Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya.
"Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras.
Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?"
Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah."
Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau malah menangis, hah?! Riasanmu bisa rusak!"
"I-ibu aku tidak mau.. Hiks.." Pria itu, pria itu sangatlah mengerikan. Sifatnya buruk dan ia terlihat galak. Veronica takut dengannya, bahkan hanya dengan mengintip pria itu saja dirinya sudah gemetaran. Tapi Marry tidak mengerti. Wanita itu malah kalap dengan emosinya sendiri.
"Apa katamu?"
"A-aku tidak mau menjadi istrinya, ibu.."
"Katakan sekali lagi."
"Hiks.. Aku mohon, ibu.."
"KATAKAN SEKALI LAGI, VERONICA!!" Bentakan kuat itu membuat gadis lemah dihadapannya terlonjak. Marry lalu menjambak kuat rambut anaknya dan dengan kesal berbisik di telinganya. "Dengarkan aku, aku dan Josh menjodohkanmu dengan pria itu bukan hanya ingin memberi anak gadisku ini suami semata, tetapi untuk melunasi hutang-hutangku yang menumpuk karena menghidupimu sampai dewasa!"
Veronica membeku. Ia tak lagi terisak, tapi tetes demi tetes air mata semakin deras mengalir di pipinya. "Kau pasti tidak pernah tau. Tapi Arliando yang sangat baik itu membantu kita mempertahankan rumah ini agar tidak diambil rentenir penagih hutang. Aku tidak bisa membayarnya dengan apapun, jadi satu-satunya harapanku hanyalah dirimu Veronica!"
"......" Gadis itu tak bisa berkata-kata lagi. Kedua mata Marry yang ikut menangis membuat hatinya semakin mencelus, dipenuhi rasa bersalah dan kesedihan terpendam. Betapa besar pengorbanan Marry dan Josh selama ini? Ia sendiri yang menyaksikan bagaimana kedua orangtuanya susah payah bekerja untuk dirinya. Dia tak mau menyusahkan mereka lagi. "Maafkan aku, ibu."
"Sudah, sekarang ayo turun ke bawah. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu," Veronica mengangguk. Sekarang tanpa paksaan mengikuti langkah ibunya menuju ruang tamu.
"......" Veronica sudah berdiri di depan Arliando. Tapi tanpa memandang wajahnya pun Veronica bisa merasakan betapa dinginnya mata itu menatap kearahnya. Gadis itu gemetar.
"Sapa calon suamimu, Veronica." Josh berbisik memerintah pelan. Putrinya dengan patuh menunduk sekejap sembari menggulirkan pandangan pada tuan muda. Sedangkan Arliando Magistra nampak acuh tak acuh melihat gadis di depannya dari atas sampai bawah. Dalam hati ia sedikit mengakui kalau orang yang akan ia jadikan istri itu memang cantik. Tapi tak lebih cantik dari ratusan wanita yang pernah ia tiduri.
"Berapa umurnya?" Pertanyaan itu membuat Veronica mengerjap. Apakah Arliando tidak mengetahui apapun seperti dirinya?
"Dua puluh tahun, tuan." Arliando mengangguk puas. Tak lama lelaki itu nampak memanggil seseorang di belakang. Veronica melihat seorang pria maju bersama sebuah koper besar. Membukanya tepat di depan kedua orang tuanya.
"Astaga!" Marry memekik kaget. Setumpuk uang di dalam koper itu membutakan mata mereka yang tidak pernah melihat uang sebanyak itu. "Apakah itu cukup?"
Veronica mengernyitkan dahi. Apa ini? Kenapa dia memberi orang tua Veronica sejumlah uang yang mungkin saja berjumlah milyaran? "Cukup. Cukup sekali, tuan!"
Marry dan Josh kalut dalam rasa senang, tidak menghiraukan tatapan kebingungan anak angkat mereka. Ayah, ibu, apakah kalian menjualku alih-alih menjodohkanku dengan lelaki itu? Masih larut dalam rasa heran, Arliando mengalihkan perhatiannya. "Sekarang kalian sudah tidak memiliki hak lagi atas wanita ini. Uang itu tiga kali lipat dari yang kalian inginkan, wanita ini sudah jadi milikku sekarang."
"Baik, tuan. Sekarang anda bisa membawa Veronica pulang."
Apa? Veronica tercengang. Tunggu, apakah orang tuanya menjual Veronica? Dia sungguh kebingungan. Bibirnya terbuka ingin bertanya, tapi Arliando sudah dahulu bertindak. Menggenggam lengannya tiba-tiba dan menariknya keluar tanpa sepatah kata. "T-tunggu tuan,"
Alis tajam itu menyatu, pandangannya yang setajam pedang bagai menusuk kedua mata Veronica tepat ke dalam. Wanita itu menelan ludah. "Kenapa anda memberi kedua orangtuaku uang sebanyak itu? A-apakah mereka masih punya hutang dengan rentenir itu?"
Mata Arliando yang sehitam langit malam menatap wanita itu dengan keheranan. Wajahnya yang garang membuat Veronica ketakutan, tapi keganjilan ini harus ia pastikan. Perlahan Arliando melepaskan tangannya. Dengan jengah mendecak sembali berdiri di hadapan Veronica. "Dengar wanita banyak bicara. Aku tidak mengerti dengan rentenir yang kau bicarakan itu,"
Suaranya mengalun begitu dingin di telinga Veronica. Gadis itu menyimak dengan gemetar. "Tapi yang ku lakukan tadi adalah membelimu." Kedua mata itu terbuka lebar. "Kedua orang tuamu menjualmu seperti sebuah barang,"
Kalimat terakhir itu mengiris hati Veronica menjadi berkeping-keping. "A-apa?"
"Itulah yang terjadi. Kalau kau tidak percaya, pergi dan tanyai kedua orang tuamu itu. Aku bahkan tidak peduli kalau kau ingin kembali dan tidak mau ikut denganku." Pria itu terus mengucapkan kalimat jahat dengan raut datar tanpa penyesalan. Veronica berusaha mengabaikannya dan memilih membalikkan badan menuju rumah. Meskipun sakit, tapi ia harus memastikan keganjilan ini sekarang.
Namun baru saja wanita itu berbalik, hatinya kembali mencelus saat melihat pintu rumahnya sudah tertutup begitu rapat. Seakan mengusirnya, Marry dan Josh tidak lagi nampak atau hanya sekedar mengantar kepergiannya. Ia menangis dalam diam. "Pulanglah kembali ke rumahmu kalau kau mau. Mereka menjualmu karena tidak menginginkanmu lagi."
Veronica terisak pelan. Dadanya semakin sesak oleh kalimat yang baru saja diucapkan calon suaminya sendiri. Apakah itu benar? Apakah kedua orang tuanya menjual Veronica karena ia tak lagi diharapkan? Tapi kemana ia akan pergi kini? Barang-barangnya sudah diangkut oleh pengawal Arliando, dan pintu rumah itu tak lagi terbuka sekarang. Veronica tak lagi punya tempat untuk pulang.
Arliando mendengus muak. Wanita itu sangat mendrama dan berlebihan. Bagaimana bisa ia menjadi istri dari seorang Magistra? Veronica begitu lemah untuk dirinya yang kuat dan luar biasa. Jika saja ia tidak membutuhkan keturunan, sudah pasti ia tidak akan mencari seorang istri. Perhatiannya lelaki itu lalu beralih saat Veronica berdiri menghadap dirinya. Berani menatap tanpa rasa takut. "Izinkan aku tinggal denganmu. Aku berjanji akan menjadi istri yang baik, serta ibu yang baik untuk anak-anakmu.."
Sejenak Arliando tidak berucap. Hanya matanya yang terus saja menatap tajam. Tapi segaris senyum yang hampir tak nampak muncul dibibirnya. Diiringi telapak tangan yang menarik lengan Veronica keras. "Bagus. Itu memang tugasmu. Karena asal kau tau, meskipun kau tidak terima, kau tetap akan menjadi milikku."
Bibir tipis itu meringis kesakitan saat Arliando mendorongnya tanpa belas kasih. "Bawa dia, Carol. Kita akan pergi sekarang." Panggilnya pada seseorang sembari memasuki mobil yang sudah terbuka untuknya. Veronica hanya diam dan menatap pria itu dari luar. Sebelum seorang wanita mendekati Veronica sembari berbisik pelan. "Mari ikut denganku, nona."
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya. Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
"Veronica..""T-tuan jangan..""Jadilah istriku malam ini, Veronica.."Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar."Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?""Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan m
Brakkk!!Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya."Tuan Arliando kau sudah pul-"Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya."T-tuan..""Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."Pertanyaan yan
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Brakkk!!Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya."Tuan Arliando kau sudah pul-"Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya."T-tuan..""Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."Pertanyaan yan
"Veronica..""T-tuan jangan..""Jadilah istriku malam ini, Veronica.."Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar."Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?""Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan m
Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya. Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya. "Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras. Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?" Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah." Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau mal
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit