paham dengan sifat Sinta yang kadang emosional. Sasarannya biasanya Eti. Namun wanita itu ada di luar dan sedang duduk santai."Kalau sudah gak mau disini bilang! Nanti gue minta ganti sama yang lain!""I-iya maaf, mba. Risma coba itung lagi."Dengan tangan gemetar menahan emosi, Risma memencet tombol-tombol di kalkulator sambil menghitung pemasukan hari itu.Tadi dia hitung sudah benar. Namun uang dan catatannya terjadi selisih sampai 235 ribu. Padahal hari ini tidak seramai akhir pekan.Wisnu dipanggil masuk untuk menghitung jumlah uang yang ada. Eti hanya diam saja di luar sambil melirik sesekali ke dalam.Wajah Risma nampak seperti ingin menangis. Bagaimana pun Eti pernah diposisi dia. Tidak masalah kalau kita salah terus dimarahi. Tapi tidak di depan orang lain.Itu
“Nak Eti, jangan marah ya,” kata Bu Nurmala setelah selesai mengambil uang. “Baju yang ibu beli ini buat nak Eti sama keluarga. Jangan ditolak. Ini sebagai ucapan terimakasih ibu karena sudah dilayani dengan baik.” Kantong baju yang dibawa Zikri kemudian diserahkan ke Eti. Bu Nurmala pun memberikan uang pembayaran bajunya. Eti menerimanya dengan sedikit bengong. “Tapi bu. Ini kan baju yang mahal semua.” Eti merasa tidak enak. Dia tidak menyangka Bu Nurmala akan membelikan baju itu untuk dia. “Sudah terima aja, kak. Mamah kalo udah gitu, gak suka di tolak.” Zikri yang berdiri dibelakang ibunya ikut bicara. Eti hanya bisa memandangi sepasang ibu dan anak itu dengan pandangan terimakasih. Melihat tidak ada penolakan lagi, Bu Nurmala kembali berkata. “Kalau bisa, nanti datang ya pas acara nikahannya Iki. Nanti ibu minta Iki anterin undangannya. Ajak ayah, ibu sama anaknya nak Eti.” “Insya Allah, ya bu. Terimakasih banyak buat bajunya.” Kedua wanita itu berpisah sambil saling menemp
“Mau belanja apa mau cerita? Kalau mau cerita, bukan disini tempatnya.” Suara ketus Sinta mengagetkan dua wanita itu. Eti seakan minta maaf dengan pandangannya ke arah Ibu Nurmala. “Iya nak. Ibu mau beli. Tapi ibu bilang anak ibu dulu ya.” Ibu Nurmala berkata pelan. Dia sendiri nampak tidak enak dengan Eti. Bukannya langsung memilih yang dia mau, malah asyik bercerita kepada orang yang baru dia temui. Sinta hanya mendengus kesal. “Huh, bilang aja gak ada duit.” “Astagfirlullah, Sinta. Gak boleh gitu,” Eti tidak terima kenalan barunya itu sampai disindir tidak punya uang. “Maaf sekali lagi ya, bu.” “Gapapa, nak Eti. Ibu yang salah. Ibu panggil anak ibu dulu, ya.” Sekali lagi Eti mengucapkan maaf dan melihat kepergian Ibu Nurmala dengan iba. Eti sebenarnya sangat marah pada Sinta. Dia boleh melakukan itu pada Eti, tapi tidak pada Ibu Nurmala. Beliau adalah orang tua. Beli ataupun tidak, beliau masih harus dihormati. “Lain kali bikin orang beli, jangan malah dengerin cerita.” Se
“Kenapa, Mba?” tanya Wisnu, satu-satunya pria di toko itu. Toko sudah mau tutup. Sinta sedang menghitung uang masuk hari ini dibantu oleh Risma. “Coba kamu hitung lagi, Wisnu. Apa saya salah hitung?” Sinta memberikan buku penjualan dan kalkulator. Eti juga mendengar perkataan Sinta perihal uang kurang. Dia ingin membantu, hanya saja dengan sikap buruk Sinta kepadanya, dia masih diam duduk di pinggiran di bagian luar toko. “Totalnya 10.320.000, mba.” Kata Wisnu setelah menyelesaikan hitungannya. “Tuh kan bener. Duitnya cuman ada 10.170.000. Kurang 150 ribu.” Sinta terlihat panik. Eti hanya menatap bingung ke arah tiga rekannya yang berada di dalam. Wisnu dan Risma saling pandang. Kalau sudah begini, biasanya mereka harus ganti dengan uang pribadi masing-masing. Dengan uang makan mereka yang masih kecil, menganti uang yang hilang cukup memberatkan. Wisnu nampak suram saat mendekati Eti untuk bicara. “Mba Eti, duit penjualan kurang,” katanya. “Lho, kok bisa? Kurang berapa?” tany
“Bu, apa Eti bisa titip Eren? Eti mau kerja lagi di Jakarta.” Sudah hampir dua bulan Eti di kampung. Uang yang dia pegang tinggal sedikit. Selama itu Hamdan hanya pernah memberikan uang dua kali. Pertama sebelum Hamdan kembali ke Jakarta setelah mengantarnya pulang kampung sebesar satu juta. Kedua dia kirim lagi awal bulan lalu, jumlahnya hanya setengah dari yang pertama. Meski hanya berdua dan kadang dibantu ibunya untuk jajan dan makan, Eti tidak bisa terus seperti ini. Eren perlu biaya untuk pendidikannya nanti. Makanya kalau bisa dia ingin menabung dari sekarang. “Emang udah ada kerjaannya?” tanya Fitri. Sepasang ibu dan anak itu sedang duduk di teras. Mengawasi Eren yang sedang bermain di halaman dengan anak-anak tetangga yang seusianya. “Sudah. Mantan bos Eti yang dulu tadi siang nelpon, nawarin kerjaan.” Kedua alis Fitri menyatu. “Bos yang mana?” Setahu dia, Eti hanya pernah kerja sekali di Jakarta sebelum kemudian menikah dengan Hamdan. “Bu Maryam, yang punya toko bati
Dengan bedak dan make up, Eti menutupi wajahnya yang agak sembab. Dia tidak ingin ibunya nanti khawatir melihatnya sedang kacau seperti ini saat mereka tiba di kampung. Hijab warna moka sudah rapi menutupi kepalanya.Hamdan sudah mengabari akan menjemput dia dan Eren selepas shubuh. Sepasang koper besar dan kecil sudah rapi berdiri di belakang pintu. Eren masih lelap dalam tidurnya. Semalaman Eti merapihkan baju sambil tak henti-hentinya meneteskan air mata. Kenyataan ini masih terlalu pahit untuk dia terima. Dikhianati dan kini harus siap menyandang status janda. Dia belum genap berumur 26 tahun, Eti hanya bisa melamun perihal statusnya nanti yang terdengar mengerikan. juga tentang masa depan dia dan anaknya yang masih buram. Tok! Tok! Tok! Suara Hamdan membuyarkan lamunan Eti. Dia membukakan pintu dan melihat sosok kikuk yang dulu pernah ia sangat cintai. Entah laki-laki itu tidur dimana semalam. Mungkin di rumah temannya,