"Ini hari pertamamu bekerja, kenapa sudah harus bekerja shift malam?" Amel mengerutkan kening ketika mendengar ini."Kalau memang giliranku untuk jaga malam, aku harus bertugas. Ini nggak ada hubungannya dengan hari pertamaku bekerja. Amel, Ibu tutup dulu teleponnya. Ini sudah waktunya pergi berkeliling bangsal untuk memeriksa pasien." Segera setelah mengatakan ini, Lili menutup teleponnya.Amel merasa sedikit getir di hatinya. Dia tiba-tiba merasa bersalah. Jika dia memiliki kemampuan, ibunya bisa seperti Bibi Mirna, menjalani hidup bebas dan bahagia setiap hari.Sekarang, ibunya kembali bekerja di rumah sakit pada usia di mana dia seharusnya menikmati hidup. Meskipun pekerjaan kepala perawat tampaknya sangat terhormat bagi orang luar, hanya orang yang terlibat dan keluarga mereka saja yang tahu betapa melelahkan dan sulitnya pekerjaan ini.Amel merasa kasihan pada ibunya yang harus bekerja shift malam. Jadi, dia menyalakan sepeda listrik kecilnya, lalu pergi ke pasar untuk membeli sa
Jefri mengambil tongkat di samping, lalu mengarahkannya ke Amel. Dia berkata, "Aku sudah bilang uang itu nggak ada padaku. Kalau kamu terus bermain-main denganku, jangan salahkan aku. Kamu yang memaksaku."Jefri melambaikan tongkat di tangannya dengan ekspresi garang. Melihat itu, Amel jadi merasa sedikit ketakutan. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang wanita lemah. Mana mungkin dia bisa melawan pria besar seperti Jefri?Amel menelan ludah dengan gugup, tapi dia tetap menunjukkan ekspresi tenang. Dia berujar, "Karena kamu mengatakan uang itu nggak ada padamu, kamu bisa memberitahuku siapa yang membawa uang itu. Pasti ada yang membawa uang itu. Kalau uang itu nggak ada padamu, tentu saja kami akan mencari orang yang bersangkutan."Jefri memukulkan tongkatnya dengan keras ke sepeda listrik Amel, membuat lampu sepeda listriknya hancur seketika."Kalau kamu merusak sepeda listrikku, kamu harus menggantinya dengan yang baru," kata Amel sambil menatap Jefri dengan dingin.Jefri mengabaikan p
Amel merasa sangat kecewa di dalam hatinya. Bahkan polisi pun tidak dapat membantu mereka."Baiklah, aku mengerti." Amel keluar dari kantor polisi dengan perasaan tertekan."Amel." Tiba-tiba, suara cemas Dimas terdengar. Saat mengetahui dari Irfan bahwa Amel sedang berada di kantor polisi, Dimas segera meninggalkan pekerjaannya, lalu bergegas datang ke sini.Hidung Amel terasa masam. Dia segera melemparkan diri ke pelukan Dimas, lalu menangis dengan sedih, "Sayang, bahkan polisi juga nggak bisa berbuat apa-apa. Tampaknya akan sangat sulit untuk mendapatkan kembali uang 600 juta itu."Dimas merasa sangat tidak nyaman saat melihat istrinya menangis sedih karena uang 600 juta itu. Dia pun menepuk punggung Amel dengan lembut."Sayang, sudahlah, berhentilah menangis. Kalau cara satu nggak berhasil, kita akan cari cara lainnya." Dimas menghibur Amel untuk sesaat. Kemudian, suasana hati pun Amel menjadi sedikit lebih baik.Dimas memperhatikan bahwa Amel tampak pincang saat berjalan. Dia pun m
Senyuman akhirnya muncul di wajah Amel. Jaringan koneksi Dimas memang sangat luas. Sepertinya, suaminya ini mengenal semua bos besar dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini membuat Amel sangat kagum padanya."Aku yakin suamiku tercinta pasti memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah ini." Amel memutuskan bertaruh dengan memercayai Dimas.Dalam perjalanan pulang, Dimas menerima pesan lain dari Irfan."Pak Dimas, Dio baru saja meminta sekretarisnya untuk memberitahuku kalau dia ingin mentraktirku makan malam hari ini."Dimas melirik isi pesan teks dengan ekspresi sinis di wajahnya, lalu membalas, "Dia akhirnya sudah siap untuk mulai bertindak. Setujui saja."Saat mobil menunggu di lampu lalu lintas, Dimas dengan cepat membalas pesan itu.Amel bersandar di kursi penumpang dengan sedikit lelah. Dua hari terakhir ini, dia benar-benar sudah kelelahan secara fisik maupun mental."Bagaimana hari pertama Ibu bekerja?" Dimas merasa suasana di dalam mobil agak sunyi, jadi dia berinisiatif
Dimas menyusul Amel ke dapur, lalu berujar, "Sayang, kamu sedang terluka. Bagaimana kalau kamu nggak perlu masak hari ini? Aku akan membeli beberapa makanan dari restoran, lalu mengantarkannya untuk Ibu."Amel menggelengkan kepala sembari menjawab, "Luka sekecil ini nggak akan menjadi masalah." Dia enggan keluar untuk membeli makanan lagi.Rumah sakit relatif sibuk pada sore hari. Sebagai kepala perawat, Lili juga sangat sibuk. Pada waktu makan malam, pasien baru menjadi sedikit berkurang. Dia duduk di bangku dengan sedikit lelah.Setelah beristirahat selama tiga tahun di rumah, Lili merasa agak sulit beradaptasi saat harus kembali bekerja secara tiba-tiba. Dulu dia juga harus bekerja shift malam selama seminggu, tapi dia tidak merasa selelah hari ini."Panggil kepala perawat kalian. Apa yang kalian lakukan? Sekelompok orang nggak berguna!" Sebelum Lili bisa duduk lama, dia mendengar suara teriakan yang keras datang dari luar.Lili pun merapikan pakaiannya dengan cepat, lalu berjalan k
"Aku khawatir Ibu masih nggak bisa beradaptasi di hari pertama Ibu bekerja, jadi aku datang ke sini untuk menghibur Ibu. Coba tebak, makanan lezat apa yang aku buatkan untuk Ibu hari ini.""Nggak tahu.""Iga bakar, tumis daging, nasi dan sup jamur es favorit Ibu," ucap Dimas seraya meletakkan makanan yang dibawanya ke meja Lili satu per satu."Bu, makanlah selagi masih panas. Kita pulang dulu," kata Amel. Dia tahu bahwa ibunya sangat sibuk, jadi dia tidak menunda waktu makan ibunya dan langsung pergi setelah mengantarkan makanan.Setelah Amel keluar dari rumah sakit, ekspresinya sedikit berubah dan terlihat agak tidak senang. Ibunya sudah tua dan masih diperlakukan dengan sangat buruk oleh para pasien. Sebagai anak perempuannya, Amel merasa sangat tidak nyaman."Apa kamu mengkhawatirkan Ibu?"Dimas menebak apa yang Amel pikirkan dan wanita itu sontak mengangguk."Aku sudah meminta temanku untuk merundingkan masalah uang, pasti akan segera ada hasilnya."Mendengar itu, Amel tiba-tiba me
Dio tahu bahwa Irfan adalah tangan kanan Dimas. Jika Irfan bersedia membantunya, dia tidak perlu mengkhawatirkan lagi masalah uang.Melihat hal ini, Irfan menunjukkan sedikit rasa sungkan di wajahnya, kemudian berkata, "Pak Dio, masalah ini terlalu sulit bagiku. Aku cuma asisten biasa dan nggak punya kekuatan sebesar itu. Selain itu, sekali berurusan dengan departemen keuangan perusahaan, meskipun aku nggak mengatakannya, Pak Dimas pasti akan langsung mengetahuinya."Mendengar jawaban Irfan, Dio mengerutkan keningnya sambil menyahut, "Pak Irfan, aku tahu masalah ini agak sulit bagimu, tapi coba lihat dulu apa kamu bisa memikirkan solusinya?"Dio berkata seraya menyelipkan sebuah kartu bank ke tangan Irfan. Irfan sontak menggelengkan kepalanya, berpura-pura bersikap sungkan."Pak Dio, bukan ini masalahnya. Kalau masalah ini ketahuan, kita berdua akan masuk penjara," sahut Irfan. Dia berpura-pura takut sambil menggelengkan kepalanya.Melihat itu, Dio menjadi muram. Ternyata Irfan tidak b
Amel terlihat kecewa. Amel bukannya menolak untuk berhubungan dengan orang tua Dimas, tetapi dia selalu merasa bahwa Dimas tidak terlalu ingin dirinya bertemu dengan keluarga pria itu."Sayang, kalau begitu selesaikan pekerjaanmu dulu. Aku nggak akan mengganggumu lagi," sahut Amel. Setelah berkata demikian, dia segera berbalik dan keluar dari ruang kerja."Lidya, aku nggak tahu kenapa, tapi Dimas sepertinya nggak mau membiarkanku berhubungan dengan keluarganya. Dia dan aku sudah lama menikah, tapi kami belum pernah mengunjungi orang tuanya. Dia juga nggak pernah berinisiatif untuk membawaku berkunjung ke rumah orang tuanya."Amel menekan rasa tidak nyaman di hatinya dan mengirim pesan teks pada Lidya untuk mengeluh. Tidak lama kemudian, Lidya membalas pesannya."Seharusnya kalian mengunjungi orang tuanya pada hari kedua setelah menerima akta nikah, tapi sepertinya Dimas nggak pernah membahas masalah ini. Mungkin saja demi harga dirinya atau mungkin keluarga dan orang tuanya nggak menja