Brakkk!!
Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya.
"Tuan Arliando kau sudah pul-"
Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya.
"T-tuan.."
"Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."
Pertanyaan yang seperti perintah itu membuat Veronica mengerjap, dengan takut-takut ia melirik ke arah kedua mata Arliando. Menyesapi dua iris hitam yang seakan menyedot dirinya dalam-dalam. Melihat wanita itu hanya terdiam, Arliando menggeram. Lalu melepaskan kedua lengan Veronica saat ia mendesis pelan.
"....." Wanita itu terisak pelan. Menatap sang suami bagaikan seorang penjahat. Niatnya hanya ingin menyambut lelaki itu seperti istri lainnya, namun tanpa disangka ia malah mendapatkan perlakuan kasar. Tidak ada maaf yang terucap, Arliando masih saja memandangnya dengan tatapan tajam. Dengan menyusun sedikit keberanian, Veronica mengangkat wajahnya. "Apa kau baik-baik, saja?"
Harusnya Arliando yang menanyakan itu, namun sepertinya ia tak memiliki cukup simpati untuk mengucapkannya. Pria itu tidak menjawab dan malah mendengus. Kedua mata lebar wanita dihadapannya yang memerah itu membuatnya sedikit frustasi. Tanpa berucap Arliando tiba-tiba meraih kembali lengan Veronica. Menariknya ke arah pintu keluar.
"Tuan kita mau kemana?"
"...." Tidak ada jawaban. Semua orang bingung seperti Veronica kini. Wanita itu terus bertanya tanpa henti. Sampai akhirnya pintu mobil dibuka, Veronica tidak mau menggerakkan badannya sedikitpun. "Tuan, kau akan membawaku kemana? Ini sudah tengah malam-"
"Diam, dan jangan membantah!" Dengan tubuhnya yang besar, satu kali hentakan Veronica sudah terduduk di dalam mobil. Seakan mengerti para pengawal dengan cepat memasuki mobil masing-masing.
Veronica tidak mengerti, sama sekali. Ia hanya bisa terduduk kebingungan di tempatnya sementara Arliando menyetir tanpa suara. Pria itu terlihat tidak bereskpresi dan memasang wajah keras, membawanya masuk ke dalam kota yang gemerlap. Sebenarnya dia mau membawaku kemana?
Veronica melirik ke belakang, para pengawal Arliando bagai menyatu dengan mobil-mobil lainnya di jalanan. Sedangkan ia direnggut rasa khawatir meskipun kini bersanding bersama sang suami. Hal yang sebenarnya ia inginkan semenjak mereka bertemu, namun sepertinya lelaki itu masih belum dapat diajak bicara. Amarahnya belum reda, dan kini dia masih berkendara.
Satu jam terlewati, karena tegang Veronica tidak dapat memejamkan mata sehingga dia sadar mereka telah berhenti. Namun ia tidak tahu tempat apa yang akan Arliando datangi sekarang, gedung di hadapan mereka nampak gelap tanpa adanya cahaya. Tentu saja, jam besar yang terpampang di kepala gedung itu menunjukkan pukul dua malam. Veronica hanya bisa berdiri sembari memperhatikan Arliando menelfon seseorang. Sampai akhirnya ia menutup smartphonenya, Veronica terlonjak kala lampu gedung tersebut tiba-tiba menyala serentak. Memenuhi gelapnya malam dengan lampion-lampion cantik yang menggantung di luar bangunan.
"I-ini.." Wanita berambut pirang itu tergagu. Matanya bersinar melihat gemerlap cahaya lembut yang terpantul dari sana. Matanya tidak mengedip melihat barisan manekin yang terpampang di balik kaca. Lengkap dengan baju-baju indah yang melekat di badan boneka. Tidak menunggu keterkejutan Veronica berhenti, Arliando menarik lengan kecil itu dan membawanya masuk ke dalam butik.
"Selamat datang, tuan Magistra." Keith menyapa pria itu dengan gemetar. Ia sudah menutup butiknya sejak empat jam yang lalu, telfon tiba-tiba dari klien paling penting miliknya itu seketika membuatnya terbangun dari tidur seperti diberi sengatan kejut. Dia hanya berharap polesan bedak dan lipstik di bibirnya tidak berantakan karena dipakai cepat-cepat tadi. "Apa yang bisa aku lakukan untuk anda?"
Magistra hanya diam saja. Dagunya menunjuk ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. Sebentar kedua alis Keith mengernyit, dia belum pernah melihat wanita ini. Atau lebih tepatnya dia belum pernah melihat Arliando datang bersama orang lain, selain para bodyguard berbadan kekar di sekelilingnya. Dan juga wanita bernama Karin, tentu saja. Wanita itu sudah tidak terlihat sejak lama.
Melihat kebingungan pria gemulai dihadapannya, Veronica menurunkan sedikit tubuhnya. Memberikan sapa seperti yang sudah diajarkan Elisa. "Salam kenal, tuan. Aku Veronica Madeline, istri dari tuan Arliando Magistra."
"..." Keith terkesiap, menutup bibirnya tanpa sadar dengan telapak tangannya. Dia istri Magistra? Jadi dia wanita yang mengenakan gaun pernikahan yang ia design kemarin? "Astaga, maafkan aku tidak mengenalimu, nyonya. Senang sekali dapat bertemu dengan anda, aku Keith Selendra. Salah satu penata busana tuan Magistra. Orang yang juga sudah merancang gaun pernikahan anda."
Veronica mengangguk sembari tersenyum manis. Sepertinya memang Arliando tidak memberitahukan kepada siapapun tentang dirinya dan pernikahannya. Saat ia menoleh ke arah suaminya, lelaki itu hanya diam sambil bersedekap dada. Lalu melirik Keith dengan dirinya dengan ekor mata. "Urus wanita ini. Berikan semua yang cocok padanya," Kemudian berjalan meninggalkan mereka tanpa berkata-kata lagi.
Keith melirik Veronica. Wanita itu nampak memandangi suaminya dengan raut keheranan. Akhirnya Keith meraih perhatian wanita itu dengan meraih bahunya. "Mari, nyonya. Biarkan aku mendadanimu dengan gaun-gaun dan pakaian yang cantik seperti dirimu."
Barisan gaun dan pakaian dengan banyak jenis berjajar apik di dalam bingkai kaca. Mata indah Veronica tak dapat berpaling dari banyaknya model yang terpampang di depan dirinya. "Apa anda yang merancang semua ini?"
"Hm?" Keith tergagu, sebelum mengangguk mengiyakan. "Ah, Benar, nyonya. Aku yang merancang semua gaun dan pakaian ini. Semuanya aku rancang dengan penuh cinta dan kehati-hatian agar dapat dikenakan oleh kalian dengan nyaman dan cantik."
"Kau berbakat sekali, tuan Keith.." Senyuman wanita itu tertuang tulus di depan wajahnya. Keith merasa begitu tersentuh dan terharu, tidak ada kalangan atas yang pernah memujinya seperti itu. Nyonya muda ini sangat baik. "Aww, terimakasih nyonya. Aku sangat bahagia mendengarnya.."
Keith menyandingkan satu persatu gaun terbaik yang ia miliki, memakaikannya pada tubuh Veronica yang ramping. "Tahukah anda nyonya Veronica?"
Veronica mengerjap, kemudian menghadap Keith yang tengah sibuk memasangkan tali pada punggung gaun yang ia kenakan. "Tuan Arliando tidak pernah sampai bersikap seperti ini pada siapapun selama aku mengenal dia." Wanita itu terdiam, masih belum mengerti. "Terakhir kali dia mengantarkan seseorang kesini adalah Karin. Dan itupun karena wanita itu memintanya sendiri, bukan karena kemauan tuan."
Karin, wania itu masih menjadi pertanyaan besar baginya. Dia ingin mengetahuinya langsung dari Arliando. "Apakah hubungan mereka berlangsung lama?" Keith terhenti sekejap dari aktivitasnya, dia menduga kalau Arliando belum mengatakan soal Karin pada istrinya. Jadi dia akan memberitahu sedikit, "Benar, nyonya. Dia sepertinya tidak peduli dengan wanita, dan hanya akan menuruti keinginan mereka saja. Tapi baru kali ini, aku melihat ia berjalan membawa seorang perempuan di genggamannya." Apakah Karin tidak pernah diperlakukan seperti itu? Veronica penasaran sekali.
"Biar kutebak, tuan Arliando yang mengajak anda kemari?" Senyuman itu terlukis saat Veronica mengangguk pelan. Keith seperti menyembunyikan sesuatu di pikirannya. "Kalau begitu anda beruntung, nyonya. Tuan muda melakukan itu kepada seseorang untuk yang pertama kalinya."
Usai berbelanja, Arliando membawa Veronica pulang ke rumah. Jangan membayangkan akan adanya kata maaf karena menakut-nakuti istrinya tadi. Pri itu segera menjatuhka diri di ranjang dan tidur bagai orang mati. Sedangkan tubuh ramping wanita muda yang siap dengan gaun tidurnya itu mendekat perlahan ke arah Arliando. Menatap pria itu lekat-lekat. Alisnya yang tajam, serta bulu mata yang lentik. Siapa yang akan mengira kelopak mata halus itu memiliki mata setajam elang di dalamnya? Veronica bergidik ngeri membayangkan bagaimana Arliando menatapnya beberapa jam lalu. Iapun memilih bertelentang dan menumpukkan pandangan ke depan. Menatap baris gaun pesta, jaket, kaos pendek, serta pakaian-pakaian lain yang baru saja Keith berikan padanya. Dia tidak ingin membeli, tapi pria itu bilang Arliando akan membunuhnya kalau sampai Veronica tidak membawa sesuatu saat keluar dari sana.
Omong-omong soal Keith, Veronica teringat ucapan pria itu tentang Arliando. Beruntung ya.. Veronica tidak yakin akan itu. Apakah menjadi milik pria dingin dan begitu kasar ini bisa disebut beruntung? Pria itu bahkan langsung berbaring tanpa menatapnya sama sekali di atas ranjang kini. Namun meskipun begitu, Veronica senang mengetahui fakta yang dikatakan Keith. Jika memang berkat dirinya Arliando bisa berubah, ia akan berdoa ribuan kali untuk itu. Veronica mengatupkan tangannya di depan dada, memejamkan mata sebentar sembari berdoa sebelum kembali menghadap ke arah sang suami yang tertidur pulas.
'Selamat tidur, Veronica.'
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya. "Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras. Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?" Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah." Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau mal
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya. Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
"Veronica..""T-tuan jangan..""Jadilah istriku malam ini, Veronica.."Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar."Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?""Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan m
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Brakkk!!Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya."Tuan Arliando kau sudah pul-"Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya."T-tuan..""Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."Pertanyaan yan
"Veronica..""T-tuan jangan..""Jadilah istriku malam ini, Veronica.."Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar."Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?""Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan m
Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya. Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya. "Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras. Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?" Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah." Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau mal
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit