Kaluna memantapkan hati sekali lagi sebelum membuka mulutnya.
"Ini tentang anak-anak dan... Liliana."
Kaluna bisa merasakan suaranya sedikit bergetar dan wajah Edgar berubah menjadi lebih serius.
Setelah menghembuskan napas dan menjilat bibir yang tiba-tiba terasa kering, Kaluna melanjutkan kata-katanya.
"Aku rasa... anak-anak nggak nyaman sama kehadiran Liliana di sekitar mereka."
Mendengar itu Edgar menatap Kaluna lekat-lekat, menelisik apakah ada kebohongan atau kepura-puraan di di mata sang wanita. Tapi yang ia temukan hanya sekelebat rasa takut dan resah.
"Lanjutkan," pinta Edgar dengan ekspresi lebih lunak.
"... aku mulai sadar waktu kita pergi ke festival bareng-bareng dan ketemu Liliana di sana," Kaluna memeriksa apakah ada perubahan ekspresi di wajah Edgar, tapi ternyata pria itu masih tenang dan mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Kaluna.
"Kamu boleh nggak percaya, Mas. Tapi aku bisa rasain tiap ka
Selesai berbicara dengan Kaluna, Edgar memutuskan kembali ke kantor untuk menemui Daniel. Ia harus mengkonfirmasi informasi yang baru saja didapatnya dari Kaluna tadi.Soal dirinya yang selama ini sering kali memberikan barang-barang branded pada Liliana.Karena hari sudah menjelang sore, Edgar butuh waktu lebih lama untuk tiba di kantor. Kemacetan ibu kota di jam pulang sekolah dan pulang kerja memang tidak bisa dihindari siapapun yang berkendara saat sore hari.Jam pulang kantor Edgar sendiri sebenarnya pukul lima sore, tapi biasanya masih banyak karyawan yang bercengkrama di kantin perusahaan, taman, atau rooftop sambil menunggu kemacetan kota mereda setelah matahari terbenam.Di tengah jalan, Edgar sudah mengabari Daniel agar asistennya itu menunggu di dalam kantornya. Edgar juga menyuruh Daniel agar seluruh karyawan yang bekerja langsung di bawah sang asisten agar tidak pulang lebih dulu.Tidak tahu saja Edgar, permintaannya tersebut membuat lima orang karyawan yang selama ini be
Liliana Revalina Johnson bukanlah gadis yang berasal dari keluarga kaya raya, bukan juga dari keluarga miskin yang nyaris tak punya apa-apa. Pendapatan ayahnya sebagai kepala divisi di salah satu cabang perusahaan PT. Mahawira Trans Utama terbilang cukup besar, dan selama ini Liliana tumbuh tanpa merasa kekurangan.Dulunya Liliana merupakan anak yang periang, cerdas, supel dan menyenangkan. Tapi semua berubah saat ia mulai menapaki pertengahan bangku SMP.Perusahaan tempat ayahnya bekerja memberikan fasilitas beasiswa penuh pada para anak kepala divisi yang berprestasi. Ayah Liliana termasuk dalam kepala divisi berprestasi saat itu, karena beliau sangat ulet bekerja.Liliana yang sebelumnya bersekolah di SD swasta kecil dekat rumahnya, setelah lulus melanjutkan ke jenjang SMP di salah satu sekolah elitedengan sponsor beasiswa dari kantor sang ayah. Dan selayaknya sekolah swastaelitepada umumnya, Liliana bergaul dengan anak-ana
Dua hari lagi Liliana akan menghadiri undangan acara malam penghargaan mahasiswa berprestasi yang diadakan oleh kampusnya. Acara tersebut akan diselenggarakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Mahawira.Saat ini Liliana sedang membongkar seluruh lemari pakaiannya untuk mencari pakaian yang cocok ia kenakan di acara penting besok lusa. Sudah hampir satu jam memilih, tidak ada gaun yang dirasa cukup bagus untuk ia pakai.Liliana butuh gaun baru. Mungkin gaun koleksi terbaru dari brand Miumiu, salah satu poplin dress koleksi musim semi-panas Burberry, atau gaun sutra milik brandCeline.Untuk sepatu Liliana masih memiliki sepasang Mary Jane pump heelsbaru yang belum sempat dipakainya. Sedangkan untuk tas, ia juga masih memiliki duasling bag dari brandGivenchy yang baru datang pekan lalu.Sepatu dan tas mewah tersebut belum lama didapatkannya atas bantuan salah sat
Tidak punya opsi lain, Liliana memutuskan menghadiri acara malam ini dengan mengenakan gaun chiffon bermotif keluaran Zara. Gaun maxi warna hijau army tersebut sudah lama dibelikan oleh ayahnya dan belum pernah ia kenakan. Karena jujur saja, gaun itu bukan tipe Liliana sekali.Selama ini mana pernah Liliana mengenakan pakaian berwarna hijau dengan banyak motif. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak mungkin mengenakan gaun lama yang sudah pernah dipakai untuk malam ini, kan?Liliana datang lebih awal ke lokasi acara, yang diselenggarakan di salah satu ballroom The Royal Sapphire Hotel and Resorts, bersama teman-teman sefakultasnya yang lain. Mereka memang sepakat datang lebih awal agar memiliki banyak waktu untuk menyiapkan diri.Ada sekitar 30 mahasiswa berprestasi yang diundang malam ini, enam mahasiswa berasal dari fakultas Liliana, dan tiga di antaranya dari Prodi Ekonomi dan Bisnis, termasuk Liliana sendiri.Acara ini diselenggarakan bukan hanya sebagai ajang penghargaan saja, melaink
Mata Liliana tidak pernah lepas dari sosok Edgar dan Kaluna sejak kedua orang itu memasuki ballroom dan menarik perhatian semua orang. Liliana baru bisa mengalihkan perhatiannya saat seorang pria paruh baya menghampiri dua orang di sana dan tak lama setelahnya Kaluna memisahkan diri."Nggak nyangka aku, Kaluna Osmond kalau diliat langsung aslinya cantik banget, ya," pujian yang dilontarkan Lana membuat Liliana seketika mengernyit."Memang aslinya lebih cantik dari di foto, kan," timpal Briana."Gaun batik yang dipakai Kaluna Osmond malam ini juga setau gue salah satu koleksi terbatasnya Rinaldy Soesastro. Gila sih, orang kaya emang beda, ya," lanjut gadis itu diakhiri decakan kagum.Liliana merasa telinganya seketika panas mendengar kedua temannya melontarkan pujian pada penampilan Kaluna. Tentu saja, dibanding Liliana yang datang dengan gaun hijau Zara—yang akhirnya ia sesali untuk dipakai—tampilan Kaluna dengan gaun desainer miliknya membuat wanita itu tampak seratus kali lebih mena
Ruang kamar hotel tipe presidential suite itu sudah lengang. Tidak ada lagi suara orang yang bercakap-cakap rendah dengan raut serius di sana. Semua orang telah pergi, meninggalkan seorang pria yang kini terlelap di atas tempat tidur, dengan seorang wanita yang mengawasinya dari tepi ranjang.Hembusan napas lelah terdengar dari mulut Kaluna. Sudah lebih dari sepuluh menit yang lalu ia duduk bersandar di kepala ranjang, mengawasi wajah Edgar yang tertidur tenang.Lamat-lamat otaknya memutar kembali peristiwa yang terjadi tadi. Edgar yang memaksa dirinya dibawa ke dalam bath tub begitu mereka sampai di kamar, dan bagaimana pria itu menyalakan shower untuk membasahi dirinya sendiri dengan air dingin.Kaluna masih ingat erangan Edgar dan suara keributan kecil yang ditimbulkan Daniel serta Sarah saat mereka sampai bersama seorang dokter keluarga Mahawira. Dalam keadaan basah kuyup, meringkuk di dalam bath tub, Dokter Tanjung memeriksa keadaan Edgar.Hasil pemeriksaan itu sesuai dengan duga
Tempat Kaluna berada saat ini adalah sebuah padang sabana hijau yang tak berujung. Langit biru dengan gumpalan awan putih berarak-arak menaungi kepalanya. Hembusan angin dingin mengiringi setiap langkahnya.Jauh di dalam hati, Kaluna tahu saat ini ia sedang berada di ruang mimpi yang kemungkinan besar adalah hal fana. Matanya bergulir ke segala arah, memindai sejauh mungkin pemandangan tidak realistis di sekitarnya.Ia tahu, di dunia ini tidak ada padang sabana yang penuh dengan bunga iris biru keunguan yang tumbuh berselang-seling di antara rerumputan hijau. Tidak ada pula padang sabana di dunianya dulu, yang setiap lima meternya terdapat pohon tabebuya dengan penampakan serupa pohon bunga sakura.Kumpulan pohon tersebut sedang dalam keadaan mekar sempurna bunga-bunganya, kuning cerah keemasan. Kontras dengan warna biru keunguan bunga-bunga iris yang menutupi dataran.Langkah kaki Kaluna baru berhenti saat ia tiba di sebuah titik, tempat tiga pohon tabeb
Rasanya Kaluna sudah tidur sangat lama, tapi saat ia membuka mata, kamar hotel yang ditempatinya masih gelap. Belum ada sinar matahari yang masuk dari sela-sela tirai jendela.Di sampingnya Edgar juga masih terlelap, tangan pria itu masih melingkari pinggang Kaluna, meski tidak lagi erat. Merasa sudah cukup beristirahat, Kaluna beranjak duduk, melepaskan belitan lengan Edgar perlahan. Untungnya lelaki itu tidak terusik.Menyeret tubuh ke pinggir ranjang, Kaluna segera memeriksa ponselnya yang sebelum tidur ia letakkan di meja nakas. Pukul setengah enam pagi. Sepertinya masih ada sedikit waktu untuk sarapan dan membersihkan diri.Ada beberapa notifikasi pesan dari Sarah dan Daniel, tapi Kaluna memutuskan untuk membukanya nanti saja. Meletakkan kembali ponselnya, ia beralih pada telepon kabel, menghubungi layanan kamar.Ia memesan beberapa menu sarapan, memintanya untuk diantar tiga puluh menit kemudian, tepat pukul enam. Selesai dengan urusan pesan-memesan