“Kamu sedang apa di tangga?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut Catherine saat Sylvia berbalik untuk pergi ke kamarnya. Sylvia berbalik badan lagi dan mengulaskan senyum kaku. Dengan gugup, Sylvia berusaha menjawab pertanyaan ibu mertuanya.
“I-itu, Bu… A-aku mau ambil air minum di dapur.”
Sylvia meneguk air liurnya ketika Catherine tidak menjawab. Pasalnya, di lantai atas juga ada dispenser air. Mungkin saja Catherine curiga.
‘Apakah aku ketahuan?’ pikirnya.
“Kalau air dispensernya habis, kamu suruh pelayan untuk mengisinya.” Ibu mertuanya berucap sambil menepuk pundaknya Sylvia, lalu menaiki anak tangga.
Sylvia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.”
Saat melihat ibu mertuanya sudah menjauh, Sylvia langsung menghela napasnya. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya Edgar dengan cepat.
Ceklek!
Sylvia bersandar di pintu. “Kira-kira Edgar pergi ke mana ya?”
Meskipun Edgar sangat menyebalkan baginya, Sylvia sedikit merasa khawatir. Pria itu bukan pria jahat, hanya omongannya saja yang pedas. Apalagi, itu pertama kalinya Sylvia melihat pria itu marah-marah.
“Sebaiknya aku telepon dia,” ucap Sylvia, lalu teringat sesuatu. “Astaga… aku kan gak punya nomor teleponnya.”
Sylvia melempar ponselnya ke kasur, dan tidak mau peduli lagi. Lebih baik ia beristirahat sekarang, daripada memikirkan anak manja yang baru saja bertengkar dengan ibunya.
‘Udahlah, dia juga udah besar. Nanti juga bisa pulang sendiri,’ pikir Sylvia sebelum memejamkan mata.
Malam semakin larut. Entah sudah jam berapa, tapi Sylvia bisa mendengar bunyi pintu kamar dibuka. Tak lama kemudian, ia merasakan seseorang yang naik ke kasur. Ia memang mudah sekali terbangun jika tidur. Gerakan sedikit saja sudah bisa membangunkannya.
Sylvia membuka mata dan langsung berbalik badan. Di sisi kasur satunya, ia sudah melihat punggung lebar seorang pria. Tanpa banyak bicara, Edgar ternyata sudah pulang dan tidur membelakanginya.
“Edgar?” panggil Sylvia sambil setengah duduk di kasur.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya Edgar. ‘Mungkin udah tidur.’ pikir Sylvia.
Saat Sylvia ingin kembali tidur, Edgar menjawab. “Kenapa?”
“Aku kira kamu udah tidur,” kata Sylvia dengan posisi sama. Namun, Edgar kembali hanya diam seribu bahasa, membuat Sylvia bertanya lagi, “Kamu dari mana?”
“Kamu ingat perjanjian kita?”
Sylvia berdecak sambil memutar bola matanya. Ia tidak bodoh, tentu saja masih mengingat kalau mereka tidak boleh saling ikut campur. Namun, apa salahnya dengan sedikit menunjukkan simpatinya, sih?
Malas berdebat, akhirnya Sylvia hanya bisa menghela napas.
“Ya udah terserah.”
Sylvia menarik selimutnya dan berbalik badan, ingin kembali tidur. Suara napas Edgar terdengar teratur di belakangnya, tapi itu justru membuat Sylvia semakin penasaran.
‘Kok, dia bisa setenang itu abis berantem sama Ibu, ya?’
“Kenapa kamu bertengkar sama Ibu?”
Tiba-tiba, Edgar berbalik badan. “Dari mana kamu tau?”
Sylvia menutup mulutnya sendiri karena tanpa sadar mengucapkan isi kepalanya. Ia panik. Ia lupa kalau tadi dirinya diam-diam mengintip pertengkaran tersebut.
Ia bisa merasakan tatapan marah Edgar di belakang punggungnya. Pria itu pasti sudah duduk sambil menunggu penjelasan darinya.
“S-suaramu keras banget sih!” Sylvia berteriak sambil ikut duduk di kasur, sekarang mereka duduk berhadapan.
Edgar masih menatap tajam Sylvia. “Walaupun suaraku keras, apa kamu diizinkan untuk mendengarnya?”
Sylvia tanpa sadar menelan air liurnya. Pria itu berbeda dengan Edgar yang ia tahu beberapa saat ini. Edgar dalam mode serius terlihat sangat menakutkan.
“A-aku punya telinga!” balas Sylvia. “Aku yakin, kamu yang buat Ibu marah, kan? Ibu gak pernah semarah itu sebelumnya.”
Edgar mendengus. “Tau apa kamu?”
“Apa itu ada hubungannya dengan kamu memintaku membantu untuk dapatkan investor dan koneksi?”
Edgar yang ingin kembali tidur pun membeku. Ia menatap Sylvia lagi. “Apa maksudnya?”
Sylvia mengangkat bahu. “Perusahaanmu yang ditentang Ibu…. aku akan membantumu untuk mendapatkan investor,” ucap Sylvia.
“Ya tentu saja harus, itu perjanjian kita,” jawab Edgar dengan alis terangkat, terlihat sedikit merasa bingung.
“Iya, tapi seperti kataku, karena kamu harus berperan sebagai Edward, kamu juga harus mau menerima jabatan CEO untuk menggantikan posisinya.”
Mata Edgar membulat. “Gak! Sudah cukup aku berpura-pura menjadi dia!”
“Berhenti menyamakanku dengan dia!” lanjutnya dengan suara tertahan.
“Kamu emang bukan Edward,” jawab Sylvia sinis, lelah mengingatkan kalau Edgar sama sekali tidak bisa menjadi Edward. “Gak ada yang bisa menyamakan pria itu.”
“Terus apa gunanya?”
Sylvia mendengus, sifat egoisnya muncul karena melihat reaksi Edgar yang bebal dan tidak mau mendengarkannya. “Jangan salah paham. Aku ngelakuin ini bukan hanya untuk kamu, tapi untuk aku juga. Aku gak mau disangka punya suami yang gak kompeten.”
“Apa kamu gak berpikir, dengan jadi CEO perusahaan Wijaya, kamu gak akan direndahkan lagi,” lanjut Sylvia. “Tapi ya… jika kamu masih berharap aja sama usaha rongsokan itu, terserah—ah!”
Belum sempat Sylvia menyelesaikan ucapannya, pria itu sudah mencekal kuat dua tangan Sylvia dan mengurung tubuhnya di bawah tubuh kekarnya. Mata Sylvia membulat. Antara kaget dengan tindakan Edgar, juga terhadap dirinya sendiri.
‘Kenapa aku bisa keceplosan mengulang kata-kata Ibu? Padahal gak begitu maksudku…’ Sylvia merutuki dirinya sendiri.
“B-bukan… maksudku, Ibu—”
“Tutup mulutmu!” Edgar menggeram dengan rahang terkatup rapat. Matanya menatap tajam Sylvia. “Gak ada yang boleh menghina mimpiku yang satu itu.”
Edgar tidak peduli jika ada orang yang menghinanya pemalas, tidak bisa diatur, dan sebagainya. Namun, ketika usahanya itu dilecehkan, ia akan marah besar.
Bisnis kecil-kecilan yang menjual berbagai aksesoris dan sparepart motor maupun mobil itu adalah perwujudan impiannya. Ketika tidak ada yang mau mendengarnya, otomotif-lah satu-satunya teman Edgar.
Edgar yang tidak terima Sylvia sudah menghina bisnis yang ia rintis dengan derih payahnya sendiri. Edward langsung mengungkung Sylvia.
Dengan memegang kedua tangannya Sylvia, Edgar langsung mengancam Sylvia. “Jangan pernah menghina bisnis pribadi ku, atau aku akan merenggut sesuatu yang amat berharga dari dirimu.” Tubuh Edgar semakin turun, merapat pada tubuh Sylvia. Tidak seperti sebelumnya, Sylvia semakin berani menantangnya. Walaupun tubuhnya terasa gemetar, Sylvia tidak mengalihkan tatapannya dari Edgar.
“K-kalau begitu, kau pilih, usahamu hancur, atau kamu mendengarkanku?” tawar wanita itu.
“Sial! Edgar mengumpat setelah menyingkir dari atas tubuhnya Sylvia. Ia tahu betul, bahwa ibunya tidak akan main-main dalam bertindak. Ini seperti berjalan di atas es, salah sedikit, ia akan jatuh ke kubangan es dan mati membeku. Edgar menggeram sambil mengepalkan tangannya. Ia masih menatap Sylvia dengan tajam. “Baik," jawabnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu.” Jantung Sylvia yang tadinya berdetak cepat, mulai tenang. Ia menggenggam ujung selimutnya, dan perlahan menariknya sampai menutupi leher. Ia sebisa mungkin menghindari tatapan Edgar. “K-kupegang ucapanmu,” ucap Sylvia. Sambil memiringkan tubuhnya Edgar bergumam, “Kalau bukan karena ingin melindungi bisnisku dari ancaman Ibu, aku gak sudi mengikuti keinginan dia.” Sylvia yang masih bisa mendengar ucapannya Edgar, kembali membuka matanya dan menoleh ke belakang. “Kamu bilang apa barusan?” “Tidak penting,” ucap Edgar, dan langsung mematikan lampu kamar di atas nakas. ***Keesokan paginya. Sebagai tipe yang lumay
“Berhentilah menatap ku, aku tau kalau aku ini sangat tampan.” Sylvia langsung mengalihkan pandangannya saat Edgar menyindirnya. Ucapannya Edgar memang benar, dengan bentuk tubuh yang tinggi, atletis serta kulit yang putih dan bersih, Edgar terlihat sangat tampan bak selebritis papan atas. Namun, ketampanannya itu selalu tertutupi dengan sikapnya yang sangat menyebalkan. Sambil beranjak dari sofa Sylvia berucap, “Gak usah terlalu narsis, kucing liar di luar, jauh lebih tampan daripada kamu, tau!” Sylvia yang enggan bertengkar pagi-pagi dengan Edgar, langsung mengambil handuk serta pakaian. Bahkan ketika Edgar juga berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya. Sylvia kembali memperingatkan Edgar untuk memakai pakaian yang rapi. “Pakai jas dan kemeja yang rapih. Jangan lupa juga pilih dasi yang bagus. Ingat! Kamu akan berperan sebagai Edward hari ini di kantor, bukan sebagai Edgar.” “Iya, Nyonya!” Edgar terdengar kembali menyindirnya. Tidak seperti ucapannya yang s
“Selamat pagi Pak Edward, Bu Sylvia.” Sapaan tersebut keluar dari mulut sekretaris Edward ketika Edgar dan Sylvia memasuki ruangan CEO. Melihat gelagat Edgar yang kembali ingin bersikap genit terhadap sekretaris tersebut, Sylvia langsung membuka pintu ruangan CEO, dan segera menyeret Edgar masuk ke dalam. Sylvia berdeham, lalu memegang lengan Edgar kuat-kuat dengan tatapan mengancam. “Sayang, karena kemarin kamu udah libur seharian, pasti pekerjaanmu sangat menumpuk hari ini. Lebih baik kita langsung masuk aja.”Edgar sepertinya ingin proses, tapi Sylvia segera membulatkan mata dan berbisik, “Gak usah tebar pesona di depan perempuan itu!” Bukannya takut, Edgar malah menyunggingkan senyum. Tentu saja Sylvia semakin jengkel, apalagi ketika pria itu berbisik di telinga Sylvia, “Apa kamu sedang cemburu?” Sylvia menoleh dengan sinis. “Sampai kiamat pun, hal itu gak akan pernah terjadi!” Brak! Sylvia dengan cepat menutup kembali pintu ruangan CEO setelah mereka masuk. Rasa tidak suka
“Gak mau! Aku sibuk!” Mendengar penolakan dari Edgar, tentu saja hal itu membuat Sylvia sangat kesal. Bagaimana tidak, ia sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang harus ia periksa sebelum ditandatangani oleh Edgar. Namun, Edgar sendiri justru sibuk bermain game dan enggan mencari tahu informasi mengenai CH Group. Tanpa rasa takut sedikit pun, Sylvia langsung merampas ponsel Edgar. “Jangan pernah menguji kesabaranku! Lakukan yang aku perintahkan sekarang juga! Atau aku melaporkan tingkah burukmu ini ke Ibu!” Edgar hanya bisa menatap tajam dan mengepalkan tangan ketika Sylvia kembali mengancam untuk kesekian kalinya. Sepertinya Sylvia mulai memahami kelemahannya Edgar. Terbukti, Edgar langsung beranjak dari kursinya saat ia mengancam dengan membawa nama ibunya. “Dasar otoriter!” Sylvia yang samar-samar mendengar ucapan Edgar, langsung menengok ke arah Edgar. “Jangan mengumpat di belakangku. Aku masih bisa mendengarnya, tau!” “Bagus, itu artinya telingamu gak tuli.” Edgar meny
Sekembalinya dari toilet, Sylvia terdiam sejenak di depan pintu ruangan Edward. Ruangan itu tampak tenang dari luar sini. Terlebih, ia tidak melihat sekretaris Edward di mejanya.'Apa pria itu sedang bertingkah macam-macam di dalam sana? Awas saja! Aku akan mencincang kepalanya!'Sylvia sudah bersiap, dan membuka pintu itu lebar-lebar dalam sekali hentakkan. Ia berharap, jika Edgar benar-benar sedang melakukan hal mesum, mereka harus tertangkap basah.Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Sylvia malah melihat Edgar sudah duduk di meja Edward dan tampak serius membaca berkas-berkas. Pria itu tampak sangat tenang, dengan cahaya matahari yang menjadi background di belakangnya.Sylvia berdeham, sebenarnya malu dengan pikiran buruknya tadi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil berkas-berkas dari meja Edward dan mengerjakannya di sofa. Ia tidak akan mengganggu pria itu kali ini. Sylvia kembali memeriksa berkas yang akan ditandatangani oleh Edgar. Namun, tak lama kemudian, Edgar malah meng
Edgar yang muak karena selalu diancam oleh Sylvia, ia langsung meletakkan ponselnya. Lalu ia mengambil pulpen untuk menandatangani tumpukan berkas yang ada diatas meja.Melihat Edgar akan menandatangani berkas itu. Ia lupa bahwa tanda tangan Edward dan Edgar pasti berbeda. Lalu ia dengan cepat menghentikan Edgar. “Tunggu sebentar,” ucap Sylvia.“Apa lagi?” tanya Edgar.Sylvia yang tidak mau sekretaris Edward curiga saat melihat tanda tangan yang berbeda, ia langsung beranjak dari sofa. Lalu ia pergi ke meja Edward untuk mencari contoh tanda tangan Edward. Tak lama kemudian ia kembali menghampiri Edgar dengan membawa sebuah berkas yang ia dapat dari laci meja kerjanya Edward.Sylvia meletakkan berkas tersebut didepannya Edgar. “Pastikan tanda tangan yang kamu bikin sama persis dengan tanda tangannya Edward yang ada di berkas itu!” Edgar langsung mendengus kesal. “Merepotkan sekali.” Sambil kembali duduk di sofa, Sylvia menimpali ucapannya Edgar. “Gak usah kebanyakan ngeluh. Lakukan a
Sylvia yang merasa bersalah karena sudah menghina Edgar, ia pun keluar untuk mencari keberadaan Edgar. Setelah cukup lelah berkeliling di kantor, Sylvia belum juga menemukan keberadaan Edgar. Ia bahkan khawatir bahwa Edgar tidak ingin kembali lagi ke perusahaan karena hinaan yang tidak sengaja diucapkan oleh Sylvia.Dengan bertolak pinggang serta melihat ke berbagai arah, Sylvia bergumam. “Kemana ya perginya pria itu?” Lalu ia mengerutkan keningnya. “Jangan bilang kalau dia pulang ke rumah?” Sylvia yang khawatir jika Edgar pulang kerumah dan melaporkan dirinya ke Catherine. Ia langsung bergegas turun ke lantai bawah. Di lantai bawah, seorang resepsionis langsung berdiri saat melihat kedatangan Sylvia. Melihat resepsionis tersebut menundukkan kepalanya saat ia melintas. Sylvia kembali mundur untuk menanyakan keberadaan suaminya kepada resepsionis tersebut. Mungkin saja resepsionis itu tahu kemana perginya Edgar. Atau bahkan Edgar sempat mengatakan ia akan pergi kemana kepada resepsio
Sylvia langsung mendengus kesal. Edgar benar bahwa sebelumnya Sylvia sudah lebih dulu menghina dirinya. Namun, dengan sikap Edgar yang menyebalkan hal itu membuat Sylvia enggan untuk meminta maaf lebih dulu. Sudah pasti jika Sylvia yang meminta maaf duluan, pria itu akan besar kepala.Dengan melipat kedua tangannya didada dan mengalihkan pandanga, Sylvia dengan angkuh berkata. “Tidak mau! Aku tidak mau minta maaf duluan!” “Ya sudah.” Edgar mengangkat kedua pundaknya. Lalu ia berbalik untuk berjalan ke arah sofa. “Aku juga gak mau meneruskan sandiwara ini.” Mendengar ucapannya Edgar Sylvia semakin kesal. Jika Edgar tidak ingin bersandiwara lagi di kantor sebagai Edward. Maka perusahaan ini akan kacau balau. Jika hal itu terjadi maka perusahaan ayah Sylvia yang bekerjasama dengan perusahaan keluarga Edward akan terkena imbasnya juga. Alhasil Sylvia menurunkan gengsinya untuk minta maaf lebih dulu ke Edgar.Dengan menoleh ke Edgar, Sylvia berkata. “Baiklah, aku akan melakukan yang kamu
Sesampainya didepan ruangan Larissa, Sylvia langsung membuka pintu ruangan tersebut. Saat melihat kedatangan Sylvia, Elis yang sedang merapikan beberapa dokumen, ia langsung beranjak dari kursinya. Lalu, ia pun bergegas menghampiri Sylvia.Ceklek!"Bu Sylvia." Elis berucap saat melihat kedatangan Sylvia."Selamat datang, bu. Silahkan duduk," ucap Elis."Iya," sahut Sylvia.Sylvia dan Edgar bergegas duduk di sofa yang ada didalam ruangan Larissa. Setelah duduk, Sylvia pun mulai mengutamakan maksud kedatangannya."Begini Elis, sebenarnya kedatangan saya kesini ini menanyakan sesuatu ke kamu," ucap Sylvia."Mau menanyakan apa ya, bu?" tanya Elis."Belum lama ini saya sempat mengirimkan sebuah rekaman video ke email kamu. Apa kamu udah memeriksa email kamu? Saya khawatir rekaman video itu gak sempat terkirim," tanya Sylvia."Tunggu sebentar ya, bu. Saya ambil iPad saya dulu," ucap Elis.Elis pun beranjak dari sofa. Lalu, ia pun mengambil iPad miliknya yang ia letakkan di meja kerja Lariss
Melihat istrinya panik, Edgar bukannya melepaskan pelukannya ia justru semakin menggoda Sylvia. Sedangkan Sylvia sendiri terus berontak agar bisa melepaskan diri dari pelukan Edgar. "Edgar!! Lepasin aku!" Sylvia berucap sambil mendorong dada Edgar."Tidak mau! Aku tidak akan membiarkan kamu kabur. Hari ini juga kamu akan menjadi milikku seutuhnya. Muaacchh." Edgar menyahut dengan mencium bibir istrinya diakhir ucapannya.Sylvia yang sudah kesal, ia langsung mencubit lengannya Edgar. Sontak, hal itu membuat Edgar melepaskan pelukannya. "Aaaaaaa!!" jerit Edgar."Syukurin emangnya enak! Genit sih jadi cowok," ucap Sylvia."Kamu kenapa cubit tangan aku sih? Aku kan cuma pengen mesra-mesraan sama kamu." Edgar bertanya sambil mengusap tangannya yang bekas dicubit Sylvia."Aku kan udah pernah bilang sama kamu, aku belum mau melakukan hal itu sama kamu sebelum semua masalah ini selesai dan status pernikahan kita jelas," ucap Sylvia."Masih lama dong kalau begitu." Edgar menyahut sambil meng
Satu jam kemudian.Setelah berada di kantor, Edgar langsung langsung mengeluarkan surat pernyataan mengenai pemecatan Frans. Hanya berselang setengah jam setelah Edgar mengesahkan surat tersebut, ponsel Edgar tiba-tiba saja berbunyi. Edgar pun mengambil ponselnya.Kriinngg..."Ibu." Edgar berucap saat menatap layar ponselnya.Menyadari bahwa ibunya pasti udah mendapatkan kabar tentang pemecatan Frans, Edgar pun meletakkan ponselnya dan membiarkan ponselnya terus berbunyi. Catherine yang merasa kesal karena panggilan telponnya diabaikan oleh Edgar, ia pun memutuskan untuk pergi ke kantor guna menemui putranya."Aaarrrgghh!! Edgar pasti sengaja tidak menjawab ponselku. Sebaiknya aku temui saja dia dikantor," ucap Catherine. Catherine langsung mengambil tasnya untuk pergi menemui Edgar. Setelah melewati kemacetan yang cukup parah, Catherine akhirnya sampai di depan kantor. Setelah turun dari mobil, dengan langkah cepat, Catherine langsung berjalan menuju ke ruangan Edgar. Tak lama ia pu
Tak lama kemudian Edgar pun membawa Sylvia keluar dari ruang UGD. Kemudian Edgar pun pergi sebentar ke loket administrasi untuk membayar perawatan Sylvia. "Kamu tunggu disini sebentar ya, aku mau urus administrasi nya dulu," ucap Edgar.Sylvia langsung menganggukkan kepalanya. "Iya." Selagi menunggu Edgar selesai mengurus pembayaran administrasinya, Sylvia pun menunggu di ruang tunggu UGD. Saat mengingat bahwa ponselnya sudah diambil oleh pak Thomas, Sylvia langsung mendengus kesal."Sial! Semoga aja Elis udah melihat email yang aku kirimkan tadi deh," gumam Sylvia.Setelah menunggu cukup lama, Edgar pun datang. "Udah selesai semuanya?" tanya Sylvia."Udah, yuk kita pulang sekarang." Edgar berucap dengan mengulurkan tangannya."Pulang? Kenapa gak kembali ke kantor aja? Urusan kita kan masih banyak yang harus dikerjakan," tanya Sylvia."Urusan kantor, om Dean beser pak Thomas biar jadi urusan aku. Kamu istirahat dirumah aja," ucap Edgar."Edgar! Aku ini bosan istirahat dirumah terus
Sesampainya dirumah sakit, Edgar langsung turun dari mobil. Lalu, ia pun mengeluarkan Sylvia dari dalam mobil. Sambil menggendong Sylvia, ia pun membawa Sylvia ke ruang UGD."Dokter! Suster! Tolong selamatkan istri saya," teriak Edgar.Tak lama seorang dokter pun datang menghampiri Edgar. "Istrinya kenapa pak?" "Istri saya pingsan dok, tolong periksa istri saya dulu." Edgar berucap sambil terus menggendong istrinya.Dokter langsung menunjuk ke arah ruang UGD. "Silahkan bawa istrinya ke dalam, pak."Edgar pun menganggukkan kepalanya. "Baik, dok."Sesuai perintah dokter, Edgar langsung membawa istrinya masuk kedalam ruang UGD. Saat melihat ada ranjang yang kosong, Edgar langsung membaringkan Sylvia diatas ranjang tersebut. Tak lama dokter pun mulai memeriksa kondisi Sylvia. "Sebaiknya bapak tunggu diluar saja ya. Biarkan dokter berkonsentrasi untuk memeriksa kondisi pasien," ucap seorang suster yang menghampiri Edgar.Edgar pun dengan berat hati keluar dari ruang UGD. Selama Sylvia se
"Kenapa om? Om terkejut melihat keberadaan ku disini? Sama om, aku juga terkejut mendengar semua ucapan om. Kenapa om segitu teganya sama Edward? Memangnya salah Edward apa, om?" cecar Edgar.Frans langsung memegang pundak Edgar. "Kamu salah paham Edgar, semua yang kamu dengar gak seperti apa yang kamu pikirkan."Edgar pun menghempaskan tangan omnya. "Salah paham apanya om?! Aku jelas-jelas denger kalau om dan pak Thomas yang membuat rencana untuk melenyapkan Edward. Dia itu saudara kandung ku, om! Keponakan kandung om sendiri!" "Om terpaksa melakukan semua itu Edgar, maafkan om." Frans berucap sambil menundukkan kepalanya."Maaf om bilang?" tanya Edgar. "Saudara kembar ku udah tewas, om!" teriak Edgar.Melihat suaminya yang sudah emosional, Sylvia langsung menghampiri suaminya. Lalu, Sylvia memegang lengan suaminya. "Udah Edgar, kamu gak usah berteriak. Itu hanya membuang energi mu aja. Sebaiknya kita laporkan hal ini ke kantor polisi. Pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setim
Siang harinya.Menjelang jam makan siang, Edgar menerima telpon dari sekretarisnya. Ia mengatakan kepada Edgar bahwa ia melihat Frans baru saja pergi. Mendengar kabar tersebut, Edgar langsung menutup telponnya. "Benarkah?" tanya Edgar."Iya pak, baru 3 menit yang lalu saya melihat pak Frans meninggalkan mejanya. Sepertinya ia akan pergi menemui seseorang," ucap sekretaris."Kamu tau dari mana?" tanya Edgar."Pengamatan saya aja pak, karena saya melihat bahwa pak Frans sangat terburu-buru untuk pergi setelah beliau menerima panggilan telpon," ucap sekretaris."Baiklah, terimakasih atas informasinya," sahut Edgar."Sama-sama pak," sahut sekretaris. Edgar langsung meletakkan gagang telponnya. Kemudian ia pun beranjak dari kursinya. Sambil berjalan menghampiri istrinya, Edgar pun berkata. "Ayo Sylvia, kita buntuti om Frans."Sylvia langsung menoleh ke arah Edgar. "Memangnya om Frans udah pergi?""Udah, tadi aku dapet informasi dari sekretaris. Katanya om Frans belum lama ini pergi. Kit
Setelah selesai sarapan Edgar dan Sylvia langsung pergi ke kantor. Selama di perjalanan menuju kantor, Edgar terus mengecek laporan keuangan perusahaan. Melihat kesibukan yang dilakukan oleh Edgar, Sylvia memberanikan diri untuk bertanya.Dengan melirik ke arah iPad yang ada di tangan Edgar, Sylvia pun bertanya. “Kamu lagi ngapain sih? Keliatannya sibuk banget.”Sambil terus menatap layar iPadnya, Edgar pun menjawab. “Aku lagi ngecek laporan keuangan perusahaan.”“Memangnya ada yang aneh dengan laporannya?” tanya Sylvia.“Sejauh ini sih belum ada,” ucap Edgar. Lalu, Edgar pun menoleh ke arah Sylvia. “Nanti kamu ikut aku sebentar ya.”“Kemana?” tanya Sylvia.“Membuntuti om Frans secara diam-diam,” ucap Edgar.Sylvia pun mengerutkan keningnya. “Maksudnya gimana?” “Beberapa hari yang lalu, aku minta bantuan sama Richard untuk menyadap ponsel om Frans. Kemarin, Richard mengatakan bahwa om Frans menerima panggilan telpon dari nomor yang gak dikenal dan mereka janjian di sebuah tempat untu
3 hari kemudian.Setelah dirawat dengan telaten oleh Edgar, kini kondisi Sylvia sudah semakin membaik. Bukan hanya itu saja hubungan diantara mereka pun semakin mesra. Bahkan, kini Edgar sudah tidak sungkan untuk mencium pipi Sylvia ataupun memanggilnya dengan sebutan sayang.“Kamu yakin mau ikut ke kantor hari ini?” Edgar bertanya sambil memasang kancing diujung lengannya.“Yakin.” Sylvia berucap sambil menyisir rambutnya. “Aku ingin masalah ini cepat selesai. Aku gak mau hidupku gak bebas hanya karena pak Thomas belum kunjung tertangkap.”Dengan membawa dasinya, Edgar pun menghampiri Sylvia. Saat berada di samping Sylvia, Edgar langsung menyerahkan dasinya. “Baiklah, kamu boleh ikut ke kantor, tapi kamu gak boleh jauh dari aku. Kamu harus selalu berada di depan mata ku.”Sylvia pun mengambil dasinya Edgar. Sambil memasangkan dasi tersebut, Sylvia langsung menimpali ucapan Edgar. “Kalau aku selalu ada di depan mata kamu, nanti kamu gak bisa kerja dong. Gimana coba mau ngecek berkas-b