“Selamat pagi Pak Edward, Bu Sylvia.”
Sapaan tersebut keluar dari mulut sekretaris Edward ketika Edgar dan Sylvia memasuki ruangan CEO. Melihat gelagat Edgar yang kembali ingin bersikap genit terhadap sekretaris tersebut, Sylvia langsung membuka pintu ruangan CEO, dan segera menyeret Edgar masuk ke dalam.
Sylvia berdeham, lalu memegang lengan Edgar kuat-kuat dengan tatapan mengancam. “Sayang, karena kemarin kamu udah libur seharian, pasti pekerjaanmu sangat menumpuk hari ini. Lebih baik kita langsung masuk aja.”
Edgar sepertinya ingin proses, tapi Sylvia segera membulatkan mata dan berbisik, “Gak usah tebar pesona di depan perempuan itu!”
Bukannya takut, Edgar malah menyunggingkan senyum. Tentu saja Sylvia semakin jengkel, apalagi ketika pria itu berbisik di telinga Sylvia, “Apa kamu sedang cemburu?”
Sylvia menoleh dengan sinis. “Sampai kiamat pun, hal itu gak akan pernah terjadi!”
Brak!
Sylvia dengan cepat menutup kembali pintu ruangan CEO setelah mereka masuk. Rasa tidak suka dan menjengkelkan ketika Edgar menggoda wanita lain ini tentu bukan cemburu. Ia hanya tidak mau membuat para karyawan curiga, dan semua rencananya gagal.
Ya, hanya itu. Tidak lebih.
“Rapi juga ternyata ruangan si kaku itu,” ucap Edgar sambil menatap sekeliling ruangan.
Sylvia mengerutkan keningnya, “Siapa yang kamu sebut dengan si kaku?”
Edgar berjalan ke arah kursi Edward. “Calon suamimu yang kabur itu lah, memangnya siapa lagi? Dia itu kan pria paling kaku dan membosankan di dunia ini.”
Sylvia pun berjalan ke arah meja Edward dan menimpali ucapannya Edgar. “Dia itu bukan kaku, tapi irit bicara. Dia gak suka membuang waktunya untuk membicarakan hal yang tidak penting. Tidak seperti kamu, terlalu banyak bicara, tapi minim prestasi.”
“Kalau dia memang sehebat itu, seharusnya dia yang ada di sini bersamamu, bukan aku!”
Balasan Edgar menohok Sylvia. Ya, benar, kalau memang Edward sehebat itu, ia mungkin tidak akan menjadi pengecut dan menghilang di hari pernikahannya bersama wanita lain. Mengingat hal itu, Sylvia kembali mengepalkan tangannya.
Tidak pernah dibayangkan kalau hidupnya bisa diinjak-injak dua saudara kembar ini sekaligus.
Sylvia mendengus, memutuskan untuk tidak membuang waktu hanya untuk memperdebatkan hal yang tidak penting lagi. Ia langsung meminta Edgar untuk membuka laptop Edward yang ada di atas meja, sementara dirinya membuka beberapa dokumen yang ada di rak buku. Namun, begitu berbalik ke arah meja, pria itu hanya duduk bertopang dagu sambil menatap layar laptop.
Sylvia menghela napas. 'Apa sih yang pria bodoh ini lakukan?'
"Jangan bilang kalau kamu gak tau cara menyalakan laptopnya,” selidik Sylvia sambil berjalan mendekat.
Edgar pun berdecak. “Aku gak sebodoh itu.” Lalu ia memutar laptop tersebut menghadap ke arah Sylvia. “Laptopnya terkunci.”
“Ya, udah. Kamu ketik aja password-nya,” jawab Sylvia.
“Mana aku tahu! Ini kan laptop Edward—”
"Ssst!" Sylvia langsung mendekatkan wajahnya. “Kecilkan suaramu! Kalau sekretaris Edward tau kamu bukan bosnya yang asli, kantor ini bisa gempar!”
Untuk beberapa detik, Sylvia tidak sadar kalau telunjuknya menempel di bibir tebal Edgar. Justru, ia sekarang malah terfokus pada bola mata Edgar yang kecokelatan, agak berbeda dengan milik Edward yang hitam pekat. Alisnya yang tebal tampak rapi. Dan Sylvia juga baru menyadari kalau bulu mata Edgar cukup pan—
Krauk!
"AW!" Sylvia lantas menjauh saat pria itu menggigit jarinya tanpa belas kasihan. Ia pun langsung mendelik tajam. "Kamu ngapain sih?!"
“Napasmu bau!”
Sylvia mendengus saat mendengar ucapannya Edgar. Dengan sikap Edgar yang sangat menyebalkan. Sylvia merasa energinya bisa cepat terkuras hanya untuk membimbing pria menyebalkan itu.
Tidak mau berdebat lagi, Sylvia merampas laptop tersebut. “Sini, biar aku aja yang buka laptopnya Edward.”
Namun, begitu berhadapan dengan layar laptop itu, otak Sylvia mendadak kosong. Edward itu sulit ditebak, jadi ada beribu kemungkinan kombinasi password yang ia gunakan.
'Ah... harusnya aku menyewa hacker lebih dulu!' Sylvia berdecak dalam hati. Di saat Sylvia sedang memikirkan tentang password laptop Edward, pintu ruangan CEO tiba-tiba saja diketuk dari luar.
Sylvia langsung menoleh ke arah pintu, lalu mengingatkan Edgar untuk menjaga wibawanya. “Duduk yang tegap, jangan genit! Edward itu profesional, gak genit.”
Edgar mendengus kesal sambil membenarkan posisi duduknya.
"Sekarang, suruh orang yang di luar itu masuk," perintah Sylvia lagi.
Edgar memutar bola mata, tapi tetap menuruti ucapan Sylvia. “Masuk,” ucap Edgar.
Tak lama kemudian, sekretaris Edward masuk dan menyapa sopan Edgar serta Sylvia. Wanita itu menyerahkan beberapa dokumen untuk ditandatangani, dan juga sebuah undangan pembukaan galeri seni yang harus dihadiri oleh Edward.
“Ini undangan dari siapa?” tanya Edgar.
“Itu undangan dari Pak Calvin, dari CH Group. Sebenarnya saya ingin menyerahkan undangan itu kemarin siang. Namun, berhubung Bapak sedang tidak ada di kantor, maka dari itu saya baru menyerahkan undangannya sekarang,” jawab sang sekretaris.
Mendengar ucapan sekretaris tersebut, Sylvia pun angkat bicara. “Memangnya acaranya kapan? Apa suami saya harus menghadiri undangan tersebut?”
Namun, ketika melihat kerutan di dahi sang sekretaris, Sylvia buru-buru menambahkan. "M-maksudnya... kita kan baru saja menikah ya, Sayang. Tentu kita maunya berduaan di rumah saja."
Sylvia sampai harus mengusap-usap lengan Edgar untuk mendukung aktingnya. Tentu saja pria itu terlihat risih, beberapa kali sampai menepis tangan Sylvia. Namun, Sylvia yang keras kepala, tetap melakukannya.
Dan sepertinya, sekretaris itu termakan akting buruk Sylvia dan Edgar. Ia pun menjawab, “Pembukaan galerinya sore ini, Bu. Karena Pak Calvin salah satu klien besar kita, jadi kehadiran Pak Edward lebih baik tidak melewatkannya."
“Baik, terima kasih. Kamu boleh keluar dari ruangan ini,” sahut Sylvia.
Sekretaris tersebut langsung keluar dari ruangan Edward. Sylvia terus mengulaskan senyum bisnisnya. Barulah ketika sekteraris itu menutup pintu, ia berbalik dan menatap tajam Edgar yang hampir menandatangani berkas-berkas itu tanpa memeriksanya.
Sylvia merebut dokumen itu, membuat Edgar mengangkat kepalanya. "Apa lagi sekarang?" tanya Edgar.
"Sekarang, kamu harus mempelajari CH Group dalam waktu 2 jam!"
“Gak mau! Aku sibuk!” Mendengar penolakan dari Edgar, tentu saja hal itu membuat Sylvia sangat kesal. Bagaimana tidak, ia sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang harus ia periksa sebelum ditandatangani oleh Edgar. Namun, Edgar sendiri justru sibuk bermain game dan enggan mencari tahu informasi mengenai CH Group. Tanpa rasa takut sedikit pun, Sylvia langsung merampas ponsel Edgar. “Jangan pernah menguji kesabaranku! Lakukan yang aku perintahkan sekarang juga! Atau aku melaporkan tingkah burukmu ini ke Ibu!” Edgar hanya bisa menatap tajam dan mengepalkan tangan ketika Sylvia kembali mengancam untuk kesekian kalinya. Sepertinya Sylvia mulai memahami kelemahannya Edgar. Terbukti, Edgar langsung beranjak dari kursinya saat ia mengancam dengan membawa nama ibunya. “Dasar otoriter!” Sylvia yang samar-samar mendengar ucapan Edgar, langsung menengok ke arah Edgar. “Jangan mengumpat di belakangku. Aku masih bisa mendengarnya, tau!” “Bagus, itu artinya telingamu gak tuli.” Edgar meny
Sekembalinya dari toilet, Sylvia terdiam sejenak di depan pintu ruangan Edward. Ruangan itu tampak tenang dari luar sini. Terlebih, ia tidak melihat sekretaris Edward di mejanya.'Apa pria itu sedang bertingkah macam-macam di dalam sana? Awas saja! Aku akan mencincang kepalanya!'Sylvia sudah bersiap, dan membuka pintu itu lebar-lebar dalam sekali hentakkan. Ia berharap, jika Edgar benar-benar sedang melakukan hal mesum, mereka harus tertangkap basah.Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Sylvia malah melihat Edgar sudah duduk di meja Edward dan tampak serius membaca berkas-berkas. Pria itu tampak sangat tenang, dengan cahaya matahari yang menjadi background di belakangnya.Sylvia berdeham, sebenarnya malu dengan pikiran buruknya tadi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil berkas-berkas dari meja Edward dan mengerjakannya di sofa. Ia tidak akan mengganggu pria itu kali ini. Sylvia kembali memeriksa berkas yang akan ditandatangani oleh Edgar. Namun, tak lama kemudian, Edgar malah meng
Edgar yang muak karena selalu diancam oleh Sylvia, ia langsung meletakkan ponselnya. Lalu ia mengambil pulpen untuk menandatangani tumpukan berkas yang ada diatas meja.Melihat Edgar akan menandatangani berkas itu. Ia lupa bahwa tanda tangan Edward dan Edgar pasti berbeda. Lalu ia dengan cepat menghentikan Edgar. “Tunggu sebentar,” ucap Sylvia.“Apa lagi?” tanya Edgar.Sylvia yang tidak mau sekretaris Edward curiga saat melihat tanda tangan yang berbeda, ia langsung beranjak dari sofa. Lalu ia pergi ke meja Edward untuk mencari contoh tanda tangan Edward. Tak lama kemudian ia kembali menghampiri Edgar dengan membawa sebuah berkas yang ia dapat dari laci meja kerjanya Edward.Sylvia meletakkan berkas tersebut didepannya Edgar. “Pastikan tanda tangan yang kamu bikin sama persis dengan tanda tangannya Edward yang ada di berkas itu!” Edgar langsung mendengus kesal. “Merepotkan sekali.” Sambil kembali duduk di sofa, Sylvia menimpali ucapannya Edgar. “Gak usah kebanyakan ngeluh. Lakukan a
Sylvia yang merasa bersalah karena sudah menghina Edgar, ia pun keluar untuk mencari keberadaan Edgar. Setelah cukup lelah berkeliling di kantor, Sylvia belum juga menemukan keberadaan Edgar. Ia bahkan khawatir bahwa Edgar tidak ingin kembali lagi ke perusahaan karena hinaan yang tidak sengaja diucapkan oleh Sylvia.Dengan bertolak pinggang serta melihat ke berbagai arah, Sylvia bergumam. “Kemana ya perginya pria itu?” Lalu ia mengerutkan keningnya. “Jangan bilang kalau dia pulang ke rumah?” Sylvia yang khawatir jika Edgar pulang kerumah dan melaporkan dirinya ke Catherine. Ia langsung bergegas turun ke lantai bawah. Di lantai bawah, seorang resepsionis langsung berdiri saat melihat kedatangan Sylvia. Melihat resepsionis tersebut menundukkan kepalanya saat ia melintas. Sylvia kembali mundur untuk menanyakan keberadaan suaminya kepada resepsionis tersebut. Mungkin saja resepsionis itu tahu kemana perginya Edgar. Atau bahkan Edgar sempat mengatakan ia akan pergi kemana kepada resepsio
Sylvia langsung mendengus kesal. Edgar benar bahwa sebelumnya Sylvia sudah lebih dulu menghina dirinya. Namun, dengan sikap Edgar yang menyebalkan hal itu membuat Sylvia enggan untuk meminta maaf lebih dulu. Sudah pasti jika Sylvia yang meminta maaf duluan, pria itu akan besar kepala.Dengan melipat kedua tangannya didada dan mengalihkan pandanga, Sylvia dengan angkuh berkata. “Tidak mau! Aku tidak mau minta maaf duluan!” “Ya sudah.” Edgar mengangkat kedua pundaknya. Lalu ia berbalik untuk berjalan ke arah sofa. “Aku juga gak mau meneruskan sandiwara ini.” Mendengar ucapannya Edgar Sylvia semakin kesal. Jika Edgar tidak ingin bersandiwara lagi di kantor sebagai Edward. Maka perusahaan ini akan kacau balau. Jika hal itu terjadi maka perusahaan ayah Sylvia yang bekerjasama dengan perusahaan keluarga Edward akan terkena imbasnya juga. Alhasil Sylvia menurunkan gengsinya untuk minta maaf lebih dulu ke Edgar.Dengan menoleh ke Edgar, Sylvia berkata. “Baiklah, aku akan melakukan yang kamu
Sore harinya.Tak terasa karena kesibukan mereka masing-masing, jam dinding diruang Edward sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sylvia yang teringat bahwa sore ini Edgar harus menghadiri undangan dari salah satu client perusahaan, ia langsung menghentikan pekerjaannya. Lalu ia beranjak dari sofa.Sambil berjalan menghampiri Edgar, Sylvia berkata. “Ayo kita pergi sekarang. Udah saatnya kamu datang untuk memenuhi undangan pak Calvin.” Edgar langsung berdeham. “Tunggu sebentar.” Melihat Edgar sangat fokus melihat sebuah berkas, Sylvia tidak ingin mengganggu konsentrasinya. Bahkan Sylvia memilih untuk menarik kursi agar ia bisa duduk sejenak. Namun, belum ada 5 menit, Sylvia harus kembali beranjak dari kursinya. “Sudah selesai! Ayo kita berangkat sekarang,” ucap Edgar.Sylvia langsung mengepalkan tangannya. “Edgar!!” Lalu ia menepuk meja Edgar. “Kamu bisa gak sih, gak bikin aku kesel, sehari aja.” Edgar yang tidak tau kesalahannya, ia langsung mengerutkan dahinya. “Memangnya kapan aku biki
Setibanya di kantor, Edgar langsung pergi ke ruangan Edward dengan terburu-buru. Sedangkan Sylvia yang tertinggal jauh di belakang, justru semakin bingung dengan tingkah lakunya Edgar.Sambil terus berjalan ke arah ruang Edward, Sylvia berpikir. ‘Ada apa sih dengan dia? Kenapa dia terlihat sangat ingin pergi ke ruangan Edward? Apa jangan-jangan dia udah berhasil menemukan password laptop Edward? Tapi kapan? Sejak tadi dia kan selalu bersama dengan ku.” Setelah sampai diruangan Edward, Sylvia terlebih dahulu menutup pintu sebelum ia mendekati Edgar. Lalu, ia mulai berjalan menghampiri Edgar. Dikursi Edward, Edgar terlihat sangat serius. Bahkan Sylvia juga semakin bingung saat melihat Edgar menghitung sesuatu menggunakan jari tangannya. Tidak ingin menganggu keseriusan Edgar, Sylvia memilih untuk duduk dikursi. “Yes! Berhasil!” sorak Edgar.Sylvia yang terkejut sekaligus penasaran, ia langsung bertanya kepada Edgar, “Apanya berhasil?” “Passwordnya,” ucap Edgar. Lalu ia memutar laptop
Sylvia langsung berhenti dan menahan tangan Edgar. “Berhentilah bersikap semau mu! Ingat! Kamu ini Edward bukan Ed-” Dengan menutup mulut Sylvia, Edgar langsung berbisik. “Jangan terlalu cerewet! Kantor ini bisa gempar karena mulut kamu!” Sylvia yang melihat ada dua orang karyawan yang sedang berjalan ke arahnya, ia langsung memeluk Edgar untuk kembali memainkan aktingnya. Bahkan Edgar pun cukup terkejut dengan hal yang dilakukan oleh Sylvia.Dengan mengusap punggung Edgar dan tersenyum ke arah kedua karyawan itu, Sylvia berucap. “Iya sayang, kamu tenang aja. Aku akan selalu mendampingi kamu dalam setiap suka dan duka.” Mendengar ucapan Sylvia, rasanya Edgar ingin langsung melepaskan pelukannya Sylvia. Namun Sylvia justru semakin mengeratkan pelukannya. Sambil terus memperlihatkan senyumnya, Sylvia kembali berbisik “Diamlah! Ada dua orang karyawan yang sedang memperhatikan kita. Sebaiknya kamu mulai berakting untuk meyakinkan mereka berdua.” Tak lama kemudian Edgar langsung melep