“Sial!
Edgar mengumpat setelah menyingkir dari atas tubuhnya Sylvia. Ia tahu betul, bahwa ibunya tidak akan main-main dalam bertindak. Ini seperti berjalan di atas es, salah sedikit, ia akan jatuh ke kubangan es dan mati membeku.
Edgar menggeram sambil mengepalkan tangannya. Ia masih menatap Sylvia dengan tajam.
“Baik," jawabnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu.”
Jantung Sylvia yang tadinya berdetak cepat, mulai tenang. Ia menggenggam ujung selimutnya, dan perlahan menariknya sampai menutupi leher. Ia sebisa mungkin menghindari tatapan Edgar.
“K-kupegang ucapanmu,” ucap Sylvia.
Sambil memiringkan tubuhnya Edgar bergumam, “Kalau bukan karena ingin melindungi bisnisku dari ancaman Ibu, aku gak sudi mengikuti keinginan dia.”
Sylvia yang masih bisa mendengar ucapannya Edgar, kembali membuka matanya dan menoleh ke belakang. “Kamu bilang apa barusan?”
“Tidak penting,” ucap Edgar, dan langsung mematikan lampu kamar di atas nakas.
***
Keesokan paginya.
Sebagai tipe yang lumayan gila kerja, Sylvia sudah terbiasa bangun pagi. Ia bahkan tidak membutuhkan alarm untuk bisa bangun pukul 6 pagi. Sylvia bangun dari tidurnya dan menyibak selimut. Namun, ketika ia melihat ke sisi samping, ia justru menemukan sisi tempat tidurnya kosong.
'Loh? Pria menyebalkan itu udah bangun duluan?' pikirnya bingung. Menurutnya, Edgar itu tipe pria yang malas bangun pagi, tapi kenapa pria itu justru bangun lebih awal dari dirinya.
'Jangan bilang... dia kabur?! Tidak mungkin!'
Sylvia buru-buru menyibak selimut, dan berlari ke luar kamar. Bisa saja pria itu membohonginya, dan kabur karena tidak mau berperan sebagai Edward. Ketika melihat seorang pelayan berjalan ke arahnya, Sylvia langsung menghentikan pelayan tersebut.
Dengan mengulurkan tangannya, Sylvia berucap, “Tunggu sebentar.”
Pelayan tersebut langsung menundukkan kepalanya, “Ada apa, Nyonya muda?”
“Apa kamu tau Edgar ada di mana?”
“Tuan muda sedang berenang, Nyonya muda."
Sylvia tanpa sadar menghela napasnya. Bahunya yang tegang kembali turun. Namun, begitu ia sadar, ia langsung berdeham dan kembali menegakkan bahunya. Ia tidak boleh kehilangan keanggunannya.
Sylvia mengibaskan tangannya pelan. “Terima kasih.”
Pelayan tersebut menganggukkan kepalanya dan membalas dengan sopan. Setelah pelayan itu menjauh, Sylvia pun pergi ke kolam renang, masih dengan piyama tidurnya.
Sesampainya di sana, Sylvia melihat Edgar sedang berenang. Seolah semalam tidak ada yang terjadi di antara mereka semalam, Edgar berenang dengan santainya. Bahkan setelah menyadari kehadiran Sylvia pun, Edgar tampak tidak peduli.
Dengan melipat kedua tangannya, Sylvia berucap, “Bagus ya, aku dari tadi udah panik. Ternyata kamu malah enak-enakan berenang di sini.”
Edgar akhirnya mau menoleh, lalu berenang ke tepi kolam renang. “Kenapa? Apa kamu takut kalau suamimu ini kabur seperti calon suamimu itu?”
Leher Sylvia menengang. Edgar benar, tapi ia tidak mau mengakui itu.
Memang, sejak Edward melarikan diri dari pernikahannya, ada sedikit ketakutan di hatinya bahwa Edgar akan melakukan hal yang sama. Namun, Sylvia yang tidak ingin terlihat sedih karena pernikahnya dengan Edward gagal pun membantah ucapannya Edgar.
Dengan menyunggingkan senyumnya, Sylvia berkata, “Aku justru sangat bersyukur kalau kamu pergi dari hidupku”.
Sylvia sedikit menundukkan kepalanya, agar bisa sejajar dengan Edgar di kolam renang, “Justru aku kasihan denganmu. Kalau aku gak ada di samping kamu, Ibu pasti dengan mudah menghancurkan hidupmu dan juga bisnismu itu.”
Edgar tampak terpancing dengan ucapan Sylvia. Wajah pria itu tempak tegang, dengan mata menatap Sylvia tajam. Ia bergegas keluar dari kolam renang dalam satu gerakan. Pria itu sekarang berdiri tepat di depan Sylvia.
“Akan aku hancurkan siapapun yang menghancurkan bisnisku. Tidak perduli entah itu kamu atau Ibu sekalipun.”
Pria itu pergi begitu saja.
Sylvia kembali menghela napasnya setelah Edgar pergi.
Meskipun sudah menjadi istrinya Edgar, tidak banyak hal yang Sylvia tau tentang kehidupannya. Bahkan Sylvia juga tidak mengetahui dengan jelas mengenai bisnis pribadi yang Edgar miliki.
“Ah... udahlah biarkan aja. Mau seperti apa pun kehidupannya dia itu bukan urusanku. Yang terpenting hari ini, aku harus bisa membawa Edgar ke perusahaan untuk mulai menggantikan tugasnya Edward. Kalau dia terlalu lama membuang waktu untuk urusan yang gak penting, aku juga yang rugi,” ucap Sylvia.
Mengurusi Edgar sama repotnya dengan mengurus kucing-kucing liar. Pria itu susah diatur, suka seenaknya sendiri, dan pemarah. Sylvia mulai skeptis bisa mengendalikan pria itu dengan mudah.
Akhirnya, Sylvia memutuskan untuk pergi ke kamar dan bersiap untuk ke perusahaan keluarga Wijaya. Ia juga harus menyeret Edgar agar mau ikut dengannya. Huhh... banyak sekali pekerjaan Sylvia pagi ini. Belum apa-apa ia sudah capek duluan.Ceklek!
“Aaaaaaa!”
Sylvia menjerit keras ketika melihat Edgar telanjang bulat di kamar itu. Tidak hanya sebatas bertelanjang dada, Sylvia bahkan hampir menodai matanya dengan melihat apa yang seharusnya tidak ia lihat.
Brak!
Sylvia kembali membanting pintunya. Pria itu tidak bereaksi apapun, mungkin terlalu terkejut atau memang terlalu narsis memamerkan tubuhnya. Entahlah, yang penting, wajah Sylvia memanas sekarang. Antara malu dan kesal.
Sylvia hanyalah manusia biasa yang memiliki hawa nafsu. Apalagi ini sudah kedua kalinya ia melihat Edgar melepas bajunya. Sambil mengipasi wajahnya, Sylvia berucap, “Tenang Sylvia, kamu gak boleh gugup seperti ini. Lagi pula kamu kan gak suka sama dia. Bisa kepedean dia, kalau tau aku gugup karena melihat dia telanjang.”
Setelah merasa cukup tenang, Sylvia mencoba membuka kembali pintu kamarnya Edgar. Pria itu sudah tidak ada di dekat kasur.
Sylvia menghela nafasnya, “Sepertinya dia udah masuk ke kamar mandi.” ucap Sylvia diiringi dengan adanya suara gemericik air yang ia dengar.
Sambil menunggu Edgar selesai mandi, ia memilih duduk di sofa untuk melanjutkan desain bajunya. Tak lama kemudian Sylvia mendengar suara pintu terbuka.
Refleks, Sylvia langsung menoleh ke arah pintu kamar mandi. Seketika jantungnya kembali berdebar.Edgar keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Pemandangan ini tidak jauh berbeda dari malam pertama mereka kemarin.
Tanpa sadar, Sylvia meneguk air liurnya. Meskipun pria itu tampak tak peduli dan langsung berjalan ke depan cermin sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, Sylvia tidak bisa mengalihkan tatapannya. Aneh sekali. Tubuhnya bereaksi sangat aneh pagi ini.
‘Kenapa dia terlihat sangat tampan setiap kali mengibaskan rambutnya seperti itu....’ batin Sylvia sambil terus menatap Edgar.
“Berhentilah menatap ku, aku tau kalau aku ini sangat tampan.” Sylvia langsung mengalihkan pandangannya saat Edgar menyindirnya. Ucapannya Edgar memang benar, dengan bentuk tubuh yang tinggi, atletis serta kulit yang putih dan bersih, Edgar terlihat sangat tampan bak selebritis papan atas. Namun, ketampanannya itu selalu tertutupi dengan sikapnya yang sangat menyebalkan. Sambil beranjak dari sofa Sylvia berucap, “Gak usah terlalu narsis, kucing liar di luar, jauh lebih tampan daripada kamu, tau!” Sylvia yang enggan bertengkar pagi-pagi dengan Edgar, langsung mengambil handuk serta pakaian. Bahkan ketika Edgar juga berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya. Sylvia kembali memperingatkan Edgar untuk memakai pakaian yang rapi. “Pakai jas dan kemeja yang rapih. Jangan lupa juga pilih dasi yang bagus. Ingat! Kamu akan berperan sebagai Edward hari ini di kantor, bukan sebagai Edgar.” “Iya, Nyonya!” Edgar terdengar kembali menyindirnya. Tidak seperti ucapannya yang s
“Selamat pagi Pak Edward, Bu Sylvia.” Sapaan tersebut keluar dari mulut sekretaris Edward ketika Edgar dan Sylvia memasuki ruangan CEO. Melihat gelagat Edgar yang kembali ingin bersikap genit terhadap sekretaris tersebut, Sylvia langsung membuka pintu ruangan CEO, dan segera menyeret Edgar masuk ke dalam. Sylvia berdeham, lalu memegang lengan Edgar kuat-kuat dengan tatapan mengancam. “Sayang, karena kemarin kamu udah libur seharian, pasti pekerjaanmu sangat menumpuk hari ini. Lebih baik kita langsung masuk aja.”Edgar sepertinya ingin proses, tapi Sylvia segera membulatkan mata dan berbisik, “Gak usah tebar pesona di depan perempuan itu!” Bukannya takut, Edgar malah menyunggingkan senyum. Tentu saja Sylvia semakin jengkel, apalagi ketika pria itu berbisik di telinga Sylvia, “Apa kamu sedang cemburu?” Sylvia menoleh dengan sinis. “Sampai kiamat pun, hal itu gak akan pernah terjadi!” Brak! Sylvia dengan cepat menutup kembali pintu ruangan CEO setelah mereka masuk. Rasa tidak suka
“Gak mau! Aku sibuk!” Mendengar penolakan dari Edgar, tentu saja hal itu membuat Sylvia sangat kesal. Bagaimana tidak, ia sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang harus ia periksa sebelum ditandatangani oleh Edgar. Namun, Edgar sendiri justru sibuk bermain game dan enggan mencari tahu informasi mengenai CH Group. Tanpa rasa takut sedikit pun, Sylvia langsung merampas ponsel Edgar. “Jangan pernah menguji kesabaranku! Lakukan yang aku perintahkan sekarang juga! Atau aku melaporkan tingkah burukmu ini ke Ibu!” Edgar hanya bisa menatap tajam dan mengepalkan tangan ketika Sylvia kembali mengancam untuk kesekian kalinya. Sepertinya Sylvia mulai memahami kelemahannya Edgar. Terbukti, Edgar langsung beranjak dari kursinya saat ia mengancam dengan membawa nama ibunya. “Dasar otoriter!” Sylvia yang samar-samar mendengar ucapan Edgar, langsung menengok ke arah Edgar. “Jangan mengumpat di belakangku. Aku masih bisa mendengarnya, tau!” “Bagus, itu artinya telingamu gak tuli.” Edgar meny
Sekembalinya dari toilet, Sylvia terdiam sejenak di depan pintu ruangan Edward. Ruangan itu tampak tenang dari luar sini. Terlebih, ia tidak melihat sekretaris Edward di mejanya.'Apa pria itu sedang bertingkah macam-macam di dalam sana? Awas saja! Aku akan mencincang kepalanya!'Sylvia sudah bersiap, dan membuka pintu itu lebar-lebar dalam sekali hentakkan. Ia berharap, jika Edgar benar-benar sedang melakukan hal mesum, mereka harus tertangkap basah.Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Sylvia malah melihat Edgar sudah duduk di meja Edward dan tampak serius membaca berkas-berkas. Pria itu tampak sangat tenang, dengan cahaya matahari yang menjadi background di belakangnya.Sylvia berdeham, sebenarnya malu dengan pikiran buruknya tadi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil berkas-berkas dari meja Edward dan mengerjakannya di sofa. Ia tidak akan mengganggu pria itu kali ini. Sylvia kembali memeriksa berkas yang akan ditandatangani oleh Edgar. Namun, tak lama kemudian, Edgar malah meng
Edgar yang muak karena selalu diancam oleh Sylvia, ia langsung meletakkan ponselnya. Lalu ia mengambil pulpen untuk menandatangani tumpukan berkas yang ada diatas meja.Melihat Edgar akan menandatangani berkas itu. Ia lupa bahwa tanda tangan Edward dan Edgar pasti berbeda. Lalu ia dengan cepat menghentikan Edgar. “Tunggu sebentar,” ucap Sylvia.“Apa lagi?” tanya Edgar.Sylvia yang tidak mau sekretaris Edward curiga saat melihat tanda tangan yang berbeda, ia langsung beranjak dari sofa. Lalu ia pergi ke meja Edward untuk mencari contoh tanda tangan Edward. Tak lama kemudian ia kembali menghampiri Edgar dengan membawa sebuah berkas yang ia dapat dari laci meja kerjanya Edward.Sylvia meletakkan berkas tersebut didepannya Edgar. “Pastikan tanda tangan yang kamu bikin sama persis dengan tanda tangannya Edward yang ada di berkas itu!” Edgar langsung mendengus kesal. “Merepotkan sekali.” Sambil kembali duduk di sofa, Sylvia menimpali ucapannya Edgar. “Gak usah kebanyakan ngeluh. Lakukan a
Sylvia yang merasa bersalah karena sudah menghina Edgar, ia pun keluar untuk mencari keberadaan Edgar. Setelah cukup lelah berkeliling di kantor, Sylvia belum juga menemukan keberadaan Edgar. Ia bahkan khawatir bahwa Edgar tidak ingin kembali lagi ke perusahaan karena hinaan yang tidak sengaja diucapkan oleh Sylvia.Dengan bertolak pinggang serta melihat ke berbagai arah, Sylvia bergumam. “Kemana ya perginya pria itu?” Lalu ia mengerutkan keningnya. “Jangan bilang kalau dia pulang ke rumah?” Sylvia yang khawatir jika Edgar pulang kerumah dan melaporkan dirinya ke Catherine. Ia langsung bergegas turun ke lantai bawah. Di lantai bawah, seorang resepsionis langsung berdiri saat melihat kedatangan Sylvia. Melihat resepsionis tersebut menundukkan kepalanya saat ia melintas. Sylvia kembali mundur untuk menanyakan keberadaan suaminya kepada resepsionis tersebut. Mungkin saja resepsionis itu tahu kemana perginya Edgar. Atau bahkan Edgar sempat mengatakan ia akan pergi kemana kepada resepsio
Sylvia langsung mendengus kesal. Edgar benar bahwa sebelumnya Sylvia sudah lebih dulu menghina dirinya. Namun, dengan sikap Edgar yang menyebalkan hal itu membuat Sylvia enggan untuk meminta maaf lebih dulu. Sudah pasti jika Sylvia yang meminta maaf duluan, pria itu akan besar kepala.Dengan melipat kedua tangannya didada dan mengalihkan pandanga, Sylvia dengan angkuh berkata. “Tidak mau! Aku tidak mau minta maaf duluan!” “Ya sudah.” Edgar mengangkat kedua pundaknya. Lalu ia berbalik untuk berjalan ke arah sofa. “Aku juga gak mau meneruskan sandiwara ini.” Mendengar ucapannya Edgar Sylvia semakin kesal. Jika Edgar tidak ingin bersandiwara lagi di kantor sebagai Edward. Maka perusahaan ini akan kacau balau. Jika hal itu terjadi maka perusahaan ayah Sylvia yang bekerjasama dengan perusahaan keluarga Edward akan terkena imbasnya juga. Alhasil Sylvia menurunkan gengsinya untuk minta maaf lebih dulu ke Edgar.Dengan menoleh ke Edgar, Sylvia berkata. “Baiklah, aku akan melakukan yang kamu
Sore harinya.Tak terasa karena kesibukan mereka masing-masing, jam dinding diruang Edward sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sylvia yang teringat bahwa sore ini Edgar harus menghadiri undangan dari salah satu client perusahaan, ia langsung menghentikan pekerjaannya. Lalu ia beranjak dari sofa.Sambil berjalan menghampiri Edgar, Sylvia berkata. “Ayo kita pergi sekarang. Udah saatnya kamu datang untuk memenuhi undangan pak Calvin.” Edgar langsung berdeham. “Tunggu sebentar.” Melihat Edgar sangat fokus melihat sebuah berkas, Sylvia tidak ingin mengganggu konsentrasinya. Bahkan Sylvia memilih untuk menarik kursi agar ia bisa duduk sejenak. Namun, belum ada 5 menit, Sylvia harus kembali beranjak dari kursinya. “Sudah selesai! Ayo kita berangkat sekarang,” ucap Edgar.Sylvia langsung mengepalkan tangannya. “Edgar!!” Lalu ia menepuk meja Edgar. “Kamu bisa gak sih, gak bikin aku kesel, sehari aja.” Edgar yang tidak tau kesalahannya, ia langsung mengerutkan dahinya. “Memangnya kapan aku biki