Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya.
Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
Tanpa menunggu lama, pendeta segera membantu mereka mengucapkan janji suci masing-masing. Hingga tiba giliran Veronica, gadis itu malah terdiam dengan tangan gemetar. Apakah benar ini adalah pernikahannya? Dengan lelaki dingin yang bahkan kini hanya menatapnya datar tanpa minat. Dia gelisah, pernikahan adalah sesuatu yang terjadi sekali seumur hidup. Dan lelaki ini akan bersanding bersamanya sampai tua nanti. Melihat Veronica terdiam, Arliando mendecih kesal. "Cepat ucapkan janjimu, Veronica. Aku tidak punya banyak waktu."
Para pelayan tanpa sadar menutup mata, tidak tega melihat ekspresi terkejut nona mereka. Di hari yang bahagia, calon suaminya sendiri malah tidak menyediakan cukup waktu untuk pengantinnya. Dengan menahan air mata Veronica berbisik pelan. "Aku, Veronica Madeline, menyatakan bersedia menjalani pernikahan sehidup semati bersama Arliando Magistra dan bersedia menemaninya hingga ajal merenggut nyawa."
"Sekarang kedua pengantin bisa saling berciuman." Veronica menegup ludah. Arliando menatapnya dalam hingga mau tak mau membuat wanita itu terpejam karena gugup. Cup. Kecupan pada bibirnya itu tak pelak membuat Veronica terkejut. Ini adalah first kissnya. Perlahan gadis itu membuka mata, melihat bagaimana reaksi lelaki yang kini telah resmi menjadi suaminya. Mata setajam elang itu menatapnya lekat hingga membuat jantung Veronica berpacu tak karuan. Dengan canggung Veronica menggenggam bahu Arliando berusaha agar dapat merasakan suasana hangat ini. Namun Arliando malah melepaskan genggaman tangannya. "Sudah selesai kan?"
Pendeta kebingungan, dengan kikuk menjawab, "Eh, sudah tuan. Sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri."
"Bagus. Sekarang aku akan pergi, ada urusan yang belum ku selesaikan." Apa ini? Kenapa Arliando bersikap seperti ini? Pendeta bingung dengan pasangan yang baru ia nikahkan. Sedangkan Veronica menahan kuat tangan lelaki itu sebelum melangkah menjauhinya. "K-kau mau kemana?" Pandangan dingin dihadiahi ke wanita itu. Veronica melepas lengannya dengan takut. Lalu tanpa bicara lagi Arliando meninggalkan altar pernikahan dan keluar dari sana. Membuat para hadirin terdiam.
Carol yang menangkap raut bingung Veronica hanya bisa memperhatikan bagaimana tuan muda mereka mencampakkan wanita yang baru saja menjadi istrinya. "Maafkan aku nyonya, tuan muda memang sedikit sibuk dengan pekerjaannya. Semoga anda dapat mengerti." Veronica terdiam. "Beristirahatlah di kamar utama dan tolong jangan menunggu tuan."
Malam ini adalah malam pertama mereka. Malam yang harusnya menjadi saksi janji mereka hari ini. Tapi kenapa lelaki itu malah pergi? "Tidak Carol, aku.. Aku akan menunggunya.."
Detik demi detik jarum jam menemaninya Veronica. Wanita itu meringkuk di atas ranjang lebar milik Arliando Magistra. Nuansa kamar yang gelap kontras dengan gaun tidur putih yang ia kenakan. Tubuhnya sebenarnya gemetar. Ini kali pertama dia membuka diri kepada lelaki selain dari ayahnya. Ia masih takut untuk disentuh, tapi sekarang ia punya kewajiban sebagai istri yang harus melayani suaminya.
Larut dalam pemandangan bulan purnama di luar jendela besar, Veronica memejamkan mata. Sebelum sebuah gerakan terasa pada sisi kasur dibelakangnya. "T-tuan!" Arliando mengernyit saat wanita itu mendadak bangun dan menatapnya lebar. "Kenapa? Apa aku hantu?"
"T-tidak, a-aku hanya terkejut.." Wanita itu terduduk menatapnya. Balutan gaun tipis yang dikenakan Veronica terlihat pas ditubuh wanita itu. Sayangnya Arliando tidak bisa menyentuhnya sekarang.. Sedangkan Veronica masih tetap membeku dengan keringat dingin bercucuran di tempat. Matanya tak bisa pergi dari Arliando yang sedang mencopot dasi serta jas di sisi ranjang. "Kenapa?"
Veronica tidak menjawab. Ia menimang-nimang keputusan yang ada di kepalanya, meneguk ludah susah payah sebelum perlahan menghampiri sang suami meski harus menahan takut bukan main. Ya, dia harus bertindak dengan menjadi pendamping yang baik. Untuk itulah Arliando membawanya kemari. "B-biarkan aku membantumu.." Namun tangan kecil itu ditahan dengan kasar. Veronica menatap kedua mata Arliando yang memandang tajam. "Apa yang mau kau lakukan?"
"A... Aku.."
"Jangan berharap aku akan menyentuhmu sekarang. Lebih baik kau pergi ke kamarmu sendiri daripada kau kemari hanya karena ingin menggangguku." Kemudian dilepas hingga Veronica meringis pelan.
Wajah cantiknya memandang nanar. Apa yang baru saja suaminya katakan? Padahal dia hanya ingin menjadi istri yang baik - meskipun ia baru mencoba. "Ma-maaf.." Arliando menatapnya singkat. Wanita itu sepertinya tahan dengan apa yang ia ucapkan, tidak keluar dari kamar dan masih duduk disana. Ia mendengus samar, memilih berbaring dan tidak menghiraukan Veronica.
Apa dia tidak cukup menarik bagi Arliando? Ia ingin menjadi istri yang baik untuknya. Uang itu, uang yang tidak sedikit diberikan kepada orang tuanya tidak mungkin hanya untuk main-main belaka. Lelaki itu pasti melakukannya agar Veronica bisa membuatnya senang. Tapi yang terjadi kini alih-alih menerkam, Arliando sudah mendengkur pelan di sampingnya. Membuat Veronica sedikit kecewa, namun juga bernafas lega. Jujur, dia masih canggung sekarang. Dia masih perlu waktu untuk membuka dirinya untuk sang tuan muda. Bagaimanapun mereka belum mengenal satu sama lain sama sekali. Arliando begitu misterius dan susah untuk ditebak. Perlahan ia membaringkan diri menghadap suaminya. Merenungi wajah tampan itu dari samping hingga tanpa sadar ikut tidur terlelap.
"Veronica..""T-tuan jangan..""Jadilah istriku malam ini, Veronica.."Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar."Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?""Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan m
Brakkk!!Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya."Tuan Arliando kau sudah pul-"Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya."T-tuan..""Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."Pertanyaan yan
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya. "Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras. Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?" Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah." Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau mal
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Suara langkah kaki membuat nona muda itu kembali menyelip diantara tembok besar. Menghindari satu persatu bodyguard yang tengah berjaga di sekitar area. Setelan gaun santai berwarna merah muda itu sebenarnya sangat kontras dengan warna-warna pakaian orang lain disana, andaikan mereka dapat melihat seseorang yang tengah bersembunyi itu. Untungnya badan Veronica begitu ramping sehingga ia dapat berkamuflase di balik tiang-tiang yang tinggi."Siapa saja yang akan menghadiri pertemuan?"Gema suara terdengar disusul dengan derap yang perlahan menampakkan kumpulan orang. Veronica kembali berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya, mengintip sosok yang menjadi incaran utama. Arliando disana, tengah berjalan bersama para pengawal."Selain dari Baron, beberapa kalangan dari Tagran juga akan datang dalam pertemuan, tuan."Kakinya yang jenjang itu terlihat semakin mendekat padanya. Untung saja dia tidak menyadari sosok tubuh kecil Veronica hingga akhirnya perempuan it
Pagi buta Veronica sudah terjaga. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya pada Arliando mengenai kehidupannya. Setidaknya dia ingin menemani suaminya itu mengenakan dasi atau melihatnya pergi kerja kali ini. Arliando membuka perlahan kelopak matanya, tersentak saat perempuan di sampingnya sudah duduk sembari melihatnya dengan mata bulat. "Kenapa kau sudah bangun?""Ah, aku.. uhmm.." Tidak mungkinkan Veronica bilang ingin mengintrogasi lelaki itu? "Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi."Mata Veronica terlihat memerah, sepertinya wanita itu memang tidak tertidur dengan lelap. "Dari jam berapa?""Jam tiga lalu.."Sekarang sudah pukul lima pagi. Berarti sudah dua jam wanita itu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Tidurlah lagi," Arliando bangkit tanpa tambahan kata apapun sembari berjalan ke arah kamar mandi. Veronica membungkam bibirnya lagi, ingin berucap tapi pintu terlanjur di tutup dari dalam."Humm.." Wanita itu menguap l
Brakkk!!Malam ini tuan muda pulang dalam keadaan lain dari biasanya. Para pengawal tidak berani mendekati Arliando karena emosinya yang meluap-luap. Pintu mobil ditutup keras, langkah lelaki itu menghentak ketika memasuki Villa. Sedangkan Veronica nampak sudah siap menyambut tanpa menyadari adanya bahaya."Tuan Arliando kau sudah pul-"Tanpa adanya pelukan hangat, pria itu malah dengan cepat meraih lengan kecil Veronica. Tangannya yang kuat menarik wanita itu dan menghadapkannya ke depan wajahnya. Veronica meringis pelan, kedua lengannya terkunci di atas kepala membuatnya tak bisa bergerak. Sedangkan para pelayan dan bodyguard yang berdiri disana tak kuasa membantu dan hanya berani melihat tuan mereka menyiksa nyonya."T-tuan..""Katakan padaku." Suara itu menyapa telinga Veronica bagai es yang dingin. Veronica memejam ketakutan saat pria itu berbisik begitu dekat di depan wajahnya. "Apa yang Karin lalukan padamu siang tadi."Pertanyaan yan
"Veronica..""T-tuan jangan..""Jadilah istriku malam ini, Veronica.."Kelopak mata cantik itu mengerjap. Terbuka tiba-tiba. Veronica dengan segera mendudukkan diri sembari memeriksa tubuhnya sendiri. Malam tadi ia bermimpi sesuatu yang memalukan hingga membuat pipinya bersemu kemerahan. Meskipun mimpinya bersama lelaki yang sudah menjadi suaminya kini, bagaimanapun dia masih malu untuk melakukannya. Namun saat ia menatap sekeliling, ia tak menemukan sosok itu. "Arliand.." Perlahan ia menjejakkan kaki turun dari ranjang. Berjalan pelan keluar kamar."Anda sudah bangun, nyonya." Elisa menyapa bersama para pelayan lainnya. Nampaknya dia menunggu ia bangun sedari tadi. "Uhumm.." Dibalas anggukan. Dia sedikit canggung saat dipanggil nyonya, walaupun nyatanya dia sudah resmi menjadi nyonya di villa besar ini. "Elisa, apakah kau tau kemana Arliando pergi?""Tuan muda pergi keluar dini hari tadi, nyonya. Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu kemana tuan m
Malam hari yang telah tiba membuat degub jantung Veronica semakin bertalu-talu. Ia berjalan menuruni tangga seperti seorang putri raja bersama para pelayan yang setia memegangi gaun panjangnya. Dia cantik, sekali. Tapi bagaimana dengan pangerannya? Sampai di altar pernikahan pun dia tidak dapat menemukan kehadiran lelaki itu. "Tuan Arliando kemana?" Pertanyaan itu hanya mengalun di udara tanpa bisa dijawab oleh pelayan-pelayan disana. Mereka juga tidak mengetahuinya. Jam terus berdentang hingga hampir jam sepuluh malam. Para pelayan yang melihat nona mereka berdiri menjadi kasihan. Wanita itu hanya ditemani pendeta yang juga menunggu di sampingnya. Ruangan yang lebar dan sunyi ini menjadi saksi betapa sabarnya Veronica berdiri menunggu calon suaminya. Beruntung beberapa menit kemudian Arliando muncul di pintu utama. Sayangnya tanpa adanya jas pernikahan atau hanya sekedar setangkai bunga. Lelaki itu berjalan ke depan pendeta dengan raut dingin di wajahnya.
Veronica terdiam sepanjang perjalanan. Mimpi bahwa ia akan dijemput oleh pangeran berkuda pupuslah sudah. Yang terjadi kini ia duduk sendiri di kursi tengah mobil, hanya bertiga bersama Carol dan supir alih-alih duduk bersanding bersama calon suami. Jangankan obrolan ringan, tatap matanya itu selalu menusuk ke dalam hatinya."Nona Veronica?" Panggilan seseorang membuat perempuan itu terbangun dari lamunan. Dipandangnya Carol yang ternyata sudah memanggilnya beberapa kali tadi. "Kita sudah sampai." Ucapnya.Veronica menghapus bekas air mata di pipinya kemudian mengintip ke luar jendela. Di depan sana, terdapat pagar raksasa yang menjulang tinggi bagaikan sebuah benteng perlindungan. Tidak ada yang bisa dilihat dari luar sebelum akhirnya gerbang ganda besar dibuka perlahan. Kedua mata cantik Veronica tidak bisa berkedip menyaksikan bangunan megah yang berdiri di tengah luasnya halaman. Sungguh lebarnya taman berkali lipat dari Padang rumput di desanya. Belum berhenti ia
Veronica diam termenung, memikirkan bayangan sang pangeran yang ternyata begitu diluar perkiraan. Namun bulir air mata yang tak sengaja menetes itu dengan segera ia hapus saat sang ibu memasuki kamarnya. "Ayo, Veronica. Calon suamimu sudah tidak sabar ingin bertemu." Tangan itu menariknya sedikit keras. Tapi kedua kaki Veronica tidak mau berjalan. "Ibu.." Panggilan itu membuat Marry mengerutkan alisnya. Veronica menatap takut sembari mulai berbicara. "A-apakah dia lelaki yang akan ibu jodohkan padaku?" Oh, ternyata tikus kecil ini sudah melihatnya? "Iya, benar. Tampan bukan? Dia sangat cocok denganmu yang cantik jelita ini." Marry berkata dengan wajah seperti marah sekali. "Jangan banyak bertanya, ayo ikut aku keluar sekarang. Dia bisa marah besar jika kita tidak mematuhi perintah." Tapi lagi-lagi Veronica tidak mau berjalan. Gadis itu malah menunduk dengan air mata berlinang. "Kenapa kau mal
Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup."Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir m
Taman bermain itu penuh dengan anak-anak. Namun diantara mereka ada satu gadis cilik berparas manis berlarian kesana-kemari bagai kupu-kupu yang sangat indah. Dia adalah Veronica Madeline, bocah berusia 8 tahun yang hidup tanpa kedua orang tua sejak ia hadir ke dunia. Begitu pula anak-anak lainnya, kebanyakan dari mereka bernasib sama. Meski begitu, Veronica hidup bahagia di panti asuhan bersama dengan bimbingan suster suster dari gereja yang merawat mereka."Veronica," Panggilan pelan terdengar dari teras panti asuhan. Gadis itu melongok dengan penasaran, kemudian segera mendekat saat suster Helena melambaikan tangan padanya. "Ada apa suster?" Mata bulat itu tanpa sadar membuat Helena berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kesempatan ini akhirnya hadir pada salah satu anak asuh kesayangannya."Veronica, ada yang ingin bertemu denganmu." Veronica melihat Helena dengan tatapan penasaran, tak lama dua orang lelaki dan perempuan mendatangi mereka. Veronica nampak sedikit