Sebagai orang yang ulet, kreatif, berkomitmen akan rasa dan kualitas, ramah dan memberikan pelayanan yang memuaskan serta berkat campur tangan Sabrina dalam mengerahkan relasinya juga terutama takdirnya bagus, membuat brand kue Sarah cepat dikenal di masyarakat luas. Sarah kini tak susah untuk memasarkan produknya. Orang sudah datang sendiri untuk memesannya. Setiap hari tidak pernah sepi pesanan. Orang-orang di sekitar yang dulunya hanya dipekerjakan untuk sementara, kini bekerja tetap bahkan sudah bertambah. Selain dari mulut ke mulut, relasi ke relasi, teman ke teman, proses penyebaran informasi bahwa ada kue seenak buatan Sarah juga melibatkan media sosial yang semakin hari semakin masif saja. Oleh karena itu, Sarah juga membuka pesanan antar kota yang sehari langsung sampai di tujuan pemesan. Karena kemudahan dan percepatan informasi tersebut, ada saja orang tak bertanggungjawab yang memanfaatkan nama Sarah. Seperti pagi itu. Setelah sarapan, Bu Saronah, salah satu pelanggan
"Alhamdulillah masalah hari ini sudah selesai, semoga tidak ada lagi korbannya." Sarah menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa setibanya dari rumah Bu Saronah. "Gimana, Mbak? Aman?" Mengetahui Sarah sudah pulang, Sabrina menghampirinya dengan membawa batita 6 bulan yang mulai disuapi MP-ASI tersebut. "Alhamdulillah sudah selesai. Tahu gak? Bu Saronah udah ditipu hampir satu jutaan. Heran! Kerja kok segala yang haram diembat. Oh iya, kue-kue itu dihancurin. Tuh aku bawa, bisa buat pakan ayam di kandangmu." Sarah menceritakan dengan penuh kekesalan. "Alhamdulillah kalau gitu. Terima kasih udah dibawakan." Namun, saat obrolan lanjut tentang pembahasan produksi hari ini terpaksa berhenti karena ada nomor pelanggan lain yang menelponnya. Mengetahui hal itu, Sarah maupun Sabrina saling berpandangan. Sebab itu artinya ada yang sangat penting. Mereka berdua takut jika penelpon adalah juga korban dari penipu yang mengatas namakan Ada Kue Enak. "Angkat aja, Mbak!" Sabrina menyemangati. "Halo,
"Alhamdulillah. Pelakunya udah ketangkap, Mbak. Kita diminta Mbak Farah ke kantor polisi untuk memberikan saksi. Katanya, sekalian bawa para korban." Sabrina memberi tahu Sarah. "Alhamdulillah. Ya udah, ayok. Bentar, aku hubungi mereka dulu."Setelah menghubungi para korban Burhan, Sarah langsung meninggalkan rumah bersama Sabrina. Lagi-lagi Emir dititipkan pada Yuni. Sesampainya di kantor polisi, Sarah begitu turun dari mobil langsung berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang interogasi. Di sana masih ada Burhan yang ditanya-tanya dan di sampingnya ada Farah. Plak! Begitu melihat wajah Burhan, Sarah sama sekali tidak tahan untuk menahan emosinya. Apalagi teringat rasanya difitnah dengan begitu tidak berperasaannya, Ia pun langsung menghadiahkan tamparan padanya. "Puas kamu!" teriaknya begitu menggema, sedangkan Burhan hanya meringis menahan rasa sakit disertai memasang wajah kebingungan dan merasa disakit karena dirinya tiba-tiba ditampar "Sabar, Mbak! Ini kantor polisi, bukan p
Usai pembacaan keputusan, Sarah dan yang lainnya bersiap meninggalkan ruang persidangan. Namun, saat hendak melangkah mereka dikejutkan oleh seorang perempuan paruh baya yang meraung-raung di pojokan sana. "Tidak! Dia pasti difitnah! Kalian semua kurang ajar. Mentang-mentang punya uang bisa seenaknya. Pokoknya keputusan ini tidak sah!" Perempuan yang baru mereka ketahui ternyata adalah ibu dari Burhan setelah beberapa sidang. Ibu itu baru hadir di sidang terakhir. "Sudah, gak usah dilayani. Ganggu saja!" titah Farah, mereka pun sepakat untuk terus melangkah menuju pintu keluar. ****"Halo, Sayang anak laki-lakinya ibu! Maaf ya Sayang, ibu tinggal terus." Begitu sampai di dalam rumah, Sarah langsung memeluk Emir yang tersenyum-senyum karena bertemu ibunya setelah berjam-jam ditinggal. Ia meninggalkan Sabrina di garasi setelah mencuci tangan terlebih dahulu di kran depan taman menggunakan sabun yang ia sediakan khusus ketika sehabis bepergian. "Mbak, tadi ada yang nelpon. Katanya ma
Tidak mungkin semua hal yang kita alami harud selalu sesuai dengan keinginan kita. Adakalanya apa yang kita inginkan ternyata tidak terwujud dan membuat kita mau tidak mau harus menerima apa adanya. Itulah yang dialami Reza begitu keluar dari rumah Sabrina sore menjelang maghrib itu. Meskipun ada rasa sedikit kecewa karena sepertinya kedua wanita yang ia temui sama sekali tidak tertarik terhadap rencananya, ia pada akhirnya tidak sampai memasukkannya ke dalam hati. Ia langsung masuk ke dalam mobil, dan melajukannya menuju rumah sembari menenangkan diri dengan berpikiran bahwa bukan rejekinya bersama Sarah. Sementara mobil dan Reza ada di dalamnya sedang dalam perjalanan, Sarah sedang bimbang-bimbangnya. Ia bingung, apakah jadi menerima investasi yang ditawarkan oleh Reza atau berbisnis sendiri dengan modal dari Sabrina. "Kalau aku jadi Mbak Sarah, mending sewa toko di tempat strategis. Di sana aku jadikan tempat produksi sekaligus jualan. Selain dijual offline bisa juga online. Ja
Pagi adalah waktu yang tepat untuk beraktivitas secara normal bagi pekerja, pelajar, ibu rumah tangga dan lainnya. Hal itu dialami oleh siapapun tak terkecuali Sarah yang sedang mengurus Emir, Sabrina di kandang ayamnya dan Reza hendak pergi ke kantornya,tapi mampir terlebih dahulu ke rumah adik dari ibunya, Bu Mona. Setelah bersiap-siap meninggalkan rumah, tiba-tiba sang ibu menghentikan langkahnya. "Bentar, Za! Ini nanti sambil jalan, tolong kasihkan ke Tante Mona, ya?" Sang ibu mengangsurkan sebuah bingkisan pada putra satu-satunya itu. "Iya, Ma! Ya udah, aku jalan dulu." Reza menerimanya lalu berpamitan. Sesampainya di rumah Bu Mona, Reza sebenarnya hanya sebentar saja. Begitu diterima titipan tersebut, ia berniat langsung menuju kantor. Tapi…."Za, boleh ngobrol bentar? Ada yang mau Tante tanyain. "Mau ngobrolin apa, Tant?" Karena tidak enak pada tantenya itu, Reza mau tidak mau yang awalnya hanya berdiri di depan pintu, pada akhirnya duduk di bangku di teras disusul Bu Mon
Tak seperti biasa ketika pergi ke mall akan berlama-lama, Hendrik yang ingat jika di dalam perut istri sirinya itu ada jabang bayi, ia meminta Novi untuk pulang lebih awal. "Udah ya belanjanya? Besok lagi. Sekarang kita pulang dulu. Kasihan bayinya kalau diajak pulang malam-malam," ajak Hendrik menyudahi aktivitas Novi yang sedang memilih-milih di outlet sepatu. "Ih, mas! Aku kan lagi milih-milih sepatu, tanggung tahu!" tolaknya dengan memajukan bibirnya. "Bisa besok lagi. Sekarang kita pulang dulu, udah malam. Besok kita periksa ke dokter, ya? Aku ingin kamu dan bayi kita sehat-sehat. Setelah periksa, kamu boleh belanja sepuasnya. Tapi ingat, jangan sampai kamu kecapekan. Yuk!" komando Hendrik. Novi pun akhirnya mengekor karena dijanjikan belanja sepuasnya besok hari. "Oh iya, besok aku ambil cuti. Aku akan antarkan dan temani kamu periksa," ucapnya lagi ketika sudah berada di dalam mobil membelah jalanan menuju pulang ke rumahnya. ****Seperti biasa, Hendrik pagi ini sudah rapi
Bab 26 Gimana? "Di sini sama sekali tidak ada tanda-tanda kehamilan. Bisa jadi apa yang Bu Novi alami kemarin adalah gejala masuk angin saja. Bapak dan ibu bisa melihat di monitor ini," jelasnya sembari menunjuk-nunjuk layar monitor di samping brankar tempat Novi berbaring. Novi dan Hendrik tampak tidak terima terhadap hasil yang sebenarnya. Mereka berdua kecewa karena merasa di-prank oleh keadaan. Usai di-USG, Novi dan kembali untuk duduk berhadapan dengan dokter Rosa. Namun, kali ini kekecewaan itu sangat kentara sekali. Selain dari raut wajah Novi dan Hendrik yang tidak sedap dipandang, mereka berdua pun sama sekali tidak menyahut setiap pertanyaan atau saran dari dokter Rosa. Jangankan menyahut, mendengar pun tidak. Tak sampai di situ saja. Sebagai bentuk kekecewaan, Novi dan Hendrik meninggalkan ruang praktek dokter Rosa di saat sang dokter sedang menjelaskan. Mereka keluar begitu saja tanpa berpamitan karena merasa sudah tidak ada gunanya jika berlama-lama. Sesampainya di