Alejandro duduk di sebuah tempat yang sepi, dengan mata yang tajam menatap pria di depannya yang terlihat gugup. “Cukup! Hanya ini yang kuperlukan,” ucap Alejandro tegas.
“Pergilah!” titah Alejandro seraya menyerahkan segepok uang yang membuat mata pria itu berbinar sejenak, sebelum berubah menjadi kecewa saat diusir begitu saja. Setelah pria itu pergi, Alejandro dengan cepat membuka map tebal berisi dokumen-dokumen yang baru saja dia terima. Jari-jarinya yang panjang mengelus lembar demi lembar, matanya menyelami setiap kata yang tertulis tentang Delgado. Setiap laporan, foto, dan catatan kecil tentang pria yang menghantui pikirannya itu ditelitinya dengan seksama. Akhirnya, Alejandro menemukan halaman yang menarik perhatiannya. Sebuah foto lama yang memperlihatkan Delgado dan Xaviera, tertawa bersama di sebuah acara sekolah. Mereka tampak muda dan ceria. Di sudut halaman, tertulis catatan bahwa mereka berdua adalah teman baik selama masa sekolah. Ya, dokumen yang baru saja Alejandro terima berisi tentang semua informasi mengenai Delgado. Pria yang sebaya dengan Xaviera itu membuat Alejandro penasaran setengah mati, hingga nekat menyewa orang untuk mencari tahu segala hal tentangnya. Alejandro menarik napas lega, seraya tersenyum sinis. “Hanya sebatas teman rupanya,” gumamnya pelan. Alejandro kemudian mengeluarkan korek dari saku celananya dan tanpa ragu membakar dokumen tersebut. Rasa penasarannya telah terobati dan Alejandro pun merasa sudah puas, ia lalu memilih kembali ke perusahaannya. Hanya berjalan kaki, tidak menggunakan mobil atau alat transportasi apa pun, karena memang jaraknya yang tidak begitu jauh. Di saat semua karyawan termasuk Xaviera telah meninggalkan perusahaan, Alejandro justru masih berada di ruangan pribadinya. Pekerjaan yang malam ini dilakukannya tak lain dan tak bukan adalah memantau kegiatan sekertasinya sendiri—Xaviera. Di kursi kebesarannya, Alejandro duduk bersandarkan punggung, matanya tak lepas dari layar laptop yang menampilkan beberapa rekaman CCTV tersembunyi yang terpasang di apartemen Xaviera. Alejandro memastikan tak ada yang mengganggu momen pribadinya ini. Ruang kantornya sunyi, hanya suara desiran AC yang terdengar. Wajahnya menunjukkan ekspresi puas dan obsesi yang dalam saat melihat Xaviera beraktivitas sehari-hari di apartemen. “Mari kita lihat apa yang kau lakukan hari ini, nona Xaviera.” Dalam kesunyian itu, suara berat Alejandro menggema. Dari melepaskan blouse yang dipakainya seharian imi, hingga adegan Xaviera yang berdiri di bawah kucuran shower, semuanya terpantau jelas. Tangan Alejandro terulur ke depan, seakan ingin menyentuh gambar Xaviera dari balik layar. Bibir Alejandro mengukir senyum tipis. Entah kapan terakhir kalinya bibir itu tersenyum, mungkin ini adalah kali pertama setelah beberapa bulan, atau bahkan hampir satu tahun lamanya. Matahari sudah terbenam tapi Alejandro masih terpaku, menikmati setiap detil gerakan Xaviera yang tidak menyadari sedang diawasi. “Hari ini sungguh panas. Kulitku rasanya seperti terbakar.” Xaviera, yang keluar dari kamar mandi dengan tubuh dan rambut terbalut handuk, berucap dengan nada kesal. Di kantor, Xaviera memang dikenal sebagai pribadi yang tenang dan tidak banyak bertingkah. Namun lihatlah ketika sedang di rumah dan sendirian seperti sekarang, wanita itu bergerak sangat aktif dengan meloncat ke sana dan sini sambil mengibas rambutnya yang basah dengan bibir tak berhenti mengikuti alunan musik di kamarnya. Sejujurnya, Xaviera adalah sosok wanita yang ceria. Namun Xaviera bisa membedakan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Di kantor, ia harus bersikap profesional selayaknya sekertaris pada umumnya. Dan jika di luar, Xaviera bisa menjadi dirinya sendiri. Seperti sekarang contohnya. “It's time for rock.” Xaviera berteriak. Tak hanya itu, ia mengambil hairdryer dan mengarahkannya ke depan bibirnya, menjadikan alat pengering rambut itu sebagai mikrofon. “Akh, kepalaku pusing.” Terlalu banyak menggoyangkan kepalanya, membuat Xaviera merasa pening. Langsung saja ia mematikan musiknya dan duduk dengan napas tersengal-sengal. “Seperti anak kecil,” kata Alejandro sambil mengangkat satu alisnya. Selesai dengan urusan rambutnya, Xaviera berjalan menuju lemari pakaiannya. “Kapan aku membeli ini?” Tangan Xaviera merambat mengambil salah satu pajamas kimono berbahan satin, berwarna peach. Kening Xaviera berkerut, tanda dirinya mencoba mengingat memori belakangnya. Sayang sekali ia tidak dapat mengingat apa pun, isi otaknya sudah penuh dengan pekerjaannya. “Ah, sudahlah,” ucapnya tak ingin memperpanjang masalah. “Mari kita pakai!” seru Xaviera girang. Saat hendak melepaskan handuknya, Xaviera tiba-tiba saja berhenti bergerak. Kepala Xaviera tertoleh ke belakang dan raut wajahnya terlihat marah. “Kau!” tunjuk Xaviera, tanpa tahu di tempat lain Alejandro sedang menahan napasnya. “Kau tutup mata! jangan mengintip, ya!” racau Xaviera, yang kata-katanya ditujukan untuk fotonya bersama seorang pria. Foto yang terbalut bingkai kecil dan terpajang di sudut kamar itu, menampilkan seorang pria tampan yang memeluk dan mengecup pipi Xaviera dari belakang. “Kau tidak boleh nakal!” kata Xaviera lagi, kali ini suaranya terdengar lebih santai. “Aku yang nakal, nona.” Di tempat lain, Alejandro menyahut. Tak ada ekspresi ketakutan yang Alejandro tampilkan, padahal arah yang ditunjuk Xaviera berada tepat pada kamera tersembunyi yang dipasangnya. Tepat ketika melihat Xaviera melepaskan handuknya, seringai muncul di wajah Alejandro. Napas Alejandro tercekat di tenggorokan, ketika menyaksikan Xaviera yang kembali beraksi dengan melakukan pose seksi sambil berpakaian di depan cermin. “Bukankah aku lebih pantas sebagai model, daripada wanita kantoran?” monolog Xaviera, yang saat ini meletakkan satu kakinya pada kursi, sambil menggigit jari telunjuknya, sementara tangannya yang lain memainkan rambutnya. “Haruskah aku berhenti bekerja dan mencoba casting sebagai model?” “Tidak boleh!” jawab Alejandro spontan. Mata Alejandro membara, napasnya berat, mungkin ia marah setelah mendengar Xaviera bergumam seperti itu. “Kau hanya boleh bekerja denganku, Xaviera. Hanya padaku kau boleh tunduk patuh, tidak dengan orang lain, siapa pun itu termasuk kekasihmu,” kata Alejandro terdengar seperti mengancam. “Oh, ingatlah satu hal, Xaviera! Usiamu sekarang sudah 28 tahun, terlalu tua untuk memulai karier model. Aku memang cantik, tubuhku indah, aku bisa berpose apa pun, tapi pastinya tidak ada yang mau menerima dirimu. Apalagi kau tidak memiliki pengalaman apa pun.” Sebelumnya sibuk memuji diri sendiri, sekarang Xaviera justru merendah. “Itu benar, nona. Kau tidak boleh pergi dariku. Hanya aku yang boleh memberikanmu perintah. Dan ingat, selamanya, kau tidak boleh pergi dariku!” bisik Alejandro yang kembali menyandarkan punggungnya dengan rileks di kursinya. Ketika layar menunjukkan Xaviera yang mulai bersantai di ruang tengah apartemennya, Alejandro pun menarik napas dalam, membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam ke dalam dunia rahasia yang telah dia ciptakan. Di sini, di ruang kerja yang remang dan sepi, Alejandro merasa dia dan Xaviera berbagi ruang yang sama, meski pada kenyataannya jauh berbeda. “Besok hari libur, rasanya senang sekali.” Mengingat ini adalah hari terakhir bekerja di minggu tersebut, membuat Xaviera sangat senang. “Aku benci hari libur.” Alejandro justru sebaliknya. “Selama dua hari ke depan aku bisa bebas tanpa si gila Alejandro,” ucap Xaviera lagi, tanpa tahu sang pemilik nama mendengarnya. “Si gila Alejandro? jadi, itu julukan baru yang kau berikan untukku, nona yang ceria?” monolog Alejandro, lalu mendekatkan dirinya pada layar laptopnya. Dalam benaknya, Alejandro tidak merasa bersalah sedikit pun atas perbuatannya. Memiliki kontrol atas Xaviera seperti ini adalah kepuasan tersendiri bagi pria dengan pandangan mata elang itu—sebagai penguasa yang memegang kendali atas segalanya yang dia anggap berharga. Obsesi Alejandro terhadap Xaviera telah menutupi segala rasa etika dan moral yang seharusnya ada pada seorang pemimpin perusahaan besar. Gairah dan semangat yang hanya bisa dibangkitkan oleh sosok Xaviera, membuat Alejandro nekat melakukan kegilaan tersebut. Hal ini bermula sejak tiga tahun lalu. Saat itu, Xaviera datang ke NOWZ COMPANY untuk melakukan interview sebagai sekertaris dan tak sengaja menabrak Alejandro. Pertama kalinya bertatapan dengan Xaviera membuat Alejandro merasakan sensasi yang berbeda yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Tanpa pikir panjang, Alejandro langsung memerintahkan bawahannya untuk menerima Xaviera sebagai sekertasinya. Alejandro tak peduli dengan latar belakang, pendidikan, dan pengalaman Xaviera, Alejandro bahkan mengacuhkan kandidat lain yang memiliki potensi lebih besar, hanya demi Xaviera. Awalnya memang hanya perasaan tertarik antara lawan jenis, namun semakin lama justru berubah menjadi obsesi gila. Alejandro, yang selama hidupnya selalu menolak kehadiran wanita termasuk si cantik Isabel, justru memiliki kelainan terhadap sekertasinya sendiri. Dari situlah Alejandro mulai mencari tahu segala hal tentang Xaviera, mengikuti setiap langkah Xaviera, tidak memperbolehkan Xaviera tunduk dengan orang lain, alias selain dirinya. Dan yang paling gila adalah diam-diam memasang 7 kamera tersembunyi di apartemen Xaviera. Aksinya itu terhitung sudah berjalan selama dua tahun. “Semakin lama kau semakin menarik perhatianku.” Kini, tangan Alejandro tertuju pada salah satu rekaman CCTV di mana Xaviera berada. Wanita yang menarik sisi lain dalam dirinya itu sedang asik makan, tanpa pernah tahu ada dirinya yang tersiksa seorang diri di sana. “Kau sangat cantik, seperti peri dalam dongeng. Saking cantiknya dirimu, membuatku ingin mematahkan sayapmu, membuatmu tidak bisa terbang ke mana pun, lalu mengurungmu hanya untukku seorang.”Matahari masih terik, sementara Alejandro terlihat baru saja tiba di hunian mewah dan megahnya. Begitu mobil hitam Alejandro terparkir di halaman luasnya, seorang pria dengan sigap berlari mendekat dan membuka pintu mobilnya. “Selamat malam, Mr. Alejandro.” Pria yang merupakan salah satu pelayan itu, menyapa dengan sopan, meski tahu tak akan mendapatkan balasan serupa dari sang tuan. Alejandro melangkah memasuki bangunan tersebut dengan langkah besar sambil melepaskan kancing jasnya. Begitu melewati pintu utama, Alejandro melemparkan begitu saja jas yang dipakainya sejak pagi, dan langsung digapai oleh seorang wanita yang juga merupakan pelayan. “Selamat malam, Mr. Alejandro. Makan malam akan saya siapkan setengah jam lagi,” ucap wanita tersebut yang sangat tahu kebiasaan Alejandro. “Mr. Alejandro, pagi tadi ada telepon dari nona Isabel. Dia berkata ingin bertemu dan membahas hal penting.” Kali ini yang berujar adalah pelayan lain. Keduanya begitu kompak menundukkan kepalanya m
“Hubungi Carlos dan minta siapkan sirkuit sekarang!” titah Alejandro tanpa berbalik atau sekedar menoleh ke belakang sedikit saja.“Baik, Mr. Saya lakukan sekarang.” Xaviera, yang masih berada di posisi yang sama yaitu berdiri di belakang Alejandro sambil memegang buku catatannya, menjawab dengan patuh.Tak lama kemudian Xaviera memasuki ruangan Alejandro. “Maaf mengganggu, Mr. Saya ingin memberitahukan bahwa sirkuit sudah siap digunakan,” ujar Xaviera sopan.Tanpa memasang kembali jasnya yang ia lepaskan sebelumnya, Alejandro bangkit dari duduknya dan berjalan dengan kedua tangannya yang berada di saku celananya. Tentu Alejandro tak pergi ke sirkuit balap seorang diri, melainkan bersama dengan Xaviera.Sungguh berat pekerjaan Xaviera, bukan? Selain menjadi sekertaris yang memiliki puluhan tugas, Xaviera juga harus mengikuti ke mana pun Alejandro pergi, termasuk jadwal yang tak berhubungan dengan pekerjaan kantor.Setibanya di sirkuit, mereka langsung disambut oleh Carlos—asisten prib
“Mr. Alejandro!” Mobil balap Alejandro menabrak pengaman di pinggir sirkuit, asap mengepul menutupi bagian depan dan belakang. Tanpa pikir panjang, Carlos dan Xaviera berlari sekencang-kencangnya menghampiri. Tak hanya mereka berdua, namun juga para staf datang sambil membawa berbagai peralatan. “Tolong jangan mendekat!” Salah satu staf dengan pakaian safety yang menutup tubuhnya, melebarkan tangannya ke samping, tak membiarkan Carlos dan Xaviera mendekati mobil. “Saya ingin melihat Mr. Alejandro.” Xaviera, yang wajahnya nampak sangat cemas dan takut, mencoba menerobos, namun lagi dan lagi langkahnya dihadang. “Saya mengerti dengan kekhawatiran kalian, tapi ini terlalu berbahaya. Biarkan kami yang mengurus masalah ini. Kalian tolong berdiri dengan jarak yang jauh!” Pria, yang wajahnya tertutup masker itu menggiring Carlos dan Alejandro ke pinggir sirkuit. “Dia benar. Terlalu beresiko jika kita nekat.” Carlos menyetujui ucapan pria itu. Melihat kepulan asap yang semakin banya
Tanpa diantar sopir, Alejandro menyetir mobilnya sendiri. Mobil sport berwarna hitam dan berperawakan mewah itu terhubung langsung ke ponsel Alejandro, sehingga ketika ada panggilan masuk, Alejandro dapat melihatnya dari layar kecil di dashboard. Klik! Alejandro menekan salah satu tombol. “Ada apa?” tanya Alejandro, lalu kembali fokus pada jalan raya. “Maaf mengganggu hari libur Mr. Saya ingin mengabari para tamu dari berbagai negara telah datang lebih cepat dari jadwal. Sekarang saya sedang bersama dengan mereka semua.” Suara pria itu merupakan Carlos. “Aku tidak bisa datang hari ini,” ujar Alejandro. “Tapi mereka ingin bertemu dengan Mr. sekarang juga,” balas Carlos di sebrang sana. Alejandro melirik sejenak. Tanpa pikir panjang, Alejandro langsung menjawab, “Alihkan perhatian mereka, bawa mereka ke sirkuit dan tunjukkan produk baru kita, dan katakan aku baru bisa bertemu besok karena hari ini jadwal lain!” Tak ingin mendengar bantahan Carlos, langsung saja Alejandro m
“Selamat datang ...” Xaviera membuka pintu apartemen dengan gembira, menyambut kepulangan Gabriel yang telah pergi selama lebih dari 100 hari lamanya. Mereka—Gabriel dan Xaviera memang tinggal bersama. “Aku merindukan tempat ini.” Gabriel, yang masih berdiri di ambang pintu, membawa matanya memandang sekeliling ruang tamu yang bersih, barang-barang tertata rapi dan beraroma floral seperti kesukaannya dan Xaviera. “Kau hanya merindukan tempat ini saja, tidak denganku? Padahal aku yang selalu merindukan dan menantikan kepulanganmu, tapi yang kau rindukan hanya apartemen ini saja,” sahut Xaviera bernada sindiran. “Tentu aku juga merindukanmu, Mi amor.” Gabriel melepaskan tangannya pada genggaman koper. Tangannya yang besar merambat ke pinggang ramping Xaviera, lalu menarik kekasihnya. Cupp! Gabriel mengecup singkat bibir Xaviera, membuat bibir merona yang sebelumnya mengerucut itu langsung berubah tersenyum. Gabriel kemudian melepaskan jaket coklatnya, dan melemparkannya ke sof
Ting! Terdengar suara berdenting dari ponsel Alejandro, menandakan pesan masuk. Pria yang sedang mengenakan pakaiannya itu hanya melirik malas. Tanpa ada niat mengambil benda tersebut atau bahkan membalas pesan yang masuk, Alejandro memilih untuk melanjutkan gerakan tangannya. Dan setelah selesai dengan pakaian casual-nya, barulah satu tangan Alejandro merayap mengambil ponselnya. Isabel, itulah nama dari sang pengirim pesan. Ajakan untuk bertemu, tak Alejandro hiraukan, ia bahkan tidak membalas pesan tersebut. Masih di kamarnya yang begitu luas, bersih, tenang dan minim barang, dan didominasi warna hitam, Alejandro mengambil sebuah topi fedora berwarna abu-abu, lalu memasangkannya ke kepalanya. Sambil berjalan keluar, pandangan Alejandro terus tertuju pada ponselnya dan tak menghiraukan sapaan para pelayan. Langkah kaki besar Alejandro terhenti tepat di depan seorang pria yang membuka pintu mobilnya. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan jika ada yang datang ke sini, bukan?” ta
"Aku ingin membangun keluarga kecil bersamamu, hanya denganmu.” Kata-kata yang Gabriel ucapkan lusa lalu, terus menggerayangi kepala Xaviera, hingga membuat wanita cantik itu tersenyum malu-malu. Xaviera mengangkat tangannya, menunjukkan cincin indah yang melingkari jadi manisnya—tanda Gabriel telah mengikatnya dan mengubah status mereka menjadi bertunangan. “Kau selalu saja manis. Cinta dan perhatianmu paling bisa membuatku melayang ke atas awan.” Xaviera terlalu sibuk memikirkan Gabriel, hingga melupakan posisinya yang saat ini berada di kantor, tepatnya meja kerjanya. “Aku menggajimu bukan untuk melamun.” Suara seorang pria memecah keheningan dan membuat Xaviera langsung tersadar. Begitu menolehkan kepalanya, Xaviera mendapati Alejandro berdiri di samping mejanya sambil menatap tajam dirinya. Sontak saja hal tersebut membuat senyum Xaviera menghilang dan berganti dengan ekspresi terkejut. “Maafkan saya, Mr.” Xaviera langsung bangkit dari duduknya dan menundukkan kepalany
Di tengah ruang yang dipenuhi dengan aroma kopi dan tumpukan dokumen, suasana tegang mulai terasa. Para petinggi NOWZ COMPANY duduk mengelilingi meja besar berlapis marmer, setiap wajah menunjukkan ekspresi serius dan konsentrasi tinggi. Alejandro, dengan postur tegap dan tatapan tajam yang khas, memandang satu per satu wajah di hadapannya, seolah menimbang setiap kata yang terucap.Sementara itu, di samping Alejandro ada Xaviera yang duduk berhadapan dengan laptop dan berkas-berkas penting di hadapannya. Dia sesekali menatap Alejandro, mencatat setiap detail penting yang keluar dari mulutnya. Hampir dua jam lamanya pertemuan para petinggi itu berlangsung, hingga setelah selesai, Alejandro langsung meninggalkan ruang rapat dan tentunya diikuti Xaviera di belakangnya. Di tengah lorong, Alejandro tiba-tiba saja menghentikan langkah besarnya, tentu membuat Xaviera terkejut, hingga membuat Xaviera berakhir menabrak punggung lebar pria pria itu.
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok
Alejandro berdiri di tengah ruang kerja luas dengan dinding berlapis kaca yang memantulkan cahaya rembulan. Sang ayah berdiri di depannya dengan dahi berkerut dan mata yang berapi-api. Tangannya terkepal, seolah menggenggam amarah yang siap meledak kapan saja. Udara di ruangan itu seakan membeku, setiap suara terdengar lebih keras dan setiap gerakan terlihat lebih tajam. Ayah Alejandro—seorang pria paruh baya dengan aura otoritas yang kuat, memulai serangannya dengan suara yang keras dan tegas, “Kau tahu betul, Alejandro, betapa pentingnya hubungan keluarga kita dengan keluarga Isabel. Keluarga mereka telah banyak membantu kita. Bagaimana bisa kau begitu tega menolak membantu ketika dia membutuhkanmu?” Alejandro menggertakkan giginya, merasakan beratnya beban yang selama ini dipaksakan ke pundaknya. Dia menghirup nafas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk konfrontasi yang sudah lama ia hindari. Ayah Alejandro merah wajahnya, nadanya meningkat, “Kau tidak mengerti pentingnya menj
“Argh! Shh!” Suara Xaviera meringis, seakan menjadi sinyal bagi Gabriel, membuat Gabriel yang semula berada di luar langsung berlari ke kamar mereka. “Mi amor!” Gabriel memekik kuat ketika melihat Xaviera terduduk di lantai. Segera, Gabriel berlari lalu mengangkat Xaviera dan mendudukinya di pinggir tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Gabriel dengan cemas menyingkirkan rambut Xaviera, sehingga wajah pucat Xaviera dapat dilihatnya dengan jelas. “Gabi, aku haus.” Xaviera hanya mampu mengeluarkan beberapa kata saja, karena sejujurnya tenggorokannya sangat kering dan sakit. “Tunggu sebentar, biar aku ambilkan.” Gabriel kembali berlari keluar dari kamar, dan tak lama datang kembali dengan membawa segelas air. “Ini, minumlah!” Gabriel membantu Xaviera meminumnya, lalu mengusap bibir Xaveria yang kering. “Apa ada lagi yang kau inginkan?” Xaviera menggeleng. “Aku hanya ingin dirimu. Tolong peluk aku!” Xaviera bukan meminta, namun terdengar seperti memohon. Gabriel tentu tak
Semalaman Xaviera seorang diri di apartemen, hanya berteman kesunyian. Berharap Gabriel datang untuk memeluknya, dan menenangkannya di tengah gempuran rasa takutnya, namun itu semua hanya angan. Matahari sudah menampakkan dirinya, namun Gabriel tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Sementara Xaviera yang masih duduk di lantai, hanya bisa memeluk lututnya sendiri. “Gabi ...” Secara kebetulan, panggilan Xaveria terkabulkan. Sang pemilik nama yang terus Xaviera panggil, akhirnya menampakkan dirinya. “Mi amor!” Gabriel tentu terkejut sekaligus cemas melihat keadaan Xaviera. Langsung saja ia melepaskan sepatunya dan berlari mendatangi, lalu berakhir memeluk Xaviera. “Gabi ....” “Iya, ini aku. Kau kenapa, Sayang? Kenapa duduk di lantai seperti ini?” Gabriel mengusap lembut rambut kecoklatan Xaviera. “Aku menunggumu,” jawab Xaviera lemah. Gabriel meregangkan pelukannya dan mengusap Wajah cantik Xaviera yang pucat dan kulitnya terasa hangat. “Apa kau tidak membaca pes
Plak! Tanpa ada keraguan sedikit pun, Xaviera memukul wajah Alejandro. Saking keras tamparannya, Xaviera bahkan dapat merasakan telapak tangannya kebas. Air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata Xaviera, akhirnya terjatuh juga, membasahi wajahnya yang merah menahan amarah. Tanpa berucap apa pun, Xaviera berbalik dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Alejandro masih terpaku di tempatnya berdiri. Satu tangan Alejandro masih berada di wajahnya. Alejandro akui pukulan Xaviera cukup menyakitkan, namun di saat yang sama pikirannya masih terpaku pada reaksi Xaviera. Akibat amarah bercampur penat yang dirasakannya, membuat pikiran Alejandro berkecamuk. Alejandro tak bisa lagi menahan dirinya, hingga akhirnya ia melampiaskannya pada Xaviera. Padahal yang menantang kejantanannya adalah Isabel, namun yang menjadi ajang pembuktian adalah Xaviera. “Sial!” Sadar akan ketidakberadaan Xaviera di depannya, Alejandro mengumpat kesal. Alejandro melepaskan paksa paka
“Buktikan kau adalah pria perkasa, Alejandro!”“Membuktikannya? Untuk apa? Aku tidak perlu pengakuan dari siapa pun apalagi dirimu.” Alejandro membalas tantangan Isabel dengan tolakan.Kini bergantian, giliran Alejandro yahh mendekati telinga Isabel. “Kau berbicara seperti itu untuk menantang agar aku melakukannya denganmu, bukan? Caramu terlalu ... murahan,” lanjut Alejandro membuat Isabel tercengang mendengarnya.“Dengar, Isabel! Sejak kecil hingga sekarang, aku hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak pernah lebih. Dan persahabatan kita juga yang membuatku hingga saat ini menerima kehadiranmu.”Menyingkirkan tubuh Isabel dengan satu kali gerakan, Alejandro kemudian menunjuk wanita itu. “Jika bukan karena permintaan ayahmu, orang yang berjasa bagi keluargaku, aku tidak akan mau mengajarimu hal semacam ini. Hanya membuang waktu saja.”Isabel yang mendengar semua penuturan Alejandro, hanya bisa diam seribu bahasa. Mulutnya nenganga lebar, tak percaya Alejandro mampu berbicara sebany
Alejandro berdiri tepat di depan kaca besar yang memisahkannya dengan Xaviera. Sementara dirinya berada di dalam ruangannya, Xaviera sendiri di kursi kerjanya. Dalam diamnya itu, Alejandro terus memperhatikan setiap gerakan sekecil apa pun yang Xaviera timbulkan. Kedua tangan Xaviera begitu sibuk. Entah itu mengangkat telepon yang masuk, atau memainkan keyboard komputernya. Dan saking sibuknya ia, sampai tak menyadari ada yang terus memperhatikannya.“Karena Isabel, aku jadi tidak bisa mendapatkan Xaviera.” Bibir sedikit tebal Alejandro berucap, sambil mengingat kejadian beberapa waktu lalu.“Wanita itu memang sangat menyusahkan. Bisa-bisanya aku terikat perjodohan dengannya,” ucap Alejandro lagi.Entah kebetulan atau bagaimana, wanita yang membuat Alejandro kesal hanya karena memikirkannya tiba-tiba saja menampakkan dirinya. Alejandro sempat terkejut sesaat. Matanya sedikit menyipit ketika melihat Isabel berbincang dengan Xaviera. “Ale ...!” Seperti biasa, Isabel akan memasuki ruan
“Apa maksudmu?” Alejandro langsung menghentikan gerakan kakinya. Ditatapnya Isabel dengan rasa tak percaya. Bahu Isabel terangkat. “Entahlah. Sepertinya kau lebih memahami maksudku,” jawabnya dengan santai. Alejandro menarik lengan Isabel, memaksa agar wanita itu menatapnya. “Jangan berbelit-belit, Isabel! Kau tahu aku tidak menyukai—” “Diriku?” Isabel menyergah. “Katakan, jauh dari lubuk hatimu yang paling dalam, kau tidak menyukaiku secara personal, atau tidak menyukai sikapku pada Xaviera?” Jari telunjuk Isabel yang lentik terangkat dan mendarat pada dada Alejandro. Setiap kata yang meluncur dari bibir Isabel membuat Alejandro berpikir keras, bahwa ia harus berhati-hati menjawabnya. Jika salah berucap, rahasianya selama ini akan terbongkar. Drrt! Drrt! Beruntung, di tengah ketegangan itu ponsel Isabel berdering. Sejujurnya Isabel ingin sekali menolak panggilan tersebut, namun ketika melihat di layarnya tertera nama ayahnya, Isabel mau tak mau menjawabnya. “Halo, Ayah.
Gabriel memandang langit-langit kamarnya dengan rasa penasaran yang mendalam. Ada sesuatu yang aneh di sudut ruangan, sebuah bercak hitam yang terlihat jelas di antara warna putih yang mendominasi. Alisnya berkerut, sambil berbisik pada diri sendiri, “Benda apa itu?” Mata Gabriel tidak bisa lepas dari benda misterius itu.“Itu pasti kesalahan cleaning service," dengus Gabriel pelan. Kepalanya bergoyang kecil, seolah-olah mencoba menghapus ketidaknyamanan yang dirasakannya.“Aku rasa mereka tidak becus membersihkannya," desah Gabriel seraya menyalahkan layanan kebersihan apartemen.Dengan langkah cepat, ia menuju ke gudang untuk mengambil tangga. Seketika ia mengaturnya tepat di bawah noda hitam itu, memastikan posisinya aman untuk didaki. Dengan hati-hati, Gabriel mulai menaiki tangga tersebut. Setiap anak tangga yang dilalui terasa semakin mendebarkan.Saat tangan Gabriel hampir saja menyentuh permukaan yang bermasalah itu, tiba-tiba deringan ponsel memecah konsentrasinya. Jantungnya