Astoria mengenakan gaun mini elegan berwarna hitam dengan detail pita besar berwarna putih di bagian atasnya yang menambah kesan mewah dan anggun.
Gaun tanpa lengan ini memamerkan pundaknya dengan sempurna, memberikan kesan feminin yang kuat namun tetap menawan.Gaun tersebut pas di tubuhnya, memperlihatkan siluet yang ramping dan proporsional. salah satu pelayan menyodorkan perhiasan, memadukan penampilannya dengan sepasang anting panjang yang berkilauan, menambah sentuhan glamor pada keseluruhan penampilannya. "Oke," sahut Mikhail. Astoria mengangkat sebelah alisnya, "Hanya oke?"Tapi Mikhail hanya berdekhem dan mengeluarkan kartu hitamnya untuk membayar baju Astoria, Mikhail berbicara setengah berbisik, entah apa yang ia bicarakan pada beberapa pelayan itu.Setelah meninggalkan butik dengan gaun hitam anggun tadi, Mikhail mengarahkan Astoria ke sebuah salon mewah yang terletak di pusat kota.Astoria melangkah masukSentuhannya yang lembut ternyata cukup untuk membuat Mikhail tersentak bangun. Dia membuka matanya, dan dalam sepersekian detik, kesadaran akan situasi itu menyerbu dirinya. Dengan gerakan cepat namun penuh kendali, Mikhail memutar tubuhnya, menggulung tubuh Astoria dalam satu gerakan yang tiba-tiba, hingga membuat Astoria terbaring di bawahnya dan memekik terkejut. "Akh! Apa yang ...." Kata-kata Astoria menggantung tak terucapkan karena wajah Mikhail begitu dekat, tangannya terkunci oleh tangan Mikhail, jantungnya sudah bergemuruh, berdebar kencang bercampur dengan rasa terkejut. Mereka berdua saling tatap dalam keheningan yang mencekam. Nafas mereka bercampur di udara yang dingin, dan mata Mikhail yang gelap menelusuri wajah Astoria, mencari jawaban atas tindakan impulsifnya. Sementara Astoria, yang kini berada dalam posisi yang lebih rentan, merasa dadanya berdegup keras, seakan-akan waktu berhenti sejenak untuk menyaksikan ketegangan yang terjadi di antara mereka. “Mikha
Mikhail melangkah keluar dari kamar mandi dengan uap air hangat yang masih melingkari tubuhnya. Handuk tergantung longgar di pinggangnya, dan rambutnya yang basah meneteskan air, meninggalkan jejak-jejak kecil di lantai marmer yang dingin. Cahaya redup kamar membuat siluetnya tampak lebih tajam, bayangan yang memanjang di dinding seakan mengikuti setiap gerakannya. Namun, langkahnya terhenti begitu pandangannya tertuju pada sosok yang berada di tempat tidur. Astoria telah berganti pakaian. Gaun tidur tipis dan terawang yang tadi membungkus tubuhnya dengan lembut, kini telah digantikan oleh kemeja putih yang jelas-jelas terlalu besar untuk tubuhnya yang mungil. Kemeja itu milik Mikhail, salah satu dari banyak kemeja yang sering ia pakai saat di rumah. Kemeja itu menggantung longgar di bahunya, menutupi sebagian besar tubuhnya namun tidak cukup untuk menyembunyikan lekuk-lekuk yang membuatnya terlihat semakin sensual. Lengan kemeja yang terlalu
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai, menyelimuti kamar dengan cahaya yang lembut.Astoria terbangun lebih dulu, rasa kantuk masih melingkupi matanya, namun ia segera sadar bahwa ini bukan kamarnya yang biasa.la mengingat tempatnya berada, kediaman orang tua Mikhail, mansion megah yang begitu asing baginya.Dia bangkit dari tempat tidur, merapikan kemeja Mikhail yang masih membalut tubuhnya. Kemeja itu begitu besar, panjangnya hanya sampai di atas pahanya, namun justru karena itu, ia merasa sedikit terlindungi daripada memakai gaunt tidur tipis yang di siapkan kemarin malam oleh kepala pelayan. Tanpa pikir panjang, Astoria melangkah ke meja rias di sudut ruangan. Ia mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya yang tergerai, sambil berdiri memunggungi tempat tidur.Sementara itu, Mikhail terbangun perlahan, matanya yang setengah terbuka menangkap sosok Astoria di depan cermin.Dia terdiam sejenak, matanya fo
Mikhail menatap Astoria dengan mata yang penuh gelora, sebuah ekspresi yang tak biasa terlihat dari dirinya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terbakar ketika melihat setengah punggung Astoria terbuka tanpa busana. Tanpa berpikir panjang, dia mendorong tubuh Astoria ke ranjang, membuat wanita itu tersentak kaget. Astoria nyaris berteriak, namun sebelum suara itu bisa keluar, Mikhail dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan yang lembut namun tegas. "Ssst ... jangan berteriak!" bisiknya dengan nada rendah, nyaris seperti sebuah peringatan. Mata coklat gelapnya menatap dalam ke mata Astoria yang terbelalak. "Apa yang kau lakukan?" tanya Mikhail. Astoria mengerang pelan, tubuhnya tegang di bawah berat Mikhail. Dia mencoba bersuara, namun suaranya teredam di balik genggaman tangan Mikhail yang masih menutup mulutnya. Sensasi kehangatan dari kulitnya membuat napasnya memburu, sementara pikiran-pikirannya berputar tak
Mikhail dan Astoria akhirnya turun dari kamar mereka. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, mempersiapkan diri untuk menghadapi pagi ini di hadapan keluarga Bloom. Ketika mereka sampai di lantai satu, ruang makan megah sudah tampak di depan mata. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela besar, memantulkan cahaya lembut ke perabotan antik yang mewah. Suasana yang hangat namun tetap formal menyelimuti ruangan itu. Di meja makan, Tuan dan Nyonya Bloom telah duduk dengan anggun. Senyum mereka terhampar hangat, mengundang rasa nyaman sekaligus gugup bagi Astoria. "Bagaimana malamnya?" tanya Nyonya Bloom dengan nada yang ramah, matanya menatap lembut ke arah pasangan muda itu. "Baik, Bu," jawab Mikhail singkat, suaranya terdengar tegas meski tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan perasaan yang terjadi semalam. Dia mengambil tempat duduk di sebelah Astoria. "Tidur kami nyenyak Nyonya," jawab Astoria yang melawan ra
Astoria tak membalas pesan dari Jerry. Dengan sedikit gemetar, ia menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya, seolah menyingkirkan masalah yang baru saja menghampirinya. Pikiran itu masih mengganggunya, namun di depan orang tua Mikhail, ia berusaha menampilkan wajah yang tenang. Mikhail kemudian pamit pada ayah dan ibunya di ambang pintu rumah besar itu. Astoria mengikuti di belakangnya, mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan dengan senyum sopan. Begitu mereka sampai di mobil, suasana berubah menjadi sunyi. Mikhail duduk di kursi pengemudi, sementara Astoria berada di sampingnya. Sebelum Mikhail menyalakan mesin mobil, dia berhenti sejenak. Tatapannya terfokus pada Astoria melalui spion depan, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi. "Pesan dari siapa tadi?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar namun penuh makna. Astoria menoleh seketika, sedikit terkejut. Rasanya seperti dirinya baru saja tertang
Setibanya di hotel, suasana langsung berubah. Setiap langkah mereka memasuki lobi disambut dengan salam hormat dari para karyawan.Mikhail, dengan gaya khasnya, hanya membalas dengan anggukan kecil tanpa banyak kata. Ada dingin yang tak tersembunyi di wajahnya, sebuah jarak yang tak terjangkau oleh siapa pun.Berbeda dengan Astoria, yang meskipun hatinya sedang dilanda kekalutan, tetap membalas sapaan-sapaan itu dengan senyuman dan perhatian."Selamat pagi, Nyonya Astoria," sapa seorang karyawan dengan semangat."Pagi! Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Astoria lembut."Baik, Bu. Terima kasih sudah menanyakan."Senyuman manis dari Astoria terasa seperti cahaya yang menerangi pagi para karyawan berbanding terbalik dengan CEO-nya itu yang seperti membawa awan gelap ketika ia datang.Namun, saat Astoria dan Mikhail melangkah lebih jauh ke dalam lobi, suasana itu seketika berubah. Dari balik meja resepsionis, Jhein menatap A
Setelah jam kerja usai, kantor perlahan mulai sepi. Lampu-lampu mulai dipadamkan satu per satu, hanya menyisakan kerlipan cahaya redup yang memantul dari permukaan meja-meja di sekitar. Mikhail berjalan mendekati meja Astoria dengan langkah yang mantap, wajahnya serius seperti biasanya."Aku akan pulang larut hari ini, kau pulang duluan saja," ujar Mikhail dengan nada datar, seolah memberi tahu hal yang sepele.Astoria hanya mengangguk pelan, tak banyak bicara. Mikhail kemudian pergi, meninggalkan jejak keheningan yang kerap menyertai kepergiannya.Namun, hanya beberapa saat setelah Mikhail menghilang di balik pintu, Jerry muncul dengan senyum hangat. "Ayo, kita juga pergi sekarang," ajaknya. Ada nada ajakan yang lebih dari sekadar rutinitas di kalimatnya.Mereka berdua kemudian beranjak pergi, meninggalkan gedung hotel yang megah di dalam malam yang dingin. Jerry sudah menyiapkan sebuah rencana yang sederhana namun bermakna, makan malam
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera