Dengan raut wajah yang kesal, Edgar sudah berdiri di depan altar, di aula tempat pernikahan akan dilangsungkan. Tidak lama kemudian, Sylvia pun muncul dengan didampingi oleh ayahnya.
Setelah berada di depan altar, ayahnya Sylvia menyerahkan Sylvia kepada Edgar. Lalu, Edgar pun naik ke altar pernikahan bersama Sylvia.
“Sebelum sumpah sucinya diucapkan, silahkan kalian saling berhadapan satu sama lain. Dan saudara Edgar, silahkan pegang tangan calon pengantin perempuan untuk mengucapkan sumpah suci pernikahannya,” ucap pendeta.
Edgar mulai memegang tangannya Sylvia seperti yang diperintahkan oleh pendeta. Sylvia bisa merasakan bagaimana rasa benci Edgar yang terpaksa ditarik ke altar, begitu juga dirinya.
“Di hadapan Tuhan serta para tamu undangan yang hadir di sini, saya Edga–!”
Edgar meringis sambil memejamkan matanya ketika Sylvia meremas tangan Edgar, memperingatkannya tentang nama yang ia sebutkan. Ia bisa melihat pria itu menatapnya tajam, sebelum berdeham dan mengulang sumpah.
“Saya, Edward Alexander Wijaya menyatakan dengan tulus dan ikhlas senantiasa mencintai engkau Sylvia Maheswari Himawan, untuk menjadi istri saya satu-satunya yang sah…..”
Setelah Edgar menyelesaikan janjinya, Sylvia pun mengucapkan janjinya dengan lancar. Pendeta menyuruh mereka untuk bertukar cincin, dan ditutup dengan kecupan singkat di dahi.
‘Kalau bukan karena Edward kabur, aku pasti tidak merasa tertekan seperti ini.’ Sylvia berucap dalam hatinya sambil memasangkan cincin pernikahan di jari manisnya Edgar.
“Dengan ini, saya nyatakan bahwa kalian sudah sah menjadi pasangan suami dan istri,” ucap pendeta.
Setelah serangkaian acara pernikahan, Sylvia ikut pulang bersama Edgar dan Catherine.
Sesampainya di rumah Catherine, Sylvia disambut oleh para pembantu yang ada di sana. Untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada nyonya mudanya para pelayan menundukkan kepala.
“Selamat datang, Nyonya muda,” ucap para pelayan Catherine.
“Nyonya muda?” Edgar melirik dengan sinis ke arah Sylvia. “Aku tidak sudi mengakuinya sebagai istriku.”
Sylvia yang samar-samar mendengar ucapannya Edgar, langsung menoleh. “Kamu bilang apa barusan?”
“Tidak penting.”
Dengan angkuhnya Edgar berjalan meninggalkan Sylvia yang masih berdiri di depan pintu. Berulang kali Catherine memanggilnya, tapi pria itu tidak peduli. Sylvia pun hanya mendengus melihatnya.
‘Siapa juga yang peduli dengan sikapnya dia. Justru kalau dia cuek, itu artinya dia gak akan gangguin aku,’ ucap Sylvia dalam hati.
“Bersabarlah pada anak itu ya, Sylvia. Aku minta maaf sekali.” Catherine berucap pelan.
“Iya, Tante, gak apa-apa,” sahut Sylvia, tapi matanya masih melirik tajam ke arah tangga. “Oh, iya, kalau begitu, apa aku boleh tau di mana kamarku?”
“Sylvia….” Catherine tiba-tiba meraih tangan Sylvia dan menggenggamnya lembut. “Bisakah kamu tidur di kamar Edgar?”
“Apa?” Sylvia mengerutkan dahi.
“Aku benar-benar butuh bantuan kamu buat bicara sama Edgar mengenai rencana ke depannya. Dia tetap harus tampil sebagai Edward demi usaha kita bersama.”
Sylvia terdiam. Ia pikir, semua ini hanya semudah ia menikah saja dengan Edgar, tapi ternyata tidak. Gara-gara kejadian tak terduga, ia dibawa ke rumah Catherine, tempat Edgar tinggal.
Akhirnya, dengan seluruh kepasrahannya, Sylvia diantar ke kamar Edgar bersama dengan salah satu pelayan.
Tok! Tok! Tok!
“Tuan muda, Nyonya muda sudah datang,” ucap Sekar, pelayan yang mengantar Sylvia.
Sylvia hanya bisa mendengus kesal karena Edgar tidak kunjung membuka pintu kamarnya. Di saat batas kesabarannya sudah hampir habis, Sylvia yang membuka sendiri pintu kamar Edgar.
“Heh! Kamu tuli atau bagaimana, sih?” maki Sylvia. “Dari tadi aku udah ketuk pintu kamar kamu tau!”
Dengan melipat kedua tangannya, Edgar berkata, “Untuk apa kamu di sini?” Pria itu masih saja berwajah angkuh. “Kamu sama sekali tidak diharapkan di kamarku.”
“Oh, jadi begitu.” Sylvia mengangguk-angguk dengan angkuh, sambil mengangkat dagunya.
Meskipun sebenarnya ia ingin mengatakan kalau dia juga tidak sudi mendatangi Edgar seperti ini, tapi ia malah membalas, “Baiklah, kalau begitu, aku akan laporkan hal ini kepada ibumu–”
Tiba-tiba Edgar menyambar tangan Sylvia dan menarik gadis itu masuk ke kamarnya.
Sylvia menengok ke belakang. “Berubah pikiran?”
Edgar akhirnya menghela napas dan menggerakkan kepalanya. “Masuk!”
Melihat ekspresi Edgar, Sylvia sama sekali tidak takut. Dengan santainya ia langsung menarik kopernya masuk ke kamar Edgar. Kemudian, Edgar dengan cepat kembali menutup pintu kamarnya.
“Kamu boleh tidur di sini, tapi ada beberapa hal lagi yang harus kita sepakati,” ucap Edgar.
“Apa?”
Edgar berjalan lebih dulu ke arah sofa yang ada di kamar itu, lalu duduk sambil bersilang kaki. Sylvia mengikuti tanpa disuruh. Ia duduk di seberang Edgar dan melipat tangannya di dada. Matanya menatap tajam pria itu.
“Pertama.” Edgar mengangkat telunjuknya. “Kita tidak boleh melakukan skinship, entah itu berpegangan tangan, merangkul, berpelukan, atau berciuman.”
Sambil mengamati kuku tangannya, Sylvia dengan cuek bergumam. “Aku juga males kali ciuman sama kamu.”
Edgar tampak tidak peduli dengan komentar Sylvia. Ia pun melanjutkan, “Yang kedua, selagi kita berada di dalam kamar ini, kita harus menjaga privasi masing-masing. Gak boleh saling ikut campur.”
Dengan meregangkan tubuhnya Sylvia berkata, “Memangnya, kamu pikir aku gak ada kerjaan lain selain ngurusin kehidupan pribadi kamu?”
“Mana aku tau, mungkin saja kamu tipe cemburuan yang akan mengekoriku kapan saja,” akhirnya, Edgar membalas dengan sinis.
“Mana mungkin!” teriak Sylvia kesal. Kemudian, ia berdeham ketika menyadari kalau sikap anggunnya sudah hancur. “Ekhem! Aku juga punya syarat untukmu."
"Apa?"
“Selagi berada di depan umum, kita harus berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang saling mencintai.”
Edgar mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Aku gak mau kamu ketahuan sebagai pengantin pengganti suamiku yang kabur di hari pernikahannya. Jika kita menghadiri suatu acara, kita harus berpura-pura bersikap romantis di depan kamera para wartawan,” jawab Sylvia.
"Baik." Edgar mengangguk. "Tapi, aku juga ada syarat tambahan."
Sylvia menghela napas. Seperti dugaannya, Edgar sangat merepotkan, berbeda sekali dengan Edward yang tenang, dewasa, dan penuh perhitungan.
"Apa?" tanya Sylvia.
Edgar mengubah posisi duduknya menjadi tegak, dan menatap tajam Sylvia yang duduk di depannya. "Bantu aku mendapatkan investasi dan koneksi untuk perusahaan pribadiku."
Sylvia mengerutkan dahi. Banyak pertanyaan di kepalanya soal perusahaan pribadi Edgar. Kenapa pria itu tidak meminta bantuan keluarganya saja?
Namun, satu hal yang Sylvia tidak sukai adalah membuang waktu. Jadi, daripada urusannya jadi panjang gara-gara bernegosiasi dengan pria ini, lebih baik Sylvia menyetujuinya dengan cepat.
Dengan begitu, ia akan memiliki waktu untuk mencari Edward dan membalikkan semua keadaan ini seperti semula.
“Bagaimana? Apa kamu setuju dengan semua kesepakatan yang tadi sudah aku katakan?” Edgar bertanya sambil mengulurkan tangannya.
“Baiklah aku setuju.” Sylvia berucap sambil menjabat tangannya Edgar.
Setelah persetujuan itu, Edgar menyuruh Sylvia untuk merapikan pakaiannya di lemari sebelah kanan. Pria itu sama sekali tidak mau membantu, bahkan hanya untuk mengangkat koper Sylvia. Wanita itu terus bergumam kesal sambil memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Di tengah kesibukannya memindahkan pakaian, Sylvia tidak sadar kalau Edgar sudah membuka kemejanya di depan kamar mandi. Lantas, ketika menoleh dan Sylvia melihat hal itu, tentu saja ia langsung berteriak. “Aaaaaaa!” “Kamu kenapa?” tanya Edgar bingung. Dengan menutup matanya menggunakan kedua tangannya, Sylvia memekik, “Seharusnya aku yang bertanya sama kamu! Kamu ngapain buka baju di sini? Mau pamer dada di depan aku, hah?!” Edgar terdiam, lalu tampak menyunggingkan bibirnya. “Kalau iya, kenapa?” “Sialan!” Sylvia mulai melempari barang-barang di dekatnya ke arah Edgar sambil menutup mata. Sudah pasti semua itu meleset dari sasaran. Sedetik kemudian, bisa didengar kekehan dari pria itu. Tentu saja Sylvia semakin kesal.
Bugh! Tanpa Sylvia duga, Edgar melepaskan pelukannya begitu saja, dan membuatnya jatuh terduduk di lantai. Sylvia lantas memekik keras, lalu langsung melemparkan tatapan tajam ke arah pria itu. Sia-sia saja debaran aneh yang tadi ia rasakan. Sambil mengusap pinggangnya Sylvia berucap, “Heh! Kamu itu punya perasaan sedikit gak sih? Aku ini manusia, bukan karung beras! Seenaknya aja menjatuhkan aku begitu aja.” “Kamu lupa ya dengan kesepakatan kita? Tidak boleh terjadi sentuhan fisik,” ucap Edgar sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah sedang membersihkan kotoran. Sylvia semakin geram melihat sikap pria itu. Dengan cepat, Sylvia bangkit dan merapikan pakaiannya sambil masih menggerutu, “Dasar pria arogan!” “Setidaknya kamu bantuin aku berdiri,” sambung Sylvia dengan suara yang lebih pelan. Ia tidak mau membuat Edgar besar kepala kalau dirinya mengharapkan bantuannya. Apalagi setelah melihat pria itu keluar begitu saja dari kamar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sylvia
“Kamu sedang apa di tangga?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Catherine saat Sylvia berbalik untuk pergi ke kamarnya. Sylvia berbalik badan lagi dan mengulaskan senyum kaku. Dengan gugup, Sylvia berusaha menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “I-itu, Bu… A-aku mau ambil air minum di dapur.” Sylvia meneguk air liurnya ketika Catherine tidak menjawab. Pasalnya, di lantai atas juga ada dispenser air. Mungkin saja Catherine curiga. ‘Apakah aku ketahuan?’ pikirnya. “Kalau air dispensernya habis, kamu suruh pelayan untuk mengisinya.” Ibu mertuanya berucap sambil menepuk pundaknya Sylvia, lalu menaiki anak tangga. Sylvia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.” Saat melihat ibu mertuanya sudah menjauh, Sylvia langsung menghela napasnya. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya Edgar dengan cepat. Ceklek! Sylvia bersandar di pintu. “Kira-kira Edgar pergi ke mana ya?” Meskipun Edgar sangat menyebalkan baginya, Sylvia sedikit merasa khawatir. Pria itu bukan pria jahat
“Sial! Edgar mengumpat setelah menyingkir dari atas tubuhnya Sylvia. Ia tahu betul, bahwa ibunya tidak akan main-main dalam bertindak. Ini seperti berjalan di atas es, salah sedikit, ia akan jatuh ke kubangan es dan mati membeku. Edgar menggeram sambil mengepalkan tangannya. Ia masih menatap Sylvia dengan tajam. “Baik," jawabnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu.” Jantung Sylvia yang tadinya berdetak cepat, mulai tenang. Ia menggenggam ujung selimutnya, dan perlahan menariknya sampai menutupi leher. Ia sebisa mungkin menghindari tatapan Edgar. “K-kupegang ucapanmu,” ucap Sylvia. Sambil memiringkan tubuhnya Edgar bergumam, “Kalau bukan karena ingin melindungi bisnisku dari ancaman Ibu, aku gak sudi mengikuti keinginan dia.” Sylvia yang masih bisa mendengar ucapannya Edgar, kembali membuka matanya dan menoleh ke belakang. “Kamu bilang apa barusan?” “Tidak penting,” ucap Edgar, dan langsung mematikan lampu kamar di atas nakas. ***Keesokan paginya. Sebagai tipe yang lumay
“Berhentilah menatap ku, aku tau kalau aku ini sangat tampan.” Sylvia langsung mengalihkan pandangannya saat Edgar menyindirnya. Ucapannya Edgar memang benar, dengan bentuk tubuh yang tinggi, atletis serta kulit yang putih dan bersih, Edgar terlihat sangat tampan bak selebritis papan atas. Namun, ketampanannya itu selalu tertutupi dengan sikapnya yang sangat menyebalkan. Sambil beranjak dari sofa Sylvia berucap, “Gak usah terlalu narsis, kucing liar di luar, jauh lebih tampan daripada kamu, tau!” Sylvia yang enggan bertengkar pagi-pagi dengan Edgar, langsung mengambil handuk serta pakaian. Bahkan ketika Edgar juga berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya. Sylvia kembali memperingatkan Edgar untuk memakai pakaian yang rapi. “Pakai jas dan kemeja yang rapih. Jangan lupa juga pilih dasi yang bagus. Ingat! Kamu akan berperan sebagai Edward hari ini di kantor, bukan sebagai Edgar.” “Iya, Nyonya!” Edgar terdengar kembali menyindirnya. Tidak seperti ucapannya yang s
“Selamat pagi Pak Edward, Bu Sylvia.” Sapaan tersebut keluar dari mulut sekretaris Edward ketika Edgar dan Sylvia memasuki ruangan CEO. Melihat gelagat Edgar yang kembali ingin bersikap genit terhadap sekretaris tersebut, Sylvia langsung membuka pintu ruangan CEO, dan segera menyeret Edgar masuk ke dalam. Sylvia berdeham, lalu memegang lengan Edgar kuat-kuat dengan tatapan mengancam. “Sayang, karena kemarin kamu udah libur seharian, pasti pekerjaanmu sangat menumpuk hari ini. Lebih baik kita langsung masuk aja.”Edgar sepertinya ingin proses, tapi Sylvia segera membulatkan mata dan berbisik, “Gak usah tebar pesona di depan perempuan itu!” Bukannya takut, Edgar malah menyunggingkan senyum. Tentu saja Sylvia semakin jengkel, apalagi ketika pria itu berbisik di telinga Sylvia, “Apa kamu sedang cemburu?” Sylvia menoleh dengan sinis. “Sampai kiamat pun, hal itu gak akan pernah terjadi!” Brak! Sylvia dengan cepat menutup kembali pintu ruangan CEO setelah mereka masuk. Rasa tidak suka
“Gak mau! Aku sibuk!” Mendengar penolakan dari Edgar, tentu saja hal itu membuat Sylvia sangat kesal. Bagaimana tidak, ia sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang harus ia periksa sebelum ditandatangani oleh Edgar. Namun, Edgar sendiri justru sibuk bermain game dan enggan mencari tahu informasi mengenai CH Group. Tanpa rasa takut sedikit pun, Sylvia langsung merampas ponsel Edgar. “Jangan pernah menguji kesabaranku! Lakukan yang aku perintahkan sekarang juga! Atau aku melaporkan tingkah burukmu ini ke Ibu!” Edgar hanya bisa menatap tajam dan mengepalkan tangan ketika Sylvia kembali mengancam untuk kesekian kalinya. Sepertinya Sylvia mulai memahami kelemahannya Edgar. Terbukti, Edgar langsung beranjak dari kursinya saat ia mengancam dengan membawa nama ibunya. “Dasar otoriter!” Sylvia yang samar-samar mendengar ucapan Edgar, langsung menengok ke arah Edgar. “Jangan mengumpat di belakangku. Aku masih bisa mendengarnya, tau!” “Bagus, itu artinya telingamu gak tuli.” Edgar meny
Sekembalinya dari toilet, Sylvia terdiam sejenak di depan pintu ruangan Edward. Ruangan itu tampak tenang dari luar sini. Terlebih, ia tidak melihat sekretaris Edward di mejanya.'Apa pria itu sedang bertingkah macam-macam di dalam sana? Awas saja! Aku akan mencincang kepalanya!'Sylvia sudah bersiap, dan membuka pintu itu lebar-lebar dalam sekali hentakkan. Ia berharap, jika Edgar benar-benar sedang melakukan hal mesum, mereka harus tertangkap basah.Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Sylvia malah melihat Edgar sudah duduk di meja Edward dan tampak serius membaca berkas-berkas. Pria itu tampak sangat tenang, dengan cahaya matahari yang menjadi background di belakangnya.Sylvia berdeham, sebenarnya malu dengan pikiran buruknya tadi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil berkas-berkas dari meja Edward dan mengerjakannya di sofa. Ia tidak akan mengganggu pria itu kali ini. Sylvia kembali memeriksa berkas yang akan ditandatangani oleh Edgar. Namun, tak lama kemudian, Edgar malah meng
Melihat istrinya panik, Edgar bukannya melepaskan pelukannya ia justru semakin menggoda Sylvia. Sedangkan Sylvia sendiri terus berontak agar bisa melepaskan diri dari pelukan Edgar. "Edgar!! Lepasin aku!" Sylvia berucap sambil mendorong dada Edgar."Tidak mau! Aku tidak akan membiarkan kamu kabur. Hari ini juga kamu akan menjadi milikku seutuhnya. Muaacchh." Edgar menyahut dengan mencium bibir istrinya diakhir ucapannya.Sylvia yang sudah kesal, ia langsung mencubit lengannya Edgar. Sontak, hal itu membuat Edgar melepaskan pelukannya. "Aaaaaaa!!" jerit Edgar."Syukurin emangnya enak! Genit sih jadi cowok," ucap Sylvia."Kamu kenapa cubit tangan aku sih? Aku kan cuma pengen mesra-mesraan sama kamu." Edgar bertanya sambil mengusap tangannya yang bekas dicubit Sylvia."Aku kan udah pernah bilang sama kamu, aku belum mau melakukan hal itu sama kamu sebelum semua masalah ini selesai dan status pernikahan kita jelas," ucap Sylvia."Masih lama dong kalau begitu." Edgar menyahut sambil meng
Satu jam kemudian.Setelah berada di kantor, Edgar langsung langsung mengeluarkan surat pernyataan mengenai pemecatan Frans. Hanya berselang setengah jam setelah Edgar mengesahkan surat tersebut, ponsel Edgar tiba-tiba saja berbunyi. Edgar pun mengambil ponselnya.Kriinngg..."Ibu." Edgar berucap saat menatap layar ponselnya.Menyadari bahwa ibunya pasti udah mendapatkan kabar tentang pemecatan Frans, Edgar pun meletakkan ponselnya dan membiarkan ponselnya terus berbunyi. Catherine yang merasa kesal karena panggilan telponnya diabaikan oleh Edgar, ia pun memutuskan untuk pergi ke kantor guna menemui putranya."Aaarrrgghh!! Edgar pasti sengaja tidak menjawab ponselku. Sebaiknya aku temui saja dia dikantor," ucap Catherine. Catherine langsung mengambil tasnya untuk pergi menemui Edgar. Setelah melewati kemacetan yang cukup parah, Catherine akhirnya sampai di depan kantor. Setelah turun dari mobil, dengan langkah cepat, Catherine langsung berjalan menuju ke ruangan Edgar. Tak lama ia pu
Tak lama kemudian Edgar pun membawa Sylvia keluar dari ruang UGD. Kemudian Edgar pun pergi sebentar ke loket administrasi untuk membayar perawatan Sylvia. "Kamu tunggu disini sebentar ya, aku mau urus administrasi nya dulu," ucap Edgar.Sylvia langsung menganggukkan kepalanya. "Iya." Selagi menunggu Edgar selesai mengurus pembayaran administrasinya, Sylvia pun menunggu di ruang tunggu UGD. Saat mengingat bahwa ponselnya sudah diambil oleh pak Thomas, Sylvia langsung mendengus kesal."Sial! Semoga aja Elis udah melihat email yang aku kirimkan tadi deh," gumam Sylvia.Setelah menunggu cukup lama, Edgar pun datang. "Udah selesai semuanya?" tanya Sylvia."Udah, yuk kita pulang sekarang." Edgar berucap dengan mengulurkan tangannya."Pulang? Kenapa gak kembali ke kantor aja? Urusan kita kan masih banyak yang harus dikerjakan," tanya Sylvia."Urusan kantor, om Dean beser pak Thomas biar jadi urusan aku. Kamu istirahat dirumah aja," ucap Edgar."Edgar! Aku ini bosan istirahat dirumah terus
Sesampainya dirumah sakit, Edgar langsung turun dari mobil. Lalu, ia pun mengeluarkan Sylvia dari dalam mobil. Sambil menggendong Sylvia, ia pun membawa Sylvia ke ruang UGD."Dokter! Suster! Tolong selamatkan istri saya," teriak Edgar.Tak lama seorang dokter pun datang menghampiri Edgar. "Istrinya kenapa pak?" "Istri saya pingsan dok, tolong periksa istri saya dulu." Edgar berucap sambil terus menggendong istrinya.Dokter langsung menunjuk ke arah ruang UGD. "Silahkan bawa istrinya ke dalam, pak."Edgar pun menganggukkan kepalanya. "Baik, dok."Sesuai perintah dokter, Edgar langsung membawa istrinya masuk kedalam ruang UGD. Saat melihat ada ranjang yang kosong, Edgar langsung membaringkan Sylvia diatas ranjang tersebut. Tak lama dokter pun mulai memeriksa kondisi Sylvia. "Sebaiknya bapak tunggu diluar saja ya. Biarkan dokter berkonsentrasi untuk memeriksa kondisi pasien," ucap seorang suster yang menghampiri Edgar.Edgar pun dengan berat hati keluar dari ruang UGD. Selama Sylvia se
"Kenapa om? Om terkejut melihat keberadaan ku disini? Sama om, aku juga terkejut mendengar semua ucapan om. Kenapa om segitu teganya sama Edward? Memangnya salah Edward apa, om?" cecar Edgar.Frans langsung memegang pundak Edgar. "Kamu salah paham Edgar, semua yang kamu dengar gak seperti apa yang kamu pikirkan."Edgar pun menghempaskan tangan omnya. "Salah paham apanya om?! Aku jelas-jelas denger kalau om dan pak Thomas yang membuat rencana untuk melenyapkan Edward. Dia itu saudara kandung ku, om! Keponakan kandung om sendiri!" "Om terpaksa melakukan semua itu Edgar, maafkan om." Frans berucap sambil menundukkan kepalanya."Maaf om bilang?" tanya Edgar. "Saudara kembar ku udah tewas, om!" teriak Edgar.Melihat suaminya yang sudah emosional, Sylvia langsung menghampiri suaminya. Lalu, Sylvia memegang lengan suaminya. "Udah Edgar, kamu gak usah berteriak. Itu hanya membuang energi mu aja. Sebaiknya kita laporkan hal ini ke kantor polisi. Pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setim
Siang harinya.Menjelang jam makan siang, Edgar menerima telpon dari sekretarisnya. Ia mengatakan kepada Edgar bahwa ia melihat Frans baru saja pergi. Mendengar kabar tersebut, Edgar langsung menutup telponnya. "Benarkah?" tanya Edgar."Iya pak, baru 3 menit yang lalu saya melihat pak Frans meninggalkan mejanya. Sepertinya ia akan pergi menemui seseorang," ucap sekretaris."Kamu tau dari mana?" tanya Edgar."Pengamatan saya aja pak, karena saya melihat bahwa pak Frans sangat terburu-buru untuk pergi setelah beliau menerima panggilan telpon," ucap sekretaris."Baiklah, terimakasih atas informasinya," sahut Edgar."Sama-sama pak," sahut sekretaris. Edgar langsung meletakkan gagang telponnya. Kemudian ia pun beranjak dari kursinya. Sambil berjalan menghampiri istrinya, Edgar pun berkata. "Ayo Sylvia, kita buntuti om Frans."Sylvia langsung menoleh ke arah Edgar. "Memangnya om Frans udah pergi?""Udah, tadi aku dapet informasi dari sekretaris. Katanya om Frans belum lama ini pergi. Kit
Setelah selesai sarapan Edgar dan Sylvia langsung pergi ke kantor. Selama di perjalanan menuju kantor, Edgar terus mengecek laporan keuangan perusahaan. Melihat kesibukan yang dilakukan oleh Edgar, Sylvia memberanikan diri untuk bertanya.Dengan melirik ke arah iPad yang ada di tangan Edgar, Sylvia pun bertanya. “Kamu lagi ngapain sih? Keliatannya sibuk banget.”Sambil terus menatap layar iPadnya, Edgar pun menjawab. “Aku lagi ngecek laporan keuangan perusahaan.”“Memangnya ada yang aneh dengan laporannya?” tanya Sylvia.“Sejauh ini sih belum ada,” ucap Edgar. Lalu, Edgar pun menoleh ke arah Sylvia. “Nanti kamu ikut aku sebentar ya.”“Kemana?” tanya Sylvia.“Membuntuti om Frans secara diam-diam,” ucap Edgar.Sylvia pun mengerutkan keningnya. “Maksudnya gimana?” “Beberapa hari yang lalu, aku minta bantuan sama Richard untuk menyadap ponsel om Frans. Kemarin, Richard mengatakan bahwa om Frans menerima panggilan telpon dari nomor yang gak dikenal dan mereka janjian di sebuah tempat untu
3 hari kemudian.Setelah dirawat dengan telaten oleh Edgar, kini kondisi Sylvia sudah semakin membaik. Bukan hanya itu saja hubungan diantara mereka pun semakin mesra. Bahkan, kini Edgar sudah tidak sungkan untuk mencium pipi Sylvia ataupun memanggilnya dengan sebutan sayang.“Kamu yakin mau ikut ke kantor hari ini?” Edgar bertanya sambil memasang kancing diujung lengannya.“Yakin.” Sylvia berucap sambil menyisir rambutnya. “Aku ingin masalah ini cepat selesai. Aku gak mau hidupku gak bebas hanya karena pak Thomas belum kunjung tertangkap.”Dengan membawa dasinya, Edgar pun menghampiri Sylvia. Saat berada di samping Sylvia, Edgar langsung menyerahkan dasinya. “Baiklah, kamu boleh ikut ke kantor, tapi kamu gak boleh jauh dari aku. Kamu harus selalu berada di depan mata ku.”Sylvia pun mengambil dasinya Edgar. Sambil memasangkan dasi tersebut, Sylvia langsung menimpali ucapan Edgar. “Kalau aku selalu ada di depan mata kamu, nanti kamu gak bisa kerja dong. Gimana coba mau ngecek berkas-b
Setelah mendengar perintah yang diberikan oleh Catherine, para pelayan langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan dan potongan buah untuk Sylvia. Sementara itu di dalam kamar, Edgar baru saja membaringkan Sylvia diatas tempat tidur. Sambil menaikkan selimut, Edgar pun berkata. “Hari ini kamu harus banyak istirahat. Gak boleh turun dari tempat tidur.”“Kalau aku mau ke kamar mandi bagaimana?” tanya Syila.Edgar pun duduk disamping Sylvia. “Aku yang akan menggendong kamu ke kamar mandi.”Sylvia langsung tersenyum saat mendengar ucapan Edgar. Lalu, Edgar pun mengusap kepala Sylvia. “Maaf ya, beberapa hari terakhir ini aku jarang pulang dan jarang memperhatikan kamu.”“Dimaafin gak, ya?” Sylvia berpikir sambil mengetuk dagunya.“Muaacchh… harus dimaafin dong. Aku kan suami kamu,” ucap Edgar setelah mencium keningnya Sylvia.Mendapatkan ciuman secara mendadak, Sylvia langsung melirik ke arah Edgar. “Mulai genit deh. Siapa sih yang ngajarin?”“Memangnya gak boleh genit sama istri sen