Liliana Revalina Johnson bukanlah gadis yang berasal dari keluarga kaya raya, bukan juga dari keluarga miskin yang nyaris tak punya apa-apa. Pendapatan ayahnya sebagai kepala divisi di salah satu cabang perusahaan PT. Mahawira Trans Utama terbilang cukup besar, dan selama ini Liliana tumbuh tanpa merasa kekurangan.Dulunya Liliana merupakan anak yang periang, cerdas, supel dan menyenangkan. Tapi semua berubah saat ia mulai menapaki pertengahan bangku SMP.Perusahaan tempat ayahnya bekerja memberikan fasilitas beasiswa penuh pada para anak kepala divisi yang berprestasi. Ayah Liliana termasuk dalam kepala divisi berprestasi saat itu, karena beliau sangat ulet bekerja.Liliana yang sebelumnya bersekolah di SD swasta kecil dekat rumahnya, setelah lulus melanjutkan ke jenjang SMP di salah satu sekolah elitedengan sponsor beasiswa dari kantor sang ayah. Dan selayaknya sekolah swastaelitepada umumnya, Liliana bergaul dengan anak-ana
Dua hari lagi Liliana akan menghadiri undangan acara malam penghargaan mahasiswa berprestasi yang diadakan oleh kampusnya. Acara tersebut akan diselenggarakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Mahawira.Saat ini Liliana sedang membongkar seluruh lemari pakaiannya untuk mencari pakaian yang cocok ia kenakan di acara penting besok lusa. Sudah hampir satu jam memilih, tidak ada gaun yang dirasa cukup bagus untuk ia pakai.Liliana butuh gaun baru. Mungkin gaun koleksi terbaru dari brand Miumiu, salah satu poplin dress koleksi musim semi-panas Burberry, atau gaun sutra milik brandCeline.Untuk sepatu Liliana masih memiliki sepasang Mary Jane pump heelsbaru yang belum sempat dipakainya. Sedangkan untuk tas, ia juga masih memiliki duasling bag dari brandGivenchy yang baru datang pekan lalu.Sepatu dan tas mewah tersebut belum lama didapatkannya atas bantuan salah sat
Tidak punya opsi lain, Liliana memutuskan menghadiri acara malam ini dengan mengenakan gaun chiffon bermotif keluaran Zara. Gaun maxi warna hijau army tersebut sudah lama dibelikan oleh ayahnya dan belum pernah ia kenakan. Karena jujur saja, gaun itu bukan tipe Liliana sekali.Selama ini mana pernah Liliana mengenakan pakaian berwarna hijau dengan banyak motif. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak mungkin mengenakan gaun lama yang sudah pernah dipakai untuk malam ini, kan?Liliana datang lebih awal ke lokasi acara, yang diselenggarakan di salah satu ballroom The Royal Sapphire Hotel and Resorts, bersama teman-teman sefakultasnya yang lain. Mereka memang sepakat datang lebih awal agar memiliki banyak waktu untuk menyiapkan diri.Ada sekitar 30 mahasiswa berprestasi yang diundang malam ini, enam mahasiswa berasal dari fakultas Liliana, dan tiga di antaranya dari Prodi Ekonomi dan Bisnis, termasuk Liliana sendiri.Acara ini diselenggarakan bukan hanya sebagai ajang penghargaan saja, melaink
Mata Liliana tidak pernah lepas dari sosok Edgar dan Kaluna sejak kedua orang itu memasuki ballroom dan menarik perhatian semua orang. Liliana baru bisa mengalihkan perhatiannya saat seorang pria paruh baya menghampiri dua orang di sana dan tak lama setelahnya Kaluna memisahkan diri."Nggak nyangka aku, Kaluna Osmond kalau diliat langsung aslinya cantik banget, ya," pujian yang dilontarkan Lana membuat Liliana seketika mengernyit."Memang aslinya lebih cantik dari di foto, kan," timpal Briana."Gaun batik yang dipakai Kaluna Osmond malam ini juga setau gue salah satu koleksi terbatasnya Rinaldy Soesastro. Gila sih, orang kaya emang beda, ya," lanjut gadis itu diakhiri decakan kagum.Liliana merasa telinganya seketika panas mendengar kedua temannya melontarkan pujian pada penampilan Kaluna. Tentu saja, dibanding Liliana yang datang dengan gaun hijau Zara—yang akhirnya ia sesali untuk dipakai—tampilan Kaluna dengan gaun desainer miliknya membuat wanita itu tampak seratus kali lebih mena
Ruang kamar hotel tipe presidential suite itu sudah lengang. Tidak ada lagi suara orang yang bercakap-cakap rendah dengan raut serius di sana. Semua orang telah pergi, meninggalkan seorang pria yang kini terlelap di atas tempat tidur, dengan seorang wanita yang mengawasinya dari tepi ranjang.Hembusan napas lelah terdengar dari mulut Kaluna. Sudah lebih dari sepuluh menit yang lalu ia duduk bersandar di kepala ranjang, mengawasi wajah Edgar yang tertidur tenang.Lamat-lamat otaknya memutar kembali peristiwa yang terjadi tadi. Edgar yang memaksa dirinya dibawa ke dalam bath tub begitu mereka sampai di kamar, dan bagaimana pria itu menyalakan shower untuk membasahi dirinya sendiri dengan air dingin.Kaluna masih ingat erangan Edgar dan suara keributan kecil yang ditimbulkan Daniel serta Sarah saat mereka sampai bersama seorang dokter keluarga Mahawira. Dalam keadaan basah kuyup, meringkuk di dalam bath tub, Dokter Tanjung memeriksa keadaan Edgar.Hasil pemeriksaan itu sesuai dengan duga
Tempat Kaluna berada saat ini adalah sebuah padang sabana hijau yang tak berujung. Langit biru dengan gumpalan awan putih berarak-arak menaungi kepalanya. Hembusan angin dingin mengiringi setiap langkahnya.Jauh di dalam hati, Kaluna tahu saat ini ia sedang berada di ruang mimpi yang kemungkinan besar adalah hal fana. Matanya bergulir ke segala arah, memindai sejauh mungkin pemandangan tidak realistis di sekitarnya.Ia tahu, di dunia ini tidak ada padang sabana yang penuh dengan bunga iris biru keunguan yang tumbuh berselang-seling di antara rerumputan hijau. Tidak ada pula padang sabana di dunianya dulu, yang setiap lima meternya terdapat pohon tabebuya dengan penampakan serupa pohon bunga sakura.Kumpulan pohon tersebut sedang dalam keadaan mekar sempurna bunga-bunganya, kuning cerah keemasan. Kontras dengan warna biru keunguan bunga-bunga iris yang menutupi dataran.Langkah kaki Kaluna baru berhenti saat ia tiba di sebuah titik, tempat tiga pohon tabeb
Rasanya Kaluna sudah tidur sangat lama, tapi saat ia membuka mata, kamar hotel yang ditempatinya masih gelap. Belum ada sinar matahari yang masuk dari sela-sela tirai jendela.Di sampingnya Edgar juga masih terlelap, tangan pria itu masih melingkari pinggang Kaluna, meski tidak lagi erat. Merasa sudah cukup beristirahat, Kaluna beranjak duduk, melepaskan belitan lengan Edgar perlahan. Untungnya lelaki itu tidak terusik.Menyeret tubuh ke pinggir ranjang, Kaluna segera memeriksa ponselnya yang sebelum tidur ia letakkan di meja nakas. Pukul setengah enam pagi. Sepertinya masih ada sedikit waktu untuk sarapan dan membersihkan diri.Ada beberapa notifikasi pesan dari Sarah dan Daniel, tapi Kaluna memutuskan untuk membukanya nanti saja. Meletakkan kembali ponselnya, ia beralih pada telepon kabel, menghubungi layanan kamar.Ia memesan beberapa menu sarapan, memintanya untuk diantar tiga puluh menit kemudian, tepat pukul enam. Selesai dengan urusan pesan-memesan
Di kamar minimalis bernuansa modern classicpenuh warna putih dan cordovan, sosok Liliana sedang sibuk berjalan bolak-balik di depan tempat tidursingle size-nya dengan gelisah.Sial, sial, sial! Rencananya kacau! Hancur sudah semua!Sibuk menggigiti kuku jarinya sampai nyaris patah, pikiran Liliana seberantakan rencananya yang gagal semalam. Kenapa Kaluna bisa ikut menghadiri acara kampus semalam, sih? Memang siapa wanita itu sampai bisa datang ke acara internal kampus yang cukup penting itu?!Seharusnya pagi ini Liliana terbangun di samping Edgar, menangis tersedu, dan membuat lelaki itu mengatakan kalimat pertanggungjawaban atas tindakannya. Seharusnya begitu!Tapi gara-gara kemunculan Kaluna yang terus mengekori ke manapun Edgar pergi, semuanya tidak berjalan sesuai alur rancangannya!Wanita itu sungguh tidak pernah melepaskan Edgar dan menempelinya di mana-mana. Sangat tidak tahu malu!Kalau semuanya
"Abang, Kak Lava, tolong bantu Arlo cari sepatu yang udah Mami siapin kemarin, ya. Mami mau urus Adek Sean dulu," Kaluna melongok ke ruang bersantai di lantai dua tempat Damian dan Lavanya berada."Okay, Mam," Damian meninggalkan tabletnya di atas sofa dan menarik tangan Lavanya yang masih asyik menonton tayangan televisi di depan."Abang! Nanggung ini, bentar lagi selesai acaranya!" Lavanya bersungut, berusaha menarik tangannya dari tarikan Damian."Mami udah capek-capek ke sini buat minta tolong, lho, Va," Damian tetap tidak melepaskan tangan sang adik dan semakin berusaha menariknya, meski tidak kuat. "Ayo, ah. Itu tontonan besok juga bisa diulang lagi."Akhirnya dengan ogah-ogahan Lavanya bangkit dari posisi nyamannya dan mengikuti sang abang menuju kamar adik mereka di lantai yang sama."Arlooo," Lavanya memanggil saat Damian membuka pintu kamar Arlo di samping kamar orang tua mereka.Tampak seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sudah rapi dengan setelan tuxedo-nya sedan
"Kau yakin tidak ingin tinggal di sini saja, Dear?" Benedict menatap Kaluna penuh harapan.Sudah beberapa hari berlalu sejak lamaran tidak romantis Edgar pada Kaluna. Setelah itu mereka berdiskusi dengan serius tentang rencana kepulangan Kaluna dan anak-anak. Sebagai seseorang yang paling memahami tentang kondisi Damian juga Lavanya, Kaluna mengajukan beberapa pertimbangan pada Edgar.Meski selama satu tahun ini terapi Damian dan Lavanya berjalan baik di tangan Luca, tapi tidak menutup kemungkinan trauma mereka dapat muncul kembali saat dihadapkan dengan situasi atau lokasi tertentu. Seperti kolam renang di rumah mereka misalnya.Kaluna tidak ingin kepulangan mereka berbalik menjadi hal yang menyulitkan bagi Damian maupun Lavanya. Dengan segala kekhawatiran tersebut, Kaluna jadi banyak berpikir ulang tentang kembalinya mereka.Di tengah dilemma yang melanda, Edgar menggenggam kedua tangan Kaluna dan meyakinkan wanita itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Edgar berjanji akan mengurus s
Langit sudah gelap meski jam dinding masih menunjuk pada pukul setengah lima petang. Udara di luar menjadi jauh lebih dingin dari siang tadi. Rumah Kaluna sudah temaram, suasana yang sebelumnya ramai kini berubah tenang.Di kamar utama, Damian juga Lavanya sudah lelap dalam tidur. Bergelung nyaman di balik selimut tebal yang membungkus tubuh keduanya. Sisa hari ini mereka habiskan untuk bermain, bercerita, dan menempel pada sang papa.Selepas menghabiskan makan malam yang Kaluna berikan lebih awal, rasa kantuk langsung menyergap dua anak tersebut dengan cepat. Alhasil, Damian dan Lavanya tidur tiga jam lebih awal dari biasanya.Berbeda dengan suasana kamar yang sudah gelap dan sunyi, lampu di dapur masih menyala terang. Di sana tampak Kaluna yang sedang memasak makan malam sederhana, ditemani Edgar yang betah berlama-lama menatap punggung sang wanita dari kursipantry.Makan malam Damian dan Lavanya tadi hanyalah sisa dari menu makan s
Udara di luar semakin dingin, Damian dan Lavanya sudah berhenti bermain salju sejak beberapa menit yang lalu. Keduanya kini bergabung dengan Luca yang menggantikan Kaluna untuk mengawasi mereka bermain."Kenapa Uncle kemari?" tanya Damian dengan nada kesal setelah menyesap cokelat hangat dari tumblr miliknya."Kenapa? Tentu saja karena aku merindukan kalian," Luca menebar senyuman ramahnya. "Teganya kalian berlibur tanpa mengajakku ikut serta," sambungnya pura-pura merajuk.Damian langsung mengernyitkan dahinya mendengar gaya bicara Luca yang diimut-imutkan. Ekspresi tidak senang kentara sekali terlihat di wajahnya."Kalau Uncle ikut, semuanya jadi nggak seru. Iya, kan, Dek? No Uncle, more fun, right?" Damian menole pada Lavanya, meminta dukungan sang adik.Dan tentunya Lavanya langsung mengangguk setuju tanpa berpikir lebih lama. "No Uncle, more fun!" sahutnya dengan senyuman lebar.Luca seketika mencebik. Susah sekali mengambil dua hati anak itu."Mami mana? Kenapa tidak kembali-kem
Mulut Kaluna terbuka sebelum akhirnya tertutup kembali. Ia terlalu terkejut dengan keberadaan Edgar di balik pintu rumahnya. Kaluna tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.Tidak. Lebih tepatnya, Kaluna bingung harus mengatakan apa pada Edgar.Buongiorno? Halo? Lama tak jumpa?Semuanya tidak ada yang terasa tepat. Terlebih dengan adanya masalah yang belum juga selesai di antara keduanya.Jadi, Kaluna hanya diam, memandangi wajah Edgar lurus-lurus. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kaluna mengingatnya. Gurat letih tampak jelas di garis-garis wajahnya. Kaluna juga dapat melihat dengan jelas kantung mata Edgar yang menghitam juga tebal.Edgar bahkan membiarkan rambut-rambut tumbuh di sekitar mulut dan dagunya. Pria itu sekarang memiliki brewok tipis yang entah mengapa membuatnya tampak berkali lipat lebih berkharisma.Kaluna buru-buru mengerjap dan berdehem, mengalihkan pandangannya dari wajah Edgar yang masih dipenuhi sen
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Edgar akhirnya tiba.Pagi tadi, James memberi kabar kalau Benedict akan kembali dan tiba di kediaman sore ini. Jadi begitu mobil pria tua tersebut memasuki halaman, Edgar sudah berdiri di samping James, siap menyambut kedatangan Benedict di teras."Oho! Lihat siapa yang menyambutku di sini!" sahut Benedict terkesan, begitu dirinya keluar dari mobil dan mendapati putranya bersandar di pilar teras dengan kedua tangan bersedekap di dada."You've really tested my patience these past few days," Edgar menyorot Benedict dengan tatapan tidak bersahabat.Benedict hanya tertawa sambil menepuk-nepuk pundak sang anak, lalu dirinya melenggang masuk begitu saja. Edgar menghembuskan napas lelah sebelum menyusul sang ayah ke dalam."Di mana Kaluna sama anak-anak saya?" tanya Edgar tidak sabar."Seriously, Son?" masih tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar utama, Benedict menanggapi sang ana
Meskipun merasa luar biasa lelah setelah terbang lebih dari dua puluh jam menuju Italia, Edgar tidak mau membuang waktunya lebih banyak lagi. Pria itu memilih langsung memesan taksi di bandara, bergegas untuk menyambangi rumah sang ayah.Harusnya dulu Edgar mempercayai instingnya saja dan mengabaikan amarah Benedict. Kalau begitu, kan, sudah lama ia bertemu dengan Kaluna, Damian, juga Lavanya. Ia tidak perlu susah payah mencari keberadaan mereka di seluruh dunia.Hari sudah sore saat Edgar sampai di kediaman Benedict. James, kepala pelayan rumah ayahnya, menyambut kedatangan Edgar."Di mana ayahku?" tanya Edgar tanpa basa-basi, mengabaikan sapaan James.Lelaki pertengahan empat puluh tahun tersebut tidak menjawab segera pertanyaan Edgar, James lebih dulu menginstruksikan dua pelayan yang ikut bersamanya untuk membongkar koper dan tas sang tuan muda dan membawanya ke dalam rumah."Tuan Benedict sedang tidak ada di kediaman saat ini, Tuan Muda," jawab James akhirnya, mengiringi langkah E
Pagi ini Benedict mengajak Kaluna dan cucu-cucunya untuk sarapan bersama di rumahnya. Berbagai macam hidangan yang lebih banyak dan fancy dari biasanya terhidang di meja makan luas itu. Suasanya ramai membuat ruang makan Benedict yang biasanya lengang menjadi terasa lebih hidup."Tell mei, Mio Nipote (Cucuku), kau ingin hadiah apa dari Nonno (Kakek) atas kelulusanmu?" Benedict memandang Damian penuh minat di sela sarapan mereka."Nggak perlu berlebihan, Pa. Lagi pula Damian baru lulus TK," timpal Kaluna sebelum si sulung menjawab pertanyaan kakeknya."No, no. Biarkan aku memberi hadiah. Anggap saja sebagai ganti hadiah ulang tahunnya kemarin yang tidak bisa kuberi karena kalian lupa mengundangku," tangkas Benedict dengan sindiran di akhir ucapannya, membuat Kaluna tidak lagi bisa membalas."Come on, Nipote. Kau ingin apa dari Nonno?" ulang Benedict pada Damian."Aku mau lihat pantai, Nonno! Boleh tidak?" sahut Damian setelah melihat maminya mengangguk."Kau ingin ke pantai?" Benedict
Hari ini menandai satu tahun setelah Kaluna, Damian, dan Lavanya menghilang. Dalam kurun waktu tersebut, Edgar tidak pernah putus dan lelah mencari keberadaan mereka. Sudah ia lakukan berbagai macam cara, tapi orang-orang yang sangat dirindukannya itu tak kunjung ia temukan.Sudah Edgar coba bertanya pada sang ayah yang kebetulan juga sudah lama memilih tinggal di Italia sejak pensiun. Tapi yang pria itu dapat hanya bentakan marah saat Benedict Emiliano Mahawira mengetahui kalau kedua cucu tersayangnya hilang dari pengawasan sang anak.Nada jengkel kentara sekali dari suara Benedict saat mereka bertemu sejenak di salah satu restoranfine diningdi pusat ibukota Italia. Edgar saat itu sedang ada urusan bisnis di sana, berniat memperluas cabang perusahaan.Karena dirinya sudah ada di negara tempat Kaluna dan anak-anaknya pertama menghilang tanpa jejak, Edgar memanfaatkan kedatangannya kali itu untuk mencari sekali lagi dalam waktu yang hanya seb