-Madrid, Spanyol-
“Selamat pagi, Mr. Alejandro.” Beberapa karyawan yang berlalu lalang, sontak berhenti berjalan dan menundukkan kepalanya pada pria tampan yang terlihat memasuki sebuah gedung besar bertuliskan NOWZ COMPANY. Namun, bibir Alejandro tetap terkunci dengan rapat, bahkan tatapannya lurus ke depan, seakan tidak ada makhluk lain selain dirinya, sampai sambutan datang dari sekretarisnya. “Selamat pagi, Mr. Alejandro,” ucap Estelle Xaviera. Tak seperti sebelumnya, kali ini Alejandro melirik Xaviera, sebelum akhirnya memasuki ruangan pribadinya dan diikuti oleh Xaviera. “Permisi, Mr. maaf mengganggu. Saya datang untuk membacakan jadwal Mr. hari ini,” ujarnya penuh hormat. Alejandro menatap Xaviera, matanya yang tajam mencerminkan otaknya yang selalu bekerja, menganalisis setiap detail. Walaupun dingin, dia menghargai efisiensi dan dedikasi Xaviera dalam pekerjaan. “Pagi ini Mr. ada pertemuan dengan desainer, siang nanti makan siang bersama direktur utama dari perusahaan GOPS CORPORATE, dan sore nanti ada rapat dengan para kolega yang akan datang ke sini.” Xaviera berucap dengan suara yang jelas dan profesional. Xaviera berhenti sejenak, menyesuaikan kacamata yang terletak di hidungnya yang kecil, namun mancung. Di sisi lain, Alejandro, dengan dagu bertopang di tangan, mendengarkan sambil matanya yang tajam tidak pernah berpaling dari Xaviera, sosok wanita cantik, bertubuh langsung dan tinggi semampai itu. Seolah-olah dia sedang mencoba membaca lebih dari apa yang diucapkan. Setelah Xaviera menyelesaikan membacakan jadwal dari pagi hingga sore, ia melanjutkan, “Dan malam nanti ada undangan dinner dari nona Isabel di hotel Hogriz,” kata Xaviera, sebelum terhenti oleh suara tegas Alejandro. “Tolak dinner malam nanti!” perintah Alejandro dingin--memecah kesunyian ruangan. “Baik, Mr.” Xaviera, yang sudah mengenal kebiasaan dan nada bosnya, mengangguk tanpa perlu bertanya lebih lanjut. Alejandro mengalihkan pandangannya ke jendela, membiarkan sinar matahari mengilhami pikirannya, sementara Xaviera mencatat perubahan jadwal dengan rapi. “Para desainer sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu, perlengkapannya juga sudah saya siapkan. Mari, Mr.” Xaviera memundurkan langkahnya, mengajak Alejandro untuk memulai kegiatan hari ini. Alejandro lantas bangkit, memasang kembali kancing jas hitamnya yang sempat ia lepaskan, lalu berjalan keluar dari ruangannya bersama dengan Xaviera yang mengikutinya di belakang. Sayangnya, Alejandro tampak tidak puas dengan penjelasan 5 desainer di hadapannya itu! “Bagaimana efisiensi energi dari desain ini?” tanyanya. “Kami telah melakukan simulasi, dan hasilnya menunjukkan peningkatan 20% dalam efisiensi bahan bakar dibanding model sebelumnya. Sistem ini akan meningkatkan kenyamanan berkendara, terutama di medan yang tidak rata,” terangnya dengan penuh antusias. Alejandro merentangkan tangannya, meminta model itu agar didekatkan. “Apa sudah diuji coba dalam kondisi nyata?” “Belum, Mr. tapi kami berencana untuk melakukan itu segera setelah mendapat persetujuan dari rapat ini,” jawab desainer itu, raut wajahnya mencerminkan harapan. Sayangnya, semakin lama, raut wajah Alejandro berubah menjadi tidak puas. Brak! Alejandro bangkit dari kursinya, menggebrak meja hingga alat tulis dan dokumen berserakan. “Tidak ada inovasi! Dan kalian menyebut diri kalian desainer? Saya butuh tim yang bisa bekerja lebih baik, bukan medioker seperti kalian.” “Kalian semua dipecat. Keluar dari ruangan ini, sekarang juga!” titahnya lagi. Wajah para desainer tersebut seketika berubah semakin pucat dan terkejut. Mereka semua memandang tak percaya Alejandro yang baru saja mengeluarkan kata-kata keramat seperti itu. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan kami, Mr. Tolong jangan pecat kami. Kami janji akan memperbaiki rancangan tersebut agar menjadi lebih bagus lagi.” Salah seorang desainer mencoba untuk bernegosiasi. Bukannya jawaban, yang Alejandro lakukan adalah mengambil model 3D mobil dan melemparkannya ke layar LED. Suara benda yang hancur, membuat ruangan semakin gaduh. “Kalian pergi sekarang atau bernasib sama dengan benda itu?” ancam Alejandro sambil menunjuk kursi yang sudah tak berbentuk. Tanpa ada bantahan lagi, para desainer tersebut berjalan dengan gontai. Ya, begitulah Alejandro--pemimpin yang tegas dan tidak ragu dalam mengambil keputusan, meski terkadang terlalu impulsif dan keras. Sementara itu, di sudut ruangan, ada Xaviera. Wanita berusia 28 tahun itu tak hanya mendengar, namun juga menyaksikan langsung keributan yang terjadi. Meski demikian, Xaviera tetap tenang, seolah menunjukkan bahwa dirinya sudah biasa menghadapi situasi seperti itu. Setelah memastikan Alejandro bisa didekati, barulah Xaviera membawa air untuk sang bos yang sangat tempramen. “Mr. Alejandro, silakan minumannya!” ujar Xaviera, setelahnya memundurkan kakinya dua langkah, membiarkan Alejandro duduk, lalu menenggak minumannya hingga tak tersisa. “Bertahun-tahun bekerja masih tidak becus. Manusia idiot.” Nyatanya, kemarahan Alejandro belum selesai sepenuhnya. Pria itu kembali mengumpat. Lagi-lagi, Xaviera memilih diam dan tetap menegakkan tubuhnya, meski dalam hati Xaviera mengakui ia takut. Ketika mendapati Alejandro menoleh ke arahnya, buru-buru Xaviera membuka buku catatannya. “Segera, saya akan mencarikan desiainer baru yang lebih bagus dan efisien,” ujar Xaviera yang seolah sangat tahu keinginan Alejandro, meski bosnya itu tidak berucap. Tak ada jawaban ataupun gerakan kepala dari Alejandro. Meski begitu, Xaviera sangat tahu bosnya itu setuju dengan ucapannya. Ia pun kembali bekerja seperti biasa, sampai seorang wanita melangkah penuh percaya diri dengan kakinya yang terbalut heels merah senada dengan pewarna bibirnya. Xaviera, yang sebelumnya sibuk dengan pekerjaannya, fokusnya langsung teralihkan ketika wanita yang ia kenali sebagai salah satu partner Alejandro. “Maaf, Nona. Apa Anda belum membuat janji temu dengan Mr. Alejandro?” ujar Xaviera. “Oh, jadi kau adalah sekertaris Alejandro?” “Kau tahu aku siapa?” tanya wanita berambut pirang itu sinis. “Tahu, Nona. Anda adalah Nona Isabel, putri dari—” Belum sempat Xaviera menyelesaikan kalimatnya, Isabel sudah lebih dulu mengangkat tangannya, sehingga mau tak mau Xaviera berhenti berbicara. “Aku adalah putri dari Roberto, pemegang saham tertinggi di perusahaan ini, sekaligus sahabat terdekat Alejandro. Kau tahu posisiku dan kau dengan beraninya menahanku?” Setelah berbicara, Isabel tertawa mengejek. Matanya memandang Xaviera dari atas sampai bawah, dan terhenti tepat pada wajah Xaviera yang sedang tersenyum. “Kau hanya sekertaris, berani sekali dirimu menolak undangan dinner dariku untuk Alejandro,” imbuh Isabel, membuat Xaviera mengangkat kedua alisnya tanda terkejut.“Maaf, Nona. Bukan bermaksud lancang, hanya saja, persepsi Nona salah besar. Saya melakukan penolakan itu atas dasar perintah Mr. Alejandro. Jika bukan karena permintaan Mr. Alejandro, saya tidak akan berani melakukannya.” Xaviera, dengan sikap tenangnya menghadapi Isabel. “Yang dikatakan sekertarisku memang benar.” Suara berat Alejandro yang tiba-tiba saja menyahut, mengalihkan atensi Xaviera dan Isabel. Pria dengan rahang tegasnya yang ditumbuhi bulu halus dan rambut hitam pekat itu melangkah melewati pintu ruangannya dan berdiri di hadapan kedua wanita tersebut. Xaviera menundukkan kepalanya. Tak ingin mengganggu kedua orang itu, segera saja Xaviera duduk kembali di kursinya dan menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. “Kenapa menolak undanganku? Padahal aku sangat merindukanmu. Sudah empat tahun kita tidak bertemu, apa kau tidak merindukanku juga?” Suara Isabel terdengar merdu dan manja saat bertanya pada Alejandro, jelas sangat berbeda dengan Xaviera sebelumnya. “Tidak ada
Setelah pekerjaannya selesai, Alejandro pun menemui Isabel--mau tak mau menuruti permintaan wanita itu. Keduanya berhadapan di sebuah meja makan yang elegan dan romantis. Meski demikian cahaya lilin redup yang memberikan kesan hangat itu tidak mampu meruntuhkan sosok dingin Alejandro. Isabel mencoba menghidupkan percakapan dengan mengalirkan cerita tentang peristiwa masa kecil yang pernah mereka lalui bersama, mulai dari petualangan kecil di sungai dekat rumah hingga kisah lucu saat mereka berdua tersesat, lepas dari pengawasan orang tua masing-masing. “Masih ingatkah kau saat kita berdua mencoba naik ke pohon tertinggi di taman belakang rumahmu?” tanya Isabel dengan nada riang, seraya tersenyum lebar. “Hemm.” Alejandro, yang tampak tidak berubah ekspresi, hanya berdehem sebagai jawaban. Ia menyeruput anggur merahnya dan menatap ke arah lain, seolah mencari sesuatu yang lebih menarik daripada percakapan saat ini. “Tentu saja kau ingat. Saat itu usiamu sudah 11 tahun, sementa
Alejandro duduk di sebuah tempat yang sepi, dengan mata yang tajam menatap pria di depannya yang terlihat gugup. “Cukup! Hanya ini yang kuperlukan,” ucap Alejandro tegas. “Pergilah!” titah Alejandro seraya menyerahkan segepok uang yang membuat mata pria itu berbinar sejenak, sebelum berubah menjadi kecewa saat diusir begitu saja. Setelah pria itu pergi, Alejandro dengan cepat membuka map tebal berisi dokumen-dokumen yang baru saja dia terima. Jari-jarinya yang panjang mengelus lembar demi lembar, matanya menyelami setiap kata yang tertulis tentang Delgado. Setiap laporan, foto, dan catatan kecil tentang pria yang menghantui pikirannya itu ditelitinya dengan seksama. Akhirnya, Alejandro menemukan halaman yang menarik perhatiannya. Sebuah foto lama yang memperlihatkan Delgado dan Xaviera, tertawa bersama di sebuah acara sekolah. Mereka tampak muda dan ceria. Di sudut halaman, tertulis catatan bahwa mereka berdua adalah teman baik selama masa sekolah. Ya, dokumen yang baru saja Aleja
Matahari masih terik, sementara Alejandro terlihat baru saja tiba di hunian mewah dan megahnya. Begitu mobil hitam Alejandro terparkir di halaman luasnya, seorang pria dengan sigap berlari mendekat dan membuka pintu mobilnya. “Selamat malam, Mr. Alejandro.” Pria yang merupakan salah satu pelayan itu, menyapa dengan sopan, meski tahu tak akan mendapatkan balasan serupa dari sang tuan. Alejandro melangkah memasuki bangunan tersebut dengan langkah besar sambil melepaskan kancing jasnya. Begitu melewati pintu utama, Alejandro melemparkan begitu saja jas yang dipakainya sejak pagi, dan langsung digapai oleh seorang wanita yang juga merupakan pelayan. “Selamat malam, Mr. Alejandro. Makan malam akan saya siapkan setengah jam lagi,” ucap wanita tersebut yang sangat tahu kebiasaan Alejandro. “Mr. Alejandro, pagi tadi ada telepon dari nona Isabel. Dia berkata ingin bertemu dan membahas hal penting.” Kali ini yang berujar adalah pelayan lain. Keduanya begitu kompak menundukkan kepalanya m
“Hubungi Carlos dan minta siapkan sirkuit sekarang!” titah Alejandro tanpa berbalik atau sekedar menoleh ke belakang sedikit saja.“Baik, Mr. Saya lakukan sekarang.” Xaviera, yang masih berada di posisi yang sama yaitu berdiri di belakang Alejandro sambil memegang buku catatannya, menjawab dengan patuh.Tak lama kemudian Xaviera memasuki ruangan Alejandro. “Maaf mengganggu, Mr. Saya ingin memberitahukan bahwa sirkuit sudah siap digunakan,” ujar Xaviera sopan.Tanpa memasang kembali jasnya yang ia lepaskan sebelumnya, Alejandro bangkit dari duduknya dan berjalan dengan kedua tangannya yang berada di saku celananya. Tentu Alejandro tak pergi ke sirkuit balap seorang diri, melainkan bersama dengan Xaviera.Sungguh berat pekerjaan Xaviera, bukan? Selain menjadi sekertaris yang memiliki puluhan tugas, Xaviera juga harus mengikuti ke mana pun Alejandro pergi, termasuk jadwal yang tak berhubungan dengan pekerjaan kantor.Setibanya di sirkuit, mereka langsung disambut oleh Carlos—asisten prib
“Mr. Alejandro!” Mobil balap Alejandro menabrak pengaman di pinggir sirkuit, asap mengepul menutupi bagian depan dan belakang. Tanpa pikir panjang, Carlos dan Xaviera berlari sekencang-kencangnya menghampiri. Tak hanya mereka berdua, namun juga para staf datang sambil membawa berbagai peralatan. “Tolong jangan mendekat!” Salah satu staf dengan pakaian safety yang menutup tubuhnya, melebarkan tangannya ke samping, tak membiarkan Carlos dan Xaviera mendekati mobil. “Saya ingin melihat Mr. Alejandro.” Xaviera, yang wajahnya nampak sangat cemas dan takut, mencoba menerobos, namun lagi dan lagi langkahnya dihadang. “Saya mengerti dengan kekhawatiran kalian, tapi ini terlalu berbahaya. Biarkan kami yang mengurus masalah ini. Kalian tolong berdiri dengan jarak yang jauh!” Pria, yang wajahnya tertutup masker itu menggiring Carlos dan Alejandro ke pinggir sirkuit. “Dia benar. Terlalu beresiko jika kita nekat.” Carlos menyetujui ucapan pria itu. Melihat kepulan asap yang semakin banya
Tanpa diantar sopir, Alejandro menyetir mobilnya sendiri. Mobil sport berwarna hitam dan berperawakan mewah itu terhubung langsung ke ponsel Alejandro, sehingga ketika ada panggilan masuk, Alejandro dapat melihatnya dari layar kecil di dashboard. Klik! Alejandro menekan salah satu tombol. “Ada apa?” tanya Alejandro, lalu kembali fokus pada jalan raya. “Maaf mengganggu hari libur Mr. Saya ingin mengabari para tamu dari berbagai negara telah datang lebih cepat dari jadwal. Sekarang saya sedang bersama dengan mereka semua.” Suara pria itu merupakan Carlos. “Aku tidak bisa datang hari ini,” ujar Alejandro. “Tapi mereka ingin bertemu dengan Mr. sekarang juga,” balas Carlos di sebrang sana. Alejandro melirik sejenak. Tanpa pikir panjang, Alejandro langsung menjawab, “Alihkan perhatian mereka, bawa mereka ke sirkuit dan tunjukkan produk baru kita, dan katakan aku baru bisa bertemu besok karena hari ini jadwal lain!” Tak ingin mendengar bantahan Carlos, langsung saja Alejandro m
“Selamat datang ...” Xaviera membuka pintu apartemen dengan gembira, menyambut kepulangan Gabriel yang telah pergi selama lebih dari 100 hari lamanya. Mereka—Gabriel dan Xaviera memang tinggal bersama. “Aku merindukan tempat ini.” Gabriel, yang masih berdiri di ambang pintu, membawa matanya memandang sekeliling ruang tamu yang bersih, barang-barang tertata rapi dan beraroma floral seperti kesukaannya dan Xaviera. “Kau hanya merindukan tempat ini saja, tidak denganku? Padahal aku yang selalu merindukan dan menantikan kepulanganmu, tapi yang kau rindukan hanya apartemen ini saja,” sahut Xaviera bernada sindiran. “Tentu aku juga merindukanmu, Mi amor.” Gabriel melepaskan tangannya pada genggaman koper. Tangannya yang besar merambat ke pinggang ramping Xaviera, lalu menarik kekasihnya. Cupp! Gabriel mengecup singkat bibir Xaviera, membuat bibir merona yang sebelumnya mengerucut itu langsung berubah tersenyum. Gabriel kemudian melepaskan jaket coklatnya, dan melemparkannya ke sof
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok
Alejandro berdiri di tengah ruang kerja luas dengan dinding berlapis kaca yang memantulkan cahaya rembulan. Sang ayah berdiri di depannya dengan dahi berkerut dan mata yang berapi-api. Tangannya terkepal, seolah menggenggam amarah yang siap meledak kapan saja. Udara di ruangan itu seakan membeku, setiap suara terdengar lebih keras dan setiap gerakan terlihat lebih tajam. Ayah Alejandro—seorang pria paruh baya dengan aura otoritas yang kuat, memulai serangannya dengan suara yang keras dan tegas, “Kau tahu betul, Alejandro, betapa pentingnya hubungan keluarga kita dengan keluarga Isabel. Keluarga mereka telah banyak membantu kita. Bagaimana bisa kau begitu tega menolak membantu ketika dia membutuhkanmu?” Alejandro menggertakkan giginya, merasakan beratnya beban yang selama ini dipaksakan ke pundaknya. Dia menghirup nafas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk konfrontasi yang sudah lama ia hindari. Ayah Alejandro merah wajahnya, nadanya meningkat, “Kau tidak mengerti pentingnya menj
“Argh! Shh!” Suara Xaviera meringis, seakan menjadi sinyal bagi Gabriel, membuat Gabriel yang semula berada di luar langsung berlari ke kamar mereka. “Mi amor!” Gabriel memekik kuat ketika melihat Xaviera terduduk di lantai. Segera, Gabriel berlari lalu mengangkat Xaviera dan mendudukinya di pinggir tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Gabriel dengan cemas menyingkirkan rambut Xaviera, sehingga wajah pucat Xaviera dapat dilihatnya dengan jelas. “Gabi, aku haus.” Xaviera hanya mampu mengeluarkan beberapa kata saja, karena sejujurnya tenggorokannya sangat kering dan sakit. “Tunggu sebentar, biar aku ambilkan.” Gabriel kembali berlari keluar dari kamar, dan tak lama datang kembali dengan membawa segelas air. “Ini, minumlah!” Gabriel membantu Xaviera meminumnya, lalu mengusap bibir Xaveria yang kering. “Apa ada lagi yang kau inginkan?” Xaviera menggeleng. “Aku hanya ingin dirimu. Tolong peluk aku!” Xaviera bukan meminta, namun terdengar seperti memohon. Gabriel tentu tak
Semalaman Xaviera seorang diri di apartemen, hanya berteman kesunyian. Berharap Gabriel datang untuk memeluknya, dan menenangkannya di tengah gempuran rasa takutnya, namun itu semua hanya angan. Matahari sudah menampakkan dirinya, namun Gabriel tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Sementara Xaviera yang masih duduk di lantai, hanya bisa memeluk lututnya sendiri. “Gabi ...” Secara kebetulan, panggilan Xaveria terkabulkan. Sang pemilik nama yang terus Xaviera panggil, akhirnya menampakkan dirinya. “Mi amor!” Gabriel tentu terkejut sekaligus cemas melihat keadaan Xaviera. Langsung saja ia melepaskan sepatunya dan berlari mendatangi, lalu berakhir memeluk Xaviera. “Gabi ....” “Iya, ini aku. Kau kenapa, Sayang? Kenapa duduk di lantai seperti ini?” Gabriel mengusap lembut rambut kecoklatan Xaviera. “Aku menunggumu,” jawab Xaviera lemah. Gabriel meregangkan pelukannya dan mengusap Wajah cantik Xaviera yang pucat dan kulitnya terasa hangat. “Apa kau tidak membaca pes
Plak! Tanpa ada keraguan sedikit pun, Xaviera memukul wajah Alejandro. Saking keras tamparannya, Xaviera bahkan dapat merasakan telapak tangannya kebas. Air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata Xaviera, akhirnya terjatuh juga, membasahi wajahnya yang merah menahan amarah. Tanpa berucap apa pun, Xaviera berbalik dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Alejandro masih terpaku di tempatnya berdiri. Satu tangan Alejandro masih berada di wajahnya. Alejandro akui pukulan Xaviera cukup menyakitkan, namun di saat yang sama pikirannya masih terpaku pada reaksi Xaviera. Akibat amarah bercampur penat yang dirasakannya, membuat pikiran Alejandro berkecamuk. Alejandro tak bisa lagi menahan dirinya, hingga akhirnya ia melampiaskannya pada Xaviera. Padahal yang menantang kejantanannya adalah Isabel, namun yang menjadi ajang pembuktian adalah Xaviera. “Sial!” Sadar akan ketidakberadaan Xaviera di depannya, Alejandro mengumpat kesal. Alejandro melepaskan paksa paka
“Buktikan kau adalah pria perkasa, Alejandro!”“Membuktikannya? Untuk apa? Aku tidak perlu pengakuan dari siapa pun apalagi dirimu.” Alejandro membalas tantangan Isabel dengan tolakan.Kini bergantian, giliran Alejandro yahh mendekati telinga Isabel. “Kau berbicara seperti itu untuk menantang agar aku melakukannya denganmu, bukan? Caramu terlalu ... murahan,” lanjut Alejandro membuat Isabel tercengang mendengarnya.“Dengar, Isabel! Sejak kecil hingga sekarang, aku hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak pernah lebih. Dan persahabatan kita juga yang membuatku hingga saat ini menerima kehadiranmu.”Menyingkirkan tubuh Isabel dengan satu kali gerakan, Alejandro kemudian menunjuk wanita itu. “Jika bukan karena permintaan ayahmu, orang yang berjasa bagi keluargaku, aku tidak akan mau mengajarimu hal semacam ini. Hanya membuang waktu saja.”Isabel yang mendengar semua penuturan Alejandro, hanya bisa diam seribu bahasa. Mulutnya nenganga lebar, tak percaya Alejandro mampu berbicara sebany
Alejandro berdiri tepat di depan kaca besar yang memisahkannya dengan Xaviera. Sementara dirinya berada di dalam ruangannya, Xaviera sendiri di kursi kerjanya. Dalam diamnya itu, Alejandro terus memperhatikan setiap gerakan sekecil apa pun yang Xaviera timbulkan. Kedua tangan Xaviera begitu sibuk. Entah itu mengangkat telepon yang masuk, atau memainkan keyboard komputernya. Dan saking sibuknya ia, sampai tak menyadari ada yang terus memperhatikannya.“Karena Isabel, aku jadi tidak bisa mendapatkan Xaviera.” Bibir sedikit tebal Alejandro berucap, sambil mengingat kejadian beberapa waktu lalu.“Wanita itu memang sangat menyusahkan. Bisa-bisanya aku terikat perjodohan dengannya,” ucap Alejandro lagi.Entah kebetulan atau bagaimana, wanita yang membuat Alejandro kesal hanya karena memikirkannya tiba-tiba saja menampakkan dirinya. Alejandro sempat terkejut sesaat. Matanya sedikit menyipit ketika melihat Isabel berbincang dengan Xaviera. “Ale ...!” Seperti biasa, Isabel akan memasuki ruan
“Apa maksudmu?” Alejandro langsung menghentikan gerakan kakinya. Ditatapnya Isabel dengan rasa tak percaya. Bahu Isabel terangkat. “Entahlah. Sepertinya kau lebih memahami maksudku,” jawabnya dengan santai. Alejandro menarik lengan Isabel, memaksa agar wanita itu menatapnya. “Jangan berbelit-belit, Isabel! Kau tahu aku tidak menyukai—” “Diriku?” Isabel menyergah. “Katakan, jauh dari lubuk hatimu yang paling dalam, kau tidak menyukaiku secara personal, atau tidak menyukai sikapku pada Xaviera?” Jari telunjuk Isabel yang lentik terangkat dan mendarat pada dada Alejandro. Setiap kata yang meluncur dari bibir Isabel membuat Alejandro berpikir keras, bahwa ia harus berhati-hati menjawabnya. Jika salah berucap, rahasianya selama ini akan terbongkar. Drrt! Drrt! Beruntung, di tengah ketegangan itu ponsel Isabel berdering. Sejujurnya Isabel ingin sekali menolak panggilan tersebut, namun ketika melihat di layarnya tertera nama ayahnya, Isabel mau tak mau menjawabnya. “Halo, Ayah.
Gabriel memandang langit-langit kamarnya dengan rasa penasaran yang mendalam. Ada sesuatu yang aneh di sudut ruangan, sebuah bercak hitam yang terlihat jelas di antara warna putih yang mendominasi. Alisnya berkerut, sambil berbisik pada diri sendiri, “Benda apa itu?” Mata Gabriel tidak bisa lepas dari benda misterius itu.“Itu pasti kesalahan cleaning service," dengus Gabriel pelan. Kepalanya bergoyang kecil, seolah-olah mencoba menghapus ketidaknyamanan yang dirasakannya.“Aku rasa mereka tidak becus membersihkannya," desah Gabriel seraya menyalahkan layanan kebersihan apartemen.Dengan langkah cepat, ia menuju ke gudang untuk mengambil tangga. Seketika ia mengaturnya tepat di bawah noda hitam itu, memastikan posisinya aman untuk didaki. Dengan hati-hati, Gabriel mulai menaiki tangga tersebut. Setiap anak tangga yang dilalui terasa semakin mendebarkan.Saat tangan Gabriel hampir saja menyentuh permukaan yang bermasalah itu, tiba-tiba deringan ponsel memecah konsentrasinya. Jantungnya