"Pak Dimas, aku sudah baik-baik saja sekarang. Kamu bisa kembali dulu. Jangan biarkan Kak Amel menunggu lama," kata Jessica dengan sengaja. Dia ingin melihat apakah Dimas akan tetap tinggal untuk menjaganya atau tidak."Baiklah, aku akan pergi mencari perawat untuk menjagamu sekarang." Jawaban Dimas sangat mengecewakannya. Dia dengan naif berpikir bahwa selama dia melakukan sesuatu untuk Dimas, pria itu akan fokus padanya. Sekarang, sepertinya dia keliru.Hari sudah larut ketika Dimas sampai di rumah. Dia masuk ke rumah dengan tubuh yang lelah."Sayang, apa kamu baik-baik saja?" Amel memperhatikan bahwa suasana hati Dimas sedang tidak baik, jadi dia mendekat untuk menghibur pria itu."Sayang, ada sesuatu yang menurutku harus kuberitahukan padamu." Dimas tiba-tiba mengangkat kepalanya, lalu menatap Amel dengan serius."Ada apa?""Pekerja yang dibawa ke rumah sakit untuk operasi hari ini sebenarnya adalah Jessica. Dia terluka karena aku." Dimas tidak ingin menyembunyikan apa pun dari Ame
Saat Jessica melihat Amel, senyuman di wajahnya langsung membeku."Kak Amel datang rupanya. Silakan duduk." Jessica segera mengatur emosinya, berpura-pura antusias dengan kedatangan Amel.Meskipun sebenarnya dia merasakan kebencian yang mendalam pada Amel, dia tetap harus tersenyum."Nona Jessica, aku benar-benar ingin berterima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan kemarin. Terima kasih karena sudah menyelamatkan Dimas." Amel berterima kasih pada Jessica dari lubuk hatinya."Tak perlu berterima kasih. Pak Dimas biasanya memperlakukanku dengan sangat baik, jadi bagaimana mungkin aku nggak menolongnya?" Jessica mengangkat sudut mulutnya sedikit sambil berkata dengan nada penuh provokasi."Nona Jessica, aku sudah membuatkan sup untukmu. Kamu bisa meminumnya selagi masih hangat." Amel mengganti topik pembicaraan. Dia tahu dengan jelas apa maksud perkataan Jessica."Kak Amel, kamu sudah bersusah payah membuatkanku sup." Jessica melirik sup itu dengan kilat ketidaksukaan yang melintas di w
Namun, setelah mengamati sekian lama, Soni merasa jika Irfan juga merupakan orang yang hanya mementingkan keuntungan saja. Itu sebabnya di bawah pengawasan Irfan, Soni diam-diam mengurangi bahan. Jika tidak sengaja ketahuan, Soni sudah memikirkan strategi untuk menghadapinya."Kembalikan saja kiriman baja ini. Kalau ada material yang lagi-lagi nggak memenuhi syarat seperti ini, segera laporkan padaku," kata Dimas dengan wajah dingin, kemudian berlalu pergi.Untungnya material ini ditemukan tepat waktu. Jika sampai digunakan dalam konstruksi, pasti akan menyebabkan banyak masalah.Di sisi lain, Amel sedang berdiri di depan pintu toko. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru toko kecilnya dan merasa puas."Kak, berapa harga kue ini?" Tiba-tiba terdengar suara lembut dan menggemaskan dari arah belakang. Amel menoleh, lalu melihat seorang gadis kecil berkuncir dua sedang menggendong celengan sapi. Gadis kecil itu berdiri di belakang Amel sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang bes
"Kenapa dia tidur di sini?" gumam Dimas pada dirinya sendiri. Kemudian, Dimas langsung membopong Amel yang sedang tidur tersebut.Amel menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk, lalu bertanya, "Kamu sudah pulang? Apa kamu lapar? Aku akan membuatkan makanan untukmu."Dimas tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Aku nggak lapar. Tadi aku sudah makan di luar bersama klien. Biarkan aku menggendongmu ke dalam untuk tidur. Kamu akan masuk angin kalau tidur di sofa."Setelah Dimas berkata seperti itu, terdengar suara keroncongan dari perut Amel. Amel pun tersenyum malu sambil menggaruk-garuk kepalanya."Kamu lapar? Kamu sudah makan malam?" tanya Dimas dengan serius."Aku belum makan malam. Waktu pulang kerja tadi, aku nggak merasa lapar. Tapi, aku ketiduran di sofa waktu menunggumu. Sekarang aku merasa agak lapar." Amel merajuk sambil menggigit bibirnya dengan lembut."Kamu ini. Mulai sekarang, kamu nggak boleh kelaparan lagi. Beban kerjamu setiap hari itu nggak sedikit. Jadi, kamu har
Setelah selesai membersihkan dan membereskan dapur, Amel ingin membuang sampah ke luar. Saat melewati ruang kerja Dimas, Amel merasa ragu mau masuk untuk mengambil sampah dari ruang kerja tersebut dan sekalian membuangnya atau tidak. Namun, saat hendak mengetuk pintu, Amel khawatir akan mengganggu Dimas. Itu sebabnya, Amel mengurungkan niatnya.Setelah keluar dari rumah, Dimas mengikuti lokasi yang diberikan oleh Irfan. Tiba-tiba saja, Irfan muncul tanpa diketahui dari mana asalnya. "Pak Dimas, aku ada di sini."Dimas langsung menoleh dan melihat Irfan tengah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan kepadanya."Kenapa kamu nggak menungguku di mobil dan malah bersembunyi di sini?" tanya Dimas sambil melirik Irfan."Jangan bicarakan itu lagi, Pak Dimas. Keamanan di sini terlalu ketat. Mobilku nggak terdaftar, jadi aku sama sekali nggak boleh masuk. Aku berjalan masuk dari gerbang area vila ini. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di tempat ini," keluh Irfan dengan sedih."Sudahlah. Cepat
Mendengar itu, Amel baru merasa lega. Sebelumnya, dia khawatir jika Dimas akan kehilangan pekerjaannya karena masalah ini."Oh, ternyata hanya bercanda. Sepertinya aku sudah berpikir terlalu banyak. Pak Irfan, apa kamu datang kemari untuk urusan bisnis?" tanya Amel sambil lalu pada Irfan."Aku ... aku datang untuk mengunjungi seorang teman. Waktu aku mau pulang, kebetulan aku bertemu dengan Pak Dimas. Kami pun akhirnya mengobrol sebentar." Irfan bisa menjawab dengan cepat, karena otaknya juga bereaksi dengan cepat."Berhubung sudah datang kemari, mampirlah sebentar ke rumah kami untuk minum teh.""Nggak usah, nggak usah. Sekarang sudah malam. Lain kali saja aku mengunjungi kalian. Aku pergi dulu." Setelah berkata seperti itu, Irfan pun langsung menyelinap pergi."Aku pikir kamu masih bekerja di ruang kerjamu. Kenapa kamu keluar?" tanya Amel sambil menatap Dimas dengan bingung."Ada beberapa barang yang tertinggal di mobil. Aku ingin membawanya masuk. Kebetulan, aku bertemu dengan Pak I
Amel tidak tahu bahwa semua hadiah ini sebenarnya diberikan oleh Dimas. Dimas hanya meminjam tangan Yunita untuk memberikannya saja."Sudahlah, berhentilah memikirkan hal-hal yang nggak berguna ini. Kita semua adalah keluarga, nggak perlu sungkan." Dimas mengambil gelang itu, lalu langsung memakainkannya di pergelangan tangan Amel.Amel memiliki kulit yang cerah serta pergelangan tangan yang sangat ramping. Dia terlihat sangat anggun saat memakai gelang itu."Kamu terlihat sangat cantik memakai gelang ini. Saat kita punya uang di masa depan, aku akan membelikanmu banyak perhiasan. Selama kamu menyukainya, aku akan membelikan semuanya untukmu.""Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu memenuhi janjimu."Setelah mengobrol sebentar dengan Dimas, Amel dengan senang hati pergi ke kamar mandi dengan gelangnya.Setelah mandi, Amel tiba-tiba teringat bahwa dia tidak membawa pakaian ataupun handuk saat masuk. Dia melihat dirinya yang tanpa busana di cermin, tiba-tiba pipinya seakan terbakar.
Dimas baru keluar dari kamar mandi saat rambut Amel sudah kering."Aku baru saja selesai mengeringkan rambutku. Kamu juga keringkan rambutmu.""Kalau begitu, bisakah kamu mengeringkannya untukku?" tanya Dimas dengan penuh harap. Amel sebenarnya ingin menelepon adiknya, tapi Dimas sudah meminta, jadi dia harus mengeringkan rambut pria itu terlebih dahulu.Rambut Dimas relatif pendek, sehingga bisa kering dengan cepat. Ketika mereka berbaring di tempat tidur dan bersiap untuk tidur, Dimas menerima pesan dari Jessica."Pak Dimas, aku merasa sangat nggak nyaman. Bisakah kamu datang untuk menemaniku sebentar? Aku nggak punya saudara atau teman di Kota Riwana. Selain kamu, aku benar-benar nggak tahu harus menghubungi siapa."Dimas melirik ponselnya dengan acuh, lalu mematikan ponselnya tanpa menjawab apa-apa."Bagaimana kalau kamu pergi ke rumah sakit untuk melihatnya? Lagi pula, dia terluka karena berusaha untuk menyelamatkanmu. Menurutku, nggak baik kalau kita nggak memedulikannya seperti