Eti adalah orang yang sederhana. Sebagai istri dan ibu untuk seorang anak laki-laki yang baru berumur 3 tahun, dia jalani rutinitas harian ibu rumah tangga yang membosankan tanpa mengeluh sedikitpun.
Dia tahu suaminya bekerja keras untuk kesejahteraan mereka, jadi Eti tidak banyak protes apabila suatu waktu suaminya memberikan uang belanja lebih sedikit dari bulan lalu.Dia juga tidak mempermasalahkan suaminya yang kadang tidak pulang dengan dalih sedang main di rumah temannya.Bagi Eti, tidak ada alasan bagi orang-orang terdekatnya untuk membohonginya. Dia percaya sepenuhnya kepada mereka, terutama tentu saja kepada suaminya.Sayangnya dia lupa kalau Jakarta punya banyak cerita. Tidak semua orang disini bisa dipercaya. Banyak yang bersembunyi dibalik topeng hanya untuk membuat orang lain sengsara.Yang mengecewakan, salah satu orang itu justru adalah suaminya. Malam itu telah merubah jalan hidupnya. Air mata sedari tadi tak berhenti menetes. Eti menangis tanpa suara.Berbeda sekali dengan Eren, anak semata wayangnya dengan Hamdan, suaminya. Anak itu justru terlihat riang berlarian kesana kemari.Dia sesekali mendekati kedua orang tuanya untuk menunjukan sesuatu yang pikir dia bagus, setelah itu dia akan berlari lagi mencari sesuatu yang lain.Eti dan Hamdan sedang duduk di salah satu bangku taman yang dekat dengan kontrakan mereka. Hamdan baru balik setelah menghilang tanpa kabar selama beberapa hari.Pria itu tiba-tiba menelpon tadi sore dan meminta ketemu di taman, bukan di kontrakan yang selama beberapa tahun ini mereka tempati. Eti yang khawatir karena suaminya hilang tanpa kabar hanya mengiyakan saja.Sayangnya pertemuan itu benar-benar jauh dari apa yang Eti pernah bayangkan.“Sejak kapan, mas?” tanya Eti. Dia sudah menghapus air mata dengan kedua tangannya. Dia coba menguatkan hati untuk mengeluarkan pertanyan itu dari mulutnya.Hamdan tak menjawab. Ayah Eren itu sebenarnya tidak tega harus mengaku seperti ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia hanya bisa menyesalinya“Sejak kapan kalian bermain api di belakangku? Apakah kamu tidak memikirkan Eren dan perasaanku?” Eti mengulang pertanyaannya.Suaminya, pria yang paling dia percaya setelah ayah kandungnya sendiri, baru saja mengaku kalau dia sudah selingkuh dan menghamili teman kerjanya.Hati istri mana yang tidak hancur mendengar berita tiba-tiba seperti itu? Itulah yang Eti rasakan. Hatinya kini sudah hancur berkeping-keping.“Sudah 7 bulanan.” Hamdan akhirnya buka suara setelah sekian menit hanya diam. “Maafkan mas, Eti. Mas benar-benar khilaf.”“Kenapa Mas? Apa alasannya? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku kurang berbakti? Apakah aku kurang baik?” suara Eti bergetar, mulai terdengar emosi.Lidah Hamdan kelu, tidak bisa menjawab semua pertanyaan ibu dari anaknya itu. Otaknya benar-benar ngeblank.“Maafkan, Mas.”Hanya itu yang bisa Hamdan ucapkan. Cyntia tidak lebih cantik dari Eti, tapi nafsu telah membutakan mata hatinya sebagai suami dan seorang ayah.Dulu ada pepatah Jawa yang mengatakan bahwa cinta akan datang karena seringnya bertemu. Begitulah yang Hamdan pikir saat dekat dengan Cyntia.Mereka bekerja di tempat yang sama. Hampir bertemu setiap hari. Pesona gadis yang sedang mekar-mekarnya membuat Hamdan terpesona.Apalagi gadis itu tidak mengindahkan statusnya yang sudah menikah dan punya satu anak. Jadilah mereka pacaran diam-diam.Sering Hamdan mencuri waktu, berbohong pada Eti untuk sekedar pergi jalan dengan Cyntia. Bahkan sampai tak pulang dengan alasan menginap di rumah teman.Hingga mereka pun mulai kebablasan. Pesona gadis itu terlalu sayang untuk dilewatkan oleh birahi Hamdan yang sedang panas-panasnya.Cyntia akhirnya hamil. Gadis itu meminta pertanggungjawaban Hamdan. Dia tidak ingin malu karena melahirkan bayi tanpa adanya suami.Kepergian Hamdan tanpa kabar juga berkaitan dengan kehamilan Cyntia. Keduanya pergi ke seorang dukun untuk menggugurkan calon bayi tak berdosa itu.Sayangnya mereka gagal. Calon bayi mereka tidak mau pergi meski sudah di coba dengan berbagai cara. Cyntia akhirnya tetap memaksa Hamdan menikahinyaTentu Hamdan dalam dilema. Disatu sisi, dia tidak mungkin meninggalkan Eti dan Eren. Disisi lain, gadis itu membutuhkannya.“Jadi sekarang bagaimana? Aku tidak mau di madu.”Eti sudah membuat keputusan. Kata-katanya tegas dan jelas. Meski dia wanita kampung, dimadu tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya“Mas gak tahu, Et. Mas bingung.”Hamdan hanya bisa menatap jalanan dengan kosong. Dia sudah pasrah bila istrinya itu memaki-makinya. Alasan itu pula yang membuat Hamdan enggan berbicara di kontrakan mereka.Dia tidak mau para tetangganya dengar. Dia masih punya harga diri. Berbeda dengan disini. Toh taman ini sering sepi dan tidak ada orang yang mereka kenal.Wajah Eti mengeras. Dia begitu hancur ketika suaminya mengaku mengkhianatinya. Tapi amarah itu datang mendengar ketidak tegasan Hamdan sebagai laki-laki.“Jangan jadi pria lemah, Mas! “ suara Eti meninggi. “Aku percaya sepenuhnya sama kamu. Membuka hape-mu saja aku tidak berani.”Nafas Eti mulai tidak teratur. Dia tidak menyangka suaminya begitu pengecut seperti ini. Hanya bisa diam dan meminta maaf.“Kamu bingung?” Eti tersenyum getir. “Kamu mas, sudah mengkhianati kepercayaanku. Dengan gampangnya selingkuh sampai dia hamil. Kemana pikiranmu saat itu, hah?”Beberapa pengunjung taman yang bisa di hitung dengan jari menatap kearah suami istri yang sedang bertengkar itu. Sebagian merasa iba, sebagian lagi malah senang ada tontonan.Eti masih emosi. Laki-laki yang dia pilih, yang dia pikir akan jadi yang terbaik untuknya dan Eren, justru punya sifat seperti Iblis. Laki-laki itu kini hanya bisa menunduk lesu.“Aku tidak bisa menerima pengkhianat, tapi demi Eren, aku tetap menerima kamu asal tinggalkan wanita itu!”Ada nada getir dari perkataan Eti. Yah, semua demi anaknya. Dia tidak ingin Eren tumbuh besar tanpa sosok ayah. Cukup ibunya saja yang dulu sering ditinggal ayahnya merantau ke Jakarta.Hamdan masih tetap diam. Dia tidak bisa memilih. Penyesalan kadang datang terlambat. Hamdan berharap waktu bisa diputar kembali agar dia tidak sepusing ini.“Kenapa diam, mas?” kali ini pertanyaan Eti terdengar sinis. “Oh, aku tahu. Kamu bingung memilih dia atau aku bukan?”Dua pasang mata bertemu. Yang satu menunjukan api amarah yang berkobar-kobar, sedangkan yang satu lagi kosong seakan tanpa jiwa.“Aku gak nyangka, cinta yang kita bina selama 5 tahun ini, bisa kalah oleh wanita yang baru kamu kenal kurang dari setahun itu.”Langit malam yang tanpa bintang hanya bisa dipandangi oleh Eti dengan perasaan campur aduk. Tekadnya sudah bulat. Dia mengambil keputusan yang akan merubah hidup keluarga kecil mereka.“Ceraikan aku, mas!” ucap Eti lirih. “ Tapi aku minta satu hal padamu untuk yang terakhir, tolong besok antarkan aku kembali ke rumah ibu. Tenang, aku tidak akan cerita soal kamu menghamili wanita lain.”Hamdan menatap wanita yang sudah ia nikahi selama empat tahun ini. Dia sudah menyangka akan ada pilihan seperti ini. Tapi mendengarnya langsung, masih membuatnya shock.“Apa tidak ada jalan lain, Et?” Suara Hamdan bahkan kalah dengan angin malam yang berhembus menyapa wajahnya.Eti menoleh ke arah suaminya. Dia tersenyum. Hanya ini yang bisa dia lakukan sekarang. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki pengecut ini.“Aku sudah menunggumu bicara dari tadi, mas. Kamu hanya diam. Aku tahu hatimu berat untuk wanita itu. Aku tak mau menggangu kalian. Kita sudah berakhir sampai sini.”Kaki Eti terasa lemas saat dia paksakan berdiri. Bukan lagi kesedihan yang membuatnya kuat, justru amarah yang telah membuatnya mati rasa.Hamdan bahkan tidak menahannya saat dia pergi mengendong Eren yang menangis ingin bersama ayahnya. Eti kecewa, cinta itu kini sudah habis tak bersisa.**001**Dengan bedak dan make up, Eti menutupi wajahnya yang agak sembab. Dia tidak ingin ibunya nanti khawatir melihatnya sedang kacau seperti ini saat mereka tiba di kampung. Hijab warna moka sudah rapi menutupi kepalanya.Hamdan sudah mengabari akan menjemput dia dan Eren selepas shubuh. Sepasang koper besar dan kecil sudah rapi berdiri di belakang pintu. Eren masih lelap dalam tidurnya. Semalaman Eti merapihkan baju sambil tak henti-hentinya meneteskan air mata. Kenyataan ini masih terlalu pahit untuk dia terima. Dikhianati dan kini harus siap menyandang status janda. Dia belum genap berumur 26 tahun, Eti hanya bisa melamun perihal statusnya nanti yang terdengar mengerikan. juga tentang masa depan dia dan anaknya yang masih buram. Tok! Tok! Tok! Suara Hamdan membuyarkan lamunan Eti. Dia membukakan pintu dan melihat sosok kikuk yang dulu pernah ia sangat cintai. Entah laki-laki itu tidur dimana semalam. Mungkin di rumah temannya,
“Bu, apa Eti bisa titip Eren? Eti mau kerja lagi di Jakarta.” Sudah hampir dua bulan Eti di kampung. Uang yang dia pegang tinggal sedikit. Selama itu Hamdan hanya pernah memberikan uang dua kali. Pertama sebelum Hamdan kembali ke Jakarta setelah mengantarnya pulang kampung sebesar satu juta. Kedua dia kirim lagi awal bulan lalu, jumlahnya hanya setengah dari yang pertama. Meski hanya berdua dan kadang dibantu ibunya untuk jajan dan makan, Eti tidak bisa terus seperti ini. Eren perlu biaya untuk pendidikannya nanti. Makanya kalau bisa dia ingin menabung dari sekarang. “Emang udah ada kerjaannya?” tanya Fitri. Sepasang ibu dan anak itu sedang duduk di teras. Mengawasi Eren yang sedang bermain di halaman dengan anak-anak tetangga yang seusianya. “Sudah. Mantan bos Eti yang dulu tadi siang nelpon, nawarin kerjaan.” Kedua alis Fitri menyatu. “Bos yang mana?” Setahu dia, Eti hanya pernah kerja sekali di Jakarta sebelum kemudian menikah dengan Hamdan. “Bu Maryam, yang punya toko bati
“Kenapa, Mba?” tanya Wisnu, satu-satunya pria di toko itu. Toko sudah mau tutup. Sinta sedang menghitung uang masuk hari ini dibantu oleh Risma. “Coba kamu hitung lagi, Wisnu. Apa saya salah hitung?” Sinta memberikan buku penjualan dan kalkulator. Eti juga mendengar perkataan Sinta perihal uang kurang. Dia ingin membantu, hanya saja dengan sikap buruk Sinta kepadanya, dia masih diam duduk di pinggiran di bagian luar toko. “Totalnya 10.320.000, mba.” Kata Wisnu setelah menyelesaikan hitungannya. “Tuh kan bener. Duitnya cuman ada 10.170.000. Kurang 150 ribu.” Sinta terlihat panik. Eti hanya menatap bingung ke arah tiga rekannya yang berada di dalam. Wisnu dan Risma saling pandang. Kalau sudah begini, biasanya mereka harus ganti dengan uang pribadi masing-masing. Dengan uang makan mereka yang masih kecil, menganti uang yang hilang cukup memberatkan. Wisnu nampak suram saat mendekati Eti untuk bicara. “Mba Eti, duit penjualan kurang,” katanya. “Lho, kok bisa? Kurang berapa?” tany
“Mau belanja apa mau cerita? Kalau mau cerita, bukan disini tempatnya.” Suara ketus Sinta mengagetkan dua wanita itu. Eti seakan minta maaf dengan pandangannya ke arah Ibu Nurmala. “Iya nak. Ibu mau beli. Tapi ibu bilang anak ibu dulu ya.” Ibu Nurmala berkata pelan. Dia sendiri nampak tidak enak dengan Eti. Bukannya langsung memilih yang dia mau, malah asyik bercerita kepada orang yang baru dia temui. Sinta hanya mendengus kesal. “Huh, bilang aja gak ada duit.” “Astagfirlullah, Sinta. Gak boleh gitu,” Eti tidak terima kenalan barunya itu sampai disindir tidak punya uang. “Maaf sekali lagi ya, bu.” “Gapapa, nak Eti. Ibu yang salah. Ibu panggil anak ibu dulu, ya.” Sekali lagi Eti mengucapkan maaf dan melihat kepergian Ibu Nurmala dengan iba. Eti sebenarnya sangat marah pada Sinta. Dia boleh melakukan itu pada Eti, tapi tidak pada Ibu Nurmala. Beliau adalah orang tua. Beli ataupun tidak, beliau masih harus dihormati. “Lain kali bikin orang beli, jangan malah dengerin cerita.” Se
“Nak Eti, jangan marah ya,” kata Bu Nurmala setelah selesai mengambil uang. “Baju yang ibu beli ini buat nak Eti sama keluarga. Jangan ditolak. Ini sebagai ucapan terimakasih ibu karena sudah dilayani dengan baik.” Kantong baju yang dibawa Zikri kemudian diserahkan ke Eti. Bu Nurmala pun memberikan uang pembayaran bajunya. Eti menerimanya dengan sedikit bengong. “Tapi bu. Ini kan baju yang mahal semua.” Eti merasa tidak enak. Dia tidak menyangka Bu Nurmala akan membelikan baju itu untuk dia. “Sudah terima aja, kak. Mamah kalo udah gitu, gak suka di tolak.” Zikri yang berdiri dibelakang ibunya ikut bicara. Eti hanya bisa memandangi sepasang ibu dan anak itu dengan pandangan terimakasih. Melihat tidak ada penolakan lagi, Bu Nurmala kembali berkata. “Kalau bisa, nanti datang ya pas acara nikahannya Iki. Nanti ibu minta Iki anterin undangannya. Ajak ayah, ibu sama anaknya nak Eti.” “Insya Allah, ya bu. Terimakasih banyak buat bajunya.” Kedua wanita itu berpisah sambil saling menemp
"Gimana sih? Kamu kan dari tadi di dalam, kok bisa kurang lagi. Nggak becus kerja ya kamu?."Suara Sinta sampai terdengar keluar. Beberapa tetangga toko yang belum tutup sampai melihat ke dalam penasaran.Mereka sudah paham dengan sifat Sinta yang kadang emosional. Sasarannya biasanya Eti. Namun wanita itu ada di luar dan sedang duduk santai."Kalau sudah gak mau disini bilang! Nanti gue minta ganti sama yang lain!""I-iya maaf, mba. Risma coba itung lagi."Dengan tangan gemetar menahan emosi, Risma memencet tombol-tombol di kalkulator sambil menghitung pemasukan hari itu.Tadi dia hitung sudah benar. Namun uang dan catatannya terjadi selisih sampai 235 ribu. Padahal hari ini tidak seramai akhir pekan.Wisnu dipanggil masuk untuk menghitung jumlah uang yang ada. Eti hanya diam saja di luar sambil melirik sesekali ke dalam.Wajah Risma nampak seperti ingin menangis. Bagaimana pun Eti pernah diposisi dia. Tidak masalah kalau kita salah terus dimarahi. Tapi tidak di depan orang lain.Itu
Suasana toko jadi terasa tidak enak esok paginya. Sinta yang biasa akrab dengan Risma, kini memilih hanya ngobrol dengan Wisnu.Risma masih di dalam, tapi sekarang tempat duduknya berseberangan dengan Santi yang dekat meja kasir. Untuk bagian luar, ada Eti dan Wisnu seperti biasa."Mba Eti, dipanggil ibu ke toko depan." Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Eti.Toko sedang sepi, belum ada pembeli dari buka toko tadi. Setelah membereskan pajangan, Eti seperti biasa duduk di pojokan."Oh, iya. Makasih ya, Sum." Wanita yang memberitahu Eti bernama Sumiyati, dia dari toko Agung. Sementara salah satu tidak masuk, biasanya dia akan menggantikan disitu sementara."Bawa tas mba Eti juga sekalian kata ibu." Ada suara tidak senang dari kata-kata Sumiyati. "Sekarang mba Eti di depan, saya disini.""Emang apa kata ibu, Sum?""Enggak tahu. Tadi Mas Agung cuman ngomong kita tukeran tempat mulai hari ini."Tadinya Eti akan bertanya lebih banyak, namun melihat wajah Sumiyati yang terlihat kesal,
Sinta terlihat pucat. Dia sedikit bengong saat baru keluar dari ruangan. Sebuah amplop coklat berada di tangannya. Deni dan Teguh melihat Sinta dengan bingung. "Sin, kamu gak apa-apa?" Teguh memberanikan bertanya. Pemuda ini yang menjaga toko ketiga Bu Maryam. Posisi tokonya ada di gedung sebelah. Dia masuk kerja tidak lama setelah Sinta. "Sinta? Belum pulang?" Agung keluar dari dalam. Dia heran melihat Sinta masih berdiri mematung. "Mas, gak bisa yah ibu maafin saya?" Suara Sinta bergetar seakan ingin menangis. "Hn." Agung memandang dengan Iba. "Nasi sudah jadi bubur, Sin. Jadiin pelajaran aja buat kamu. Mas do'ain kamu ketemu kerjaan yang lebih baik, ya." Kata-kata Agung membuat Deni dan Teguh saling pandang. Ketemu kerjaan yang lebih baik? Bukannya itu berarti Sinta dipecat ya?Beberapa menit sebelumnya, Sinta masuk dengan wajah khawatir. Dia seperti akan disidang begitu melihat Bu Maryam yang duduk dengan santainya, sedangkan Mas Agung menyuruh duduk di bangku kosong depan mej
Pria itu bisa dibilang termasuk dalam golongan pria-pria tampan. Sosoknya tinggi dan tegap. Tatapan matanya teduh dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Ada kumis tipis dan cambang yang sama tipisnya menghias wajah yang berparas layaknya orang seberang. Jelas terlihat sang pria sedang dalam usia matang.Dengan celana chinos berwarna krem kombinasi kemeja flanel berwarna biru, pria itu menarik perhatian beberapa karyawan toko dan pengunjung pasar yang kebetulan lewat."Maaf, apa disini ada yang bernama Eti?" pria itu mengulangi pertanyaannya.Risma yang kebetulan ditanya oleh pria itu kembali dari keterpanaannya. Gadis itu tidak menutupi sudah terpengaruh oleh pesona pria dihadapannya itu."Eh, iya. Ada bang. Teh Eti, ada yang nyari!" Risma berteriak dari luar toko, Dia sedang menghitung baju yang ada digantungan luar,"Siapa, Ris?" Eti yang tadinya terduduk di lantai dalam toko berdiri masih dengan kertas dan pena di tangannya. Di
Sinta terlihat pucat. Dia sedikit bengong saat baru keluar dari ruangan. Sebuah amplop coklat berada di tangannya. Deni dan Teguh melihat Sinta dengan bingung. "Sin, kamu gak apa-apa?" Teguh memberanikan bertanya. Pemuda ini yang menjaga toko ketiga Bu Maryam. Posisi tokonya ada di gedung sebelah. Dia masuk kerja tidak lama setelah Sinta. "Sinta? Belum pulang?" Agung keluar dari dalam. Dia heran melihat Sinta masih berdiri mematung. "Mas, gak bisa yah ibu maafin saya?" Suara Sinta bergetar seakan ingin menangis. "Hn." Agung memandang dengan Iba. "Nasi sudah jadi bubur, Sin. Jadiin pelajaran aja buat kamu. Mas do'ain kamu ketemu kerjaan yang lebih baik, ya." Kata-kata Agung membuat Deni dan Teguh saling pandang. Ketemu kerjaan yang lebih baik? Bukannya itu berarti Sinta dipecat ya?Beberapa menit sebelumnya, Sinta masuk dengan wajah khawatir. Dia seperti akan disidang begitu melihat Bu Maryam yang duduk dengan santainya, sedangkan Mas Agung menyuruh duduk di bangku kosong depan mej
Suasana toko jadi terasa tidak enak esok paginya. Sinta yang biasa akrab dengan Risma, kini memilih hanya ngobrol dengan Wisnu.Risma masih di dalam, tapi sekarang tempat duduknya berseberangan dengan Santi yang dekat meja kasir. Untuk bagian luar, ada Eti dan Wisnu seperti biasa."Mba Eti, dipanggil ibu ke toko depan." Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Eti.Toko sedang sepi, belum ada pembeli dari buka toko tadi. Setelah membereskan pajangan, Eti seperti biasa duduk di pojokan."Oh, iya. Makasih ya, Sum." Wanita yang memberitahu Eti bernama Sumiyati, dia dari toko Agung. Sementara salah satu tidak masuk, biasanya dia akan menggantikan disitu sementara."Bawa tas mba Eti juga sekalian kata ibu." Ada suara tidak senang dari kata-kata Sumiyati. "Sekarang mba Eti di depan, saya disini.""Emang apa kata ibu, Sum?""Enggak tahu. Tadi Mas Agung cuman ngomong kita tukeran tempat mulai hari ini."Tadinya Eti akan bertanya lebih banyak, namun melihat wajah Sumiyati yang terlihat kesal,
"Gimana sih? Kamu kan dari tadi di dalam, kok bisa kurang lagi. Nggak becus kerja ya kamu?."Suara Sinta sampai terdengar keluar. Beberapa tetangga toko yang belum tutup sampai melihat ke dalam penasaran.Mereka sudah paham dengan sifat Sinta yang kadang emosional. Sasarannya biasanya Eti. Namun wanita itu ada di luar dan sedang duduk santai."Kalau sudah gak mau disini bilang! Nanti gue minta ganti sama yang lain!""I-iya maaf, mba. Risma coba itung lagi."Dengan tangan gemetar menahan emosi, Risma memencet tombol-tombol di kalkulator sambil menghitung pemasukan hari itu.Tadi dia hitung sudah benar. Namun uang dan catatannya terjadi selisih sampai 235 ribu. Padahal hari ini tidak seramai akhir pekan.Wisnu dipanggil masuk untuk menghitung jumlah uang yang ada. Eti hanya diam saja di luar sambil melirik sesekali ke dalam.Wajah Risma nampak seperti ingin menangis. Bagaimana pun Eti pernah diposisi dia. Tidak masalah kalau kita salah terus dimarahi. Tapi tidak di depan orang lain.Itu
“Nak Eti, jangan marah ya,” kata Bu Nurmala setelah selesai mengambil uang. “Baju yang ibu beli ini buat nak Eti sama keluarga. Jangan ditolak. Ini sebagai ucapan terimakasih ibu karena sudah dilayani dengan baik.” Kantong baju yang dibawa Zikri kemudian diserahkan ke Eti. Bu Nurmala pun memberikan uang pembayaran bajunya. Eti menerimanya dengan sedikit bengong. “Tapi bu. Ini kan baju yang mahal semua.” Eti merasa tidak enak. Dia tidak menyangka Bu Nurmala akan membelikan baju itu untuk dia. “Sudah terima aja, kak. Mamah kalo udah gitu, gak suka di tolak.” Zikri yang berdiri dibelakang ibunya ikut bicara. Eti hanya bisa memandangi sepasang ibu dan anak itu dengan pandangan terimakasih. Melihat tidak ada penolakan lagi, Bu Nurmala kembali berkata. “Kalau bisa, nanti datang ya pas acara nikahannya Iki. Nanti ibu minta Iki anterin undangannya. Ajak ayah, ibu sama anaknya nak Eti.” “Insya Allah, ya bu. Terimakasih banyak buat bajunya.” Kedua wanita itu berpisah sambil saling menemp
“Mau belanja apa mau cerita? Kalau mau cerita, bukan disini tempatnya.” Suara ketus Sinta mengagetkan dua wanita itu. Eti seakan minta maaf dengan pandangannya ke arah Ibu Nurmala. “Iya nak. Ibu mau beli. Tapi ibu bilang anak ibu dulu ya.” Ibu Nurmala berkata pelan. Dia sendiri nampak tidak enak dengan Eti. Bukannya langsung memilih yang dia mau, malah asyik bercerita kepada orang yang baru dia temui. Sinta hanya mendengus kesal. “Huh, bilang aja gak ada duit.” “Astagfirlullah, Sinta. Gak boleh gitu,” Eti tidak terima kenalan barunya itu sampai disindir tidak punya uang. “Maaf sekali lagi ya, bu.” “Gapapa, nak Eti. Ibu yang salah. Ibu panggil anak ibu dulu, ya.” Sekali lagi Eti mengucapkan maaf dan melihat kepergian Ibu Nurmala dengan iba. Eti sebenarnya sangat marah pada Sinta. Dia boleh melakukan itu pada Eti, tapi tidak pada Ibu Nurmala. Beliau adalah orang tua. Beli ataupun tidak, beliau masih harus dihormati. “Lain kali bikin orang beli, jangan malah dengerin cerita.” Se
“Kenapa, Mba?” tanya Wisnu, satu-satunya pria di toko itu. Toko sudah mau tutup. Sinta sedang menghitung uang masuk hari ini dibantu oleh Risma. “Coba kamu hitung lagi, Wisnu. Apa saya salah hitung?” Sinta memberikan buku penjualan dan kalkulator. Eti juga mendengar perkataan Sinta perihal uang kurang. Dia ingin membantu, hanya saja dengan sikap buruk Sinta kepadanya, dia masih diam duduk di pinggiran di bagian luar toko. “Totalnya 10.320.000, mba.” Kata Wisnu setelah menyelesaikan hitungannya. “Tuh kan bener. Duitnya cuman ada 10.170.000. Kurang 150 ribu.” Sinta terlihat panik. Eti hanya menatap bingung ke arah tiga rekannya yang berada di dalam. Wisnu dan Risma saling pandang. Kalau sudah begini, biasanya mereka harus ganti dengan uang pribadi masing-masing. Dengan uang makan mereka yang masih kecil, menganti uang yang hilang cukup memberatkan. Wisnu nampak suram saat mendekati Eti untuk bicara. “Mba Eti, duit penjualan kurang,” katanya. “Lho, kok bisa? Kurang berapa?” tany
“Bu, apa Eti bisa titip Eren? Eti mau kerja lagi di Jakarta.” Sudah hampir dua bulan Eti di kampung. Uang yang dia pegang tinggal sedikit. Selama itu Hamdan hanya pernah memberikan uang dua kali. Pertama sebelum Hamdan kembali ke Jakarta setelah mengantarnya pulang kampung sebesar satu juta. Kedua dia kirim lagi awal bulan lalu, jumlahnya hanya setengah dari yang pertama. Meski hanya berdua dan kadang dibantu ibunya untuk jajan dan makan, Eti tidak bisa terus seperti ini. Eren perlu biaya untuk pendidikannya nanti. Makanya kalau bisa dia ingin menabung dari sekarang. “Emang udah ada kerjaannya?” tanya Fitri. Sepasang ibu dan anak itu sedang duduk di teras. Mengawasi Eren yang sedang bermain di halaman dengan anak-anak tetangga yang seusianya. “Sudah. Mantan bos Eti yang dulu tadi siang nelpon, nawarin kerjaan.” Kedua alis Fitri menyatu. “Bos yang mana?” Setahu dia, Eti hanya pernah kerja sekali di Jakarta sebelum kemudian menikah dengan Hamdan. “Bu Maryam, yang punya toko bati
Dengan bedak dan make up, Eti menutupi wajahnya yang agak sembab. Dia tidak ingin ibunya nanti khawatir melihatnya sedang kacau seperti ini saat mereka tiba di kampung. Hijab warna moka sudah rapi menutupi kepalanya.Hamdan sudah mengabari akan menjemput dia dan Eren selepas shubuh. Sepasang koper besar dan kecil sudah rapi berdiri di belakang pintu. Eren masih lelap dalam tidurnya. Semalaman Eti merapihkan baju sambil tak henti-hentinya meneteskan air mata. Kenyataan ini masih terlalu pahit untuk dia terima. Dikhianati dan kini harus siap menyandang status janda. Dia belum genap berumur 26 tahun, Eti hanya bisa melamun perihal statusnya nanti yang terdengar mengerikan. juga tentang masa depan dia dan anaknya yang masih buram. Tok! Tok! Tok! Suara Hamdan membuyarkan lamunan Eti. Dia membukakan pintu dan melihat sosok kikuk yang dulu pernah ia sangat cintai. Entah laki-laki itu tidur dimana semalam. Mungkin di rumah temannya,