Setelah persetujuan itu, Edgar menyuruh Sylvia untuk merapikan pakaiannya di lemari sebelah kanan. Pria itu sama sekali tidak mau membantu, bahkan hanya untuk mengangkat koper Sylvia.
Wanita itu terus bergumam kesal sambil memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Di tengah kesibukannya memindahkan pakaian, Sylvia tidak sadar kalau Edgar sudah membuka kemejanya di depan kamar mandi.
Lantas, ketika menoleh dan Sylvia melihat hal itu, tentu saja ia langsung berteriak. “Aaaaaaa!”
“Kamu kenapa?” tanya Edgar bingung.
Dengan menutup matanya menggunakan kedua tangannya, Sylvia memekik, “Seharusnya aku yang bertanya sama kamu! Kamu ngapain buka baju di sini? Mau pamer dada di depan aku, hah?!”
Edgar terdiam, lalu tampak menyunggingkan bibirnya. “Kalau iya, kenapa?”
“Sialan!” Sylvia mulai melempari barang-barang di dekatnya ke arah Edgar sambil menutup mata. Sudah pasti semua itu meleset dari sasaran.
Sedetik kemudian, bisa didengar kekehan dari pria itu. Tentu saja Sylvia semakin kesal. Pria ini sedang meledeknya sekarang.
“Aku kira, kamu wanita yang gak punya nafsu,” ucap Edgar sambil membuka pintu kamar mandi. “Ternyata, bisa juga goyah melihat dadaku, ya?”
Brak!
Seiring dengan bunyi pintu tertutup, emosi Sylvia semakin. Sylvia membuka matanya. Dari sepatu sampai pakaiannya berserakan di depan kamar mandi. Itu semua karena ulah Edgar.
“Aku doakan kamu tenggelam di kamar mandi!” teriak Sylvia dari luar sambil memunguti kembali barang-barangnya.
“Tapi sayangnya, kamar mandiku tidak memiliki bathtub, Istriku,” jawab Edgar dari dalam, lalu tertawa keras.
Sylvia kembali berteriak kesal. Dengan perasaan menggebu-gebu, ia melanjutkan memindahkan pakaiannya dari koper ke lemari. Saking kesalnya, ia bahkan tidak peduli kalau beberapa pakaian jadi kusut.
Setelah semuanya selesai, ia langsung keluar dari kamar untuk mencari udara segar di balkon rumah. Sorot matanya langsung tertuju pada kursi ayun di sana. Sylvia memutuskan untuk duduk di sana sambil membawa iPad yang ada di tangannya.
Dengan menyalakan kembali iPad-nya. ‘Sebaiknya aku lanjutin membuat rancangan desain bajuku. Dari pada di kamar, yang ada digangguin mulu sama cowok nyebelin itu.’
Sylvia adalah seorang desainer pakaian yang memiliki beberapa cabang butik di Indonesia. Rancangannya pun sudah banyak yang dipamerkan sampai luar negeri.
Selain itu, ia juga terkadang membantu sang ayah untuk mengurus manajemen perusahaan mereka yang bergerak di bidang fashion. Sylvia adalah gambaran sempurna wanita karier yang diimpikan semua orang.
Namun, banyak juga yang menilai kalau Sylvia terlalu sulit diraih. Sifatnya yang keras dan tegas, membuat beberapa pria menyerah untuk mendekatinya. Hanya Edward yang berhasil membuat Sylvia tertarik. Pria itu adalah lawan yang sepadan untuknya.
Tetapi, pria itu menghilang sekarang. Yang ada hanyalah adik kembarnya yang bawel dan manja.
“Kamu lagi apa, Sylvia?”
Di saat Sylvia sedang asik mendesain, Catherine muncul dan menyentuh pundaknya. Sylvia yang sedikit terkejut dengan kedatangan ibu mertuanya, langsung menutup iPad-nya. Bahkan ia pun berpindah ke kursi yang lain untuk bisa mengobrol lebih sopan dengan ibu mertuanya.
“Ada apa, Tante?” tanya Sylvia.
Catherine mengibaskan tangannya. “Ayolah… sudah jadi keluarga, masa mau tetap panggil Tante. Panggil Ibu saja, kayak Edgar.”
Sylvia mengangguk. “Baik, Bu.” Ia tersenyum.
“Ibu tadinya ingin menemui kamu di kamar. Eh, ternyata kamu malah lagi duduk di sini,” ucap Catherine sambil duduk di sebelah Sylvia.
Catherine pun mulai memegang salah satu tangannya Sylvia, “Sylvia, ibu tau saat kamu setuju menikah dengan Edgar, itu adalah keputusan yang sulit untuk kamu.”
Sylvia mengangguk. “Tidak apa-apa, Bu. Aku akan bersabar sampai Edward ditemukan.”
Mendengar jawaban Sylvia, Catherine menghela napas dan mengalihkan pandangan. “Itulah masalahnya, Nak….”
“Maksudnya?”
“Bisakah Ibu minta tolong supaya kamu mau membujuk Edgar?”
Sylvia langsung mengerutkan keningnya dan bertanya, “Membujuk Edgar?”
“Bujuk Edgar menggantikan posisinya Edward di perusahaan.
Sylvia membulatkan matanya. Entah kenapa, ia merasa takut sekarang. Ia sudah melihat bagaimana sifat Edgar, dia sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Edward.
Tidak cukup membuatnya stres dengan pernikahan ini, apakah Sylvia harus repot juga membimbing anak manja itu mengurus perusahaan?
Catherine melanjutkan, Edward sampai saat ini belum ditemukan, kalau para klien atau bahkan para pesaing tau Edward mengalami kecelakaan dan jasadnya belum ditemukan, mereka akan menggunakan ini untuk menghancurkan perusahaan.”
Sylvia kehabisan kata. Ia masih mencerna semua ucapan Catherine.
“Sebelum semua orang menyadari tentang hilangnya Edward, Edgar harus mau menjabat sebagai CEO, menggantikan posisinya Edward,” tutup Catherine.
Sylvia sungguh ingin menolak. Membimbing anak manja itu pasti akan membuat hidupnya semakin merepotkan. Lagipula, Sylvia tidak mau berdekatan dalam waktu yang lama dengan Edgar.
Catherine semakin mengeratkan genggamannya. “Bagaimana, Nak? Kamu mau, kan?”
Melihat sorot matanya Catherine yang sangat berharap kepada dirinya, Sylvia tidak tega untuk menolak. Ia bimbang. Jika tidak membantu, perusahaan mereka akan dalam bahaya. Namun jika membantu, itu artinya mereka harus bersama dengan Edgar dalam waktu yang lama.
‘Baiklah, Syl… untuk sementara saja. Sampai Edward ditemukan!’ Sylvia menguatkan dirinya sendiri.
Sylvia mengangguk pelan. “Baik, Bu, aku akan berusaha untuk membujuk Edgar.”
Mendengar ucapannya Sylvia, senyum langsung terpancar di wajahnya Catherine. “Terima kasih, Sylvia! Ibu senang sekali karena bisa memiliki kamu sebagai menantu Ibu!”
***Setelah pembicaraan dengan Catherine tadi, Sylvia langsung kembali ke kamarnya. Namun, ketika membuka pintu kamar, emosi Sylvia memuncak melihat handuk basah tergeletak di atas tempat tidur.
“Edgar!” teriak Sylvia.
Mendengar Sylvia berteriak, Edgar bukannya merasa bersalah, tapi justru menutup telinganya dengan menggunakan earphone. Sylvia yang kesal, langsung melemparkan handuk basahnya Edgar ke wajahnya Edgar.
Edgar melepaskan earphone-nya dan berkata, “Kamu bisa sopan sedikit? Ini muka aku, bukan jemuran handuk!”
Dengan berkacak pinggang Sylvia berucap, “Lantas, kamu pikir tempat tidur ini jemuran handuk? Seenaknya aja taruh handuk di sana. Kalau udah selesai mandi, handuknya langsung dijemur, jangan ditaruh sembarangan!”
Selama Sylvia marah-marah, Edgar hanya menatapnya. Itu tentu membuat Sylvia semakin kesal. Apalagi ketika pria itu mengangkat salah satu sudut bibirnya.
“Udah selesai ngedumelnya?” tanya Edgar.
“Belum!”
Edgar mengangkat bahu. “Baik, lanjutkan saja.”
Edgar pun dengan cueknya kembali melemparkan handuknya ke sisi sofa dan berjalan ke arah cermin untuk menyisir rambutnya.
Sylvia bergegas menghampiri Edgar, dan berniat membungkus kepala batu itu dengan handuk basah ini. Namun, sayangnya ia justru terpeleset karena lantai yang sedikit basah karena ulah Edgar sebelumnya.
“Aahh—”
Sylvia memejamkan mata, siap merasakan lantai kamar yang keras dan dingin. Namun, dua detik menunggu, ia tidak merasakan apa pun. Ia malah merasakan sebuah tangan kokoh menopang punggungnya, dan aroma sabun yang khas di ujung hidungnya.
Sylvia membuka mata perlahan. Pada saat itulah ia merasakan tetesan dingin air dari ujung rambut Edgar di pipinya. Napas pria itu menyapu pipinya dengan halus. Tatapan mereka bertemu dan saling tenggelam.
Seketika hembusan angin masuk ke dalam kamar Edgar. Detak jantungnya berdetak kencang.
‘Enggak! Aku gak mungkin memiliki perasaan untuk pria menyebalkan seperti Edgar!’ batin Sylvia menolak, tapi matanya tidak lepas dari mata Edgar yang masih menatapnya.
Bugh! Tanpa Sylvia duga, Edgar melepaskan pelukannya begitu saja, dan membuatnya jatuh terduduk di lantai. Sylvia lantas memekik keras, lalu langsung melemparkan tatapan tajam ke arah pria itu. Sia-sia saja debaran aneh yang tadi ia rasakan. Sambil mengusap pinggangnya Sylvia berucap, “Heh! Kamu itu punya perasaan sedikit gak sih? Aku ini manusia, bukan karung beras! Seenaknya aja menjatuhkan aku begitu aja.” “Kamu lupa ya dengan kesepakatan kita? Tidak boleh terjadi sentuhan fisik,” ucap Edgar sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah sedang membersihkan kotoran. Sylvia semakin geram melihat sikap pria itu. Dengan cepat, Sylvia bangkit dan merapikan pakaiannya sambil masih menggerutu, “Dasar pria arogan!” “Setidaknya kamu bantuin aku berdiri,” sambung Sylvia dengan suara yang lebih pelan. Ia tidak mau membuat Edgar besar kepala kalau dirinya mengharapkan bantuannya. Apalagi setelah melihat pria itu keluar begitu saja dari kamar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sylvia
“Kamu sedang apa di tangga?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Catherine saat Sylvia berbalik untuk pergi ke kamarnya. Sylvia berbalik badan lagi dan mengulaskan senyum kaku. Dengan gugup, Sylvia berusaha menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “I-itu, Bu… A-aku mau ambil air minum di dapur.” Sylvia meneguk air liurnya ketika Catherine tidak menjawab. Pasalnya, di lantai atas juga ada dispenser air. Mungkin saja Catherine curiga. ‘Apakah aku ketahuan?’ pikirnya. “Kalau air dispensernya habis, kamu suruh pelayan untuk mengisinya.” Ibu mertuanya berucap sambil menepuk pundaknya Sylvia, lalu menaiki anak tangga. Sylvia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.” Saat melihat ibu mertuanya sudah menjauh, Sylvia langsung menghela napasnya. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya Edgar dengan cepat. Ceklek! Sylvia bersandar di pintu. “Kira-kira Edgar pergi ke mana ya?” Meskipun Edgar sangat menyebalkan baginya, Sylvia sedikit merasa khawatir. Pria itu bukan pria jahat
“Sial! Edgar mengumpat setelah menyingkir dari atas tubuhnya Sylvia. Ia tahu betul, bahwa ibunya tidak akan main-main dalam bertindak. Ini seperti berjalan di atas es, salah sedikit, ia akan jatuh ke kubangan es dan mati membeku. Edgar menggeram sambil mengepalkan tangannya. Ia masih menatap Sylvia dengan tajam. “Baik," jawabnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu.” Jantung Sylvia yang tadinya berdetak cepat, mulai tenang. Ia menggenggam ujung selimutnya, dan perlahan menariknya sampai menutupi leher. Ia sebisa mungkin menghindari tatapan Edgar. “K-kupegang ucapanmu,” ucap Sylvia. Sambil memiringkan tubuhnya Edgar bergumam, “Kalau bukan karena ingin melindungi bisnisku dari ancaman Ibu, aku gak sudi mengikuti keinginan dia.” Sylvia yang masih bisa mendengar ucapannya Edgar, kembali membuka matanya dan menoleh ke belakang. “Kamu bilang apa barusan?” “Tidak penting,” ucap Edgar, dan langsung mematikan lampu kamar di atas nakas. ***Keesokan paginya. Sebagai tipe yang lumay
“Berhentilah menatap ku, aku tau kalau aku ini sangat tampan.” Sylvia langsung mengalihkan pandangannya saat Edgar menyindirnya. Ucapannya Edgar memang benar, dengan bentuk tubuh yang tinggi, atletis serta kulit yang putih dan bersih, Edgar terlihat sangat tampan bak selebritis papan atas. Namun, ketampanannya itu selalu tertutupi dengan sikapnya yang sangat menyebalkan. Sambil beranjak dari sofa Sylvia berucap, “Gak usah terlalu narsis, kucing liar di luar, jauh lebih tampan daripada kamu, tau!” Sylvia yang enggan bertengkar pagi-pagi dengan Edgar, langsung mengambil handuk serta pakaian. Bahkan ketika Edgar juga berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya. Sylvia kembali memperingatkan Edgar untuk memakai pakaian yang rapi. “Pakai jas dan kemeja yang rapih. Jangan lupa juga pilih dasi yang bagus. Ingat! Kamu akan berperan sebagai Edward hari ini di kantor, bukan sebagai Edgar.” “Iya, Nyonya!” Edgar terdengar kembali menyindirnya. Tidak seperti ucapannya yang s
“Selamat pagi Pak Edward, Bu Sylvia.” Sapaan tersebut keluar dari mulut sekretaris Edward ketika Edgar dan Sylvia memasuki ruangan CEO. Melihat gelagat Edgar yang kembali ingin bersikap genit terhadap sekretaris tersebut, Sylvia langsung membuka pintu ruangan CEO, dan segera menyeret Edgar masuk ke dalam. Sylvia berdeham, lalu memegang lengan Edgar kuat-kuat dengan tatapan mengancam. “Sayang, karena kemarin kamu udah libur seharian, pasti pekerjaanmu sangat menumpuk hari ini. Lebih baik kita langsung masuk aja.”Edgar sepertinya ingin proses, tapi Sylvia segera membulatkan mata dan berbisik, “Gak usah tebar pesona di depan perempuan itu!” Bukannya takut, Edgar malah menyunggingkan senyum. Tentu saja Sylvia semakin jengkel, apalagi ketika pria itu berbisik di telinga Sylvia, “Apa kamu sedang cemburu?” Sylvia menoleh dengan sinis. “Sampai kiamat pun, hal itu gak akan pernah terjadi!” Brak! Sylvia dengan cepat menutup kembali pintu ruangan CEO setelah mereka masuk. Rasa tidak suka
“Gak mau! Aku sibuk!” Mendengar penolakan dari Edgar, tentu saja hal itu membuat Sylvia sangat kesal. Bagaimana tidak, ia sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang harus ia periksa sebelum ditandatangani oleh Edgar. Namun, Edgar sendiri justru sibuk bermain game dan enggan mencari tahu informasi mengenai CH Group. Tanpa rasa takut sedikit pun, Sylvia langsung merampas ponsel Edgar. “Jangan pernah menguji kesabaranku! Lakukan yang aku perintahkan sekarang juga! Atau aku melaporkan tingkah burukmu ini ke Ibu!” Edgar hanya bisa menatap tajam dan mengepalkan tangan ketika Sylvia kembali mengancam untuk kesekian kalinya. Sepertinya Sylvia mulai memahami kelemahannya Edgar. Terbukti, Edgar langsung beranjak dari kursinya saat ia mengancam dengan membawa nama ibunya. “Dasar otoriter!” Sylvia yang samar-samar mendengar ucapan Edgar, langsung menengok ke arah Edgar. “Jangan mengumpat di belakangku. Aku masih bisa mendengarnya, tau!” “Bagus, itu artinya telingamu gak tuli.” Edgar meny
Sekembalinya dari toilet, Sylvia terdiam sejenak di depan pintu ruangan Edward. Ruangan itu tampak tenang dari luar sini. Terlebih, ia tidak melihat sekretaris Edward di mejanya.'Apa pria itu sedang bertingkah macam-macam di dalam sana? Awas saja! Aku akan mencincang kepalanya!'Sylvia sudah bersiap, dan membuka pintu itu lebar-lebar dalam sekali hentakkan. Ia berharap, jika Edgar benar-benar sedang melakukan hal mesum, mereka harus tertangkap basah.Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Sylvia malah melihat Edgar sudah duduk di meja Edward dan tampak serius membaca berkas-berkas. Pria itu tampak sangat tenang, dengan cahaya matahari yang menjadi background di belakangnya.Sylvia berdeham, sebenarnya malu dengan pikiran buruknya tadi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil berkas-berkas dari meja Edward dan mengerjakannya di sofa. Ia tidak akan mengganggu pria itu kali ini. Sylvia kembali memeriksa berkas yang akan ditandatangani oleh Edgar. Namun, tak lama kemudian, Edgar malah meng
Edgar yang muak karena selalu diancam oleh Sylvia, ia langsung meletakkan ponselnya. Lalu ia mengambil pulpen untuk menandatangani tumpukan berkas yang ada diatas meja.Melihat Edgar akan menandatangani berkas itu. Ia lupa bahwa tanda tangan Edward dan Edgar pasti berbeda. Lalu ia dengan cepat menghentikan Edgar. “Tunggu sebentar,” ucap Sylvia.“Apa lagi?” tanya Edgar.Sylvia yang tidak mau sekretaris Edward curiga saat melihat tanda tangan yang berbeda, ia langsung beranjak dari sofa. Lalu ia pergi ke meja Edward untuk mencari contoh tanda tangan Edward. Tak lama kemudian ia kembali menghampiri Edgar dengan membawa sebuah berkas yang ia dapat dari laci meja kerjanya Edward.Sylvia meletakkan berkas tersebut didepannya Edgar. “Pastikan tanda tangan yang kamu bikin sama persis dengan tanda tangannya Edward yang ada di berkas itu!” Edgar langsung mendengus kesal. “Merepotkan sekali.” Sambil kembali duduk di sofa, Sylvia menimpali ucapannya Edgar. “Gak usah kebanyakan ngeluh. Lakukan a