Dengan raut wajah yang kesal, Edgar sudah berdiri di depan altar, di aula tempat pernikahan akan dilangsungkan. Tidak lama kemudian, Sylvia pun muncul dengan didampingi oleh ayahnya.
Setelah berada di depan altar, ayahnya Sylvia menyerahkan Sylvia kepada Edgar. Lalu, Edgar pun naik ke altar pernikahan bersama Sylvia.
“Sebelum sumpah sucinya diucapkan, silahkan kalian saling berhadapan satu sama lain. Dan saudara Edgar, silahkan pegang tangan calon pengantin perempuan untuk mengucapkan sumpah suci pernikahannya,” ucap pendeta.
Edgar mulai memegang tangannya Sylvia seperti yang diperintahkan oleh pendeta. Sylvia bisa merasakan bagaimana rasa benci Edgar yang terpaksa ditarik ke altar, begitu juga dirinya.
“Di hadapan Tuhan serta para tamu undangan yang hadir di sini, saya Edga–!”
Edgar meringis sambil memejamkan matanya ketika Sylvia meremas tangan Edgar, memperingatkannya tentang nama yang ia sebutkan. Ia bisa melihat pria itu menatapnya tajam, sebelum berdeham dan mengulang sumpah.
“Saya, Edward Alexander Wijaya menyatakan dengan tulus dan ikhlas senantiasa mencintai engkau Sylvia Maheswari Himawan, untuk menjadi istri saya satu-satunya yang sah…..”
Setelah Edgar menyelesaikan janjinya, Sylvia pun mengucapkan janjinya dengan lancar. Pendeta menyuruh mereka untuk bertukar cincin, dan ditutup dengan kecupan singkat di dahi.
‘Kalau bukan karena Edward kabur, aku pasti tidak merasa tertekan seperti ini.’ Sylvia berucap dalam hatinya sambil memasangkan cincin pernikahan di jari manisnya Edgar.
“Dengan ini, saya nyatakan bahwa kalian sudah sah menjadi pasangan suami dan istri,” ucap pendeta.
Setelah serangkaian acara pernikahan, Sylvia ikut pulang bersama Edgar dan Catherine.
Sesampainya di rumah Catherine, Sylvia disambut oleh para pembantu yang ada di sana. Untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada nyonya mudanya para pelayan menundukkan kepala.
“Selamat datang, Nyonya muda,” ucap para pelayan Catherine.
“Nyonya muda?” Edgar melirik dengan sinis ke arah Sylvia. “Aku tidak sudi mengakuinya sebagai istriku.”
Sylvia yang samar-samar mendengar ucapannya Edgar, langsung menoleh. “Kamu bilang apa barusan?”
“Tidak penting.”
Dengan angkuhnya Edgar berjalan meninggalkan Sylvia yang masih berdiri di depan pintu. Berulang kali Catherine memanggilnya, tapi pria itu tidak peduli. Sylvia pun hanya mendengus melihatnya.
‘Siapa juga yang peduli dengan sikapnya dia. Justru kalau dia cuek, itu artinya dia gak akan gangguin aku,’ ucap Sylvia dalam hati.
“Bersabarlah pada anak itu ya, Sylvia. Aku minta maaf sekali.” Catherine berucap pelan.
“Iya, Tante, gak apa-apa,” sahut Sylvia, tapi matanya masih melirik tajam ke arah tangga. “Oh, iya, kalau begitu, apa aku boleh tau di mana kamarku?”
“Sylvia….” Catherine tiba-tiba meraih tangan Sylvia dan menggenggamnya lembut. “Bisakah kamu tidur di kamar Edgar?”
“Apa?” Sylvia mengerutkan dahi.
“Aku benar-benar butuh bantuan kamu buat bicara sama Edgar mengenai rencana ke depannya. Dia tetap harus tampil sebagai Edward demi usaha kita bersama.”
Sylvia terdiam. Ia pikir, semua ini hanya semudah ia menikah saja dengan Edgar, tapi ternyata tidak. Gara-gara kejadian tak terduga, ia dibawa ke rumah Catherine, tempat Edgar tinggal.
Akhirnya, dengan seluruh kepasrahannya, Sylvia diantar ke kamar Edgar bersama dengan salah satu pelayan.
Tok! Tok! Tok!
“Tuan muda, Nyonya muda sudah datang,” ucap Sekar, pelayan yang mengantar Sylvia.
Sylvia hanya bisa mendengus kesal karena Edgar tidak kunjung membuka pintu kamarnya. Di saat batas kesabarannya sudah hampir habis, Sylvia yang membuka sendiri pintu kamar Edgar.
“Heh! Kamu tuli atau bagaimana, sih?” maki Sylvia. “Dari tadi aku udah ketuk pintu kamar kamu tau!”
Dengan melipat kedua tangannya, Edgar berkata, “Untuk apa kamu di sini?” Pria itu masih saja berwajah angkuh. “Kamu sama sekali tidak diharapkan di kamarku.”
“Oh, jadi begitu.” Sylvia mengangguk-angguk dengan angkuh, sambil mengangkat dagunya.
Meskipun sebenarnya ia ingin mengatakan kalau dia juga tidak sudi mendatangi Edgar seperti ini, tapi ia malah membalas, “Baiklah, kalau begitu, aku akan laporkan hal ini kepada ibumu–”
Tiba-tiba Edgar menyambar tangan Sylvia dan menarik gadis itu masuk ke kamarnya.
Sylvia menengok ke belakang. “Berubah pikiran?”
Edgar akhirnya menghela napas dan menggerakkan kepalanya. “Masuk!”
Melihat ekspresi Edgar, Sylvia sama sekali tidak takut. Dengan santainya ia langsung menarik kopernya masuk ke kamar Edgar. Kemudian, Edgar dengan cepat kembali menutup pintu kamarnya.
“Kamu boleh tidur di sini, tapi ada beberapa hal lagi yang harus kita sepakati,” ucap Edgar.
“Apa?”
Edgar berjalan lebih dulu ke arah sofa yang ada di kamar itu, lalu duduk sambil bersilang kaki. Sylvia mengikuti tanpa disuruh. Ia duduk di seberang Edgar dan melipat tangannya di dada. Matanya menatap tajam pria itu.
“Pertama.” Edgar mengangkat telunjuknya. “Kita tidak boleh melakukan skinship, entah itu berpegangan tangan, merangkul, berpelukan, atau berciuman.”
Sambil mengamati kuku tangannya, Sylvia dengan cuek bergumam. “Aku juga males kali ciuman sama kamu.”
Edgar tampak tidak peduli dengan komentar Sylvia. Ia pun melanjutkan, “Yang kedua, selagi kita berada di dalam kamar ini, kita harus menjaga privasi masing-masing. Gak boleh saling ikut campur.”
Dengan meregangkan tubuhnya Sylvia berkata, “Memangnya, kamu pikir aku gak ada kerjaan lain selain ngurusin kehidupan pribadi kamu?”
“Mana aku tau, mungkin saja kamu tipe cemburuan yang akan mengekoriku kapan saja,” akhirnya, Edgar membalas dengan sinis.
“Mana mungkin!” teriak Sylvia kesal. Kemudian, ia berdeham ketika menyadari kalau sikap anggunnya sudah hancur. “Ekhem! Aku juga punya syarat untukmu."
"Apa?"
“Selagi berada di depan umum, kita harus berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang saling mencintai.”
Edgar mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Aku gak mau kamu ketahuan sebagai pengantin pengganti suamiku yang kabur di hari pernikahannya. Jika kita menghadiri suatu acara, kita harus berpura-pura bersikap romantis di depan kamera para wartawan,” jawab Sylvia.
"Baik." Edgar mengangguk. "Tapi, aku juga ada syarat tambahan."
Sylvia menghela napas. Seperti dugaannya, Edgar sangat merepotkan, berbeda sekali dengan Edward yang tenang, dewasa, dan penuh perhitungan.
"Apa?" tanya Sylvia.
Edgar mengubah posisi duduknya menjadi tegak, dan menatap tajam Sylvia yang duduk di depannya. "Bantu aku mendapatkan investasi dan koneksi untuk perusahaan pribadiku."
Sylvia mengerutkan dahi. Banyak pertanyaan di kepalanya soal perusahaan pribadi Edgar. Kenapa pria itu tidak meminta bantuan keluarganya saja?
Namun, satu hal yang Sylvia tidak sukai adalah membuang waktu. Jadi, daripada urusannya jadi panjang gara-gara bernegosiasi dengan pria ini, lebih baik Sylvia menyetujuinya dengan cepat.
Dengan begitu, ia akan memiliki waktu untuk mencari Edward dan membalikkan semua keadaan ini seperti semula.
“Bagaimana? Apa kamu setuju dengan semua kesepakatan yang tadi sudah aku katakan?” Edgar bertanya sambil mengulurkan tangannya.
“Baiklah aku setuju.” Sylvia berucap sambil menjabat tangannya Edgar.
Setelah persetujuan itu, Edgar menyuruh Sylvia untuk merapikan pakaiannya di lemari sebelah kanan. Pria itu sama sekali tidak mau membantu, bahkan hanya untuk mengangkat koper Sylvia. Wanita itu terus bergumam kesal sambil memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Di tengah kesibukannya memindahkan pakaian, Sylvia tidak sadar kalau Edgar sudah membuka kemejanya di depan kamar mandi. Lantas, ketika menoleh dan Sylvia melihat hal itu, tentu saja ia langsung berteriak. “Aaaaaaa!” “Kamu kenapa?” tanya Edgar bingung. Dengan menutup matanya menggunakan kedua tangannya, Sylvia memekik, “Seharusnya aku yang bertanya sama kamu! Kamu ngapain buka baju di sini? Mau pamer dada di depan aku, hah?!” Edgar terdiam, lalu tampak menyunggingkan bibirnya. “Kalau iya, kenapa?” “Sialan!” Sylvia mulai melempari barang-barang di dekatnya ke arah Edgar sambil menutup mata. Sudah pasti semua itu meleset dari sasaran. Sedetik kemudian, bisa didengar kekehan dari pria itu. Tentu saja Sylvia semakin kesal.
Bugh! Tanpa Sylvia duga, Edgar melepaskan pelukannya begitu saja, dan membuatnya jatuh terduduk di lantai. Sylvia lantas memekik keras, lalu langsung melemparkan tatapan tajam ke arah pria itu. Sia-sia saja debaran aneh yang tadi ia rasakan. Sambil mengusap pinggangnya Sylvia berucap, “Heh! Kamu itu punya perasaan sedikit gak sih? Aku ini manusia, bukan karung beras! Seenaknya aja menjatuhkan aku begitu aja.” “Kamu lupa ya dengan kesepakatan kita? Tidak boleh terjadi sentuhan fisik,” ucap Edgar sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah sedang membersihkan kotoran. Sylvia semakin geram melihat sikap pria itu. Dengan cepat, Sylvia bangkit dan merapikan pakaiannya sambil masih menggerutu, “Dasar pria arogan!” “Setidaknya kamu bantuin aku berdiri,” sambung Sylvia dengan suara yang lebih pelan. Ia tidak mau membuat Edgar besar kepala kalau dirinya mengharapkan bantuannya. Apalagi setelah melihat pria itu keluar begitu saja dari kamar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sylvia
“Kamu sedang apa di tangga?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Catherine saat Sylvia berbalik untuk pergi ke kamarnya. Sylvia berbalik badan lagi dan mengulaskan senyum kaku. Dengan gugup, Sylvia berusaha menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “I-itu, Bu… A-aku mau ambil air minum di dapur.” Sylvia meneguk air liurnya ketika Catherine tidak menjawab. Pasalnya, di lantai atas juga ada dispenser air. Mungkin saja Catherine curiga. ‘Apakah aku ketahuan?’ pikirnya. “Kalau air dispensernya habis, kamu suruh pelayan untuk mengisinya.” Ibu mertuanya berucap sambil menepuk pundaknya Sylvia, lalu menaiki anak tangga. Sylvia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.” Saat melihat ibu mertuanya sudah menjauh, Sylvia langsung menghela napasnya. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya Edgar dengan cepat. Ceklek! Sylvia bersandar di pintu. “Kira-kira Edgar pergi ke mana ya?” Meskipun Edgar sangat menyebalkan baginya, Sylvia sedikit merasa khawatir. Pria itu bukan pria jahat
“Sial! Edgar mengumpat setelah menyingkir dari atas tubuhnya Sylvia. Ia tahu betul, bahwa ibunya tidak akan main-main dalam bertindak. Ini seperti berjalan di atas es, salah sedikit, ia akan jatuh ke kubangan es dan mati membeku. Edgar menggeram sambil mengepalkan tangannya. Ia masih menatap Sylvia dengan tajam. “Baik," jawabnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu.” Jantung Sylvia yang tadinya berdetak cepat, mulai tenang. Ia menggenggam ujung selimutnya, dan perlahan menariknya sampai menutupi leher. Ia sebisa mungkin menghindari tatapan Edgar. “K-kupegang ucapanmu,” ucap Sylvia. Sambil memiringkan tubuhnya Edgar bergumam, “Kalau bukan karena ingin melindungi bisnisku dari ancaman Ibu, aku gak sudi mengikuti keinginan dia.” Sylvia yang masih bisa mendengar ucapannya Edgar, kembali membuka matanya dan menoleh ke belakang. “Kamu bilang apa barusan?” “Tidak penting,” ucap Edgar, dan langsung mematikan lampu kamar di atas nakas. ***Keesokan paginya. Sebagai tipe yang lumay
“Berhentilah menatap ku, aku tau kalau aku ini sangat tampan.” Sylvia langsung mengalihkan pandangannya saat Edgar menyindirnya. Ucapannya Edgar memang benar, dengan bentuk tubuh yang tinggi, atletis serta kulit yang putih dan bersih, Edgar terlihat sangat tampan bak selebritis papan atas. Namun, ketampanannya itu selalu tertutupi dengan sikapnya yang sangat menyebalkan. Sambil beranjak dari sofa Sylvia berucap, “Gak usah terlalu narsis, kucing liar di luar, jauh lebih tampan daripada kamu, tau!” Sylvia yang enggan bertengkar pagi-pagi dengan Edgar, langsung mengambil handuk serta pakaian. Bahkan ketika Edgar juga berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya. Sylvia kembali memperingatkan Edgar untuk memakai pakaian yang rapi. “Pakai jas dan kemeja yang rapih. Jangan lupa juga pilih dasi yang bagus. Ingat! Kamu akan berperan sebagai Edward hari ini di kantor, bukan sebagai Edgar.” “Iya, Nyonya!” Edgar terdengar kembali menyindirnya. Tidak seperti ucapannya yang s
“Selamat pagi Pak Edward, Bu Sylvia.” Sapaan tersebut keluar dari mulut sekretaris Edward ketika Edgar dan Sylvia memasuki ruangan CEO. Melihat gelagat Edgar yang kembali ingin bersikap genit terhadap sekretaris tersebut, Sylvia langsung membuka pintu ruangan CEO, dan segera menyeret Edgar masuk ke dalam. Sylvia berdeham, lalu memegang lengan Edgar kuat-kuat dengan tatapan mengancam. “Sayang, karena kemarin kamu udah libur seharian, pasti pekerjaanmu sangat menumpuk hari ini. Lebih baik kita langsung masuk aja.”Edgar sepertinya ingin proses, tapi Sylvia segera membulatkan mata dan berbisik, “Gak usah tebar pesona di depan perempuan itu!” Bukannya takut, Edgar malah menyunggingkan senyum. Tentu saja Sylvia semakin jengkel, apalagi ketika pria itu berbisik di telinga Sylvia, “Apa kamu sedang cemburu?” Sylvia menoleh dengan sinis. “Sampai kiamat pun, hal itu gak akan pernah terjadi!” Brak! Sylvia dengan cepat menutup kembali pintu ruangan CEO setelah mereka masuk. Rasa tidak suka
“Gak mau! Aku sibuk!” Mendengar penolakan dari Edgar, tentu saja hal itu membuat Sylvia sangat kesal. Bagaimana tidak, ia sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang harus ia periksa sebelum ditandatangani oleh Edgar. Namun, Edgar sendiri justru sibuk bermain game dan enggan mencari tahu informasi mengenai CH Group. Tanpa rasa takut sedikit pun, Sylvia langsung merampas ponsel Edgar. “Jangan pernah menguji kesabaranku! Lakukan yang aku perintahkan sekarang juga! Atau aku melaporkan tingkah burukmu ini ke Ibu!” Edgar hanya bisa menatap tajam dan mengepalkan tangan ketika Sylvia kembali mengancam untuk kesekian kalinya. Sepertinya Sylvia mulai memahami kelemahannya Edgar. Terbukti, Edgar langsung beranjak dari kursinya saat ia mengancam dengan membawa nama ibunya. “Dasar otoriter!” Sylvia yang samar-samar mendengar ucapan Edgar, langsung menengok ke arah Edgar. “Jangan mengumpat di belakangku. Aku masih bisa mendengarnya, tau!” “Bagus, itu artinya telingamu gak tuli.” Edgar meny
Sekembalinya dari toilet, Sylvia terdiam sejenak di depan pintu ruangan Edward. Ruangan itu tampak tenang dari luar sini. Terlebih, ia tidak melihat sekretaris Edward di mejanya.'Apa pria itu sedang bertingkah macam-macam di dalam sana? Awas saja! Aku akan mencincang kepalanya!'Sylvia sudah bersiap, dan membuka pintu itu lebar-lebar dalam sekali hentakkan. Ia berharap, jika Edgar benar-benar sedang melakukan hal mesum, mereka harus tertangkap basah.Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Sylvia malah melihat Edgar sudah duduk di meja Edward dan tampak serius membaca berkas-berkas. Pria itu tampak sangat tenang, dengan cahaya matahari yang menjadi background di belakangnya.Sylvia berdeham, sebenarnya malu dengan pikiran buruknya tadi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil berkas-berkas dari meja Edward dan mengerjakannya di sofa. Ia tidak akan mengganggu pria itu kali ini. Sylvia kembali memeriksa berkas yang akan ditandatangani oleh Edgar. Namun, tak lama kemudian, Edgar malah meng