"Kemana sih Bang Aldo? Katanya cuma sebentar, kok lama banget?" keluh Novi. Ia sudah menunggu di dekat mobil Aldo selama berpuluh-puluh menit sejak dirinya disuruh pergi dari restoran. Ia sudah berusaha menghubungi Aldo via telpon maupun chat berkali-kali sampai bosan tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Jangankan mengangkat telepon, membaca puluhan chat dari Novi pun tidak. Sementara itu di dalam restoran. Aldo berusaha untuk biasa-biasa saja ketika dipanggil oleh perempuan bernama Rina yang notabenenya adalah istrinya, walaupun sejatinya jantungnya tidak bisa berhenti untuk bertalu-talu. "Eh, istriku! K-kamu sama siapa?" Aldo menghampiri Rina dengan gugup, lalu berpura-pura sama sekali tidak mengetahui jika sang istri berada di tempat sama. "Aku sendiri, Mas. Tadi habis ketemu client, laper jadinya mampir, deh. Kamu kenapa kok pucat terus dingin gini? Sakit?" Rina kaget saat mencium tangan sang suami. Tak ingin kenapa-kenapa , ia pun mencoba meraba kening Aldo. Namun, sama seka
Sebagai orang yang ulet, kreatif, berkomitmen akan rasa dan kualitas, ramah dan memberikan pelayanan yang memuaskan serta berkat campur tangan Sabrina dalam mengerahkan relasinya juga terutama takdirnya bagus, membuat brand kue Sarah cepat dikenal di masyarakat luas. Sarah kini tak susah untuk memasarkan produknya. Orang sudah datang sendiri untuk memesannya. Setiap hari tidak pernah sepi pesanan. Orang-orang di sekitar yang dulunya hanya dipekerjakan untuk sementara, kini bekerja tetap bahkan sudah bertambah. Selain dari mulut ke mulut, relasi ke relasi, teman ke teman, proses penyebaran informasi bahwa ada kue seenak buatan Sarah juga melibatkan media sosial yang semakin hari semakin masif saja. Oleh karena itu, Sarah juga membuka pesanan antar kota yang sehari langsung sampai di tujuan pemesan. Karena kemudahan dan percepatan informasi tersebut, ada saja orang tak bertanggungjawab yang memanfaatkan nama Sarah. Seperti pagi itu. Setelah sarapan, Bu Saronah, salah satu pelanggan
"Alhamdulillah masalah hari ini sudah selesai, semoga tidak ada lagi korbannya." Sarah menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa setibanya dari rumah Bu Saronah. "Gimana, Mbak? Aman?" Mengetahui Sarah sudah pulang, Sabrina menghampirinya dengan membawa batita 6 bulan yang mulai disuapi MP-ASI tersebut. "Alhamdulillah sudah selesai. Tahu gak? Bu Saronah udah ditipu hampir satu jutaan. Heran! Kerja kok segala yang haram diembat. Oh iya, kue-kue itu dihancurin. Tuh aku bawa, bisa buat pakan ayam di kandangmu." Sarah menceritakan dengan penuh kekesalan. "Alhamdulillah kalau gitu. Terima kasih udah dibawakan." Namun, saat obrolan lanjut tentang pembahasan produksi hari ini terpaksa berhenti karena ada nomor pelanggan lain yang menelponnya. Mengetahui hal itu, Sarah maupun Sabrina saling berpandangan. Sebab itu artinya ada yang sangat penting. Mereka berdua takut jika penelpon adalah juga korban dari penipu yang mengatas namakan Ada Kue Enak. "Angkat aja, Mbak!" Sabrina menyemangati. "Halo,
"Alhamdulillah. Pelakunya udah ketangkap, Mbak. Kita diminta Mbak Farah ke kantor polisi untuk memberikan saksi. Katanya, sekalian bawa para korban." Sabrina memberi tahu Sarah. "Alhamdulillah. Ya udah, ayok. Bentar, aku hubungi mereka dulu."Setelah menghubungi para korban Burhan, Sarah langsung meninggalkan rumah bersama Sabrina. Lagi-lagi Emir dititipkan pada Yuni. Sesampainya di kantor polisi, Sarah begitu turun dari mobil langsung berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang interogasi. Di sana masih ada Burhan yang ditanya-tanya dan di sampingnya ada Farah. Plak! Begitu melihat wajah Burhan, Sarah sama sekali tidak tahan untuk menahan emosinya. Apalagi teringat rasanya difitnah dengan begitu tidak berperasaannya, Ia pun langsung menghadiahkan tamparan padanya. "Puas kamu!" teriaknya begitu menggema, sedangkan Burhan hanya meringis menahan rasa sakit disertai memasang wajah kebingungan dan merasa disakit karena dirinya tiba-tiba ditampar "Sabar, Mbak! Ini kantor polisi, bukan p
Usai pembacaan keputusan, Sarah dan yang lainnya bersiap meninggalkan ruang persidangan. Namun, saat hendak melangkah mereka dikejutkan oleh seorang perempuan paruh baya yang meraung-raung di pojokan sana. "Tidak! Dia pasti difitnah! Kalian semua kurang ajar. Mentang-mentang punya uang bisa seenaknya. Pokoknya keputusan ini tidak sah!" Perempuan yang baru mereka ketahui ternyata adalah ibu dari Burhan setelah beberapa sidang. Ibu itu baru hadir di sidang terakhir. "Sudah, gak usah dilayani. Ganggu saja!" titah Farah, mereka pun sepakat untuk terus melangkah menuju pintu keluar. ****"Halo, Sayang anak laki-lakinya ibu! Maaf ya Sayang, ibu tinggal terus." Begitu sampai di dalam rumah, Sarah langsung memeluk Emir yang tersenyum-senyum karena bertemu ibunya setelah berjam-jam ditinggal. Ia meninggalkan Sabrina di garasi setelah mencuci tangan terlebih dahulu di kran depan taman menggunakan sabun yang ia sediakan khusus ketika sehabis bepergian. "Mbak, tadi ada yang nelpon. Katanya ma
Tidak mungkin semua hal yang kita alami harud selalu sesuai dengan keinginan kita. Adakalanya apa yang kita inginkan ternyata tidak terwujud dan membuat kita mau tidak mau harus menerima apa adanya. Itulah yang dialami Reza begitu keluar dari rumah Sabrina sore menjelang maghrib itu. Meskipun ada rasa sedikit kecewa karena sepertinya kedua wanita yang ia temui sama sekali tidak tertarik terhadap rencananya, ia pada akhirnya tidak sampai memasukkannya ke dalam hati. Ia langsung masuk ke dalam mobil, dan melajukannya menuju rumah sembari menenangkan diri dengan berpikiran bahwa bukan rejekinya bersama Sarah. Sementara mobil dan Reza ada di dalamnya sedang dalam perjalanan, Sarah sedang bimbang-bimbangnya. Ia bingung, apakah jadi menerima investasi yang ditawarkan oleh Reza atau berbisnis sendiri dengan modal dari Sabrina. "Kalau aku jadi Mbak Sarah, mending sewa toko di tempat strategis. Di sana aku jadikan tempat produksi sekaligus jualan. Selain dijual offline bisa juga online. Ja
Pagi adalah waktu yang tepat untuk beraktivitas secara normal bagi pekerja, pelajar, ibu rumah tangga dan lainnya. Hal itu dialami oleh siapapun tak terkecuali Sarah yang sedang mengurus Emir, Sabrina di kandang ayamnya dan Reza hendak pergi ke kantornya,tapi mampir terlebih dahulu ke rumah adik dari ibunya, Bu Mona. Setelah bersiap-siap meninggalkan rumah, tiba-tiba sang ibu menghentikan langkahnya. "Bentar, Za! Ini nanti sambil jalan, tolong kasihkan ke Tante Mona, ya?" Sang ibu mengangsurkan sebuah bingkisan pada putra satu-satunya itu. "Iya, Ma! Ya udah, aku jalan dulu." Reza menerimanya lalu berpamitan. Sesampainya di rumah Bu Mona, Reza sebenarnya hanya sebentar saja. Begitu diterima titipan tersebut, ia berniat langsung menuju kantor. Tapi…."Za, boleh ngobrol bentar? Ada yang mau Tante tanyain. "Mau ngobrolin apa, Tant?" Karena tidak enak pada tantenya itu, Reza mau tidak mau yang awalnya hanya berdiri di depan pintu, pada akhirnya duduk di bangku di teras disusul Bu Mon
Tak seperti biasa ketika pergi ke mall akan berlama-lama, Hendrik yang ingat jika di dalam perut istri sirinya itu ada jabang bayi, ia meminta Novi untuk pulang lebih awal. "Udah ya belanjanya? Besok lagi. Sekarang kita pulang dulu. Kasihan bayinya kalau diajak pulang malam-malam," ajak Hendrik menyudahi aktivitas Novi yang sedang memilih-milih di outlet sepatu. "Ih, mas! Aku kan lagi milih-milih sepatu, tanggung tahu!" tolaknya dengan memajukan bibirnya. "Bisa besok lagi. Sekarang kita pulang dulu, udah malam. Besok kita periksa ke dokter, ya? Aku ingin kamu dan bayi kita sehat-sehat. Setelah periksa, kamu boleh belanja sepuasnya. Tapi ingat, jangan sampai kamu kecapekan. Yuk!" komando Hendrik. Novi pun akhirnya mengekor karena dijanjikan belanja sepuasnya besok hari. "Oh iya, besok aku ambil cuti. Aku akan antarkan dan temani kamu periksa," ucapnya lagi ketika sudah berada di dalam mobil membelah jalanan menuju pulang ke rumahnya. ****Seperti biasa, Hendrik pagi ini sudah rapi
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua