“Mr. Alejandro!”
Mobil balap Alejandro menabrak pengaman di pinggir sirkuit, asap mengepul menutupi bagian depan dan belakang. Tanpa pikir panjang, Carlos dan Xaviera berlari sekencang-kencangnya menghampiri. Tak hanya mereka berdua, namun juga para staf datang sambil membawa berbagai peralatan. “Tolong jangan mendekat!” Salah satu staf dengan pakaian safety yang menutup tubuhnya, melebarkan tangannya ke samping, tak membiarkan Carlos dan Xaviera mendekati mobil. “Saya ingin melihat Mr. Alejandro.” Xaviera, yang wajahnya nampak sangat cemas dan takut, mencoba menerobos, namun lagi dan lagi langkahnya dihadang. “Saya mengerti dengan kekhawatiran kalian, tapi ini terlalu berbahaya. Biarkan kami yang mengurus masalah ini. Kalian tolong berdiri dengan jarak yang jauh!” Pria, yang wajahnya tertutup masker itu menggiring Carlos dan Alejandro ke pinggir sirkuit. “Dia benar. Terlalu beresiko jika kita nekat.” Carlos menyetujui ucapan pria itu. Melihat kepulan asap yang semakin banyak, ditambah adanya cairan yang mulai menetes dari bawah mobil, tentu Carlos mengerti bahaya yang bisa mereka dapatkan. Kini, Carlos dan Xaviera hanya bisa memperhatikan beberapa orang pria itu mencoba membuka pintu mobil yang entah mengapa terlihat begitu sulit. Suasana tegang pun semakin terasa di setiap detiknya, terlebih lagi kondisi mobil yang ringsek pada bagian depan. Hingga semua orang dibuat menahan napas mereka ketika pintu mobil tiba-tiba saja terbuka. Tak lama kemudian, sosok yang sejak tadi diharapkan kehadirannya, akhirnya menampakkan dirinya. Alejandro keluar dengan pakaian dan helm balap yang masih terpasang pada tubuhnya. Bruk! Alejandro melepaskan helmnya dan membanting alat pelindung kepala tersebut ke aspal. Rintik hujan membasahi kepala dan wajah Alejandro yang tegas seperti biasanya. Dada yang naik turun, menandakan Alejandro sedang mengatur napasnya yang terengah-engah. “Mr. Alejandro!” Carlos dan Xaviera dang kompak memanggil, lalu berlari menghampiri Alejandro. “Anda baik-baik saja?” Keduanya kembali menunjukkan kekompakan mereka. Alejandro tak menjawab, melainkan mencengkram pakaian Carlos dan sedikit mengangkatnya dari aspal. “Kau mau membunuh, hah?!” Wajah dan mata Alejandro terlihat merah, menandakan dirinya sedang marah. “Ti–tidak, Mr.” Saking takutnya Alejandro yang bisa saja mengambil nyawanya sewaktu-waktu, membuat Carlos sampai terbata-bata. “Kenapa kau tidak mengecek mobil ini sebelum aku pakai?” Masih di posisi yang sama, Alejandro kembali membentak Carlos, hingga Carlos reflek menutup matanya. “Sudah saya lakukan, Mr. Saya sudah mengecek seluruh bagian mobil, dan semuanya aman, tidak ada kekurangan apalagi rusak. Kecelakaan ini terjadi mungkin disebabkan karena aspal yang licin akibat hujan.” Alejandro mengalihkan satu tangannya pada leher Carlos, dan mencengkramnya hingga membuat Carlos kesulitan bernapas. “Jadi, kau mau menyalahkanku karena nekat drifting di tengah hujan seperti ini?” Meski nada bicara Alejandro tidak lagi sekencang sebelumnya, namun justru suara beratnya ini yang lenih menakutkan. “Ti–tidak, Mr. Sa–saya yang sa–salah.” Akibat lehernya yang masih dicekik, membuat suara Carlos serasa di ujung tenggorokan. Bugh! Alejandro bukan hanya melepaskan Carlos, namun juga membanting ke aspal pria yang sudah bekerja dengannya selama bertahun-tahun itu. Tanpa berucap apa pun lagi setelahnya, Alejandro berjalan meninggalkan Carlos yang sedang berusaha mengatur napasnya. “Kau baik-baik saja?” Xaviera menunduk, meletakkan satu tangannya pada bahu Carlos. Kekhawatiran jelas terlihat di matanya. “Aku baik. Jangan pedulikan aku! Lebih baik kau ikuti dia. Jangan sampai dia marah lagi dan berakhir melakukan hal yang sama padamu. Sana, pergilah!” Carlos melepaskan tangan Xaviera. Sejujurnya Xaviera ingin sekali menolong Carlos, setidaknya membawanya ke tempat berteduh. Namun, tolakan dan ucapan Carlos, membuatnya harus mengurungkan niatnya dan segera berlari mengikuti jejak Alejandro yang semakin jauh. Tanpa ada yang tahu bahwa kecelakaan itu hanyalah sandiwara Alejandro untuk membuat Xaviera berhenti mengobrol dengan Carlos. Meski yang Alejandro lakukan taruhannya adalah nyawa, namun ia cukup puas, karena rencananya berhasil. Xaviera, yang sibuk menyiapkan keperluan Alejandro, sampai melupakan tentang dirinya sendiri. Lihatlah pakaian dan rambutnya yang basah kuyup akibat kucuran hujan, tak ia hiraukan. “Nona, ini pakaian ganti untuk Anda.” Di tengah kesibukannya Xaviera mendengar suara pria. Sontak saja hal tersebut membuatnya langsung membalikkan badannya. “Di mana Mr. Alejandro?” tanya Xaviera, sambil mengulurkan tangannya. “Mr. Alejandro sedang berganti pakaian, Nona. Saya sarankan agar Anda juga segera berganti pakaian. Pakaian basah seperti itu tidak bagus untuk kesehatan Anda.” Xaviera menunduk, menyisir dirinya sendiri yang cukup berantakan. “Baiklah. Terima kasih. Jika nanti Mr. Alejandro sudah selesai dan mencariku, tolong katakan aku sedang berganti pakaian.” “Baik, Nona. Kalau begitu saya pergi.” Sepeninggalnya pria tersebut, Xaviera tak pergi ke tempat lain, melainkan memasuki sebuah ruang ganti yang masih berada di ruangan yang sama. “Ya Tuhan, bos-ku memang sangat menyusahkan.” Xaviera melepaskan pakaian basah yang melekat di tubuhnya sambil berucap kesal. Ceklek! Hingga tiba-tiba saja pintu terbuka. Keadaan Xaviera memang membelakangi pintu, namun ia belum sempat mengenakan sepotong pakaian pun, sehingga sontak saja membuatnya langsung menoleh ke belakang. Melihat Alejandro yang merupakan sosok pembuka pintu tersebut, membuat Xaviera berteriak kencang “Aakhh!” Suara melengking Xaviera memenuhi seisi ruangan. Dan detik itu pula Alejandro langsung menutup kembali pintu tersebut. Keterkejutan itu membuat Xaviera langsung terduduk di lantai sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang. Pandangan Xaviera masih tertuju pada pintu. “Sial. Aku lupa mengunci pintu,” ucapnya kesal dengan kebodohannya sendiri. Buru-buru Xaviera mengenakan pakaian dan sepatunya. Baru saja melangkahkan kakinya keluar, Xaviera dibuat mematung di tempat, karena ternyata Alejandro tidak pergi seperti perkiraannya, melainkan tetap berada di sana. Bayangan kejadian sebelumnya membuat Xaviera menunduk malu, tak berani memandang wajah Alejandro. “Maaf.” Satu kata itu terucap dari bibir Alejandro, membuat Xaviera membelalakkan matanya tak percaya. Karena ini adalah kali pertama ia mendengar Alejandro berucap kata tersebut. “Aku sembarang membuka pintu. Aku tidak tahu kau ada di sana.” Xaviera memberanikan dirinya rinya mengangkat kepalanya. “I–iya, Mr. Saya mengerti.”Tanpa diantar sopir, Alejandro menyetir mobilnya sendiri. Mobil sport berwarna hitam dan berperawakan mewah itu terhubung langsung ke ponsel Alejandro, sehingga ketika ada panggilan masuk, Alejandro dapat melihatnya dari layar kecil di dashboard. Klik! Alejandro menekan salah satu tombol. “Ada apa?” tanya Alejandro, lalu kembali fokus pada jalan raya. “Maaf mengganggu hari libur Mr. Saya ingin mengabari para tamu dari berbagai negara telah datang lebih cepat dari jadwal. Sekarang saya sedang bersama dengan mereka semua.” Suara pria itu merupakan Carlos. “Aku tidak bisa datang hari ini,” ujar Alejandro. “Tapi mereka ingin bertemu dengan Mr. sekarang juga,” balas Carlos di sebrang sana. Alejandro melirik sejenak. Tanpa pikir panjang, Alejandro langsung menjawab, “Alihkan perhatian mereka, bawa mereka ke sirkuit dan tunjukkan produk baru kita, dan katakan aku baru bisa bertemu besok karena hari ini jadwal lain!” Tak ingin mendengar bantahan Carlos, langsung saja Alejandro m
“Selamat datang ...” Xaviera membuka pintu apartemen dengan gembira, menyambut kepulangan Gabriel yang telah pergi selama lebih dari 100 hari lamanya. Mereka—Gabriel dan Xaviera memang tinggal bersama. “Aku merindukan tempat ini.” Gabriel, yang masih berdiri di ambang pintu, membawa matanya memandang sekeliling ruang tamu yang bersih, barang-barang tertata rapi dan beraroma floral seperti kesukaannya dan Xaviera. “Kau hanya merindukan tempat ini saja, tidak denganku? Padahal aku yang selalu merindukan dan menantikan kepulanganmu, tapi yang kau rindukan hanya apartemen ini saja,” sahut Xaviera bernada sindiran. “Tentu aku juga merindukanmu, Mi amor.” Gabriel melepaskan tangannya pada genggaman koper. Tangannya yang besar merambat ke pinggang ramping Xaviera, lalu menarik kekasihnya. Cupp! Gabriel mengecup singkat bibir Xaviera, membuat bibir merona yang sebelumnya mengerucut itu langsung berubah tersenyum. Gabriel kemudian melepaskan jaket coklatnya, dan melemparkannya ke sof
Ting! Terdengar suara berdenting dari ponsel Alejandro, menandakan pesan masuk. Pria yang sedang mengenakan pakaiannya itu hanya melirik malas. Tanpa ada niat mengambil benda tersebut atau bahkan membalas pesan yang masuk, Alejandro memilih untuk melanjutkan gerakan tangannya. Dan setelah selesai dengan pakaian casual-nya, barulah satu tangan Alejandro merayap mengambil ponselnya. Isabel, itulah nama dari sang pengirim pesan. Ajakan untuk bertemu, tak Alejandro hiraukan, ia bahkan tidak membalas pesan tersebut. Masih di kamarnya yang begitu luas, bersih, tenang dan minim barang, dan didominasi warna hitam, Alejandro mengambil sebuah topi fedora berwarna abu-abu, lalu memasangkannya ke kepalanya. Sambil berjalan keluar, pandangan Alejandro terus tertuju pada ponselnya dan tak menghiraukan sapaan para pelayan. Langkah kaki besar Alejandro terhenti tepat di depan seorang pria yang membuka pintu mobilnya. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan jika ada yang datang ke sini, bukan?” ta
"Aku ingin membangun keluarga kecil bersamamu, hanya denganmu.” Kata-kata yang Gabriel ucapkan lusa lalu, terus menggerayangi kepala Xaviera, hingga membuat wanita cantik itu tersenyum malu-malu. Xaviera mengangkat tangannya, menunjukkan cincin indah yang melingkari jadi manisnya—tanda Gabriel telah mengikatnya dan mengubah status mereka menjadi bertunangan. “Kau selalu saja manis. Cinta dan perhatianmu paling bisa membuatku melayang ke atas awan.” Xaviera terlalu sibuk memikirkan Gabriel, hingga melupakan posisinya yang saat ini berada di kantor, tepatnya meja kerjanya. “Aku menggajimu bukan untuk melamun.” Suara seorang pria memecah keheningan dan membuat Xaviera langsung tersadar. Begitu menolehkan kepalanya, Xaviera mendapati Alejandro berdiri di samping mejanya sambil menatap tajam dirinya. Sontak saja hal tersebut membuat senyum Xaviera menghilang dan berganti dengan ekspresi terkejut. “Maafkan saya, Mr.” Xaviera langsung bangkit dari duduknya dan menundukkan kepalany
Di tengah ruang yang dipenuhi dengan aroma kopi dan tumpukan dokumen, suasana tegang mulai terasa. Para petinggi NOWZ COMPANY duduk mengelilingi meja besar berlapis marmer, setiap wajah menunjukkan ekspresi serius dan konsentrasi tinggi. Alejandro, dengan postur tegap dan tatapan tajam yang khas, memandang satu per satu wajah di hadapannya, seolah menimbang setiap kata yang terucap.Sementara itu, di samping Alejandro ada Xaviera yang duduk berhadapan dengan laptop dan berkas-berkas penting di hadapannya. Dia sesekali menatap Alejandro, mencatat setiap detail penting yang keluar dari mulutnya. Hampir dua jam lamanya pertemuan para petinggi itu berlangsung, hingga setelah selesai, Alejandro langsung meninggalkan ruang rapat dan tentunya diikuti Xaviera di belakangnya. Di tengah lorong, Alejandro tiba-tiba saja menghentikan langkah besarnya, tentu membuat Xaviera terkejut, hingga membuat Xaviera berakhir menabrak punggung lebar pria pria itu.
Di pagi yang cerah ini, Gabriel mengajak Xaviera ke sebuah taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang mekar indah, tempat di mana mereka pertama kali bertemu. Sambil berjalan-jalan, mereka berdua tertawa lepas, saling melempar senyum yang penuh arti. Di sebuah bangku taman, mereka duduk berdampingan. Gabriel menggenggam tangan Xaviera dengan erat, matanya berbinar penuh cinta. “Ingat, saat kita pertama kali bertemu di sini? Kau sedang membaca buku puisi Neruda,” kata Gabriel, sambil mengusap rambut Xaviera lembut. Xaviera mengangguk, matanya berkilauan, “Iya, dan kau datang dengan secangkir kopi untukku, bilang bahwa Neruda adalah penyair favoritmu juga.” “Kau tahu sesuatu, Mi Amor? Saat itu sebenarnya aku berbohong.” Xaviera terhenyak mendengar perkataan Gabriel barusan. “Maksudmu?” tanyanya dengan alis terangkat sebelah. Gabriel tersenyum penuh arti, lalu menjelaskan bahwa kebohongan kecil itu adalah caranya untuk mendekati Xaviera. Dan Gabriel berhasil, karena setelah
Persaingan antar produk otomotif yang semakin ketat, memaksa Alejandro memutar otaknya untuk tak tertinggal dengan yang lain. Berbagai macam inovasi baru Alejandro buat dengan bantuan para bawahannya. Seperti pagi ini, mereka semua berkumpul di ruang rapat. “Kita perlu strategi baru untuk menghadapi persaingan di pasar otomotif,” ujar salah satu dewan direksi sambil menatap satu per satu wajah yang hadir. Kepala departemen R&D, segera mengambil alih, “Saya sarankan kita mulai fokus pada pengembangan mobil listrik. Ini adalah masa depan industri otomotif,” katanya dengan semangat, sambil menunjukkan prototipe desain mobil listrik di layar besar. Seorang pria dari manajer pemasaran, mengangkat tangan, "Setuju, dan kita harus memperkuat kampanye pemasaran digital kita. Kita perlu menjangkau konsumen muda yang lebih peduli dengan keberlanjutan dan teknologi.” Diskusi semakin hangat, beberapa ide berbeda mulai bermunculan dar
“Gabi ...!” Baru saja menapaki kakinya keluar dari perusahaan, Xaviera melihat Gabriel, sontak saja hal tersebut membuatnya memekik kegirangan. Dengan senyum lebarnya, Xaviera berlari dan berakhir memeluk Gabriel. “Aku merindukanmu ...,” ujar Xaviera lirih. Gabriel terkekeh pelan. “Sebegitu besarkah cintamu padaku, padahal kita hanya berpisah 8 jam.” Xaviera tak menjawab, melainkan menyembunyikan wajahnya pada bahu kekar Gabriel. Rasa penat setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya, seketika sirna berkat pelukan hangat sang tunangan. Setelah cukup lama melakoni posisi tersebut, Xaviera menjauhkan dirinya, namun tangannya tetap merangkul leher Gabriel. “Kenapa kau bisa ada di sini? Kau pasti datang untuk menjemputku, 'kan?” tanyanya gembira dengan asumsinya sendiri. Senyuman Xaviera perlahan pudar karena Gabriel menggelengkan kepalanya. “Kau bukan datang untuk menjemputku?” tanya Xaviera lagi, dan Gabriel kembali menggeleng. Wajah bahagia Xaviera menghilang dan bergan
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok
Alejandro berdiri di tengah ruang kerja luas dengan dinding berlapis kaca yang memantulkan cahaya rembulan. Sang ayah berdiri di depannya dengan dahi berkerut dan mata yang berapi-api. Tangannya terkepal, seolah menggenggam amarah yang siap meledak kapan saja. Udara di ruangan itu seakan membeku, setiap suara terdengar lebih keras dan setiap gerakan terlihat lebih tajam. Ayah Alejandro—seorang pria paruh baya dengan aura otoritas yang kuat, memulai serangannya dengan suara yang keras dan tegas, “Kau tahu betul, Alejandro, betapa pentingnya hubungan keluarga kita dengan keluarga Isabel. Keluarga mereka telah banyak membantu kita. Bagaimana bisa kau begitu tega menolak membantu ketika dia membutuhkanmu?” Alejandro menggertakkan giginya, merasakan beratnya beban yang selama ini dipaksakan ke pundaknya. Dia menghirup nafas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk konfrontasi yang sudah lama ia hindari. Ayah Alejandro merah wajahnya, nadanya meningkat, “Kau tidak mengerti pentingnya menj
“Argh! Shh!” Suara Xaviera meringis, seakan menjadi sinyal bagi Gabriel, membuat Gabriel yang semula berada di luar langsung berlari ke kamar mereka. “Mi amor!” Gabriel memekik kuat ketika melihat Xaviera terduduk di lantai. Segera, Gabriel berlari lalu mengangkat Xaviera dan mendudukinya di pinggir tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Gabriel dengan cemas menyingkirkan rambut Xaviera, sehingga wajah pucat Xaviera dapat dilihatnya dengan jelas. “Gabi, aku haus.” Xaviera hanya mampu mengeluarkan beberapa kata saja, karena sejujurnya tenggorokannya sangat kering dan sakit. “Tunggu sebentar, biar aku ambilkan.” Gabriel kembali berlari keluar dari kamar, dan tak lama datang kembali dengan membawa segelas air. “Ini, minumlah!” Gabriel membantu Xaviera meminumnya, lalu mengusap bibir Xaveria yang kering. “Apa ada lagi yang kau inginkan?” Xaviera menggeleng. “Aku hanya ingin dirimu. Tolong peluk aku!” Xaviera bukan meminta, namun terdengar seperti memohon. Gabriel tentu tak
Semalaman Xaviera seorang diri di apartemen, hanya berteman kesunyian. Berharap Gabriel datang untuk memeluknya, dan menenangkannya di tengah gempuran rasa takutnya, namun itu semua hanya angan. Matahari sudah menampakkan dirinya, namun Gabriel tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Sementara Xaviera yang masih duduk di lantai, hanya bisa memeluk lututnya sendiri. “Gabi ...” Secara kebetulan, panggilan Xaveria terkabulkan. Sang pemilik nama yang terus Xaviera panggil, akhirnya menampakkan dirinya. “Mi amor!” Gabriel tentu terkejut sekaligus cemas melihat keadaan Xaviera. Langsung saja ia melepaskan sepatunya dan berlari mendatangi, lalu berakhir memeluk Xaviera. “Gabi ....” “Iya, ini aku. Kau kenapa, Sayang? Kenapa duduk di lantai seperti ini?” Gabriel mengusap lembut rambut kecoklatan Xaviera. “Aku menunggumu,” jawab Xaviera lemah. Gabriel meregangkan pelukannya dan mengusap Wajah cantik Xaviera yang pucat dan kulitnya terasa hangat. “Apa kau tidak membaca pes
Plak! Tanpa ada keraguan sedikit pun, Xaviera memukul wajah Alejandro. Saking keras tamparannya, Xaviera bahkan dapat merasakan telapak tangannya kebas. Air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata Xaviera, akhirnya terjatuh juga, membasahi wajahnya yang merah menahan amarah. Tanpa berucap apa pun, Xaviera berbalik dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Alejandro masih terpaku di tempatnya berdiri. Satu tangan Alejandro masih berada di wajahnya. Alejandro akui pukulan Xaviera cukup menyakitkan, namun di saat yang sama pikirannya masih terpaku pada reaksi Xaviera. Akibat amarah bercampur penat yang dirasakannya, membuat pikiran Alejandro berkecamuk. Alejandro tak bisa lagi menahan dirinya, hingga akhirnya ia melampiaskannya pada Xaviera. Padahal yang menantang kejantanannya adalah Isabel, namun yang menjadi ajang pembuktian adalah Xaviera. “Sial!” Sadar akan ketidakberadaan Xaviera di depannya, Alejandro mengumpat kesal. Alejandro melepaskan paksa paka
“Buktikan kau adalah pria perkasa, Alejandro!”“Membuktikannya? Untuk apa? Aku tidak perlu pengakuan dari siapa pun apalagi dirimu.” Alejandro membalas tantangan Isabel dengan tolakan.Kini bergantian, giliran Alejandro yahh mendekati telinga Isabel. “Kau berbicara seperti itu untuk menantang agar aku melakukannya denganmu, bukan? Caramu terlalu ... murahan,” lanjut Alejandro membuat Isabel tercengang mendengarnya.“Dengar, Isabel! Sejak kecil hingga sekarang, aku hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak pernah lebih. Dan persahabatan kita juga yang membuatku hingga saat ini menerima kehadiranmu.”Menyingkirkan tubuh Isabel dengan satu kali gerakan, Alejandro kemudian menunjuk wanita itu. “Jika bukan karena permintaan ayahmu, orang yang berjasa bagi keluargaku, aku tidak akan mau mengajarimu hal semacam ini. Hanya membuang waktu saja.”Isabel yang mendengar semua penuturan Alejandro, hanya bisa diam seribu bahasa. Mulutnya nenganga lebar, tak percaya Alejandro mampu berbicara sebany
Alejandro berdiri tepat di depan kaca besar yang memisahkannya dengan Xaviera. Sementara dirinya berada di dalam ruangannya, Xaviera sendiri di kursi kerjanya. Dalam diamnya itu, Alejandro terus memperhatikan setiap gerakan sekecil apa pun yang Xaviera timbulkan. Kedua tangan Xaviera begitu sibuk. Entah itu mengangkat telepon yang masuk, atau memainkan keyboard komputernya. Dan saking sibuknya ia, sampai tak menyadari ada yang terus memperhatikannya.“Karena Isabel, aku jadi tidak bisa mendapatkan Xaviera.” Bibir sedikit tebal Alejandro berucap, sambil mengingat kejadian beberapa waktu lalu.“Wanita itu memang sangat menyusahkan. Bisa-bisanya aku terikat perjodohan dengannya,” ucap Alejandro lagi.Entah kebetulan atau bagaimana, wanita yang membuat Alejandro kesal hanya karena memikirkannya tiba-tiba saja menampakkan dirinya. Alejandro sempat terkejut sesaat. Matanya sedikit menyipit ketika melihat Isabel berbincang dengan Xaviera. “Ale ...!” Seperti biasa, Isabel akan memasuki ruan
“Apa maksudmu?” Alejandro langsung menghentikan gerakan kakinya. Ditatapnya Isabel dengan rasa tak percaya. Bahu Isabel terangkat. “Entahlah. Sepertinya kau lebih memahami maksudku,” jawabnya dengan santai. Alejandro menarik lengan Isabel, memaksa agar wanita itu menatapnya. “Jangan berbelit-belit, Isabel! Kau tahu aku tidak menyukai—” “Diriku?” Isabel menyergah. “Katakan, jauh dari lubuk hatimu yang paling dalam, kau tidak menyukaiku secara personal, atau tidak menyukai sikapku pada Xaviera?” Jari telunjuk Isabel yang lentik terangkat dan mendarat pada dada Alejandro. Setiap kata yang meluncur dari bibir Isabel membuat Alejandro berpikir keras, bahwa ia harus berhati-hati menjawabnya. Jika salah berucap, rahasianya selama ini akan terbongkar. Drrt! Drrt! Beruntung, di tengah ketegangan itu ponsel Isabel berdering. Sejujurnya Isabel ingin sekali menolak panggilan tersebut, namun ketika melihat di layarnya tertera nama ayahnya, Isabel mau tak mau menjawabnya. “Halo, Ayah.
Gabriel memandang langit-langit kamarnya dengan rasa penasaran yang mendalam. Ada sesuatu yang aneh di sudut ruangan, sebuah bercak hitam yang terlihat jelas di antara warna putih yang mendominasi. Alisnya berkerut, sambil berbisik pada diri sendiri, “Benda apa itu?” Mata Gabriel tidak bisa lepas dari benda misterius itu.“Itu pasti kesalahan cleaning service," dengus Gabriel pelan. Kepalanya bergoyang kecil, seolah-olah mencoba menghapus ketidaknyamanan yang dirasakannya.“Aku rasa mereka tidak becus membersihkannya," desah Gabriel seraya menyalahkan layanan kebersihan apartemen.Dengan langkah cepat, ia menuju ke gudang untuk mengambil tangga. Seketika ia mengaturnya tepat di bawah noda hitam itu, memastikan posisinya aman untuk didaki. Dengan hati-hati, Gabriel mulai menaiki tangga tersebut. Setiap anak tangga yang dilalui terasa semakin mendebarkan.Saat tangan Gabriel hampir saja menyentuh permukaan yang bermasalah itu, tiba-tiba deringan ponsel memecah konsentrasinya. Jantungnya