"Veronica.."
"T-tuan jangan.."
"Jadilah istriku malam ini, Veronica.."
Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar.
"Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?"
"Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan muda pergi." Tuan mereka tidak banyak berbicara. Berpamitan pun ia tidak mengungkapnya tujuannya pergi kemana. Veronica mengangguk pelan, berusaha mengerti dengan kesibukan pria itu. "Apakah dia sering pulang larut seperti kemarin Elisa?"
Pelayan itu tidak nyaman untuk menjawab. Nyonya mereka pasti masih sedih memikirkan malam dimana sang suami langsung pergi tepat setelah selesai mengucap janji. "Benar, nyonya. Tuan muda begitu sibuk dengan pekerjaannya. Untuk itu tolong maklum dan jangan bersedih."
Veronica mengangguk meski masih memiliki banyak pertanyaan di kepala. Pekerjaan apa yang membuat Arliando sesibuk ini? Bagaimanapun dia ingin berbincang dengannya, mereka bahkan belum sempat berkenalan. Perhatiannya kemudian teralih pada sebuah mobil yang nampak berhenti di depan rumah. Veronica mengintip dengan penasaran. Namun alih-alih menemukan sang suami, dia menemukan seorang wanita keluar dari mobil.
"Siapa dia, Elisa?" Tanya sang nyonya. Namun pelayan itu nampak tidak ingin menjawab, keringat dingin membasahi sedikit dahinya. Firasat Veronica tidak enak, dia memutuskan untuk berjalan kesana sebelum Elisa menahan langkahnya. "Ny-nyonya, lebih baik anda tidak menemui dia. Carol akan mengurusnya dengan baik, dan ia akan segera pulang."
"Tenang saja, Elisa. Dia tamu kita. Aku minta tolong padamu ambilkan jaket milikku, aku akan keluar dan menemuinya sebentar." Elisa sedikit kebingungan, pasalnya jaket yang dimiliki sang nyonya sudah lusuh dan usang sedangkan mereka tidak menyiapkan benda itu di villa ini sebelumnya. "Nyonya, apakah anda tidak ingin mengenakan gaun terlebih dahulu?"
Veronica mengerjap, kemudian menggeleng pelan. "Tidak perlu, Elisa. Sepertinya itu akan lama.."
"T-tapi nyonya..."
"Hello, ada orang disini?" Teriakan terdengar dari bawah. Sepertinya tamu mereka sudah tidak sabar dan memilih menerobos tanpa dipersilahkan. Akhirnya Elisa menuruti kemauan sang nyonya meskipun dengan kekhawatiran.
"Hellloooo! Apakah disini tidak ada manusia??" Carol mengernyit kesal saat wanita itu masuk tanpa permisi. Menginjakkan kaki berhigh heels tingginya ke dalam villa sembari menoleh ke sana kemari meskipun Carol sudah berdiri tepat di hadapannya. Tampilannya benar-benar seperti sosialita, pakaian serta tas brandednya itu pasti bukan puluhan dollar semata. Veronica kemudian turun dari tangga dan menemuinya. "Ada yang bisa kubantu?"
Sejenak wanita itu berjengit kaget, matanya meninjau Veronica dari atas sampai bawah kemudian mengernyit. "Carol, siapa dia?" Tanya wanita itu padahal sedari tadi ia mengacuhkan Carol. Sedangkan bodyguard yang ia panggil seperti karyawannya sendiri itu segera berdiri di samping Veronica. "Jaga ucapanmu, nona Karin. Dia adalah istri sah dari tuan Arliando sekarang."
Karin tercenung dengan air muka yang aneh. Matanya kembali memperhatikan Veronica dari ujung kaki hingga rambutnya. Tampilannya sangat tidak rapih. Meskipun wajahnya memang cantik, tapi apa-apaan dengan piama tipis yang dikenakannya itu? Tidak modis seperti dirinya sama sekali. "Apa? Kau bilang dia istri Arliando? Ku kira dia pelayan yang magang disini?"
Veronica tanpa sadar memandangi dirinya sendiri. Perkataan Karin itu membuat Carol emosi, "Nona Karin!"
"Heh," dengan acuh Karin mendecih sembari memakai kacamata ditangannya. Membenahi rambutnya yang hitam bergelombang lalu melirik kembali ke arah Veronica. "Aku memang terkejut karena Arliando menikah diam-diam begini. Tapi tidak bisakah dia mengambil pengantin yang rupawan? Aku tidak percaya Arliando akan menikahi wanita sepertimu, memalukan sekali. Padahal dia bebas memilih wanita anggun dan cantik diluaran sana, tapi dia malah mengambil pengemis ini dan menjadikannya nyonya?" Carol ingin maju, namun Veronica menahan tangannya.
"Apakah sudah selesai..?"
Karin tercekat, beralih menatap Veronica dengan mata tak suka. "Kenapa? Kau tidak terima?"
"...."
"Dengar ya, wanita menjijikan. Arliando itu sudah jelas-jelas memilihku sebagai calon ratunya. Jadi jangan percaya diri dulu kalau kau akan selamanya menjadi istri satu-satunya. Aku bertaruh dia akan menceraikanmu segera karena rambut jelekmu itu!" Oh, sebenarnya dia sedikit iri dengan rambut berwarna emas itu. Tapi tentu saja tidak lebih cantik dari miliknya yang hitam bagai berlian. Veronica menunduk dalam, Carol khawatir nyonya mudanya itu menjadi patah semangat sekarang. Namun ia terkejut saat Veronica balik menatap Karin dengan tatapan tajam.
"Maaf, tapi aku tidak mengenalmu sama sekali. Aku bahkan tidak tahu apakah kau adalah tamu ataukah pencuri karena tiba-tiba masuk ke rumah kami. Namun apapun yang kau katakan itu tidak akan membuatku takut."
Karin memicing, "Oh, begitu? Baiklah asal ku beritahu. Aku adalah Karin Angelina, pacar satu-satunya Arliando Magistra yang sebentar lagi akan dia jadikan ratu. Persetan dengan statusmu kini, bitch. Tapi akan ku pastikan posisimu itu akan segera terganti!"
Pupil mata Veronica melebar. Bahunya tersentak saat tas yang dikenakan Karin itu hampir mengenainya saat Karin ingin menyenggolnya dengan sengaja saat hendak pergi. Namun Carol dengan cepat mencegahnya, segera menghadang saat wanita itu berbalik lagi. "Oh, iya. Beri salamku pada Arliando sayang ya, Carol. Bilang aku sangat merindukan erangannya di ranjang malam ini. Daaa!"
Carol berjengit kesal, lalu dengan segera menutup pintu villa tanpa berlama-lama setelah wanita bar-bar itu keluar. "Nyonya.." Carol memanggil pelan. Veronica gemetar pelan. Dadanya bergemuruh oleh rasa sakit sekaligus pertanyaan besar. Dengan lemah ia menggerakkan bibirnya. "Carol, benarkah itu?" Sepertinya wanita itu menyerap semua perkataan Karin ke dalam hatinya.
"Nyonya, mohon dengarkan aku.." Carol berusaha menarik perhatian kedua mata sayu Veronica ke dalam tatapannya. "Karin, wanita itu adalah mantan kekasih tuan Arliando bertahun-tahun yang lalu. Tuan mengakui kalau mengenalnya adalah sebuah kesalahan, karena sampai detik ini wanita gila itu terus mendekatinya meskipun hubungan mereka sudah terputus begitu lama."
Veronica mengerjap, tanpa sadar mulai debaran di dadanya menjadi tenang. "Lalu.. Kenapa dia bilang sebentar lagi Arliando akan menikahinya?"
"Untuk itulah mengapa dia kami sebut wanita gila, nyonya. Dia berimajinasi seakan-akan tuan Arliando masih peduli dengannya. Namun nyonya, anda patut berhati-hati karena dia bisa saja melakukan hal-hal nekat untuk merusak hubungan kalian. Karin termasuk orang yang dapat melakukan apa saja.."
Veronica mengangguk pelan. Ucapan Carol sedikit melegakan hatinya.
"Bersabarlah nyonya, kami akan selalu berada di sampingmu.." Membuat wanita muda itu tersenyum lega. "Terimakasih.."
Brakkk!!Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya."Tuan Arliando kau sudah pul-"Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya."T-tuan..""Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."Pertanyaan yan
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya. "Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras. Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?" Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah." Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau mal
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya. Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Brakkk!!Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya."Tuan Arliando kau sudah pul-"Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya."T-tuan..""Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."Pertanyaan yan
"Veronica..""T-tuan jangan..""Jadilah istriku malam ini, Veronica.."Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar."Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?""Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan m
Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya. Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya. "Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras. Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?" Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah." Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau mal
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit